TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
Dua aliran psikologi yang sangat besar mempengaruhi arah
pengembangan teori dan praktik pembelajaran dewasa ini adalah aliran
behavioristik dan kognitif. Aliran behavioristik menekankan pada terbentuknya perilaku yang
nampak sebagai hasil belajar, sedangkan aliran kognitif lebih menekankan pada
pembentukan perilaku internal yang sangat mempengaruhi perilaku yang nampak
tersebut.
Teori behavioristik dengan model hubungan
Stimulus-Responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif.
Respon (perilaku) tertentu dapat dibentuk karena dikondisi dengan cara tertentu
dengan menggunakan metode drill (pembiasaan) semata. Munculnya perilaku akan
semakin kuat bila diberikan reinforcement, dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Hubungan S-R, individu pasif, perilaku yang nampak, pembentukan perilaku dengan
penataan kondisi secara ketat, reinforcement, dan hukuman merupakan unsur-unsur
yang sangat penting dalam teori behavioristik. Teori ini hingga sekarang sedang
merajai praktek pembelajaran. Buktinya nampak jelas pada penyelenggaraan
pembelajaran dari tingkat yang paling dini, seperti kelompok bermain, Taman
kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, sampai dengan Perguruan Tinggi,
yaitu pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) yang disertai dengan
reinforcement atau hukuman.
Aliran kognitif
berupaya mendeskripsikan apa yang terjadi dalam diri seseorang ketika ia
belajar. Teori ini lebih menaruh perhatian pada peristiwa-peristiwa internal.
Belajar adalah proses pemaknaan informasi baru dengan jalan mengaitkannya
dengan struktur informasi yang telah dimiliki. Belajar terjadi lebih banyak
ditentukan karena adanya karsa individu. Penataan kondisi bukan sebagai
penyebab terjadinya belajar, tetapi sekedar memudahkan belajar. Keaktifan
mahasiswa menjadi unsur yang sangat penting dalam menentukan kesuksesan
belajar. Kini teori ini diakui memiliki kekuatan yang dapat melengkapi
kelemahan dari teori behavioristik bila diterapkan dalam pembelajaran.
Munculnya Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), keterampilan proses, dan penekanan
pada berpikir produktif merupakan bukti bahwa teori kognitif telah merambah
praktek pembelajaran. Namun operasionalisasi dari teori ini nampak tertinggal
jauh jika dibandingkan dengan teori bahavioristik.
Bahasan singkat
ini berupaya mendeskripsikan bagaimana pemanfaatan teori-teori ini dalam
mengembangkan strategi pembelajaran di Perguruan Tinggi, terutama dalam menata
lingkungan belajar agar muncul prakarsa belajar dalam diri mahasiswa. Juga
tentang unsur apa yang terpenting yang perlu ada dalam lingkungan belajar
mahasiswa. Semuanya diarahkan agar mahasiswa dapat belajar dengan caranya yang
terbaik sehingga mereka dapat bertumbuh dan berkembang sesuai dengan
potensinya.
Pembelajaran Behavioristik vs. Konstruktivistik
Pemecahan masalah-masalah belajar dan pembelajaran dewasa
ini nampak sekali bertumpu pada
paradigma keteraturan sebagai lawan dari paradigma kesemrawutan. Belajar dan
pembelajaran, di Perguruan Tinggi, nampak sekali didesain dengan menggunakan
pendekatan keteraturan. Suatu pendekatan yang hingga kini diyakini sangat sahih
oleh dosen. Kajian ini mencoba melakukan
pembedahan landasan konseptual dan teoretik paradigma keteraturan sekaligus
dibandingkan dengan paradigma alternatifnya, yaitu kesemrawutan. Ini sangat
urgen dilakukan dalam upaya untuk mencari pendekatan pemecahan masalah belajar
dan pembelajaran yang lebih cocok di era yang telah berubah.
Persoalan-persoalan, dan preskripsi pemecahannya juga dicoba untuk
dideskripsikan meskipun masih terbatas pada tataran konsep, prosedur, dan
prinsip. Artinya, belum menyentuh tataran operasional.
Bagian awal dari kajian akan mencoba membuat perbandingan teori dan konsep yang melandasi
paradigma keteraturan dan kesemrawutan untuk memecahkan masalah-masalah belajar
dan pembelajaran. Paradigma keteraturan
dilandasi oleh teori dan konsep behavioristik, sedangkan paradigma kesemrawutan
dilandasi oleh teori dan konsep konstruktivistik (Brooks dan Brooks, 1993;
Marzano, Pickering, dan McTighe, 1993). Kajian ini mencoba mengungkap perbedaan
pandangan kedua teori ini mengenai belajar, pembelajaran, penataan latar
belajar, tujuan dan strategi pembelajaran, serta evaluasi pembelajaran.
Analisis Komparatif Pandangan Behavioristik &
Konstruktivistik
Behavioristik
a. Pengetahuan adalah objektif,
pasti, dan tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi.
b.
Belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah
memindah-kan pengetahuan ke orang yang belajar.
c.
Mahasiswa diharapkan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang
diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar itulah yang harus dipahami
oleh mahasiswa.
d. Fungsi mind adalah men-jiplak
struktur pengetahuan melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah
sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh
karakteristik struktur pengetahuan.
Konstruktivistik
a. Pengetahuan adalah non-objective,
temporer, selalu berubah, dan tidak menentu.
b.
Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas
kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar adalah menata lingkungan
agar mahasiswa Termotivasi dalam menggali makna serta menghargai
ketidakmenentuan.
c.
Mahasiswa akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan
tergan-tung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam
menginterpretasikannya.
d. Mind berfungsi sebagai alat untuk
menginterpretasi peris-tiwa, objek, atau perspektif yang ada dalam dunia nyata
sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan individualistik.
Pembelajaran dalam
dunia pendidikan
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran
merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan
ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap
dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah
proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.
Di sisi lain pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip
dengan pengajaran, tetapi sebenarnya mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam
konteks pendidikan, guru mengajar agar peserta didik dapat belajar dan
menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek
kognitif), juga dapat memengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta
keterampilan (aspek psikomotor) seorang peserta didik, namun proses pengajaran
ini memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan pengajar
saja. Sedangkan pembelajaran menyiratkan adanya interaksi antara pengajar
dengan peserta didik.
Pembelajaran yang berkualitas sangat tergantung dari
motivasi pelajar dan kreatifitas pengajar. Pembelajar yang memiliki motivasi
tinggi ditunjang dengan pengajar yang mampu memfasilitasi motivasi tersebut
akan membawa pada keberhasilan pencapaian target belajar. Target belajar dapat
diukur melalui perubahan sikap dan kemampuan siswa melalui proses belajar.
Desain pembelajaran yang baik, ditunjang fasilitas yang memandai, ditambah
dengan kreatifitas guru akan membuat peserta didik lebih mudah mencapai target
belajar.
Prinsip-prinsip pembelajaran
Berikut ini adalah prinsip umum pembelajaran yang penulis
rangkum dari beberapa pakar pembelajaran yang meliputi:
Perhatian dan Motivasi
Perhatian mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan
belajar. Dari kajian teori belajar pengolahan informasi terungkap bahwa tanpa
adanya perhatian tidak mungkin terjadi belajar. Perhatian terhadap pelajaran
akan timbul pada siswa apabila bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya.
Apabila bahan pelajaran itu dirasakan sebagai sesuatu yang dibutuhkan,
diperlukan untuk belajar lebih lanjut atau diperlukan dalam kehidupan
sehari-hari, akan membangkitkan perhatian dan juga motivasi untuk mempelajarinya.
Apabila dalam diri siswa tidak ada perhatian terhadap pelajaran yang
dipelajari, maka siswa tersebut perlu dibangkitkan perhatiannya. Dalam proses
pembelajaran, perhatian merupakan faktor yang besar pengaruhnya, kalau peserta
didik mempunyai perhatian yang besar mengenai apa yang dipelajari peserta didik
dapat menerima dan memilih stimuli yang relevan untuk diproses lebih lanjut di
antara sekian banyak stimuli yang datang dari luar. Perhatian dapat membuat
peserta didik untuk mengarahkan diri pada tugas yang akan diberikan; melihat
masalah-masalah yang akan diberikan; memilih dan memberikan fokus pada masalah
yang harus diselesaikan. Di samping perhatian, motivasi mempunyai peranan
penting dalam kegiatan belajar. Motivasi adalah tenaga yang menggerakkan dan
mengarahkan aktivitas seseorang. Motivasi mempunyai kaitan yang erat dengan
minat. Siswa yang memiliki minat terhadap sesuatu bidang studi tertentu
cenderung tertarik perhatiannya dan dengan demikian timbul motivasi untuk
mempelajarinya. Misalnya, siswa yang menyukai pelajaran matematika akan merasa
senang belajar matematika dan terdorong untuk belajar lebih giat, karenanya
adalah kewajiban bagi guru untuk bisa menanamkan sikap positif pada diri siswa
terhadap mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Motivasi dapat
diartikan sebagai tenaga pendorong yang menyebabkan adanya tingkah laku ke arah
suatu tujuan tertentu. Adanya tidaknya motivasi dalam diri peserta didik dapat
diamati dari observasi tingkah lakunya. Apabila peserta didik mempunyai motivasi,
ia akan bersungguh-sungguh menunjukkan minat, mempunyai perhatian, dan rasa
ingin tahu yang kuat untuk ikut serta dalam kegiatan belajar; berusaha keras
dan memberikan waktu yang cukup untuk melakukan kegiatan tersebut; Terus
bekerja sampai tugas-tugas tersebut terselesaikan.
Motivasi dapat bersifat internal, yaitu motivasi yang
berasal dari dalam diri peserta didik dan juga eksternal baik dari guru, orang
tua, teman dan sebagainya. Berkenaan dengan prinsip motivasi ini ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran, yaitu:
memberikan dorongan, memberikan insentif dan juga motivasi berprestasi.
Keaktifan
Menurut pandangan psikologi anak adalah makhluk yang
aktif. Anak mempunyai dorongan untuk berbuat sesuatu, mempunyai kemauan dan
aspirasinya sendiri. Belajar tidak bisa dipaksakan oleh orang lain dan juga
tidak bisa dilimpahkan pada orang lain. Belajar hanya mungkin terjadi apabila
anak mengalami sendiri. John Dewey mengemukakan bahwa belajar adalah menyangkut
apa yang harus dikerjakan siswa untuk dirinya sendiri, maka inisiatif harus
datang dari dirinya sendiri, guru hanya sebagai pembimbing dan pengarah.
Menurut teori kognitif, belajar menunjukkan adanya jiwa yang aktif, jiwa
mengolah informasi yang kita terima, tidak hanya menyimpan saja tanpa
mengadakan tansformasi. Menurut teori ini anak memiliki sifat aktif,
konstruktif, dan mampu merencanakan sesuatu. Anak mampu mencari, menemukan dan
menggunakan pengetahuan yang telah diperolehnya. Thordike mengemukakan
keaktifan siswa dalam belajar dengan hukum "law of exercise"-nya yang
menyatakan bahwa belajar memerlukan adanya latihan-latihan. Hubungan stimulus
dan respon akan bertambah erat jika sering dipakai dan akan berkurang bahkan
lenyap jika tidak pernah digunakan. Artinya dalam kegiatan belajar diperlukan
adanya latihan-latihan dan pembiasaan agar apa yang dipelajari dapat diingat
lebih lama. Semakin sering berlatih maka akan semakin paham. Hal ini juga
sebagaimana yang dikemukakan oleh Mc.Keachie bahwa individu merupakan
"manusia belajar yang aktif selalu ingin tahu". Dalam proses belajar,
siswa harus menampakkan keaktifan. Keaktifan itu dapat berupa kegiatan fisik
yang mudah diamati maupun kegiatan psikis yang sulit diamati. Kegiatan fisik
bisa berupa membaca, mendengar, menulis, berlatih keterampilan-keterampilan dan
sebaginya. Kegiatan psikis misalnya menggunakan pengetahuan yang dimiliki dalam
memecahkan masalah yang dihadapi, membandingkan suatu konsep dengan yang lain,
menyimpulkan hasil percobaan dan lain sebagainya.
Keterlibatan
Langsung/Pengalaman
Belajar haruslah dilakukan sendiri oleh siswa, belajar
adalah mengalami dan tidak bisa dilimpahkan pada orang lain. Edgar Dale dalam
penggolongan pengalaman belajar mengemukakan bahwa belajar yang paling baik
adalah belajar melalui pengalaman langsung. Dalam belajar melalui pengalaman
langsung siswa tidak hanya mengamati, tetapi ia harus menghayati, terlibat
langsung dalam perbuatan dan bertanggung jawab terhadap hasilnya. Sebagai
contoh seseorang yang belajar membuat tempe yang paling baik apabila ia
terlibat secara langsung dalam pembuatan, bukan hanya melihat bagaimana orang
membuat tempe, apalagi hanya mendengar cerita bagaimana cara pembuatan tempe.
Pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang menyediakan kesempatan
belajar sendiri atau melakukan aktivitas sendiri. Dalam konteks ini, siswa
belajar sambil bekerja, karena dengan bekerja mereka memperoleh pengetahuan,
pemahaman, pengalaman serta dapat mengembangkan keterampilan yang bermakna
untuk hidup di masyarakat. Hal ini juga sebagaimana yang di ungkapkan Jean
Jacques Rousseau bahwa anak memiliki potensi-potensi yang masih terpendam,
melalui belajar anak harus diberi kesempatan mengembangkan atau mengaktualkan
potensi-potensi tersebut. Sesungguhnya anak mempunyai kekuatan sendiri untuk
mencari, mencoba, menemukan dan mengembangkan dirinya sendiri. Dengan demikian,
segala pengetahuan itu harus diperoleh dengan pengamatan sendiri, pengalaman
sendiri, penyelidikan sendiri, bekerja sendiri, dengan fasilitas yang diciptakan
sendiri. Pembelajaran itu akan lebih bermakna jika siswa "mengalami
sendiri apa yang dipelajarinya" bukan "mengetahui" dari
informasi yang disampaikan guru, sebagaimana yang dikemukakan Nurhadi bahwa
siswa akan belajar dngan baik apabila yang mereka pelajari berhubungan dengan
apa yang telah mereka ketahui, serta proses belajar akan produktif jika siswa
terlibat aktif dalam proses belajar di sekolah. Dari berbagai pandangan para
ahli tersebut menunjukkan berapa pentingnya keterlibatan siswa secara langsung
dalam proses pembelajaran. Pentingnya keterlibatan langsung dalam belajar
dikemukakan oleh John Dewey dengan "learning by doing"-nya. Belajar
sebaiknya dialami melalui perbuatan langsung dan harus dilakukan oleh siswa
secara aktif. Prinsip ini didasarkan pada asumsi bahwa para siswa dapat
memperoleh lebih banyak pengalaman dengan cara keterlibatan secara aktif dan
proporsional, dibandingkan dengan bila mereka hanya melihat materi/konsep.
Modus Pengalaman belajar adalah sebagai berikut: kita belajar 10% dari apa yang
kita baca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50%
dari apa yang kita lihat dan dengar, 70% dari apa yang kita katakan, dan 90%
dari apa yang kita katakan dan lakukan. Hal ini menunjukkan bahwa jika guru
mengajar dengan banyak ceramah, maka peserta didik akan mengingat hanya 20%
karena mereka hanya mendengarkan. Sebaliknya, jika guru meminta peserta didik
untuk melakukan sesuatu dan melaporkan nya, maka mereka akan mengingat sebanyak
90%. Hal ini ada kaitannya dengan pendapat yang dikemukakan oleh seorang filsof
Cina Confocius, bahwa:
“ apa yang saya dengar, saya lupa; apa
yang saya lihat, saya ingat; dan apa yang saya lakukan saya paham. Dari
kata-kata bijak ini kita dapat mengetahui betapa pentingnya keterlibatan langsung
dalam pembelajaran. ”
Pengulangan
Prinsip belajar yang menekankan perlunya pengulangan
adalah teori psikologi daya. Menurut teori ini belajar adalah melatih daya-daya
yang ada pada manusia yang terdiri atas daya mengamati, menanggap, mengingat, mengkhayal,
merasakan, berfikir dan sebagainya. Dengan mengadakan pengulangan maka
daya-daya tersebut akan berkembang, seperti halnya pisau yang selalu diasah
akan menjadi tajam, maka daya yang dilatih dengan pengadaan
pengulangan-pengulangan akan sempurna. Dalam proses belajar, semakin sering
materi pelajaran diulangi maka semakin ingat dan melekat pelajaran itu dalam
diri seseorang. Mengulang besar pengaruhnya dalam belajar, karena dengan adanya
pengulangan "bahan yang belum begitu dikuasai serta mudah terlupakan"
akan tetap tertanam dalam otak seseorang. Mengulang dapat secara langsung
sesudah membaca, tetapi juga bahkan lebih penting adalah mempelajari kembali
bahan pelajaran yang sudah dipelajari misalnya dengan membuat ringkasan. Teori
lain yang menekankan prinsip pengulangan adalah teori koneksionisme-nya
Thordike. Dalam teori koneksionisme, ia mengemukakan bahwa belajar ialah
pembentukan hubungan antara stimulus dan respon, dan pengulangan terhadap
pengalaman-pengalaman itu memperbesar peluang timbulnya respon benar.
Tantangan
Teori medan (Field Theory) dari Kurt Lewin mengemukakan
bahwa siswa dalam belajar berada dalam suatu medan. Dalam situasi belajar siswa
menghadapi suatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi selalu terdapat hambatan
dalam mempelajari bahan belajar, maka timbullah motif untuk mengatasi hambatan
itu dengan mempelajari bahan belajar tersebut. Apabila hambatan itu telah
diatasi, artinya tujuan belajar telah tercapai, maka ia akan dalam medan baru
dan tujuan baru, demikian seterusnya. Menurut teori ini belajar adalah berusaha
mengatasi hambatan-hambatan untuk mencapai tujuan. Agar pada diri anak timbul
motif yang kuat untuk mengatasi hambatan dengan baik, maka bahan pelajaran
harus menantang. Tantangan yang dihadapi dalam bahan belajar membuat siswa
bersemangat untuk mengatasinya. Bahan pelajaran yang baru yang banyak
mengandung masalah yang perlu dipecahkan membuat siswa tertantang untuk
mempelajarinya. Penggunaan metode eksperimen, inquiri, discovery juga
memberikan tantangan bagi siswa untuk belajar secara lebih giat dan
sungguh-sungguh. Penguatan positif dan negatif juga akan menantang siswa dan
menimbulkan motif untuk memperoleh ganjaran atau terhindar dari hukuman yang
tidak menyenangkan.
Balikan dan
Penguatan
Prinsip belajar yang berkaiatan dengan balikan dan
penguatan adalah teori belajar operant conditioning dari B.F. Skinner.Kunci
dari teori ini adalah hukum effeknya Thordike, hubungan stimulus dan respon
akan bertambah erat, jika disertai perasaan senang atau puas dan sebaliknya bisa
lenyap jika disertai perasaan tidak senang. Artinya jika suatu perbuatan itu
menimbulkan efek baik, maka perbuatan itu cenderung diulangi. Sebaliknya jika
perbuatan itu menimbulkan efek negatif, maka cenderung untuk ditinggalkan atau
tidak diulangi lagi. Siswa akan belajar lebih semangat apabila mengetahui dan
mendapat hasil yang baik. Apabila hasilnya baik akan menjadi balikan yang
menyenangkan dan berpengaruh baik bagi usaha belajar selanjutnya. Namun
dorongan belajar itu tidak saja dari penguatan yang menyenangkan tetapi juga
yang tidak menyenangkan, atau dengan kata lain adanya penguatan positif maupun
negatif dapat memperkuat belajar. Siswa yang belajar sungguh-sungguh akan
mendapat nilai yang baik dalam ulangan. Nilai yang baik itu mendorong anak untuk
belajar lebih giat lagi. Nilai yang baik dapat merupakan operan conditioning
atau penguatan positif. Sebaliknya, anak yang mendapat nilai yang jelek pada
waktu ulangan akan merasa takut tidak naik kelas, karena takut tidak naik kelas
ia terdorong untuk belajar yang lebih giat. Di sini nilai jelek dan takut tidak
naik kelas juga bisa mendorong anak untuk belajar lebih giat, inilah yang
disebut penguatan negatif.
Perbedaan
Individual
Siswa merupakan makhluk individu yang unik yang mana
masing-masing mempunyai perbedaan yang khas, seperti perbedaan intelegensi,
minat bakat, hobi, tingkah laku maupun sikap, mereka berbeda pula dalam hal
latar belakang kebudayaan, sosial, ekonomi dan keadaan orang tuanya. Guru harus
memahami perbedaan siswa secara individu, agar dapat melayani pendidikan yang
sesuai dengan perbedaannya itu. Siswa akan berkembang sesuai dengan
kemampuannya masing-masing. Setiap siswa juga memiliki tempo perkembangan
sendiri-sendiri, maka guru dapat memberi pelajaran sesuai dengan temponya masing-masing.
Perbedaan individual ini berpengaruh pada cara dan hasil belajar siswa.
Karenanya, perbedaan individu perlu diperhatikan oleh guru dalam upaya
pembelajaran. Sistem pendidikan kalsik yang dilakukan di sekolah kita kurang
memperhatikan masalah perbedaan individual, umumnya pelaksanaan pembelajaran di
kelas dengan melihat siswa sebagai individu dengan kemampuan rata-rata,
kebiasaan yang kurang lebih sama, demikian pula dengan pengetahuannya.
No comments:
Post a Comment