PEMBELAJARAN
Pembelajaran adalah setiap
perubahan perilaku yang relatif permanen, terjadi sebagai hasil dari
pengalaman.[1] Definisi sebelumnya menyatakan bahwa seorang manusia dapat
melihat perubahan terjadi tetapi tidak pembelajaran itu sendiri.[1] Konsep
tersebut adalah teoretis, dan dengan demikian tidak secara langsung dapat
diamati:
“Anda telah melihat individu
mengalami pembelajaran, melihat individu berperilaku dalam cara tertentu
sebagai hasil dari pembelajaran, dan beberapa dari Anda (bahkan saya rasa
mayoritas dari Anda) telah "belajar" dalam suatu tahap dalam hidup
Anda. Dengan perkataan lain, kita dapat menyimpulkan bahwa pembelajaran telah
terjadi ketika seorang individu berperilaku, bereaksi, dan merespons sebagai
hasil dari pengalaman dengan satu cara yang berbeda dari caranya berperilaku
sebelumnya[2].
Pembelajaran dalam
dunia pendidikan
Pembelajaran adalah proses
interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar
dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan
tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata
lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat
belajar dengan baik.
Disisi lain pembelajaran
mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, tetapi sebenarnya mempunyai
konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar agar peserta
didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu
objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat memengaruhi perubahan
sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seorang peserta
didik, namun proses pengajaran ini memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu
pihak, yaitu pekerjaan pengajar saja. Sedangkan pembelajaran menyiratkan adanya
interaksi antara pengajar dengan peserta didik.
Pembelajaran yang berkualitas
sangat tergantung dari motivasi pelajar dan kreativitas pengajar. Pembelajar
yang memiliki motivasi tinggi ditunjang dengan pengajar yang mampu
memfasilitasi motivasi tersebut akan membawa pada keberhasilan pencapaian
target belajar. Target belajar dapat diukur melalui perubahan sikap dan
kemampuan siswa melalui proses belajar. Desain pembelajaran yang baik,
ditunjang fasilitas yang memandai, ditambah dengan kreativitas guru akan
membuat peserta didik lebih mudah mencapai target belajar.1
Teori pembelajaran
Tiga teori telah ditawarkan untuk
menjelaskan proses di mana seseorang memperoleh pola perilaku, yaitu teori pengondisian
klasik, pengondisian operant, dan pembelajaran sosial.
Prinsip-prinsip
pembelajaran
Berikut ini adalah prinsip umum
pembelajaran yang penulis rangkum dari beberapa pakar pembelajaran yang
meliputi: 1. Perhatian dan Motivasi Perhatian mempunyai peranan yang penting
dalam kegiatan belajar. Dari kajian teori belajar pengolahan informasi
terungkap bahwa tanpa adanya perhatian tidak mungkin terjadi belajar. Perhatian
terhadap pelajaran akan timbul pada siswa apabila bahan pelajaran sesuai dengan
kebutuhannya. Apabila bahan pelajaran itu dirasakan sebagai sesuatu yang
dibbutuhkan, diperlukan untuk belajar lebih lanjut atau diperlukan dalam
kehidupan sehari-hari, akan membangkitkan perhatian dan juga motivasi untuk
mempelajarinya. Apabila dalam diri siswa tidak ada perhatian terhadap pelajaran
yang dipelajari, maka siswa tersebut perlu dibangkitkan perhatiannya. Dalam
proses pembelajaran, perhatian merupakan faktor yang besar pengaruhnya, kalau
peserta didik mempunyai perhatian yang besar mengenai apa yang dipelajari
peserta didik dapat menerima dan memilih stimuli yang relevan untuk diproses
lebih lanjut di antara sekian banyak stimuli yang datang dari luar. Perhatian
dapat membuat peserta didik untuk mengarahkan diri pada tugas yang akan
diberikan; melihat masalah-masalah yang akan diberikan; memilih dan memberikan
focus pada masalah yang harus diselesaikan. Disamping perhatian, motivasi
mempunyai peranan penting dalam kegiatan belajar. Motivasi adalah tenaga yang
menggerakkan dan mengarahkan aktivitas seseorang. Motivasi mempuanyi kaitan
yang erat dengan minat. Siswa yang memiliki minat terhadap sesuatu bidang studi
tertentu cenderung tertarik perhatiannya dan dengan dmikian timbul motivasi
untuk mempelajarinya. Misalnya, siswa yang menyukai pelajaran matematika akan
merasa senang belajar matematika dan terdorong untuk belajar lebih giat,
karenanya adalah kewajiban bagi guru untuk bisa menanamkan sikap postif pada
diri siswa terhadap mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Motivasi
dapat diartikan sebagai tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya
tingkah laku kearah suatu tujuan tertentu. Adanya tidaknya motivasi dalam diri
peserta didik dapat diamati dari observasi tingkah lakunya. Apabila peserta
didik mempunyai motivasi, ia akan 1). bersungguh-sungguh menunjukkan minat,
mempunyai perhatian, dan rasa ingin tahu yang kuat untuk ikut serta dalam
kegiatan belajar; 2). berusaha keras dan memberikan waktu yang cukup untuk
melakukan kegiatan tersebut; 3). Terus bekerja sampai tugas-tugas tersebut
terselesaikan. Motivasi dapat bersifat internal, yaitu motivasi yang berasal
dari dalam diri peserta didik dan juga eksternal baik dari guru, orang tua,
teman dan sebagainya. Berkenaan dengan prinsip motivasi ini ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran, yaitu:
memberikan dorongan, memberikan insentif dan juga motivasi berprestasi. 2.
Keaktifan Menurut pandangan psikologi anak adalah makhluk yang aktif. Anak
mempuanyai dorongan untuk berbuat sesuatu, mempunyai kemauan dan aspirasinya
sendiri. Belajar tidak bisa dipaksakan oleh orang lain dan juga tidak bisa
dilimpahkan pada orang lain. Belajar hanya mungkin terjadi apabila anak
mengalami sendiri. John Dewey mengemukakan bahwa belajar adalah menyangkut apa
yang harus dikerjakan siswa untuk dirinya sendiri, maka inisiatif harus datang
dari dirinya sendiri, guru hanya sebagai pembimbing dan pengarah. Menurut teori
kognitif, belajar menunjukkan adanya jiwa yag aktif, jiwa mengolah informasi
yang kita terima, tidak sekedar menyimpan saja tanpa mengadakan tansformasi.
Menurut teori ini anak memiliki sifat aktif, konstruktif, dan mampu
merencanakan sesuatu. Anak mampu mncari, menemukan dan menggunakan pengetahuan
yang telah diperolehnya. Thordike mengemukakan keaktifan siswa dalam belajar
dengan hukum "law of exercise"-nya yang menyatakan bahwa belajar
memerlukan adanya latihan-latihan. Hubungan stimulus dan respon akan bertambah
erat jika sering dipakai dan akan berkurang bahkan lenyap jika tidak pernah digunakan.
Artinya dalam kegiatan belajar diperlukan adannya latihan-latihan dan
pembiasaan agar apa yang dipelajari dapat diingat lebih lama. Semakin sering
berlatih maka akan semakin paham. Hal ini juga sebagaimana yang dikemukakan
oleh Mc. Keachie bahwa individu merupakan "manusia belajar yang aktif
selalu ingin tahu". Dalam proses belajar, siswa harus menampakkan
keaktifan. Keaktifan itu dapat berupa kegiatan fisik yang mudah diamati maupun
kegiatan psikis yang sulit diamati. Kegiatan fisik bisa berupa membaca, mendengar,
menulis, berlatih keterampilan-keterampilan dan sebaginya. Kegiatan psikis
misalnya menggunakan khasanah pengetahuan yang dimiliki dalam memecahkan
masalah yang dihadapi, membandingkan suatu konsep dengan yang lain,
menyimpulkan hasil percobaan dan lain sebagainya. 3. Keterlibatan
Langsung/Pengalaman Belajar haruslah dilakukan sendiri oleh siswa, belajar
adalah mengalami dan tidak bisa dilimpahkan pada orang lain. Edgar Dale dalam
penggolongan pengalaman belajar mengemukakan bahwa belajar yang paling baik
adalah belajar melalui pengalaman langsung. Dalam belajar melalui pengalaman
langsung siswa tidak sekedar mengamati, tetapi ia harus menghayati, terlibat
langsung dalam perbuatan dan bertanggung jawab terhadap hasilnya. Sebagai
contoh seseorang yag belajar membuat tempe yang paling baik apabila ia terlibat
secara langsung dalam pembuatan, bukan sekedar melihat bagaimana orang membuat
tempe, apalagi hanya sekedar mendengar cerita bagaimana cara pembuatan tempe.
Pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang menyediakan kesempatan
belajar sendiri atau melakukan aktivitas sendiri. Dalam konteks ini, siswa
belajar sambil bekerja, karena dengan bekerja mereka memperoleh pengetahuan,
pemahaman, pengalaman serta dapat mengembangkan keterampilan yang bermakna
untuk hidup di masyarakat. Hal ini juga sebagaimana yang di ungkapkan Jean
Jacques Rousseau bahwa anak memeliki potensi-potensi yang masih terpendam,
melalui belajar anak harus diberi kesempatan mengembangkan atau mengaktualkan
potensi-potensi tersebut. Sesungguhnya anak mempunyai kekuatan sendiri untuk
mencari, mencoba, menemukan dan mngembangkan dirinya sendiri. Dengan demikia,
segala pengetahuan itu harus diperoleh dengan pengamatan sendiri, pengalaman
sendiri, penyelidikan sendiri, bekerja sendiri, dengan fasilitas yang
diciptakan sendiri. Pembelajaran itu akan lebih bermakna jika siswa
"mengalami sendiri apa yang dipelajarinya" bukan
"mengetahui" dari informasi yang disampaikan guru, sebagaimana yang
dikemukakan Nurhadi bahwa siswa akan belajar dngan baik apabila yang mereka
pelajari berhubungan dengan apa yang telah mereka ketahui, serta proses belajar
akan produktif jika siswa terlibat aktif dalam proses belajar di sekolah. Dari
berbagai pandangan para ahli tersebut menunjukkan berapa urgennya keterlibatan
siswa secara langsung dalam proses pembelajaran. Pentingnya keterlibatan
langsung dalam belajar dikemukakan oleh John Dewey dengan "learning by
doing"-nya. Belajar sebaiknya dialami melalui perbutan langsung dan harus
dilakukan oleh siswa secara aktif. Prinsip ini didasarkan pada asumsi bahwa
para siswa dapat memperoleh lebih banyak pengalaman dengan cara keterlibatan
secara aktif dan proporsional, dibandingkan dengan bila mereka hanya melihat
materi/konsep. Modus Pengalaman belajar adalah sebagai berikut: kita belajar
10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang
kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan dengar, 70% dari apa yang kita
katakana, dan 90% dari apa yang kita katakana dan lakukan. Hal ini menunjukkan
bahwa jika guru mengajar dengan banyak ceramah, maka peserta didik akan
mengingat hanya 20% karena mereka hanya mendengarkan. Sebaliknya, jika guru
meminta peserta didik untuk melakukan sesuatu dan melaporkannya, maka mereka
akan mengingat sebanyak 90%. Hal ini ada kaiatannya dengan pendapat yang
dikemukakan oleh seorang filsof China Confocius, bahwa: apa yang saya dengar,
saya lupa; apa yang saya lihat, saya ingat; dan apa yang saya lakukan saya
paham. Dari kata-kata bijak ini kita dapat mengatahui betapa pentingnya
keterlibatan langsung dalam pembelajaran. 4. Pengulangan Prinsip belajar yang
menekankan perlunya pengulangan adalah teori psikologi daya. Menurut teori ini
belajar adalah melatih daya-daya yang ada pada manusia yang terdiri atas daya
mengamati, menanggap, mengingat, mengkhayal, merasakan, berfikir dan
sebagainya. Dengan mengadakan pengulangan maka daya-daya tersebut akan
berkembang, seperti halnya pisau yang selalu diasah akan menjadi tajam, maka
daya yang dilatih dengan pengadaan pengulangan-pengulangan akan sempurna. Dalam
proses belajar, semakin sering materi pelajaran diulangi maka semakin ingat dan
melekat pelajaran itu dalam diri seseorang. Mengulang besar pengaruhnya dalam
belajar, karena dengan adanya pengulangan "bahan yang belum begitu dikuasai
serta mudah terlupakan" akan tetap tertanam dalam otak seseorang.
Mengulang dapat secara langsung sesudah membaca, tetapi juga bahkan lebih
penting adalah mempelajari kembali bahan pelajaran yang sudah dipelajari
misalnya dengan membuat ringkasan. Teori lain yang menekankan prinsip
pengulangan adalah teori koneksionisme-nya Thordike. Dalam teori koneksionisme,
ia mengemukakan bahwa belajar ialah pembentukan hubungan antara stimulus dan
respon, dan pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman itu memperbesar peluang
timbulnya respon benar. 5. Tantangan Teori medan (Field Theory) dari Kurt Lewin
mengemukakan bahwa siswa dalam belajar berada dalam suatu medan. Dalam situasi
belajar siswa menghadapi suatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi selalu
terdapat hambatan dalam mempelajari bahan belajar, maka timbullah motif untuk
mengatasi hambatan itu dengan mempelajari bahan belajar tersebut. Apabila
hambatan itu telah diatasi, artinya tujuan belajar telah tercapai, maka ia akan
dalam medan baru dan tujuan baru, demikian seterusnya. Menurut teori ini
belajar adalah berusaha mengatasi hambatan-hamnatan untuk mencapai tujuan. Agar
pada diri anak timbul motif yang kuat untuk mengatasi hambatan dengan baik,
maka bahan pelajaran harus menantang. Tantangan yang dihadapi dalam bahan
belajar membuat siswa bersemangat untuk mengatasinya. Bahan pelajaran yang baru
yang banyak mengandung masalah yang perlu dipecahkan membuat siswa tertantang
untuk mempelajarinya. Penggunaan metode eksperimen, inquiri, discovery juga
memberikan tantangan bagi siswa untuk belajar secara lebih giat dan
sungguh-sungguh. Penguatan positif dan negatif juga akan menantang siswa dan
menimbulkan motif untuk memperoleh ganjaran atau terhindar dari hukuman yang
tidak menyenangkan. 6. Balikan dan Penguatan Prinsip belajar yang berkaiatan
dengan balikan dan penguatan adalah teori belajar operant conditioning dari
B.F. Skinner.Kunci dari teori ini adalah law of effect-nya Thordike, hubungan
stimulus dan respon akan bertambah erat, jika diserta perasaan senang atau puas
dan sebaliknya bisa lenyap jika disertai perasaan tidak senang. Artinya jika
suatu perbuatan itu menimbulkan efek baik, maka perbuatan itu cenderung
diulangi. Sebaliknya jika perbuatan itu menimbulkan efek negatif, maka
cenderung untuk ditinggalkan atau tidak diulangi lagi. Siswa akan belajar lebih
semangat apabila mengetahui dan mendapat hasil yang baik. Apabila hasilnya baik
akan menjadi balikan yang menyenangkan dan berpengaruh baik bagi usaha belajar
selanjutnya. Namun dorongan belajar itu tidak saja dari penguatan yang
menyenangkan tetapi juga yang tidak menyenagkan, atau dengan kata lain adanya
penguatan positif maupun negatif dapat memperkuat belajar. Siswa yang belajar
sungguh-sungguh akan mendapat nilai yang baik dalam ulangan. Nilai yang baik
itu mendorong anak untuk belajar lebih giat lagi. Nilai yang baik dapat
merupakan operan conditioning atau penguatan positif. Sebaliknya, anak yang
mendapat nilai yag jelek pada waktu ulangan akan merasa takut tidak naik kelas,
karena takut tidak naik kelas ia terdorong untuk belajar yang lebih giat.
Disini nilai jelek dan takut tidak naik kelas juga bisa mendorong anak untuk
belajar lebih giat, inilah yang disebut penguatan negatif. 7. Perbedaan
Individual Siswa merupakan makhluk individu yang unik yang mana masing-masing
mempunyai perbedaan yang khas, seperti perbedaab intelegensi, minat bakat,
hobi, tingkah laku maupun sikap, mereka berbeda pula dalam hal latar belakang
kebudayaan, sosial, ekonomi dan keadaan orang tuanya. Guru harus memahami perbedaan
siswa secara individu, agar dapat melayani pendidikan yang sesuai dengan
perbedaannya itu. Siswa akan berkembang sesuai dengan kemampuannya
masing-masing. Setiap siswa juga memilki tempo perkembangan sendiri-sendiri,
maka guru dapat memberi pelajaran sesuai dengan temponya masing-masing.
Perbedaan individual ini berpengaruh pada cara dan hasil belajar siswa.
Karenanya, perbedaan individu perlu diperhatikan oleh guru dalam upaya
pembelajaran. Sistem pendidikan kalsikal yang dilakuakan di sekolah kita kurang
memperhatikan masalah perbedaan individual, umumnya pelaksanaan pembelajaran di
kelas dengan melihat siswa sebagai individu dengan kemampuan rata-rata,
kebiasaan yang kurang lebih sama, demikian pula dengan pengetahuannya.
Pengkondisian
klasik
Pengondisian
klasik adalah jenis pengondisian di mana individu merespons beberapa stimulus
yang tidak biasa dan menghasilkan respons baru.[1] Teori ini tumbuh berdasarkan
eksperimen untuk mengajari anjing mengeluarkan air liur sebagai respons
terhadap bel yang berdering, dilakukan pada awal tahun 1900-an oleh seorang
ahli fisolog Rusia bernama ivan pavlof
Pengondisian
operant
Pengondisian
operant adalah jenis pengondisian di mana perilaku sukarela yang diharapkan
menghasilkan penghargaan atau mencegah sebuah hukuman.[1] Kecenderungan untuk
mengulang perilaku seperti ini dipengaruhi oleh ada atau tidaknya penegasan
dari konsekuensi-konsekuensi yang dihasilkan oleh perilaku.[1] Dengan demikian,
penegasan akan memperkuat sebuah perilaku dan meningkatkan kemungkinan perilaku
tersebut diulangi.[1]
Apa
yang dilakukan Pavlov untuk pengondisian klasik, oleh psikolog Harvard, B. F.
Skinner, dilakukan pengondisian operant[4]. Skinner mengemukakan bahwa
menciptakan konsekuensi yang menyenangkan untuk mengikuti bentuk perilaku
tertentu akan meningkatkan frekuensi perilaku tersebut[4].
Pembelajaran
sosial
Pembelajaran
sosial adalah pandangan bahwa orang-orang dapat belajar melalui pengamatan dan
pengalaman langsung.[5] Meskipun teori pembelajaran sosial adalah perluasan
dari pengondisian operant, teori ini berasumsi bahwa perilaku adalah sebuah
fungsi dari konsekuensi. Teori ini juga mengakui keberadaan pembelajaran
melalui pengamatan dan pentingnya persepsi dalam pembelajaran.[5]
Metode
pembentukan perilaku
Ketika
seseorang mencoba untuk membentuk individu dengan membimbingnya selama
pembelajaran yang dilakukan secara bertahap, orang tersebut sedang melakukan
pembentukan perilaku.[1] Pembentukan perilaku adalah secara sistematis
menegaskan setiap urutan langkah yang menggerakkan seorang individu lebih dekat
terhadap respons yang diharapkan.[1] Terdapat empat cara pembentukan perilaku:
melalui penegasan positif, penegasan negatif, hukuman, dan peniadaan.[1]
No comments:
Post a Comment