Tuesday, August 9, 2016

Jenis Makna dalam Bahasa Indonesia





Jenis Makna

            Bahasa sering digunakan untuk kegiatan di berbagai kegiatan dan keperluan kehidupan bermasyarakat, maka makna bahasa itu pun menjadi bermacam-macam bila dilihat dari segi atau pandangan yang berbeda. Berbagai nama jenis makna telah kemukakan orang dalam berbagai buku linguistik  atau semantik. Kiranya jenis-jenis makna yang dibicarakan pada sub bab berikut ini sudah cukup mewakili jenis-jenis makna yang pernah dibicarakan orang itu (Chaer, 2012:288)

Makna Leksikal, Makna Gramatikal dan Makna Kontekstual
a. Makna Leksikal
            Leksikal adalah bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler, kosa kata, perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem dapat kita persamakan dengan kata. Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan sebagai mkana yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Lalu, karena itu dapat pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referenya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indra, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Umpamanya makna tikus makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Makna ini tampak jelas dalam kalimat tikus itu mati diterkam kucing, atau dalam kalimat panen kali ini gagal akibat serangan hama tikus. Kata tikus dalam kedua kalimat jelas merujuk kepada binatang tikus, bukan ke yang lain. Tetapi dalam kalimat yang menjadi tikus di gudang kami ternyata berkepala hitam bukanlah makna leksikal, karena tidak merujuk kepada binatang tikus, melainkan kepada manusia yang perbuatannya memang mirip dengan perbuatan tikus (Chaer, 2009:60).
            Contoh lain dari makna leksikal dalam kalimat kepalanya hancur kena pecahan granat adalah dalam makna leksikal, tetapi dalam kalimat rapornya ditahan kepala sekolah karena ia belum membayar SPP adalah bukan makna leksikal. Kata memetik dalam kalimat ibu memetik sekuntum mawar adalah makna leksikal, sedangkan dalam kalimat kita dapat memetik manfaat dari cerita itu bukan makna leksikal.
            Contoh-contoh kalimat di atas dapat disimpulkn bahwa makna leksikal dari satu kata adalah gambaran yang nyata tentang suatu konsep seperti yang dilambangkan kata itu. Maka leksikal suatu kata sudah jelas bagi seorang bahasawan tanpa kehadiran kata itu dalam suatu konteks kalimat. Berbeda dengan makna yang bukan leksikal, yang baru jelas apabila berada dalam konteks kalimat atau satuan sintaksis yang lain. Tanpa konteks kalimat dan konteks situasi jika mendengar kata bangsat maka akan terbayang dibenak kita adalah jenis binatang penghisap darah yang disebut juga kutu busuk atau kepinding. Jika mendengar kata memotong makan yang terbayang dibenak kita adalah pekerjaan untuk memisahkan atau menceraikan yang dilakukan dengan benda tajam. Tetapi kata bangsat yang berarti penjahat, dan memotong adalah yang berarti mengurangi baru akan terbayang dalam benak kita apabila kata-kata tersebut dipakai dalam kalimat. Misalnya dalam kalimat dasar bangsat uangku disikatnya juga, dan kalimat kalau mau memotong gajiku sebaiknya bulan depan saja (Chaer, 2009:60).   
            Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa makna leksikal adalah makna yang bersifat tetap dan tidak terikat dengan kata lain (berdiri sendiri). Makna ini sering disebut dengan makna yang sesuai dengan kamus. 
b. Makna Gramatikal
            Makna gramatikal adalah makna yang muncul ketika terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi, atau kalimatisasi. Umpamanya dalam proses afiksasi prefiks ber- dengan dasar baju melahirkan makna gramatikal ‘mengenakan atau memakai baju’. Contoh lain dalam proses komposisi pada dasar sate dengan dasar ayam melahirkan makna gramatikal ‘bahan’, dengan dasar madura melahirkan makna gramatikal ‘asal’, dengan dasar lontong melahirkan makna gramatikal ‘bercampur’, dn dengan kata Pak Kumis (nama pedagang sate yang terkenal di Jakarta) melahirkan makna gramatikal ’buatan’(Chaer, 2012: 290).
            Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, makna gramatikal adalah makna yang muncul ketika ada sebuah proses gramatikal yang berupa (1) afiksasi, (2) reduplikasi, dan (3) komposisi. Misalnya dalam proses afiksasi prefiks ber- dengan dasar baju melahirkan makna gramatikal ‘mengenakan atau memakai baju’.

c.    Makna Kontekstual
            Menurut Chaer (2012: 290) makna kontekstual berbeda dengan makna leksikal dan gramtikal, makna kontesktual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks. Perhatikan makna konteks kata kepala pada kalimat-kalimat berikut.
a.       Rambut di kepala nenek belum ada yang putih.
b.      Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu.
c.       Nomornya ada pada kop pekala surat itu.
d.      Beras kepala harganya lebih mahan dari beras baiasa.
e.       Kepala paku dan kepala jarum tidak sama bentuknya .
Dari uraian dan contoh tersebut, dapat diambil kesimpulan, bahwa makna kontekstual adalah makna sebuah kata yang baru bisa diketahui maknanya, ketika kata tersebut sudah berada dalam suatu konteks kalimat. 

 Makna Referensial dan Nonreferensial
            Sebuah kata atau leksem dikatakan bermakna referensial kalau ada referensinya, atau acuannya. Kata-kata seperti kuda, merah, dan gambar adalah termasuk kata-kata yang mempunyai makna referensial, karena ada acuannya dalam dunia nyata. Sebaliknya kata-kata seperti dan, atau, dan karena adalah termasuk kata-kata yang tidak bermakna referensial, karena kata-kata itu tidak mempunyai referensi (Chaer, 2012:291). 
            Berkenaan dengan ini ada sejumblah kata yang disebut kata-kata diektik, yang acuannya tidak menetap pada satu maujud, melainkan dapat berpindah dari maujud yang satu ke maujud yang lain. Yang termasuk kata-kata deiktik ini adalah kata-kata yang termasuk pronomina, seperti dia, saya, dan kamu, kata-kata yang menyatakan ruang, seperti di sini, di sana, dan di situ, kata-kata yang menyatakan waktu, seperti sekarang, besok, dan nanti, kata-kata yang disebut kata penunjuk, seperti, ini dan itu. Perhatikan ketiga kata saya pada kalimat-kalimat berikut yang acuannya tidak sama !
a)      “tadi pagi saya bertemu dengan Pak Ahmad” kata Ani kepada Ali
b)      “o, ya?” sahut Ali, “saya juga bertemu beliau tadi pagi.”
c)      “di mana kalian bertemu beliau?” tanya Amin, “saya sudah lama tidak berjumpa dengan beliau”.
Jelas, pada kalimat pertama kata saya mengacu pada Ani, pada kalimat kedua mengacu pada Ali, dan pada kalimat ketiga mengacu pada Amin (Chaer, 2012:291).
            Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan, bila sebuah kata mempunyai referen (acuan) maka kata tersebut tergolong makna referensial. Namun apabila sebuah kata tidak memiliki referen (acuna) maka kata tersebut tergolong kedalam makna non referensial.

Makna Denotatif dan Makna Konotatif
            Makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi makna denotatif ini sebenarnya sama dengan makna leksikal. Umpamanya kata babi bermakna denotatif “sejenis binatang yang diternakkan untuk dimanfaatkan dagingnya”. Kata kurus bermakna denotatif “keadaan tubuh seseorang yang lebih kecil  dari ukuran normal”. Kata rombongan bermakna denotatif “sekumpulan orang yang mengelompok menjadi satu kesatuan” (Chaer, 2012:292).
            Kalau makna denotatif mengacu pada makna asli atau makna sebenarnya dari sebuah kata atau leksem, maka makna konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Umpamanya kata babi pada contoh di atas, pada orang yang beragama islam atau di dalam masyarakat islam mempunyai konotasi yang negatif, ada rasa atau perasaan yang tidak enak bila melanggar kata itu. Kata kurus juga pada contoh di atas berkonotasi netral, artinya tidak mempunyai rasa yang mengenakkan, tetapi kata ramping, yang sebenarnya bersinonim dengan kata kurus itu memiliki konotasi positif, nilai rasa yang mengenakkan, orang akan senang bila dikatakan ramping. Sebaliknya, kata kerempeng, yang juga bersinonim dengan kata kurus dan ramping itu, mempunyai konotasi yang negatif, nilai rasa yang tidak mengenakkan, orang akan merasa tidak enak kalau dikatakan tubuhnya kerempeng (Chaer, 2012:292).

Makna Konseptual dan Makna Asosiasif
            Leech 1976 (dalam Chaer, 2012: 293) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna asosiasif. Yang dimaksud denga makna konseptual adalah makna yang dimilki sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apapun. Kata kuda memiliki makna konseptual “sejenis hewan berkaki empat yang biasa dikendarai”, dan kata rumah yang memiliki makna konseptual “bangunan tempat tinggal manusia”. Jadi, makna konseptual sesungguhnya sama dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial.
            Makna asosiasif adalah makna yang mempunyai leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang “suci atu kesucian”, kata merah berasosiasi dengan “berani” atau juga “paham komunis”, dan kata buaya yang berasosiasi dengan “jahat” atau “kejahatan”. Makna asosiasif ini sebenarnya sama dengan lambang atau perlambangan yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan, atau ciri yang ada pada kons asal kata atau leksem tersebut. Jadi kata melati yang bermakna konseptual “sejenis bunga kecil-kecil berwarna putih dan harum” digunakan untuk menyatakan perlambangan “kesucian”, kata merah yang bermakna konseptual “sejenis warna terang menyolok” digunakan untuk melambangkan “paham atau golongan komunis”, dan kata buaya yang bermakna konseptual “sejenis binatang reptil buasyang memakan bianatang apa saja termasuk bangkai” digunakan untuk melambangkan “kejahatan atau penjahat” (Chaer, 2012:293).
           
Makna Kata dan Makna Istilah
            Setiap kata atau leksem mepunyai makna. Pada walnya makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotatif, atau makna konseptual. Namun, penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Kita belum tahu makna kata jauh sebelum kata itu berada di dalam konteksnya. Oleh karena itu dapat dikatan bahwa makna kata masih bersifat umum, kasar, dan tidak jelas. Kata tangan dan lengan sebagai kata, maknanya lazim dianggap sama, seperti tampak pada contoh di bawah ini.
a.       Tangan luka kena pecahan kaca.
b.      Lengannya luka kena pecahan kaca.
Jadi kata tangan dan lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim, atau bermakna sama (Chaer, 2012:295). 
            Berbeda denga kata, maka istilah mempunyai makna yang pasti, yang jelas, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu, sering dikatan bahwa istilah itu bebas konteks, sedangkan kata tidak bebas konteks. Hannya perlu diingat bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu. Umpamnaya kata tangan dan lengan yang menjadi contoh di atas. Kedua kata itu dalam bidang kedokteran mempunyai makna yang berbeda. Tangan bermakna bermakna bagian pergelangan samapi ke jari tangan, sedangkan lengan adalah bagian darii pergelangan sampai ke pangkal bahu. Jadi kata tangan dan lengan sebagai istilah dalam ilmu kedokteran tidak bersinonim, karena makna berbeda. Demikina juga kata kuping dan telinga. Dala bahasa umum kedua kata itu meupakan kata yang bersinonim, dan oleh karena itu sering dipertukarkan. Namun sebagai istilah dalam bidang kedokteran keduanya memiliki makna tang berbeda. Kuping adalah bagian yang terletak diluar, termasuk daun telinga, sedangkan telinga adalah bagian sebelah dalam. Maka itu, yang biasanya diobati oleh dokter adalah telinga bukan kuping (Chaer, 2012:295).
           
Makna Idiom dan Peribahasa
            Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Umpamanya, secara gramatikal bentuk menjual rumah bermakna “yang menjual menerima uang dan yang membeli menerima rumahnya”, bentuk menjual sepeda bermakna “yang menjual menerima uang, dan yang membeli menerima sepeda”, tetapi dalam Bahasa Indonesia bentuk mejual gigi tidaklah memiliki makna seperti itu, melainkan bermakna “tertawa keras-keras”. Jadi makna seperti yang demiliki menjual gigi itulah yang disebut dengan makna idiomtikal. Contoh lain dari makna idiom adalah bentuk membanting tulang dengan makna “bekerja keras”, meja hijau dengan makna “pengadilan” (Chaer, 2012:296).
            Berbeda dengan idiom yang maknanya tidak dapat diramalkan secara leksikal maupun gamatikal, maka yang disebut dengan peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari unsur-unsurnya karena adanya asosiasi antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasanya. Umpamanya, peribahasa seperti anjing dengan kucing yang bermakna “dikatakan ihwal dua orang yang tidak pernah akur”. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing dan kucing jika bersama memang selalu berkelahi, tidak pernah damai. Ccontoh lain, peribahasa tong kosong nyaring bunyinya yang bermakna “orang yang banyak cakapnya biasanya tidak berilmu”. Makna ini dapat ditarik dari asosiasi, tong yang berisi bila dipukul tidak mengeluarkan bunyi, tetapi tong kosong akan mengeluarkan bunyi yang keras, yang nyaring (Chaer, 2012:296). Idiom dan peribahasa terdapat pada semua bahasa yang ada di dunia ini, terutama pada bahasa-bahasa yang penuturnya sudah memiliki kebudayaan yang tinggi. Untuk mengenal makna idiom tidak ada jalan lain selain harus melihatnya di dalam kamus, khususnya kamus peribahasa dan kamus idiom (Chaer, 2012:297). 





  REFERENSI
Asmani, Jamal Ma’ruf. 2011. Tuntunan Lengkap Metodologi Praktis Penelitian Pendidikan. Jogajakarta: DIVA Press.
Chaer, Abdul. 2008. Morfologi Bahasa Indonesia.Jakarta: Rineke Cipta.
                        . 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineke Cipta.
                        . 2012. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineke Cipta.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2014. Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik. Jakarta : Pusat Kurikulum dan Pembukuan.
Moleong, Lexi J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mulyono, Iyo. 2013. Ilmu Bahasa Indonesia Morfologi. Bandung: CV YRAMA WIDYA
Nurgiantoro, Burhan. 2010. Penilaian Pembelajaran Bahasa.Yogyakarta: BPFE  YOGYAKARTA.
Prastowo, Andi. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media
Sugiyono. 2014. Metodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif  dan R&D. Bandung: ALFABETA.

 

No comments:

Post a Comment