Jenis
Makna
Bahasa
sering digunakan untuk kegiatan di berbagai kegiatan dan keperluan kehidupan
bermasyarakat, maka makna bahasa itu pun menjadi bermacam-macam bila dilihat
dari segi atau pandangan yang berbeda. Berbagai nama jenis makna telah
kemukakan orang dalam berbagai buku linguistik
atau semantik. Kiranya jenis-jenis makna yang dibicarakan pada sub bab
berikut ini sudah cukup mewakili jenis-jenis makna yang pernah dibicarakan
orang itu (Chaer, 2012:288)
Makna Leksikal, Makna Gramatikal dan Makna Kontekstual
a. Makna
Leksikal
Leksikal
adalah bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler,
kosa kata, perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu
satuan bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosakata atau
perbendaharaan kata, maka leksem dapat kita persamakan dengan kata. Dengan
demikian, makna leksikal dapat diartikan sebagai mkana yang bersifat leksikon,
bersifat leksem, atau bersifat kata. Lalu, karena itu dapat pula dikatakan
makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referenya, makna yang sesuai
dengan hasil observasi alat indra, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam
kehidupan kita. Umpamanya makna tikus makna leksikalnya adalah sebangsa
binatang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Makna ini
tampak jelas dalam kalimat tikus itu mati diterkam kucing, atau dalam
kalimat panen kali ini gagal akibat serangan hama tikus. Kata tikus
dalam kedua kalimat jelas merujuk kepada binatang tikus, bukan ke yang lain.
Tetapi dalam kalimat yang menjadi tikus di gudang kami ternyata berkepala
hitam bukanlah makna leksikal, karena tidak merujuk kepada binatang tikus,
melainkan kepada manusia yang perbuatannya memang mirip dengan perbuatan tikus
(Chaer, 2009:60).
Contoh lain dari makna leksikal dalam
kalimat kepalanya hancur kena pecahan granat adalah dalam makna
leksikal, tetapi dalam kalimat rapornya ditahan kepala sekolah karena ia
belum membayar SPP adalah bukan makna leksikal. Kata memetik dalam kalimat ibu
memetik sekuntum mawar adalah makna leksikal, sedangkan dalam kalimat kita
dapat memetik manfaat dari cerita itu bukan makna leksikal.
Contoh-contoh
kalimat di atas dapat disimpulkn bahwa makna leksikal dari satu kata adalah
gambaran yang nyata tentang suatu konsep seperti yang dilambangkan kata itu.
Maka leksikal suatu kata sudah jelas bagi seorang bahasawan tanpa kehadiran
kata itu dalam suatu konteks kalimat. Berbeda dengan makna yang bukan leksikal,
yang baru jelas apabila berada dalam konteks kalimat atau satuan sintaksis yang
lain. Tanpa konteks kalimat dan konteks situasi jika mendengar kata bangsat
maka akan terbayang dibenak kita adalah jenis binatang penghisap darah yang
disebut juga kutu busuk atau kepinding. Jika mendengar kata memotong
makan yang terbayang dibenak kita adalah pekerjaan untuk memisahkan atau
menceraikan yang dilakukan dengan benda tajam. Tetapi kata bangsat yang
berarti penjahat, dan memotong adalah yang berarti mengurangi baru akan
terbayang dalam benak kita apabila kata-kata tersebut dipakai dalam kalimat.
Misalnya dalam kalimat dasar bangsat uangku disikatnya juga, dan kalimat
kalau mau memotong gajiku sebaiknya bulan depan saja (Chaer,
2009:60).
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa makna leksikal adalah makna yang
bersifat tetap dan tidak terikat dengan kata lain (berdiri sendiri). Makna ini
sering disebut dengan makna yang sesuai dengan kamus.
b. Makna
Gramatikal
Makna
gramatikal adalah makna yang muncul ketika terjadi proses gramatikal, seperti
afiksasi, reduplikasi, komposisi, atau kalimatisasi. Umpamanya dalam proses
afiksasi prefiks ber- dengan dasar baju melahirkan makna
gramatikal ‘mengenakan atau memakai baju’. Contoh lain dalam proses komposisi
pada dasar sate dengan dasar ayam melahirkan makna gramatikal
‘bahan’, dengan dasar madura melahirkan makna gramatikal ‘asal’, dengan
dasar lontong melahirkan makna gramatikal ‘bercampur’, dn dengan kata Pak
Kumis (nama pedagang sate yang terkenal di Jakarta) melahirkan makna
gramatikal ’buatan’(Chaer, 2012: 290).
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, makna gramatikal adalah makna yang
muncul ketika ada sebuah proses gramatikal yang berupa (1) afiksasi, (2)
reduplikasi, dan (3) komposisi. Misalnya dalam proses afiksasi prefiks ber- dengan
dasar baju melahirkan makna gramatikal ‘mengenakan atau memakai baju’.
c. Makna
Kontekstual
Menurut
Chaer (2012: 290) makna kontekstual berbeda dengan makna leksikal dan
gramtikal, makna kontesktual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada
di dalam satu konteks. Perhatikan makna konteks kata kepala pada
kalimat-kalimat berikut.
a. Rambut di kepala nenek belum ada yang putih.
b. Sebagai kepala sekolah dia harus menegur
murid itu.
c. Nomornya ada pada kop pekala surat itu.
d. Beras kepala harganya lebih mahan dari beras
baiasa.
e. Kepala paku dan
kepala jarum tidak sama bentuknya .
Dari uraian dan contoh tersebut, dapat diambil
kesimpulan, bahwa makna kontekstual adalah makna sebuah kata yang baru bisa
diketahui maknanya, ketika kata tersebut sudah berada dalam suatu konteks
kalimat.
Makna Referensial dan Nonreferensial
Sebuah
kata atau leksem dikatakan bermakna referensial kalau ada referensinya, atau
acuannya. Kata-kata seperti kuda, merah, dan gambar adalah
termasuk kata-kata yang mempunyai makna referensial, karena ada acuannya dalam
dunia nyata. Sebaliknya kata-kata seperti dan, atau, dan karena adalah
termasuk kata-kata yang tidak bermakna referensial, karena kata-kata itu tidak
mempunyai referensi (Chaer, 2012:291).
Berkenaan
dengan ini ada sejumblah kata yang disebut kata-kata diektik, yang acuannya
tidak menetap pada satu maujud, melainkan dapat berpindah dari maujud yang satu
ke maujud yang lain. Yang termasuk kata-kata deiktik ini adalah kata-kata yang
termasuk pronomina, seperti dia, saya, dan kamu, kata-kata yang
menyatakan ruang, seperti di sini, di sana, dan di situ, kata-kata
yang menyatakan waktu, seperti sekarang, besok, dan nanti, kata-kata
yang disebut kata penunjuk, seperti, ini dan itu. Perhatikan ketiga kata
saya pada kalimat-kalimat berikut yang acuannya tidak sama !
a)
“tadi
pagi saya bertemu dengan Pak Ahmad” kata Ani kepada Ali
b)
“o, ya?”
sahut Ali, “saya juga bertemu beliau tadi pagi.”
c)
“di mana
kalian bertemu beliau?” tanya Amin, “saya sudah lama tidak berjumpa
dengan beliau”.
Jelas, pada kalimat pertama kata saya mengacu
pada Ani, pada kalimat kedua mengacu pada Ali, dan pada kalimat ketiga mengacu
pada Amin (Chaer, 2012:291).
Berdasarkan
penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan, bila sebuah kata mempunyai referen
(acuan) maka kata tersebut tergolong makna referensial. Namun apabila sebuah
kata tidak memiliki referen (acuna) maka kata tersebut tergolong kedalam makna
non referensial.
Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli,
makna asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi makna
denotatif ini sebenarnya sama dengan makna leksikal. Umpamanya kata babi
bermakna denotatif “sejenis binatang yang diternakkan untuk dimanfaatkan
dagingnya”. Kata kurus bermakna denotatif “keadaan tubuh seseorang yang
lebih kecil dari ukuran normal”. Kata rombongan
bermakna denotatif “sekumpulan orang yang mengelompok menjadi satu
kesatuan” (Chaer, 2012:292).
Kalau
makna denotatif mengacu pada makna asli atau makna sebenarnya dari sebuah kata
atau leksem, maka makna konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna
denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok
orang yang menggunakan kata tersebut. Umpamanya kata babi pada contoh di
atas, pada orang yang beragama islam atau di dalam masyarakat islam mempunyai
konotasi yang negatif, ada rasa atau perasaan yang tidak enak bila melanggar
kata itu. Kata kurus juga pada contoh di atas berkonotasi netral,
artinya tidak mempunyai rasa yang mengenakkan, tetapi kata ramping, yang
sebenarnya bersinonim dengan kata kurus itu memiliki konotasi positif,
nilai rasa yang mengenakkan, orang akan senang bila dikatakan ramping.
Sebaliknya, kata kerempeng, yang juga bersinonim dengan kata kurus dan
ramping itu, mempunyai konotasi yang negatif, nilai rasa yang tidak
mengenakkan, orang akan merasa tidak enak kalau dikatakan tubuhnya kerempeng
(Chaer, 2012:292).
Makna Konseptual dan Makna Asosiasif
Leech
1976 (dalam Chaer, 2012: 293) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna
asosiasif. Yang dimaksud denga makna konseptual adalah makna yang dimilki
sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apapun. Kata kuda memiliki
makna konseptual “sejenis hewan berkaki empat yang biasa dikendarai”, dan kata rumah
yang memiliki makna konseptual “bangunan tempat tinggal manusia”. Jadi,
makna konseptual sesungguhnya sama dengan makna leksikal, makna denotatif, dan
makna referensial.
Makna
asosiasif adalah makna yang mempunyai leksem atau kata berkenaan dengan adanya
hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Misalnya, kata melati
berasosiasi dengan sesuatu yang “suci atu kesucian”, kata merah berasosiasi
dengan “berani” atau juga “paham komunis”, dan kata buaya yang
berasosiasi dengan “jahat” atau “kejahatan”. Makna asosiasif ini sebenarnya
sama dengan lambang atau perlambangan yang digunakan oleh suatu masyarakat
bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai kemiripan dengan sifat,
keadaan, atau ciri yang ada pada kons asal kata atau leksem tersebut. Jadi kata
melati yang bermakna konseptual “sejenis bunga kecil-kecil berwarna
putih dan harum” digunakan untuk menyatakan perlambangan “kesucian”, kata merah
yang bermakna konseptual “sejenis warna terang menyolok” digunakan untuk
melambangkan “paham atau golongan komunis”, dan kata buaya yang bermakna
konseptual “sejenis binatang reptil buasyang memakan bianatang apa saja
termasuk bangkai” digunakan untuk melambangkan “kejahatan atau penjahat”
(Chaer, 2012:293).
Makna Kata dan Makna Istilah
Setiap
kata atau leksem mepunyai makna. Pada walnya makna yang dimiliki sebuah kata
adalah makna leksikal, makna denotatif, atau makna konseptual. Namun,
penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di
dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Kita belum tahu makna kata jauh
sebelum kata itu berada di dalam konteksnya. Oleh karena itu dapat dikatan
bahwa makna kata masih bersifat umum, kasar, dan tidak jelas. Kata tangan dan
lengan sebagai kata, maknanya lazim dianggap sama, seperti tampak pada
contoh di bawah ini.
a. Tangan luka kena pecahan kaca.
b. Lengannya luka kena pecahan kaca.
Jadi kata tangan dan lengan pada
kedua kalimat di atas adalah bersinonim, atau bermakna sama (Chaer, 2012:295).
Berbeda
denga kata, maka istilah mempunyai makna yang pasti, yang jelas, yang
tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu, sering
dikatan bahwa istilah itu bebas konteks, sedangkan kata tidak bebas konteks.
Hannya perlu diingat bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan
atau kegiatan tertentu. Umpamnaya kata tangan dan lengan yang
menjadi contoh di atas. Kedua kata itu dalam bidang kedokteran mempunyai makna
yang berbeda. Tangan bermakna bermakna bagian pergelangan samapi ke jari
tangan, sedangkan lengan adalah bagian darii pergelangan sampai ke
pangkal bahu. Jadi kata tangan dan lengan sebagai istilah dalam
ilmu kedokteran tidak bersinonim, karena makna berbeda. Demikina juga kata kuping
dan telinga. Dala bahasa umum kedua kata itu meupakan kata yang
bersinonim, dan oleh karena itu sering dipertukarkan. Namun sebagai istilah
dalam bidang kedokteran keduanya memiliki makna tang berbeda. Kuping adalah
bagian yang terletak diluar, termasuk daun telinga, sedangkan telinga adalah
bagian sebelah dalam. Maka itu, yang biasanya diobati oleh dokter adalah telinga
bukan kuping (Chaer, 2012:295).
Makna Idiom dan Peribahasa
Idiom
adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya,
baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Umpamanya, secara gramatikal
bentuk menjual rumah bermakna “yang menjual menerima uang dan yang
membeli menerima rumahnya”, bentuk menjual sepeda bermakna “yang menjual
menerima uang, dan yang membeli menerima sepeda”, tetapi dalam Bahasa Indonesia
bentuk mejual gigi tidaklah memiliki makna seperti itu, melainkan
bermakna “tertawa keras-keras”. Jadi makna seperti yang demiliki menjual
gigi itulah yang disebut dengan makna idiomtikal. Contoh lain dari makna
idiom adalah bentuk membanting tulang dengan makna “bekerja keras”, meja
hijau dengan makna “pengadilan” (Chaer, 2012:296).
Berbeda
dengan idiom yang maknanya tidak dapat diramalkan secara leksikal maupun
gamatikal, maka yang disebut dengan peribahasa memiliki makna yang masih dapat
ditelusuri atau dilacak dari unsur-unsurnya karena adanya asosiasi antara makna
asli dengan maknanya sebagai peribahasanya. Umpamanya, peribahasa seperti
anjing dengan kucing yang bermakna “dikatakan ihwal dua orang yang tidak
pernah akur”. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing
dan kucing jika bersama memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.
Ccontoh lain, peribahasa tong kosong nyaring bunyinya yang bermakna
“orang yang banyak cakapnya biasanya tidak berilmu”. Makna ini dapat ditarik
dari asosiasi, tong yang berisi bila dipukul tidak mengeluarkan bunyi, tetapi
tong kosong akan mengeluarkan bunyi yang keras, yang nyaring (Chaer, 2012:296). Idiom dan peribahasa
terdapat pada semua bahasa yang ada di dunia ini, terutama pada bahasa-bahasa
yang penuturnya sudah memiliki kebudayaan yang tinggi. Untuk mengenal makna
idiom tidak ada jalan lain selain harus melihatnya di dalam kamus, khususnya
kamus peribahasa dan kamus idiom (Chaer, 2012:297).
REFERENSI
Asmani, Jamal Ma’ruf. 2011. Tuntunan Lengkap Metodologi Praktis
Penelitian Pendidikan. Jogajakarta: DIVA Press.
Chaer, Abdul. 2008. Morfologi Bahasa Indonesia.Jakarta:
Rineke Cipta.
. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia.
Jakarta: Rineke Cipta.
. 2012. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineke
Cipta.
Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2014. Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik. Jakarta : Pusat
Kurikulum dan Pembukuan.
Moleong, Lexi J. 2014. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mulyono, Iyo. 2013. Ilmu Bahasa Indonesia Morfologi.
Bandung: CV YRAMA WIDYA
Nurgiantoro, Burhan. 2010. Penilaian Pembelajaran Bahasa.Yogyakarta:
BPFE YOGYAKARTA.
Prastowo, Andi. 2011. Metode
Penelitian Kualitatif. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media
Sugiyono. 2014. Metodologi Penelitian
Kuantitatif Kualitatif dan R&D.
Bandung: ALFABETA.
No comments:
Post a Comment