Struktur Fisik Puisi
Unsur
bentuk atau struktur fisik puisi yaitu unsur estetik yang membangun struktur
luar dari puisi. Unsur-unsur itu dapat ditelaah satu per satu, tetapi
unsur-unsur tersebut merupakan satu
kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan atau ditinggalkan karena
saling melengkapi satu sama lain. Unsur-unsur itu ialah: diksi,
pengimajinasian, kata kongkret, bahasa figuratif (majas), rima dan tata wajah
(tipografi). Menurut Waluyo dalam buku Kosasih (2012: 97), struktur fisik puisi
meliputi hal-hal sebagai berikut.
a. Diksi
(Pilihan Kata)
Diksi
(atau diction) berarti pilihan kata.
Kata-kata yang digunakan dalam puisi merupakan hasil pemilihan yang sangat
cermat. Kata-katanya merupakan hasil pertimbangan baik itu makna, susunan
bunyinya, maupun hubungan kata itu dengan kata-kata lain dalam baris dan
baitnya.
Kata-kata
memiliki kedudukan yang sangat penting dalam puisi. Kata-kata dalam puisi
bersifat konotatif dan ada pula kata-kata yang berlambang. Makna dari kata-kata
itu mungkin lebih dari satu. Kata-kata yang dipilih hendaknya bersifat puitis,
yaitu mempunyai efek keindahan. Bunyinya harus indah dan memiliki keharmonisan
dengan kata-kata lainnya.
1) Kata
Konotasi
Kata
konotasi adalah kata yang bermakna tidak
sebenarnya. Kata itu telah mengalami penambahan-penambahan, baik itu
berdasarkan pengalaman, kesan, imajinasi, dan sebagainya. Contoh:
Hujan Bulan Juni
Sapardi Djoko
Damono
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Kata-kata
yang bermakna konotasi dalam puisi tersebut adalah sebagai berikut.
Kata
|
Dasar
|
Tambahan
|
1. Hujan
|
Air yang turun dari
langit
|
Perbuatan baik
|
2. Rintik
|
Titik percik air
|
Sesuatu yang kecil,
namun banyak
|
3. Pohon berbunga
|
Pohon yang memiliki
bunga
|
Kehidupan yang baik,
yang menjanjikan
|
4. Jejak-jejak kaki
|
Tapak
|
Pengalaman hidup
|
5. Jalan
|
Tempat untuk melintas
|
Alur kehidupan
|
6. Diserap
|
Masuk ke dalam lubang kecil
|
Dimanfaatkan
|
7. Akar
|
Bagian terbawah dari
pohon
|
Awal kehidupan
|
Gadis
Peminta-Minta
Toto Sudarto
Bachtiar
Setiap kita
bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyumanmu
terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku,
pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi
hilang, tanpa jiwa
Ingin aku ikut,
gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah
jembatan yang melulur sosok
Hidup dari
kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari
kemayaan riang
Duniamu yang
lebih tinggi dari menara katedral
Melinta-lintas
di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu
murni, terlalu murni
Untuk bisa
membagi dukaku
Kalau kau mati,
gadis kecil berkaleng kecil
Buah di atas
itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, ah
kotaku
Hidupnya tak lagi
punya tanda
Kata-kata
dalam puisi banyak menggunakan makna konotatif. Kata-kata itu merupakan kiasan
atau merupakan suatu perbandingan. Puisi
Gadis Peminta-Minta di atas, kata-kata gadis
kecil berkaleng kecil dapat dimaknai seorang perempuan yang masih anak-anak
yang sangat sengsara. Kotaku jadi hilang,
tanpa jiwa bermakna keadaan di suatu tempat yang sudah kehilangan rasa
kemanusiaannya, warganya tidak lagi peduli pada kehidupan orang lain.
Dari
penerjemahan makna lain dibalik keseluruhan kata-katanya, kita akan sampai pada
maksud sebenarnya dari puisi tersebut. Hanya saja pemaknaan itu bisa saja
berbeda-beda diantara orang yang satu dengan orang lainnya. Banyak faktor yang
menjadi penyebabnya.
a. Tingkat
pemahaman terhadap setiap kata yang ada dalam puisi itu. Semakin banyak kata
yang mudah dipahami, mudah juga dalam memaknainya.
b. Intensitas
pergaulan seseorang dengan puisi. Seseorang yang sering membaca atau bahkan
menulis puisi, mudah pula bagi orang itu dalam mengenali watak puisi termasuk
isi yang dikandungnya.
c. Pengalaman
pribadi. Seseorang yang pernah merasakan ganasnya kehiduoan kota, maka akan
lebih mudah baginya dalam memaknai puisi di atas daripada orang yang sama
sekali belum pernah merasakannya.
Selain
itu, faktor penguasaan terhadap teori sastra juga sangat berpengaruh dalam
memaknai suatu puisi. Misalnya, penguasaanmu tentang macam-macam pengimajian
yang mungkin terkandung dalam sebuah puisi. Dengan cara demikian, lebih
mudahlah bagi kita dalam memahami maksud si penyair di balik imajinasi
kata-katanya.
2) Kata-kata
Berlambang
Lambang
atau simbol adalah sesuatu seperti gambar, tanda,ataupun kata yang menyatakan
maksud tertentu. Misalnya, rantai dan padi kapas dalam gambar Garuda Pancasila,
tunas kelapa sebagai lambang Pramuka. Lambang-lambang itu manyatakan arti
tertentu. Rantai bermakna ‘persatuan dan kesatuan Indonesia’, padi kapas
perlambang ‘kesejahteraan dan kemakmuran’, tunas kelapa berarti ‘anggota
Pramuka yang diharapkan menjadi generasi yang berguna hidupnya bagi nusa dan
bangsa’.
Lambang-lambang
seperti itu sering digunakan penyair dalam puisinya. Hal itu seperti yang
tampak dalam puisi Hujan Bulan Juni.
Lambang-lamnbang itu, misalnya, dinyatakan dengan kata hujan dan bunga. Hujan merupakan perlambang bagi
‘kebaikan’ ataupun ‘kesuburan’. Sementara itu, bunga bermakna’keindahan’.
Perlambangan
juga dijumpai dalam puisi Aku Ingin. Kata-kata itu, misalnya api dan abu. Api adalah lambang
‘semangat’, sedangkan abu perlambang
‘sesuatu yang tidak berguna’.
b.
Pengimajinasian
Pengimajinasian
adalah kata atau susunan kata yang dapat menimbulkan khayalan atau imajinasi. Dengan imajinasi tersebut, pembaca
seolah-olah merasa, mendengar, atau melihat sesuatu yang diungkapkan penyair.
Dengan kata-kata yang digunakan penyair, pembaca seolah-olah:
1) mendengar
suara (imajinasi auditif),
2) melihat
benda-benda (imajinasi visual), atau
3) meraba
dan menyentuh benda-benda (imajinasi taktil).
Contoh:
Kehilangan
Mestika
Sepoi berhembus
angin menyejuk diri
Kelana termenung
merenung air
lincah bermain
ditimpa sinar
Hanya sebuah
bintang
kelap kemilau
tercampak di
langit
tidak berteman
Hatiku, hatiku
belum juga sejuk
dibuai bayu
girang beriak
mencontoh air
Atau laksana bintang
biarpun sunyi
tetap bersinar
berbinar-binar
petunjuk nelayan
di samudera lautan
(karya Aoh
Kartahadimadja)
Penyair
dalam puisi itu menggambarkan gerak alam seperti hembusan angin, permainan air, bintang bersinar. Dengan
penggambaran yang cukup jelas itu, pembaca seakan-akan ikut menyaksikan girang
dan kemilaunya suasanan alam itu, juga merasakan keadaan hati Kelana yang
tengah bersedih.
Contoh Puisi
yang berupa mantra:
Hai, si gampar alam
Gegap gempita
Jarum besi akan
rumahku
Jarum tembaga akan
rumahku
Ular bisa akan janggutku
Buaya akan tongkat mulutku
Harimau menderam
dipengriku
Gajah mendering bunyi
suaraku
Suaraku seperti bunyi
halilintar
Bibir terkatup, gigi
terkunci
Jikalau bergerak bumi dengan
langit
Bergeraklah hati engkau
Hendak marah atau hendak
membinasakan aku
Sebagai
salah satu bentuk puisi klasik, mantrapun menggunakan pengimajian. Hal tersebut
tampak pada kata-kata berikut.
1)
Gegap
gempita 7) Bibir
terkatup
2)
Menderam 8) Gigi terkunci
3)
Mendering 9) Bergerak bumi
4)
Bunyi
halilintar 10) Bergeraklah
hati
5)
Jarum
besi 11)
Hendak marah
6)
Jarum
tembaga
Kata-kata
yang digunakannya tampaklah bahwa mantra di atas menggunakan imajinasi auditif
dan imajinasi visual. Dengan kata-kata itu kita bisa membayangkan benda-benda
yang digambarkan itu. Contoh:
Doa
Dengan
apakah kubandingkan pertemuan kita,
kekasihku?
Dengan senja
samar sepoi, pada masa purnama
meningkat naik,
setelah menghalaukan panas
payah terik.
Angin
malam menghembus lemah, menyejuk badan,
melambung rasa
menayang pikir, membawa angan ke
bawah kursimu.
Hatiku
terang menerima katamu, bagai bintang
memasang
lilinnya.
Kalbuku
terluka menunggu kasihmu, bagai sedap
malam menyirak
kelopak.
Aduh,
kekasihku, isi hatiku dengan katamu,
penuhi dadaku
dengan cayamu, biar bersinar
mataku sendu,
biar berbinar gelakku rayu!
(Amir Hamzah)
Dalam puisi di
atas kita mendapati kata-kata berikut.
1) Senja samar, masa purnama meningkat naik, ke bawah
kursimu, terang, bagai bintang memasang lilinnya, kalbuku terbuka, bagai sedap
malam menyirak kelopak, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar, kata-kata
tersebut membangkitkan imajinasi melalui penglihatan.
2) Sepoi, panas payah
terik, menghembus lemah, menyejuk badan,;
kata-kata tersebut membangkitkan imajinasi melalui perabaan.
3) Gelakku rayu;
membangkitkan imajinasi melalui pendengaran.
Dengan
kata-kata itu penyair bermaksud menggambarkan keadaan dirinya ketika sedang
berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Ia menggambarkan dirinya lemah namun berada
dalam suasana tentram. Melalui kata-kata itu penyair menunjukkan keinginan agar
Tuhan mengisi seluruh kalbunya. Tentang besarnya cinta, kerinduan, dan
kepasrahan sang penyair akan Tuhannya, juga dapat terbayangkan secara nyata
melalui kata-kata itu.
c.
Kata Konkret
Kata konkret adalah kata-kata yang digunakan oleh
penyair untuk menggambarkan suatu lukisan keadaan atau suasana batin dengan
maksud untuk membangkitkan imajinasi pembaca,
kata-kata harus diperkonkret atau diperjelas. Jika penyair mahir memperkonkret
kata-kata, maka pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasa yang
dilukiskan penyair. Pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa atau
keadaan yang dilukiskan penyair. Perhatikan, puisi yang berjudul Gadis
Peminta-minta.
Gadis
Peminta-minta
Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyumanmu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa
Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang
Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melinta-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu
kau hafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku
Untuk
melukiskan gadis itu benar-benar seorang pengemis gembel, penyair menggunakan
kata-kata gadis kecil berkaleng kecil.
Lukisan itu lebih konkret daripada dengan begitu saja menggunakan gadis peminta-minta atau gadis miskin. Untuk melukiskan tempat
tidur pengap di bawah jembatan yang hanya dapat untuk menelentangkan tubuh,
penyair menulis pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok. Untuk
memperkonkret dunia pengemis yang penuh kemayaan, penyair menulis: Hidup dari kehidupan angan-angan yang
gemerlapan gembira dari kemayaan riang. Untuk memperkonkret gambaran
tentang martabat gadis itu yang sama tingginya dengan martabat manusia lainnya,
penyair menulis duniamu yang lebih tinggi
dari, menara katerdal.
d.
Bahasa Figuratif (Majas)
Majas
(figurative language) ialah bahasa
yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara membandingkan
dengan benda atau kata lain. Majas mengiaskan atau mempersamakan sesuatu dengan
hal yang lain. Maksudnya, agar gambaran benda yang dibandingkan itu lebih
jelas. Misalnya, untuk menggambarkan keadaan ombak, penyair menggunakan majas
personifikasi berikut.
risik risau
ombak memecah
di pantai landai
buih berderai
Dalam cumplikan puisi tersebut,
ombak digambarkan seolah-olah manusia yang bisa berisik dan memiliki rasa risau.
Selain itu, majas menjadikan suatu puisi lebih indah. Misalnya, untaian
kata-kata di pantai landai/buih berderai.
Kata-kata itu tampak indah (puitis) dengan digunakannya persamaan bunyi /a/ dan
/i/.
Puisi
Hujan Bulan Juni di atas, terdapat
dua majas yang dominan dalam puisi tersebut, yakni majas personifikasi dan
paralelisme.
1) Majas
personifikasi adalah majas yang membandingkan benda-benda tidak bernyawa
seolah-olah memiliki sifat seperti manusia. Yang dibandingkan dalam puisi itu
adalah hujan. Hujan memiliki sikap tabah, bijak, dan arif. Sifat-sifat itu
biasanya dimiliki oleh manusia.
2) Majas
paralelisme adalah majas perulangan yang tersusun dalam baris yang berbeda.
Kata yang mengalami perulangan dalam puisi itu adalah tak ada yang lebih.
Kata-kata itu berulang pada setiap baitnya.
Alternbernd mengelompokkan bahasa figuratif ke dalam
tiga golongan besar. Golongan pertama ialah metafora dan simile, golongan kedua
ialah metonimi dan
sinekdoks, dan golongan ketiga ialah personifikasi. Sementara itu Rachmat Djoko
Pradopo dalam buku Jabrohim, dkk (2009: 44) mengelompokkan bahasa figuratif menjadi 6 jenis, yaitu simile, metafora, epik-simile,
personifikasi, metonimi, dan sinekdoks.
a)
Simile
Simile adalah jenis bahasa figuratif yang menyamakan
satu hal dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama. Sebagai sarana dalam
menyamakan tersebut, simile menggunakan kata-kata pembanding: bagai, sebagai,
bak, seperti seumpama, laksana, serupa, sepantun, dan sebagainya.
Keraf menyatakan bahwa simile adalah perbandingan yang
bersifat eksplisit. Perbandingan demikian ini dimaksudkan bahwa ia langsung
menyatakan sesuatu sama dengan yang lain. Untuk itu diperlukan upaya yang
secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, misalnya dengan mempergunakan
kata-kata seperti , sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan lain-lain.
Simile (demikian juga metafora) terdiri atas dua
bagian, yaitu tema pokok atau principle
term ‘yang mempunyai arti metaforis atau yang dikiaskan’ dan term kedua secondary term ‘yang menerangkan term
pokok agar menjadi jelas dan konkret ‘. Term pertama disebut tenor, yang berarti isi, arah, tujuan,
dan term kedua disebut vihicle yang
berarti kendaraan atau pengantar.
Antara simile dan metafora disamping ada kesamaan, ada
pula perbedaannya. Simile membandingkan dua benda atau hal secara eksplisit
dengan kata-kata pembanding, sedangkan metafora membandingkan dua benda atau
hal secara implisit atau tidak menggunakan kata-kata pembanding. Metafora terasa
lebih padat, kaya akan asosiasi, dan tidak terganggu oleh kata-kata seperti,
bagai, bagaikan, serupa, laksana, dan sebagainya.
Perhatikan baris puisi Emha Ainun Nadjib berikut: sedang rasa begini dekat/ seperti langit dan
warna biru/ seperti sepi menyeru/ Kekasih. Tenor-nya adalah ‘rasa begini dekat’ sedangkan vihicle-nya adalah ‘langit dan warna biru’ dan sepi menyeru Kekasih’.
b)
Metafora
Metafora adalah bentuk bahas figuratif yang
membandingkan sesuatu hal dengan hal lainnya yang pada dasarnya tidak serupa.
Oleh karena itu, di dalam metafora ada dua hal yang pokok, yaitu hal-hal yang
diperbandingkan dan pembandingnya. Penjelasan ini mengenai metafora ini dapat
diperiksa pada uraian tentang simile di atas.
Metafora dalam puisi sering berbelit-belit karena apa
yang dibandingkan harus disimpulkan dari konteksnya. Di samping itu, penyair
sering menciptakan efek yang menterperanjatkan, sebab secara tidak terduga mengaitkan dengan objek –objek yang sangat berbeda.
Menurut Keraf, proses terjadinya metafora sama dengan
simile, namun secara berangsur-angsur keterangan mengenai bersamaan dan pokok
pertama (term pertama) dihilangkan. Sebagai contoh perhatikanlah proses di
bawah ini.
Pemuda adalah seperti bunga
bangsa – pemuda adalah bunga bangsa
Pemuda - bunga bangsa
Orang itu seperti buaya
darat – orang itu adalah buaya darat
Orang itu buaya darat
Lebih
lanjut dikatakan oleh Keraf bahwa metafora tidak selalu menduduki fungsi
predikat, melainkan dapat juga menduduki fungsi yang lain seperti subjek,
objek, atau keterangan. Dengan demikian metafora dapat berdiri sendiri sebagai
kata, tidak seperti halnya simile. Keraf juga mengatakan bahwa jika kata-kata
seperti, bagai, bagaikan, laksana, serupa,
dan sejenisnya yang terdapat dalam simile dihilangkan sehingga pokok pertama
(term pertama) langsung dihubungkan dengan pokok kedua (term kedua), kita akan
mendapatkan bahasa figuratif yang disebut metafora. Pada dasarnya bentuk
metafora ada dua jenis, yaitu metafora eksplisit (metafora penuh) dan metafora
implisit (metafora tak penuh). Metafora eksplisit adalah metafora yang
mempunyai tenor dan vehicle, sedangkan metafora implisit
adalah metafora yang salah satu unsurnya tidak dinyatakan dengan jelas. Salah
satu unsur yang tidak jelas itu dapat berupa tenor-nya dan dapat pula vehicle-nya.
Dalam
metafora penuh, tanda atau hal yang dibandingkan dinyatakan secara eksplisit
dan jelas. Jadi pembandingan itu secara jelas menyebutkan tenor dan vehicle-nya.
Perhatikan baris puisi Emha berikut ini. ‘matahari
yang benerang hanyalah ejekan bagiku, senyuman penghianat, pisau yang
diam-diam/ menikam, ...’
Dalam
metafora implisit, salah satu benda atau hal yang diperbandingkan tidak
dinyatakan secara jelas. Yang tidak dinyatakan secara jelas itu dapat tenor-nya dan dapat pula vehicle-nya. Misalnya “kami kejar cahaya”, contoh ini
mempersamakan ‘cahaya’ dengan sesuatu
yang berlari, maka ‘kami’ berusaha
mengejarnya. Di sini sesuatu yang berlari tidak disebutkan secara jelas apa
atau siapa, orang atau binatang. Di sini yang tidak disebutkan adalah vehicle-nya. Contoh lain misalnya: ‘tatkala bertiup sepi’, dalam contoh ini
‘sepi’ sebagai tenor yang diakhirkan, diibaratkan sesuatu yang bisa bertiup.
Sesuatu yang bisa bertiup adalah udara atau angin. Dengan demikian ‘sepi’ diperbandingkan dengan ‘angin’. Akan tetapi dalam contoh ini
‘angin’ sebagai pembanding atau sebagai vehicle
yang didahulukan tidak disebutkan dengan jelas, hanya sifatnya saja yang
disebutkan sebagai indikasi pembanding, yaitu ‘bertiup’.
c)
Personifikasi
Jenis bahas figuratif yang hampir sama dengan metafora
adalah pesonifikasi. Bentuk bahasa figuratif ini mempersamakan benda atau hal
dengan manusia. Benda atau hal itu digambarkan dapat bertindak dan mempunyai
kegiatan seperti manusia. Benda atau hal yang
tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan. Hal itu dimaksudkan
untuk memberikan kejelasan gambaran, menimbulkan bayangan angan ynag konkret,
dan mendramatisasikan suasana dan ide yang ditampilkan.
Personifikasi
merupakan satu corak metafora yang dapat diartikan sebagai suatu cara
penggunaan atau penerapan makna. Bentuk pembasaan yang mengandung makna
tertentu dipergunakan atau diterapkan untuk menunjuk objek sasaran yang
berbeda. Pada personifikasi, bentuk kebahasaan yang mengandung makna tertentu
dan biasanya dikaitkan dengan aktivitas manusia dipergunakan atau diterapkan
untuk menunjuk objek sasaran yang berbeda.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa antara personifikasi dan metafora
keduanya mengandung unsur persamaan. Jika metafora memperbandingkan suatu hak
dengan hal lain, personifikasi juga membuat perbandingan antara sesuatu hal
dengan hal lain, tetapi berupa manusia atau perwatakan manusia. Dengan kata
lain, pokok (term) yang diperbandingkan itu seolah-olah berujud manusia, baik
dalam tindak, perasaan, perwatakan manusia lainnya. Misalnya ‘angin yang meraung’, batu-batu meringis’.
d) Epik-simile
Epik-simile
atau perumpamaan epos ialah pembandingan yang dilanjutkan atau diperpanjang,
yaitu dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat perbandingan lebih lanjut
dalam kalimat-kalimat atau frase-frase yang berturut-turut. Menurut Rachmat
Djoko Pradopo kadang-kadang lanjutan ini sangat panjang. Contoh:
Tuhanku
duniaku
menghutan
hutanku jadi
taman
tamanku kering,
kembali jadi hutan
tanpa pepohonan
Tuhanku
panas merambah
kucari
tetumbuhan yang bertahan dari api
yang kami
nyalakan sendiri
di mana
Dalam
puisi di atas, Emha mengiaskan suatu kehidupan yang sangat rawan dan tidak
menentu dan penuh bahaya dengan ‘hutan’. Hutan adalah tempat yang banyak
tetumbuhan besar , semak, banyak binatang buas dan berbisa yang setiap saat
dapat mengancam kehiduan seseorang yang sedang di dalamnya tidak ada jalan yang
jelas karena tidak pernah dilewati orang, sehingga orang yang berada di
dalamnya dapat tersesat. Penyair mengiaskan kehidupan yang gersang tanpa gairah
hidup, tidak mempunyai semangat, tahan uji seperti tanah yang kering dan
seperti hutan yang tanpa pepohonan, yang sudah retak dan berdebu jika kena
panas, dan mudah terkikis erosi serta menimbulkan banjir. Di sini penyair
membutuhkan keyakinan dan keimanan yang teguh serta kepercayaan diri yang kuat
agar dapat bertahan dari godaan nafsu yang timbul dari dirinya sendiri seperti
tetumbuhan yang bertahan dari api yang dinyalakan sendiri.
Penggunaan
sarana kepuitisan berupa bahasa figuratif tidak selamanya digunakan secara
sendiri sendiri, tetapi sering juga dipergunakan secara bersama-sama dan
dipadukan secara variatif. Penggunaan sarana kepuitisan ini munculnya maupun
bentuknya sangat dipengaruhi dan ditentukan serta didukung oleh pemakaian atau
pemilihan kosa katanya. Disamping itu, keberhasilan dalam dan memadukan
jenis-jenis bahasa figuratif juga sangat berpengaruh dalam penafsiran dan
penangkapan maknanya serta koherensi ekspresivitasnya, yang meliputi
pencurahan dan penghidupan ide,
pengalaman jiwa dan rasa dalam atau kalimat.
e) Metonimi
Metonimi
adalah pemindahan istilah atau nama suatu hal atau benda ke suatu hal atau
benda lainnya yang mempunyai kaitan rapat. Dengan istilah lain, pengertian yang
satu dipergunakan sebagai pengganti pengertian lain karena adanya unsur-unsur
yang berdekatan antara kedua pengertian itu. Kaitan itu berdasarkan berbagai
motivasi, misalnya hubungan kausal, logika, hubungan dalam waktu dan ruang.
Rahmat Djoko Pradopo menyatakan bahwa metonimi dapat pula disebut kiasan
pengganti nama, misalnya menyebut sesuatu, orang, atau binatang dengan
pekerjaan atau sifat yang dimilikinya. Sebagai contoh perhatikan baris-baris
puisi berikut ini.
sembayang
hati/ sembayang jiwa/ darah mendetakkan-
Mu,
Allah, Allah
Tuhanku
lingkarilah jiwaku/ dengan cincin kasih-Mu/
kubuka
mulut kuminum cahaya-Mu/ demi kebenaran
kitab-kitab-Mu
Bentuk
metonimi di atas (yang diberi garis bawah) mampu menunjukkan atau menjelaskan
pikiran serta keyakinan penyairnya. Metonimi di atas dipergunakan sebagai upaya
menghadirkan imaji tentang Tuhan. Metonimi ini ditandai dengan pemakain huruf
kapital pada kata ganti Tuhan.
f) Sinekdoki
Sinekdoki
adalah bahasa figuratif yang menyebutkan suatu bagian penting dari suatu benda
atau hal untuk benda atau hal itu sendiri. Sinekdoki ini dapat dibedakan
menjadi dua macam, yakni pars pro toto dan totum pro parte. Pars pro toto
adalah penyebutan sebagian dari suatu hal untuk menyebutkan keseluruhan dari
suatu benda atau hak untuk sebagiannya.
Seperti
halnya metafora, simile, dan personifikasi, sinekdoki juga digunakan dengan
tujuan untuk memperoleh gambaran yang lebih hidup. Sinekdoki menghasilkan
gambaran nyata. Dengan menyebutkan bagian untuk keseluruhan atau sebaliknya,
sinekdoki juga menambah intensitas penghayatan gagasan yang dikemukakan
penyair. Sebagi contoh perhatikanlah puisi Emha di bawah ini.
Tuhanku
di dalam setiap
sembahyangku
aku melihat
segala bangunan
yang kami ciptakan dalam
kehidupan,
ternyata hanyalah ulat-ulat,
busuk dan
menjijikkan
Pada
puisi tersebut ‘segala bangunan kehidupan yang diciptakan manusia’ diumpamakan
sebagai ‘ulat-ulat busuk dan menjijikkan’. Penyebutan sebagian untuk
menyebutkan keseluruhan seperti itu
menimbulkan gambaran yang jelas tentang kesia-siaan manusia dalam menjalani
hidup ini. Di sini penyair kiasan itu untuk menonjolkan bagian yang penting
dari kehidupan manusia yang diumpamakan sebagai ‘ulat-ulat busuk dan
menjijikkan’. Jadi ‘ulat-ulat busuk dan menjijikkan’ merupakan satu bagian
penting (yang ditonjolkan penyair) dari segala aktivitas kehidupan manusia
secara keseluruhan.
e.
Rima/Ritma
Rima
adalah pengulangan bunyi dalam puisi. Dengan adanya rima, suatu puisi menjadi
indah. Makna yang ditimbulkannya pun lebih kuat. Contoh: Dan angin mendesah/mengeluh mendesah.
Disamping
rima, dikenal pula istilah ritma, yang diartikan sebagai pengulangan kata,
frase, atau kalimat dalam bait-bait puisi.
Rima
dan ritma, irama dan sajak, besar sekali pengaruhnya untuk menjelaskan makna
sesuatu puisi. Ritma dan rima sesuatu puisi yang erat sekali hubungannya dengan
sense, feeling, tone, dan itention yang terkandung di dalamnya.
Dengan
demikian dapat diketahui kaki-sajak yang terdapat pada setiap larik atau bait
sebuah puisi, setelah kita mendengarkan atau membaca puisi tersebut. Bahkan
kadang-kadang, untuk dapat menangkap isi sebuah puisi, kita harus membacanya
secara nyaring dan indah berulang-ulang dengan memperhatikan apakah iramanya
tepat atau tidak. Dan bertambah yakinlah kita betapa eratnya hubungan antara
puisi dengan seni suara.
Menurut
susunannya rima dapat dibagi atas:
a) rima
berangkai; dengan susunan/rumus: aa, bb, cc, dd, ...
Dimata air, didasar kolam
Kucari jawab teka-teki alam
Dikawan awan kian kemari
Disitu juga jawabnya kucari
Diwarna bunga penjaga waktu
Kutanya jawab kebenaran tentu
b)
rima berselang, dengan
rumus: abab, cdcd, ...
Duduk dipantai waktu senja,
Naik dirakit buaian ombak,
Sambil bercermin diair-kaca,
Lagi diayunkan lagu ombak
Lautan besar bagai bermimpi
Tiada gerak, tetap berbaring ...
Tapi pandang karang ditepi
Disana ombak memecah nyaring ...
(J.E.
Tatengkeng “Sepanrtun Laut”, I, II)
c) rima
berpeluk, dengan rumus: abba, cddc, ....
Perasaan siapa takkan nyala
Melihatkan anak berlagu dendang
Seorang sahaja ditengah padang
Tiada berbaju buka kepala
Beginilah nasib anak dgembala
Berteduh dibawah kayu nan rindang
Semenjak pagi meninggalkan
kandang
Pulang kerumah disenja-kala
(M.Yamin
“Gembala”, I, II)
Dalam kebun ditanah airku
Tumbuh
sekuntum bunga teratai
Tersembunyi
kembang indah permai
Tidak terlihat orang yang lalu
Akarnya tumbuh dihati dunia
Daun
berseri laksmi mengarang
Biarpun
ia diabaikan orang
Seroja kembang gemilang mulia
(Sanusi
Pane “Teratai”, I, II)
Dalam
puisi Angkatan Pujangga Baru, pemotongan baris-baris puisi secara teratur dapat
menciptakan irama, misalnya dalam puisi
“Menyesal” karya Ali Hasjmy berikut ini:
Pagiku
hilang / sudah melayang
Hari mudaku /
telah pergi
Kini petang /
datang melayang
Batang usiaku /
sudah tinggi
Dalam
puisi-puisi Chairil Anwar kesatuan baris-baris puisi diikat oleh pengulangan
kata tertentu sehingga menciptakan gelombang yang teratur, seperti dalam “Doa”
berikut ini.
Tuhanku
Dalam
termangu
Aku
masih menyebut namaMu
Biar
susah sungguh
mengingat
Kau penuh seluruh
...........
Tuhanku
Aku
hilang bentuk
remuk
Tuhanku
Aku
mengembara di negeri asing
Tuhanku
di
pintuMu aku mengetuk
Aku
tidak bisa berpaling
(Deru
Campur Debu, 1949)
f.
Tata Wajah (Tipografi)
Tipografi
adalah bentuk puisi seperti halaman yang barisnya tidak selalu diawali dengan
huruf kapital dan diakhiri dengan titik. Larik-larik puisi tidak berbentuk
paragraf, melainkan berbentuk bait. Tipografi merupakan pembeda yang penting
antara puisi dengan prosa dan drama. Tipografi adalah bentuk puisi seperti
halaman yang barisnya tidak selalu diawali dengan huruf kapital dan diakhiri
dengan titik. Larik-larik puisi tidak berbentuk paragraf, melainkan berbentuk
bait. Dalam puisi kontemporer seperti karya Sutardji Calzoum Bachri, tipografi
itu dipandang begitu penting sehingga menggeser kedudukan makna kata-kata. Tata
wajah zigzag mempunyai huruf Z dari puisi Sutardji Calzoum Bachri sangat
terkenal. Seperti yang bisa dilihat pada puisi di bawah ini.
Tragedi Winka dan Sihka
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka
Ku
karya: Sutardji Calzoum
Bachri
Puisi
di atas, bentuk grafis lebih dipentingkan. Bukan tanpa maksud penyair menulis
puisi berbentuk zig-zag. Ia juga mempunyai maksud tertentu dengan membalik
kata-kata yang digunkan karena di dalam puisi, yang tidak bermakna diberi
makna, dan mungkin kata yang sudah bermakna diberi makna baru. Maju mundurnya
baris dan maju mundurnya pernyataan mungkin mengandung maksud tersendiri.
Dengan kata lain, bentuk, larik, dan kata dalam puisi di atas membentuk makna
tersembunyi.
Meskipun
makna puisi tersebut tidak diungkapkan, namun bentuk fisik puisi di atas
membentuk makna tersendiri. Puisi di atas adalah tragedi. Yakni tragedi winka
dan sihka. Pembalian kata /kawin/ menjadi /winka/ dan /kasih/ menjadi /sihka/
mengandung makna bahwa perkawinan antara suami istri itu berantakan dan kasih
antara suami istri sudah berbalik menjadi kebencian.
Baris-baris
puisi yang membentuk zig-zag mengandung makna terjadinya kegelisahan dalam
perjalanan perkawinan itu. Pada baris ke-7, kata /kawin/ berjalan mundur. Hal
ini mengandung makna bahwa cinta perkawinan yang tadinya besar, berubah menjadi
semakin lama semakin kecil. Pada baris ke-15 kata /kawin/ sudah berubah menjadi
/winka/ yang dapat ditafsirkan bahwa percekcokan dan perpisahan sudah sering
terjadi, sehingga kata /kasih/ itu berubah menjadi /sihka/ yang berarti bahwa
kasih itu sedang benar-benar berubah menjadi kebencian. Pada baris ke-22, kasih
itu mundur sekali, sampai akhirnya tinggal sebelah saja yakni /sih/. Pada akhir
puisi ini bahwa kawin dan kasih itu menjadi kaku atau ini bernama tragedi. /Ku/
dimulai dengan huruf kapital menyatakan bahwa penyair akhirnya berpaling kepada
Tuhan.
Berikut ini beberapa contoh
berbagai tipografi tersebut :
a) Menggunakan huruf kecil semua
dan tanpa tanda baca,
paman-paman tani
utun
ingatlah
musim labuh
sawah tiba
duilah
musim labuh
kurang tidur ya paman
kerja berjemur
dalam lumpur tak makan
sawah-sawah
menggempur hancur
merpatinya
wokwok ketekur
(PAMAN-PAMAN
TANI UTUN, Piek Ardijanto Suprijadi, Angkatan 66, hal. 462)
b) Menggunakan
huruf besar pada setiap awal kalimat, tanpa tanda baca,
Di depan
gerbangmu tua pada hari ini
Kami
menyilangkan tangan ke dada kiri
Tegak dan
tengadah menetap bangunanmu
Genteng hitam
dinding kusam berlumut waktu
(ALMAMATER,
Taufiq Ismail, Angktan 66, hal. 151)
c) Menggunakan
huruf besar-kecil dan tanda baca lengkap,
Kukitari
rumahMu.
Kukitari rumahMu
bersama jutaan umat
Ketika
Kauturunkan rahmat
meresap ke dalam
hati, memercik di sudut mata :
Tuhanku,
Tuhanku, ampuni segala dosa kami
Ulurkan
tanganMu, bimbing kami
ke jalan lurus
yang Kauridoi.
Di bumi ini
dan di akhirat
nanti.
(SEMENTARA
THAWAF, Ajip Rosidi)
d) Sebagian
baitnya menjorok ke dalam,
Laksana bintang
berkilat cahaya,
Di atas langit
hitam kelam,
Sinar berkilau
cahya matamu,
Menembus aku
kejiwa dalam.
Ah, tersadar aku,
Dahulu ....................................
Telah terpasang lentera harapan
Tetiup angin gelap keliling.
Laksana bintang
di langit atas,
Bintangku Kejora
Segera lenyap
peredar pula,
Bersama zaman
terus berputar
(SEBAGAI
DAHULU, Aoh Kartahadimaja, Gema tanah Air, hal. 51
Mengenai
tipografi yang berhubungan dengan susunan baris atau kalimat dalam tiap bait
ini pun masih banyak lagi ragamnya.Adapaun maksud penyusunan tipografi yang
beraneka macam itu,secara garis besar dapat dibedakan atas 2 (dua) macam :
a) Sekedar untuk
keindahan indrawi; maksudnya sekedar agar susunan puisi tersebut nampak indah
dipandang.
b)
Untuk membantu lebih mengintensifkan makna dan rasa atau suasana puisi yang
bersangkutan.
Perhatikan tiga contoh puisi
berikut ini,
Bukan tidak saya
letakkan,
Buah delima di
atas gudang
Untuk berbuka bulan puasa.
Bukan tidak saya
katakan,
Saya hina dari
orang,
Tuan katakan,tidak mengapa.
Pohon cempedak
saya tanamkan,
Pohon nanas
kutanam juga,
Batang mengkudu pemagarnya.
Bukan tidak saya
katakan,
Tuan emas, saya
tembaga,
Tidak sejodo keduanya.
(M.I.
Nasution, PUJANGGA BARU,hal. 240)
DOA PERAHU
tuhanku
beritahu
kini
ke manakah
harus
kupergi
ke muara
menyongsong
laut
biru
ataukah
melawan
arus
menuju
hulu
(Ismed
Natsir, Horison, Oktober, 1974)
Masihkah kau cinta padaku
walaupun orang yang tak punya ?
Perlukah kau bertanya
padaku tentang
yang tengah kurasakan ? Masihkah kau teringat
disaat kita begitu
dekat ?
Akankah kau rindu
padaku
walaupun ku
bukan milikmu lagi ?
Masihkah kau ada waktu tuk ku
walaupun jam
berganti detik ?
Amankah kau
bersamanya
walaupun kau
berkata kan
baik- baik saja ?
MASIHKAH ?
MASIHKAH ?
MASIHKAH ?
BIORHIMITZU
10-12-2011
Kontribusi
Topografi terhadap Kemaknaan Puisi Kongkret
Perwajahan
puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi
kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak
selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal
tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi. Bisa kita lihat pada
beberapa puisi dari Sutardji Calzoum Bachri salah satunya adalah puisi di bawah
ini.
TAPI
aku bawakan
bunga padamu
tapi kau
bilang masih
aku bawakan
resah padamu
tapi kau
bilang hanya
aku bawakan
darahku padamu
tapi kau
bilang cuma
aku bawakan mimpiku
padamu
tapi kau
bilang meski
aku bawakan
dukaku padamu
tapi kau
bilang tapi
aku bawakan
mayatku padmu
tapi kau
bilang hampir
aku bawakan
arwahku padamu
tapi kau
bilang kalau
tanpa apa aku
datang padamu
wah!
Sutardji Calzoum
Bachri, O AMUK KAPAK, 1981
Dengan
tipografi seperti di atas bisa kita simpulkan
bahwa perwajahan puisi tersebut menggambarkan sebuah pertentangan antara “aku”
dan “kau” sehingga apa pun yang dibawa oleh “aku” selalu kandas dan terjatuh
(tak bermakna) di mata “aku” seperti digambarkan dalam baris puisi yang anjlok
ke bawah dan menjorok ke dalam.
Tipografi barisnya yang anjlok dan menjorok ke dalam seolah
menggambarkan bahwa apa yang dimiliki “aku” sangat diremehkan, tidak ada apa-apanya dalam pandangan
“kau”. Selain itu, dengan adanya
pemisahan antara baris “aku” dan “kau”, seolah menggambarkan bahwa percakapan
dalam puisi itu terjadi dialog antara dua orang, baik antara seorang Budak
dengan Tuannya, maupun Hamba dengan Tuhannya. Hal itu menggambarkan bahwa
seorang hamba dengan Tuhannya tidak akan pernah sejajar.
Sebenanya
dengan tipografi seperti itu pembaca bisa mengartikan atau memaknai puisi
tersebut sesuai dengan makna yang ditangkap oleh pembaca. Seperti yang
diutarakan oleh Julia Kristeva bahwa arti sebuah puisi tidak terletak dari
kata, seperti sesuatu yang dipikirkan atau dimaksudkan oleh pengarang,
melainkan kata-kata itu menjadikan sebuah arti yang harus diusahakan dan
diproduksi sendiri oleh pembaca. Bila terjadi perbedaan makna yang ditangkap
oleh setiap pembaca, itu merupakan hal yang wajar karena puisi ekspresi dalam
puisi itu bersifat tidak langsung. Seperti yang kita ketahui bahwa
ketidaklangsungan tersebut disebabkan oleh penggantian arti, penyimpangan arti,
dan penciptaan arti. Jadi semua orang berhak mengartikan apapun dari puisi
siapa pun tak harus sesuai yang dimaksudkan oleh pengarangnya karena
penyimpangan pemaknaan atau arti puisi itu merupakan salah satu sebab dari
ketidaklangsungan ekspresi di dalam puisi.
Selain
dari penyimpangan arti, Geoffrey dalam buku Waluyo, (2005: 68) menjelaskan
bahwa bahasa puisi mengalami 9 (sembilan) aspek penyimpangan, yaitu
penyimpangan leksikal, penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis,
penyimpangan sintaksis, penggunaan dialek, penggunaan register (ragam bahasa
tertentu oleh kelompok/profesi tertentu), penyimpangan historis (penggunaan
kata-kata kuno), dan penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga titik).
Bisa kita lihat dalam puisi di atas dalam segi tipografi penyimpanagn
grafologis sangat tampak jelas. Tidak tampak tanda baca baik titik maupun koma
kecuali hanya tanda seru (!) pada kata terakhir yang menyatakan ketakjuban
“kau”. Selain itu tidak ada huruf kapital yang mengawali awal kalimat kecuali
hanya pada judul puisi. Sehingga kita bisa mengambil makna bahwa seorang
manuasia (aku) janganlah merasa lebih besar (hebat) dari pada penciptanya.
“kau” yang tidak diawali huruf kapital seperti layaknya huruf yang
menggambarkan Tuhan, seolah meyakinkan manusi (aku) bahwa Tuhan tidak
mengajarkan manusia untuk sombong jadi “aku” tidak menggunakan huruf kapital
agar tidak melebihi “kau” (Tuhan).
Daftar Pustaka
Aminuddin. 1987. Pengantar
Apresiasi Karya Sastra. Malang: Sinar Baru Algensindo.
Arikunto. 2002. Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Arifin, Zainal. 2012. Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Abbas, Ersis Warmansyah. 2007. Menulis Sangat Mudah. Jakarta: Mata Khatulistiwa.
Eddy,
Nyoman Tusthi. 1983. NUKILAN I 15 esai
tentang sastra. Flores: Nusa Indah.
Jabrohim, dkk. 2009. Cara Menulis Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kosasih. 2012. Dasar-Dasar
Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya.
Kusuma, Indra. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bondowoso: UD Rani Maesan.
Moleong.
2010. Metodelogi Penelitian Kualitatif.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nikmah,
Rokhimatul. 2012. Kemampuan Menulis Puisi
Siswa Kelas VII Semester 2 SMP PGRI 1 Pesanggaran Banyuwangi Tahun Pelajaran
2012/2013. Skripsi tidak diterbitkan. Progam Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan
Bahasa Daerah Universitas Muhammadiyah Jember.
Rosidi, Imron. 2009. Menulis Siapa Takut?. Yogyakarta: Kanisius.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif
Kualitatif dan R&D. Jakarta: Alfabeta
Suyanto. 2010. Belajar
Menulis Karya Sastra. Banyuwangi: ForBuk dan KSI.
Tarigan, Henry Guntur. 1996. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Waluyo, Herman J. 2005. Apresiasi Puisi. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
No comments:
Post a Comment