Saturday, July 2, 2016

Raport Bukan Suatu Kebanggaan Lagi



MENGEJUTKAN !! INILAH CURHATAN ORANG TUA MELIHAT RAPORT ANAKNYA '' Saya Tidak Bahagia Melihat Rapor Anak Saya '' INI ALASANNYA..

Selamat Pagi Bapak dan Ibu Guru salam sejahtera dan salam edukasi !!
Jika salinan rapor di atas adalah rapor anak Anda, apakah Anda bahagia?
Saat menerima rapor dari guru kelas di sekolah tempat anak saya belajar lebih seminggu yang lalu, saya kaget melihat hasilnya. Saat masih duduk berhadapan dengan guru anak saya tersebut, saya termenung beberapa saat, seakan tidak percaya dengan apa yang tertulis di rapor anak saya tersebut. Dari satu sisi saya gembira dengan naik kelasnya anak saya. Tapi disisi yang lain, saya sungguh tidak percaya kenapa nilai rapor anak saya bisa seperti itu.
Saya tahu betul dengan kemampuan belajar anak saya, itu tergambar jelas di setiap ulangan yang dijalaninya, apakah itu ulangan harian, atau ulangan tengah semester atau ujian semester. Setiap ada ulangan dan dia membawa hasil akhirnya pulang setelah diperiksa dan diberi nilai oleh gurunya, saya sering menangis dalam hati melihat kemampuan anak saya. Dalam bayangan saya sudah tergambar sebuah kecemasan, bahwa tahun ini anak saya tidak akan naik kelas.
Lalu kenapa di saat saya datang mengambil rapor anak saya, saya mendapatkan nilainya begitu bagus? Lalu berceritalah sang guru, bahwa ini sangat berkaitan halnya dengan reputasi sekolah. Sekolah tempat anak saya belajar sudah mendapatkan akreditasi A. Dengan posisi seperti itu, maka pihak Dinas Pendidikan telah memberikan rating atau index angka Kriteria Ketuntasan Minimal dalam setiap mata pelajaran.
Sebagai contoh, misalnya pada pelajaran agama, sebagai salah satu dari matapelajaran pokok, pihak dinas mematok angka 80. Dalam pengertian, setiap ada ujian atau ulangan, si murid harus mampu menyelesaikan mata ulangannya dengan persentase betul 80 persen dari soal yang ditanyakan. Bila dibawah 80 persen atau nilai yang berhasil dikumpulkan si anak kurang dari 80, maka angka ini akan mempengaruhi kemungkinan si anak tidak akan naik kelas, tergantung persentase nilai yang diraih sang anak, begitu juga dukungan dari mata pelajaran pokok lainnya. Bila mata pelajaran pokok lainnya si anak bisa mendapatkan nilai lebih dari 80, maka itu akan membantu mendongkrak nilai yang rendah tadi.
Bila dalam satu kelas hanya satu atau dua anak yang mendapatkan nilai rendah, bisa saja mereka tidak naik kelas di tahun ajaran berikutnya. Tapi bagaimana kalau mayoritas murid mendapatkan nilai rendah saat ulangan dan ujian mereka? Sekolahlah yang menjadi taruhannya! Bisa terjadi pada penilaian akreditasi berikutnya sekolah akan turun jenjang akreditasinya.
Yang tadinya A bisa melorot jadi B dan seterusnya. Dan itu dampak negatifnya sangat luas bagi nama baik sekolah yang bersangkutan. Bila itu terjadi, para orang tua murid yang mengetahui hal tersebut akan segera beralih mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolah lain yang nilai akreditasinya lebih baik. Bagi guru dan kepala Sekolah, itu adalah perjudian besar jenjang karir mereka. Bila sampai terjadi akreditasi sekolah mereka turun, maka itu akan menjadi pembicaraan ramai di kalangan guru-guru itu sendiri. Para guru disekolah tersebut tidak akan bisa lagi berjalan dengan kepala tegak bila bertemu dengan sejawat sekolah saingan yang bisa mempertahankan atau malah meningkatkan akreditasi mereka.
Mengatasi situasi yang tidak menguntungkan tersebut, maka gurulah yang menjadi sasarannya. Mereka bermain akrobat dengan angka-angka rapor murid yang mereka ajar, demi nama baik sekolah dan mempertahankan akreditasi terbaik yang mereka miliki. Juga untuk keamanan karir sang guru di tempat mereka mengajar, maka jalan satu-satunya adalah mendongkrak angka-angka sang murid yang ditulis di dalam rapor pada angka minimal tabel atau index Kriteria Ketuntasan Minimal. Buntutnya adalah kita akan menemukan murid-murid dengan nilai tinggi di rapor mereka, tapi sejatinya nilai mereka tidaklah layak untuk seperti itu. Bisa jadi nilai real yang mereka dapatkan adalah satu tingkat dibawah akreditasi sekolah mereka saat itu. Atau lebih jeleknya lagi dua tingkat dibawahnya. Lalu, pertanyaan yang selalu hadir dalam setiap ada kasus dalam dunia pendidikan kita adalah: Mau dibawa kemana dunia pendidikan

No comments:

Post a Comment