Tuesday, June 14, 2016

APRESIASI PROSA



APRESIASI PROSA
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_9YAMDfnxo3haWEX3LmQiXf4inqPeX-6pBjG4l0cW0sLXiIA4VJhUlK-scS1xTkVizy_Y648Jmq6YCcjBYDN_DPma0w8Fc18gXhEuxoF8VLuNGsBHKiavhkJVzz4xPPhIEXTAfPGMwrye/s1600/Screenshot_1984.png

4.1 Hakikat Apresiasi Prosa
Untuk mengetahui pengertian apresiasi prosa, terlebih dahulu kita harus memahami pengertian dari apresiasi itu sendiri. Istilah Apresiasi berasal dari bahasa Latin apreciato yang berarti “mengindahkan” atau “menghargai”. Dalam konteks yang lebih luas, istilah apreasi menurut Gove mengandung makna (1) pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin dan (2) pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang. Pada sisi lain, Squire dan Taba berkesimpulan bahwa sebagai suatu proses, apresiasi melibatkan tiga unsur inti, yakni (1) aspek kognitif, (2) aspek emotif (3) aspek evaluatif.
Aspek kognitif berkaitan dengan keterlibatan intelek pembaca dalam upaya memahami unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif. Aspek emotif berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca dalam upaya menghayati unsur–unsur keindahan dalam teks sastra yang dibaca, selain itu unsur emosi juga sangat berperan dalam upaya memahami unsur-unsur yang bersifat subjektif. Aspek evaluatif berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap suatu karya sastra.
Sejalan dengan rumusan pengertian apresiasi diatas, S. Effendi mengungkapkan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra.
Pengertian Apresiasi sastra menurut Dra. Endang Sriwidayati, M.Pd. dalam gambaran dasar apresiasi adalah proses (kegiatan) pengindahan, penikmatan, penjiwaan, dan penghayatan karya sastra secara individual dan momentan, subjektif dan eksistensial, rohaniah dan budiah, khusyuk dan kafah, dan intensif dan total supaya memperoleh sesuatu daripadanya sehingga tumbuh, berkembanng dan terpiara kepedulian, kepekaan, ketajaman, kecintaan,dan keterlibatan terhadap karya sastra.
Pengertian apresiasi secara umum adalah suatu penghargaan atau penilaian terhadap suatu karya tertentu. Biasanya apresiasi berupa hal yang positif tetapi juga bisa yang negatif. Apresiasi dibagi menjadi tiga, yakni kritik, pujian, dan saran. Sementara itu, orang yang ahli dalam bidang apresiasi secara umum adalah seorang kolektor atau pencinta suatu seni pada umumnya. Tetapi dalam memberikan apresiasi, tidak boleh mendasarkan pada suatu ikatan teman atau pemaksaan. Pemberian apresiasi harus dengan setulus hati dan menurut penilaian aspek umum.
Apresiasi berasal dari bahasa Inggris “appreciation” yang berarti penghargaan, penilaian, pengertian, bentuk ituberasal dari kata kedua “to aprreciate” yang berarti menghargai, menilai, mengerti. Apresiasi mengandung makna pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin, dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang. (Aminuddin, 1987).
Secara makna leksikal, apresiasi (appreciation) mengacu pada pengertian pemahaman dan pengenalan yang tepat, pertimbangan, penilaian, dan pernyataan yang memberikan penilaian (Hornby dalam Sayuti, 1985:2002).
Secara leksikografis, kata apresiasi berasal dari bahasa Inggris appreciation, yang berasal dari kata kerja to apreciate, yang menurut kamus Oxford berarti to judge value of understand or enjoyfully in the right way; dan menurut kamus Webstern adalah to estimate the quality of to estimate rightly to be sensitevely aware of. Jadi secara umum mengapresiasi adalah mengerti serta menyadari sepenuhnya, sehingga mampu menilai secara semestinya.
Dalam kaitannya dengan kesenian, apresiai berarti kegiatan mengartikan dan menyadari sepenuhnya seluk beluk karya seni serta menjadi sensitif terhadap gejala estetis dan artistik sehingga mampu menikmati dan manilai karya tersebut secara semestinya. Dalam mengapresiai, seorang penghayat sedang mencari pengalam estetis. Sehingga motivasi yang muncul adalah motivasi pengalaman estetis. Pengalaman estetis menurut Albert R. Candler adalah kepuasan kontemplatif atau kepuasan intuitif.
Istilah prosa sendiri mengandung pengertian kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tetentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita. Prosa sebagai salah satu genre sastra, mengandung unsur – unsur meliputi (1) pengarang atau narator, (2) isi penciptaan, (3) media penyampaian isi berupa bahasa, dan (4) elemen-elemen fiksional atau unsur-unsur intrinsik yang membangun karya fiksi itu sendiri sehingga menjadi suatu wacana. Pada sisi lain, dalam rangka memaparkan isi tersebut, pengarang akan memaparkannya lewat (1) penjelasan atau komentar, (2) dialog ataupun monolog, dan (3) lewat lakuan atau action.
Prosa fiksi lebih lanjut masih dapat dibedakan dalam berbagai macam bentuk, baik itu roman, novel, atau novelet, maupun cerpen. Perbedaan berbagai macam betuk dalam prosa fiksi itu pada dasarnya hanya terletak pada kadar panjang pendeknya isi cerita, kompleksitas isi cerita, serta jumlah pelaku yang mendukung cerita itu sendiri. Akan tetapi, elemen-elemen yang dikandung oleh setiap bentuk prosa fiksi maupun cara pengarang memaparkan isi ceritanya memiliki kesamaan meskipun dalam unsur-unsur tertentu mengandung perbedaan.
Untuk dapat memberi penghargaan terhadap sesuatu, tentunya kita harus mengenal sesuatu itu dengan baik dan dengan akrab agar kita dapat bertindak dengan seadil-adilnya terhadap sesuatu itu, sebelum kita dapat memberi pertimbangan bagaimana penghargaan yang akan diberikan terhadap sesuam itu. Kalau yang dimaksud dengan sesuatu itu adalah karya sastra, lebih tepat iagi karya sastra prosa, maka apreciasi itu berati memberi penghargaan dengan sebaik-baiknya dan seobjektif mungkin terhadap karya sastra prosa itu. Penghargaan yang seobjektif mungkin, artinya penghargaan itu dilakukan setelah karya sastra itu kita baca, kita telaah unsur-unsur pembentuknya, dan kita tafsirkan berdasarkan wawasan dan visi kita terhadap karya sastra itu.
Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian “Apresiasi Prosa” adalah proses pengindahan, penikmatan, pemahaman, dan penghargaan secara menyeluruh dan serta-merta terhadap karya sastra prosa guna mendapatkan nilai-nilai yang baik yang terkandung dalam karya sastra tersebut.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhr6mGV2D5RYQ4tJAaBF4IGjE2EKBX6zX7GiiRyX20LZMjGsvb2zKPl1HhsxugW2zBcdnnGHujgC8eTEW06TAiRyYpd__QgEUfpcKVfkQxMwN9vfNb6OnxTwWvs20t-_5NWfuoKYmTjC5Dz/s1600/apresiasi.png

4.2 Tahap-Tahap Apresiasi
Seperti sudah dibicarakan, prosa atau prosa fiksi adalah sebuah bentuk karya sastra yang disajikan dalam bentuk bahasa yang tidak terikat oleh jumlah kata dan unsur musikalitas. Bahasa yang tidak terikat itu digunakan untuk menyampaikan tema atau pokok persoalan dengan sebuah amanat yang ingin disampaikan berkenaan dengan tema tersebut. Oleh karena itu, dalam apresiasi dengan tujuan tnembenkan penghargaan terhadap karya prosa itu, kita haruslah bisa “membongkar” dan menerangjelaskan hal-hal yang berkenaan dengan ukuran keindahan dan “kelebihan” karya prosa itu. Dengan demikian, penghargaan yang diberikan dapat diharapkan bersifat tepat dan objcktif. Suatu apresiasi sastra, menurut Maidar Arsjad dkk dilakukan melalui beberapa tahap kegiatan. Tahap-tahap itu adalah.
A.    Tahap penikmatan atau menyenangi. Tindakan operasionalnya pada tahap ini adalah misalnya membaca karya sastra (puisi maupun novel}, menghadiri acara deklamasi, dan sebagainya.
B.     Tahap penghargaan. Tindakan operasionalnya, antara lain, melihat kebaikan, nilai, atau manfaat suatu karya sastra, dan merasakan pengaruh suatu karya ke dalam jiwa, dan sebagainya.
C.     Tahap pemahaman. Tindakan opersionalnya adalah meneliti dan menganalisis unsur intrinsik dan unsur ektrinsik suatu karya: astra, serta berusaha menyimpulkannya.
D.    Tahap penghayatan. Tindakan operasionalnya adalah rnenganalisis lebih lanjut akan suatu karya, mencari hakikat atau makna suatu karya beserta argumentasinya; membuat tafsiran dan menyusun pendapat berdasarkan analisis yang telah dibuat.
E.     Tahap penerapan. Tindakan operasionalnya adalah melahirkan ide baru, mengamalkan penemuan, atau mendayagunakan hasil operasi dalam mencapai material, moral, dan struktural untuk kepentingan sosial, politik, dan budaya.

Apresiasi mempunyai tiga tingkatan, yaitu apresiasi empatik, apresiasi estetis, dan apresiasi kritis.
A.    Apresiasi empatik adalah apresiasi yang hanya menilai baik dan kurang baik hanya berdasarkan pengamatan belaka. Apresiasi atau penilaian ini biasanya dilakukan oleh orang awam yang tidak punya pengetahuan dan pengalaman dalam bidang seni.
B.     Apresiasi estetis adalah apresiasi untuk menilai keindahan suatu karya seni. Apresiasi pada tingkat ini dilakukan seseorang setelah mengamati dan menghayati karya seni secara mendalam.
C.     Apresiasi kritis adalah apresiasi yang dilakukan secara ilmiah dan sepenuhnya bersifat keilmuan dengan menampilkan data secara tepat, dengan analisis, interpretasi, dan penilaian yang bertanggung jawab.

Apresiasi ini biasanya dilakukan oleh para kritikus yang memang secara khusus mendalami bidang tersebut. Dalam suatu apresiasi akan terjalin komunikasi antara si pembuat karya seni (seniman) dengan penikmat karya seni (apresiator). Dengan adanya komunikasi timbal-balik ini, seniman diharap mampu mengembangkan kemampuannya untuk dapat membuat karya seni yang lebih bermutu.
 http://pustakapelajar.co.id/wp/wp-content/uploads/2013/10/teori-apresiasi-sastra-001.jpg


4.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Nilai Sastra
Setiap orang memiliki tingkat pemahaman terhadap sastra berbeda-beda. Hal ini dapat diketahui bila ada pameran buku atau kajian sastra. Karya sastra yang dibuat oleh seorang pengarang memiliki ciri khas tersendiri. Sebagai contoh buku yang bercerita tentang “Syaikh Siti Jenar”. Ada banyak ragam versi yang dapat kita temukan. Ada penulis yang berlatar belakang sejarawan, ada yang memiliki disiplin pendidikan, ada pula seorang filosof.
A.    Lingkungan
Lingkungan keluarga sangat besar peranannya dalam membentuk pemahaman tentang karya sastra. Keluarga yang telah terkondisi dengan tradisi membaca, memiliki kontribusi yang besar bagi anggota keluarga itu dalam memahami sastra. Masyarakat yang selalu menghidupkan karya sastra lewat permainan anak (dolanan), nyanyian yang dipadukan dengan alat musik tradisional, peristiwa ritual, juga mendukung seseorang dalam memahami karya sastra.
B.     Pengetahuan
Sekolah, kuliah, kursus atau sejenisnya adalah ladang untuk memahami pengetahuan. Pengetahuan merupakan jembatan untuk memahami karya sastra. Ada sedikit jaminan, bahwa semakin tinggi seseorang memperoleh ilmu, semakin tinggi pula tingkat pemahaman terhadap karya sastra. Namun tidak semua orang yang berpengetahuan mencintai karya sastra. Baginya, pengetahuan hanya diibaratkan sebuah kendaraan untuk mencapai tujuan tertentu.
C.     Pengalaman
Pengalaman adalah guru yang baik. Melihat lebih baik dari mendengar. Mempraktekkan jauh lebih baik dari pada melihat. Ada rasa keasyikan tersendiri bila membaca cerpen dari seorang cerpenis kegemarannya. Ada suasana melayang saat mencoba menyerap kata dalam puisi.
Tapi, membuat cerpen lebih asyik bila hanya sekedar membaca. Mengungkap perasaan dengan cara menulis puisi jauh lebih mengena. Membuat cerpen, menulis puisi atau sejenisnya, adalah sebuah pengalaman. Dengan begitu Ia akan mengetahui seberapa tingkat karya sastra. Dengan pengalaman pula Ia akan menghargai sebuah karya sastra.



4.4 Pendekatan dalam Apresiasi Sastra
A. Pendekatan Parafratis
Pendekatan parafratis adalah strategi pemahaman kandungan makna dalam suatu cipta sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata maupun kalimat yang berbeda dengan kata-kata dan kalimat yang digunakan pengarangnya. Tujuan akhir pendekatan ini adalah untuk menyederhanakan pemakaian kata dan kalimat seorang pengarang sehingga pembaca lebih mudah memahami kandungan makna yang terdapat dalam suatu cipta sastra.
Seperti telah diketahui, kata-kata dalam cipta satsra umumnya padat dan suplimatif. Misalnya, seorang penyair yang ingin menyampaikan gagasan tentang betapa cepatnya perjalanan kehidupan serta betapa singkat kehidupan manusia itu sendiri yang sisi lain juga akan segera membahas manusia dari libatan keduniawian ini, dirinya cukup mengungkapkannya dengan jam mengerdip, tak terduga betapa lekas siang menepi, melapangkan jalan dunia. Dari contoh itu dapat diketahui bahwa kalimat atau baris dalam puisi sering mengalami elipsis atau penghilangan suatu unsur, baik berupa kata maupun berupa kelompok kata. Begitu juga1 cara penulisannya umumnya tidak sma dengan aturan atau sistem pada umumnya. Misalnya jika seorang kalimat itu seseorang harus mengawalinya dengan huruf besar dan menghakhiri dengan titik, maka dalam baris-baris puisi dalam aturan itu tidak selamnya dilaksanakan.
Prinsip dasar dari penerapan pendekatan parafratis adalah sebagai berikut:
a.       Gagasan yang sama dapat disampaikan lewat bentuk yang berbeda.
b.      Simbol-simbol yang bersifat konotatif dalam suatu cipta sastra dapat diganti dengan lambing atau bentuk lain yang tidak mengandung ketaksaan makna.
c.       Kalimat-kalimat atau baris dalam suatu cipta sastra yang mengalami pelesapan dapat dikembalikan lagi kepada bentuk dasarnya.
d.      Pengubahan suatu cipta sastra baik dalam hal kata maupun kalimat yang semula simbolis dan elipsis menjadi suatu bentuk kebahasaan yang tidak lagi konotatif akan mempermudah upaya seseorang untuk memahami kandungan makna dalam suatu bacaan.
e.       Pengungkapan kembali suatu gagasan yang sama dengan menggunakan media atau bentuk yang tidak sama oleh seorang pembaca akan mempertajam pemahaman gagasan yang diperoleh pembaca itu sendiri.
Dari prinsip pada butir 5 itu dapat disimpulkan juga bahwa penerapan pendekatan parafrastis untuk mempermudah upaya pemahaman makna suatu bacaan, juga digunakan untuk mempertajam, memperluas dan memperlengkapi pemahaman makna yang diperoleh oleh pembaca itu sendiri. Sebab itu, dalam pelaksanaannya nanti, pendekatan parafrastis ini selain dapat dilaksanakan pada awal dilaksanakan pada awal kegiatan merapresiasi satra, juga dapat dilaksanakan setelah kegiatanapresiasi berlangsung.

B.     Pendekatan Emotif
Pendekatan emotif dalam mengapresiasi sastra adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang mengajuk emosi atau perasaan pembaca. Ajukan emosi itu dapat berhubungan dengan keindahan penyajian bentuk maupun ajukan emosi yang berhubungan dengan isi atau gagasan yang lucu dan menarik.
Prinsip dasar yang melatarbelakangi adanya pendekatan emotif adalah bahwa rutinitas masyarakat yang padat mengakibatkan kejenuhan sehingga memerlukan media untuk menghibur dirinya, di antaranya menikmati cipta sastra itu sendiri. Oleh karena itu, diharapkan pembaca dapat menemukan unsur-unsur keindahan maaupun kelucuan yang terdapat dalam suatu karya sastra.
Selain berhubungan dengan masalah keindahan, juga unsur gaya bahasa dan pola persajakan juga mempengaruhi suasana hati pembaca. Unsur gaya bahasa seperti metafora, simile maupun penataanse tting mampu menghasilkan panorama yang menarik. Masalah pola persajakan juga dapat menghasilkan penikmatan keindahan terhadap karya sastra karena dapat menghadirkan unsur musikalitas yang merdu dan menarik. Penyajian keindahan dalam puisi, selain lewat permainan bunyi sehingga dikenal adanya penyair yang auditif, dapat juga disajikan secara visual, misalnya dengan membuat panorama yang menarik dan indah sehingga juga dikenal adanya penyair yang visual.
Penikmatan itu lebih ;lanjut juga dengan berhubungan masalah pola persajakan dan paduan bunyi yang lebih lanjut dan dapat mengahadiri unsur-unsur musikalitas yang merdu dan menarik. Hal yang demikian dijumpai terutama pada karya-karya puisi karena pada abad ke-18 sampai ke-19 ada kecenderungan untuk menciptakan sair atau karya fiksi seperti halnya alunan musik, misalnya sebuah puisi berbahasa Jerman dari penyair Tieck berbunyi: liebe denk in suzen Tonen atau Dennn gedanken steh’n zu fern. Penyajian keindahan dalam puisi dalam keindahan dalam puisi, selain lewat permainan bunyi sehingga dikenal adanya penyair yang auditif, dapat juga disajikan secara visual. Salah satu bait puisi  Roestam Effendi dalam percikan perenungan, misalnya, berbunyi:
Ditengah sunyi menderu rinduku
      Seperti topan. Merengggutkan dahan
Mencabutkan akar,
Meranggutkan kembang kalbuku
Untuk menemukan dan menikmati cipta satra yang mengandung kelucuan, anda tentunya juga harus memilih cipta satra yang termasuk dalam ragam-ragam tertentu. Ragam itu misalnya ragam humor, satirik, sarkasme, maupun ragam komedi.

C.    Pendekatan Analitik
Sewaktu berhadapan dengansebuah cipta sastra, pembaca dapat menampilkan pertanyaan: unsur-unsur apakah yang membangun cipta sastra yang saya baca ini? Bagaimana peranan setiap unsur itu dan bagaimana hubungan antara unsur yang satu dengan yang lainya? Dan bagaimakah cara memahaminya? Jika pembaca berusaha mencari jawaban dari keseluruhan pertanyaan itu, pada dasarnya pembaca telah melaksanakan atau menerapkan pendekatan analitis.
Pendekatan analitis merupakan suatu pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang menampilkan gagasan atau mengimajikan ide-idenya, sikap pengarang dalam menampilkan gagasan-gagasannya, elemen intrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen intrinsik itu sehingga mampu membangun adanya keselarasan dan kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk maupun totalitas maknanya.
Prinsip dasar yang melatarbelakangi munculnya pendekatan analitis adalah sebagai berikut.
a.       Cipta sastra itu dibentuk oleh elemen-elemen tertentu.
b.      Setiap elemen dalam cipta sastra memiliki fungsi tertentu dan senantiasa memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lainnya meskipun karakteristik berbeda.
c.       Dari adanya karakteristik setiap elemen itu, maka antara elemenyang satu dengan elemen yang lain, pada awalnya dapat dibahasa secara terpisah meskipun pada akhirnya setiap elemen itu harus disikapi sebagai suatu kesatuan.
Kegiatan mengapresiasi sastra dengan menerapkan pendekatan analitis dianggap sebagai suatu kerja yang bersifat saintifik karena dalam menerapkan pendekatan ini, pembaca harus memahami terlebih dahulu landasan teori tertentu, bersikap objektif dan menunjukkan hasil analisis yang tepat, sistematis, dan diakui kebenarannya oleh umum. Namun, kegiatan analisis itu tidak harus meliputi keseluruhan aspek yang terkandung dalam suatu cipta sastra. Dalam hal ini, pembaca dapat membatasi diri pada analisis struktur, diksi atau gaya bahasa, atau mungkin analisis kebahasaaan dalam linguistik.
D.    Pendekatan Historis
Pendekatan historis merupakan suatu pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang peristiwa kesejarahan yang melatarbelakangi masa-masa terwujudnya cipta sastra yang dibaca, serta tentang bagaimana perkembangan kehidupan penciptaan maupun kehidupan sastra itu sendiri pada umumnya dari zaman ke zaman.
Prinsip dasar yang melatarbelakangi lahirnya pendekatan adalah anggapan bahwa cipta sastra bagaimana pun juga merupakan bagian dari zamannya. Selain itu, pemahaman terhadap biografi pengarang juga sangatpenting dalam upaya memahami kandungan makna dalam suatu cipta sastra. Sebab itulah, telaah makna suatu teks dalam pendekatan sosio-semantik sangat mengutamakan konteks, baik konteks sosio-budaya, situasi atau zaman maupun konteks kehidupan pengarangnya sendiri.
Dalam telaah karya sastra Indonesia lewat pendekatan historis ini, pembaca dapat memanfaatkan buku kritik dan esay dari H.B. Jassin, Ihtisar sejarah sastra Indonesia karangan ajib rosidi, serta buku leksikon karangan  pemasuk Eneste, dan lain-lainya. Sebagai informasi kesejarahan , tambahan, pembaca dapat juga melihat pada keterangan tentang biografi pengarang yang terdapat dibagian belakang maupun esay-esay tentang kehidupan pengarang yang terdapat dalam buku kumpulan karangan maupun majalah dan koran.

E.     Pendekatan Sosiopsikologis
Pendekatan sosiopsikologis adalah suatu pendekatan yang berusaha memahami latar belakang kehidupan sosiobudaya, kehidupan masyarakat, maupun tanggapan kejiwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungan kehidupannya ataupun zamannya pada saat cipta sastra itu diwujudkan. Pelaksananya pendekatan ini memang sering tumpang tindih dengan pendekatan historis. Akan tetapi, selama masalah yang akan dibahas untuk setiap pendekatan itu dibatasi dengan jelas, maka ketumpang tindihan itu pasti dapat dihindari.
Dalam pelaksanaannya, pendekatan sosio-psikologis berusaha memahami bagaimana kehidupan sosial masyarakat pada masa itu, bagaimana sikap pengarang terhadap lingkungannya, serta bagaimana hubungan antara cipta sastra itu dengan zamannya. Oleh karena itu, Sapardi Djokodamono mengungkapkan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami selengkap- lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan.
Contoh penerapan pendekatan sosiopsikologi itu misalnyakita membaca puisi Chairil anwar “ Diponegoro” jika dalam pendekatan historis kita dapat membahasnya lewat pendekatan tentang biografi pengarang peristiwa kesejahrahan yang terjadi pada masa itu, bagaimana sikap pengarang terhadap lingkunganya serta hubungan antara cipta satra  iti dengan zamanya.
Sehubungan dengan penerapan pendekatan sosio psikologis itu, terdapat anggapan bahwa cipta sastra merupakan kreasi manusia yang terlibat dalam kehidupan serta mampu menampilkan tanggapan evaluatif terhadapnya. Sebab itulah dengan mengutip pendapat Grebstein, Spardi djokodamono mengungkapkan bahwa karya satra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan.

F.     Pendekatan Didaktis
Pendekatan didaktis adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan maupun sikap pengarang terhadap kehidupan,. Gagasan, tanggapan maupun sikap itu dalam hal ini akanmampu terwujud dalam suatu pandangan etis, filosofis, maupun agamis sehingga akan mengandung nilai-nilai yang mampu memperkaya kehidupan rohaniah pembaca.
Pendekatan didaktis ini pada dasarnya juga merupakan suatu pendekatan  yang telah beranjak jauh dari pesan tersurat yang terdapat dalam suatu cipta sastra. Sebab itulah penerapan pendekatan didaktis dalam apresiasi sastra akan menuntut daya kemampuan intelektual, kepekaan rasa, maupun sikap yang mampan darri pembacanya.
Bagi pembaca pada umumnya, penerapan pendekatan didaktis dalam tingakatan pemilihan bahan yang sesuai dengan pengetahuan maupun tingkat kemantangannya akan terasa lebih banyak mengasikkan, hal itu terjadi karena pembaca umumnya berusaha mencari petunjuk dan keteladanan lewat teks yang dibaca. Akan tetapi pada sisi lain pada sikap  itu juga berkontras dengan sikap tidak senangnya jika harus menerima pesan, petuah atau nasihat dari orang lain yang bernada mengurui . sebab dengan itulah dengan menemukan nilai-nolai kehidupan lewat yang difikirkan nilai-nilai kehidupan lewat daya fikir kritisnya sendiri, nilai yang dapat akan lebih mengendap pada aspek kejiwaanya serta lebih menikmatkan batinnya.
Penggunaan pendekatan didaktis  ini diawali dengan upaya  pemahaman satuan-satuan pokok  pikiran yang terdapat dalam suatu cipta sastra. Satuan pokok pikiran itu pada dasarnya disarikan dari paparan gagasan pengarang, baik berupa tuturan ekspresif, komentar, dialog, lakuan maupun deskripsi peristiwa dari pengarang, baik berupa atau penyairnya. Dalam penerapan pendekatan didaktis ini, sebagai pembimbing kegiatan berfikirnya, pembaca dapt berangkat dari berpola berfikir, misalnya jika malin kundang itu akhirnya mati, karena durhaka kepada ibunya, maka dalam hidupnya manusia itu harus bersikap baik kepda orang tua.
Pelaksanaannya, pendekatan didaktis menuntut daya kemampuan intelektual, kepekaan rasa, maupun sikap yang mapan dari pembacanya. Bagi pembaca pada umumnya, penerapan pendekatan didaktis dalam tingkatan pemilihan bahan yang sesuai dengan pengetahuan maupun tingkat kematangannya akan terasa lebih mengasyikkan. Hal itu terjadi karena pembaca umumnya berusaha mencari petunjuk dan keteladanan lewat teks yang dibaca. Penggunaan pendekatan ini diawali dengaan upaya pemahaman satuan-satuan pokok pikiran yang terdapat dalam suatu cipta sastra. Satuan pokok pikiran itu pada dasarnya disarikan dari paparan gagasan pengarang, baik berupa tuturan ekspresif, komentar, dialog, lakuan maupun deskripsi peristiwa dari pengarang atau penyairnya.
Contoh dari pendekatan didaktis dalam kegiatan mengapresiasikan puisi misalnya kita membaca puisi  Goenawan Muhammad berjudul “tahunpun turun membuka sayapnya”
Tahunpun turu membuka sayapnya
Keluas jauh benua-benua
Dan laut membias: warna biru langit semesta
Dan zaman menderas: manusia tetap setia
Misalnya, dari puisi diatas kita dapat menentukan satuan-satuan pokok pikiran yang mmeliputi (1) waktu itu senantiasa berjalan dan terus berganti (2) kehidupan yang indah ini senantiasa membukakan diri bangi manusia untuk menhayatinya, dan (3) meskipun zaman terus berjalan dengan cepat, manusia juga tetap setia mengisi kehidupannya.

4.5 Bekal Awal dalam Apresiasi
Karya sastra Prosa memiliki berbagai macam unsur yang sangat kompleks, antara lain (1) unsur keindahan, (2) unsur kontemplatif yang berhubungan dengan nilai-nilai atau renungan tentang keagamaan, filsafat, politik, serta berbagai macam komplesitas permasalahan kehidupan,  (3) media pemaparan, baik berupa media kebahasaan maupun struktur wacana, serta (4) unsur-unsur intrinsik yang berhubungan dengan ciri karakteristik karya sastra itu sendiri sebagai suatu teks.
Bekal awal yang harus dimiliki oleh seorang calon apresitor adalah (1) kepekaan emosi atau perasaan sehingga pembaca mampu memahami dan menikmati unsu-unsur keindahan yang terdapat dalam karya sastra, (2) pemilikan pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan masalah kehidupan dan kemanusiaan, baik lewat penghayatan kehidupan ini secara intensif-kontemplatif maupun dengan membaca buku-buku yang berhubungan dengan masalah humanitas, misalnya buku filsafat dan psikologi, (3) pemahaman terhadap aspek kebahasaan, dan (4) pemahaman terhadap unsur-unsur intrinsik karya sastra yang akan berhubungan dengan telaah teori sastra.

4.6  Pentahapan dalam Apresiasi Sastra
a.       Tahap Pertama
Seorang apresiator membiarkan pikirannya, perasaan dan daya khayalnya mengembara sebebas mungkin mengikuti apa yang dimaui oleh pengarang karya sastra yang dibacanya. Pada tahap ini apresiator belum mengambil sikap kritis terhadap karya sastra yang dibacanya.
b.      Tahap Kedua
Seorang apresiator menghadapi karya sastra secara intelektual. Ia menanggalkan perasaan dan daya khayalnya, dan berusaha memahami karya sastra tersebut dengan cara menyelidiki karya sastra dari unsur-unsur pembentuknya. Ini berarti, apresiator memandang karya sastra sebagai suatu struktur. Pada tahapan ini, penyelidikan unsur-unsur karya sastra oleh apresiator dimaksudkan untuk mendekatkan diri pada karya sastra itu.
c.       Tahap Ketiga
Apresiator memandang karya sastra dalam kerangka historisnya. Artinya, ia memandang karya sastra sebagai pribadi yang mempunyai ruang dan waktu. Dalam pandanganya, tidak ada karya sastra yang tidak diciptakan dalam ruang dan waktu tertentu. Dengan kata lain, pada tahapan ini seorang apresiator mencoba memahami karya sastra dari unsur sosial budaya, situasi pengarang, dan segala hal yang melatarbelakangi karya sastra itu diciptakan.
Lalu, bagaimana sikap apresiator yang baik? Apresiator yang baik adalah apresiator yang dapat menerapkan ketiga tahapan tersebut secara padu, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra itu benar-benar ia pahami dengan membiarkan perasaannya, mencoba menyelidiki unsur-unsurnya, dan berusaha pula memahami situasi sosial budaya saat karya sastra tersebut diciptakan.

4.7  Manfaat Apresiasi
Dalam sebuah pertemuan sastra, seorang yang biasa bergelut di bidang eksak  menyatakan bahwa orang yang membaca karya prosa sedang melakukan pekerjaan yang sia-sia dan tak ada artinya karena menghabiskan waktu hanya untuk membaca khayalan.
Prosa-fiksi memang merupakan cerita rekaan, khayalan. Ia adalah hasil imajinasi pengarangnya. Namun, benarkah imajinasi tak ada manfaatnya? Tentu saja pendapat ini tidak benar sebab jika mau disadari, kehidupan dunia berkembang karena imajinasi orang-orang jenius. Sebagai contoh, bukankah teori gravitasi bumi ditemukan ilmuwan Issac Newton karena imajinasinya setelah melihat buah apel jatuh dari pohonnya? Penemuan-penemuan di bidang teknologi pun pada awalnya terjadi karena imajinasi. Dari mulai penemuan kapal terbang hingga pesawat ulang alik, dari televisi hingga program-program komputer paling canggih saat ini, pada awalnya terjadi karena imajinasi. Juga, bukankah lambang-lambang yang digunakan dalam bidang matematika, angka-angka misalnya, adalah bentuk-bentuk imajinasi?
Dengan bukti-bukti di atas, tentulah kita tak bisa menganggap remeh imajinasi. Imajinasi sangat bermanfaat dalam kehidupan, termasuk imajinasi yang ada dalam cerita rekaan (karya fiksi). Cerita rekaan, karena mengandung imajinasi, dapat memperkaya imajinasi pembacanya. Kekayaan imajinasi ini akan membantu manusia lebih cerdas dan kreatif dalam membangun kehidupan. Di samping itu, sudah menjadi naluri/kebutuhan manusia menyukai cerita. Dalam berbagai masyarakat tradisional, muncul cerita-cerita mythe, legenda, dan lain-lain. Orang pun bisa tahan berjam-jam (bahkan semalam suntuk) untuk menonton pertunjukan wayang. Lalu mengapa, orang bisa tahan membaca novel seharian sementara membaca buku-buku ilmu pengetahuan cepat merasa jenuh?
Hal itu terjadi karena dari cerita rekaan/prosa-fiksi orang mendapat hiburan. Tetapi, manfaat cerita prosa lebih dari itu. Ia tidak hanya menghibur, tetapi juga berguna, atau yang diistilahkan filsuf Horace, dulce et utile.
Cerita prosa bukan hanya berfungsi sebagai sarana hiburan. Cerita prosa adalah sarana kita untuk bercermin tentang kehidupan. Benar bahwa yang disajikan dalam cerita prosa adalah hasil imajinasi pengarang. Akan tetapi, imajinasi tersebut adalah hasil olahan pengarang dari apa yang dihayatinya dari realitas (kenyataan). Dalam karya prosa, sesungguhnya pengarang menyuguhkan kembali hasil pengamatan dan pengalamannya kepada pembaca. Pengalaman yang disuguhkannya itu adalah pengalaman yang sudah melalui proses perenungan dan pemahaman yang lebih tajam dan dalam. Dengan demikian, tatkala pembaca mambaca karya prosanya, ia mendapatkan suatu pandangan baru tentang kehidupan yang memperkaya amatannya terhadap kehidupan yang ia kenal sehari-hari. Dalam kaitan ini, karya prosa sesungguhnya membantu pembaca untuk lebih memahami kehidupan dan memperkaya pandangan-pandangan tentang kehidupan.
Memang, hal seperti ini bisa pula didapatkan dari bidang-bidang lain, filsafat misalnya, tapi, karena karya prosa menyuguhkannya dalam bentuk cerita, lewat penggambaran peristiwa-peristiwa, lewat penggambaran tokoh-tokohnya yang bermacam-macam karakter, dan lain-lain, gambaran tentang kehidupan itu akan terasa lebih hidup dan lebih menyentuh.
Selain itu, tidak semua hal dalam hidup ini bisa kita alami sendiri. Apa yang tidak bisa dan tidak sempat kita alami itu dapat diperoleh melalui prosa. Tidak semua orang tahu bagaimana kehidupan kaum gembel atau kehidupan di perkampungan-perkampungan kumuh. Namun, melalui cerpen-cerpen Gerson Poyk atau Joni Ariadinata misalnya, pembaca mendapat gambaran tentang kehidupan masyarakat kelas underdog tersebut. Atau contoh lainnya, tak semua orang, terutama generasi sekarang, tahu tentang keadaan masyarakat Indonesia di zaman Jepang. Melalui cerpen-cerpen karya Idrus, orang mendapat gambaran itu. Benar bahwa hal itu bisa diperoleh melalui sejarah atau sosiologi. Tetapi, sekali lagi, dari prosa kita akan mendapat gmbaran itu secara lebih hidup dan lebih menyentuh sebab prosa menyuguhkannya dalam segala sisinya: perasaan-perasaannya, harapannya, penderitaannya, dan lain-lain. Adapun sejarah atau sosiologi hanya menyajikannya pada tingkat formal. Dengan demikian, karya prosa sesungguhnya memperkaya wawasan dan pengetahuan pembacanya.
Media pengungkapan karya prosa adalah bahasa. Dalam menyajikan cerita dalam karyanya, pengarang berupaya menyuguhkannya dalam bahasa yang dapat menyentuh jiwa pembacanya. Untuk mencapai hal itu, para pengarang berupaya mengolah bahasa dengan sabaik-baiknya dan sedalam-dalamnya agar apa yang disampaikannya kuat mengena di hati pembaca. Mereka mencari kosakata-kosakata yang tepat yang dapat mewakili apa yang mereka inginkan, menciptakan ungkapanungkapan baru, menvariasikan struktur kalimat, memberi penggambaranpenggambaran yang hidup dengan bahasa, dan seterusnya. Dengan membaca karya yang telah mengandung bahasa yang terolah tersebut, pembaca diperkaya bahasanya, diperkaya rasa bahasanya, dan sebagainya.
Tentulah masih banyak manfaat-manfaat dari membaca (mengapresiasi) karya prosa. Intensitas kita membaca karya prosa, pada gilirannya akan mempertajam kepekaan kita; kepekaan sosial, kepekaan religi, kepekaan budaya, dan lain-lain.




DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New york: Holt, Rinehart and
            Winston

Aminuddin. 1987.Pengantar Apresiasi Karya Sastra.Bandung:Sinar Baru

Dola, Abdullah.2007.Apresiasi Prosa Fiksi dan Drama.Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.

Keraf, Gorys.1981.Diksi dan Gaya Bahasa. Ende Flores: Nusa Indah

Mahayana,  Maman S. 2007. Apresiasi Sastra Indonesia di Sekolah. Online (http://johnherf.wordpress.com). Diakses 23 Februari 2008.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
            University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko.1999.Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
 Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius

Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1995. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia

Tang, Muhammad Rapi. 2007. Pengantar Teori Sastra Yang Relevan Makassar: PPs UNM

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Pengantar Ilmu Sastra. Bandung: Pustaka Jaya

Waluyo, Herman. 1987. Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (terjemahan). Jakarta: 
            Gramedia

 

1 comment:

  1. ini materinya dari buku apresiasi sastra Dra. Sugishatuti?

    ReplyDelete