KESANTUNAN BERBAHASA
Sudah
lazim apabila memperlakukan kesantunan sebagai suatu konsep yang tegas, seperti gagasan, tingkah laku sosial yang sopan, atau
etiket, terdapat dalam budaya, prinsip umum yang berbeda untuk menjadi
sopan dalam interaksi sosial dalam suatu budaya khusus,
sebagian dari prinsip-prinsip umum ini termasuk sifat
bijaksana, pemurah, rendah hati, dan simpatik terhadap orang lain (Yule, 2006:104).
Dicetuskannya
konsep kesantunan karena di dalam tuturan penutur tidak hanya
mematuhi prinsip kerjasama, tetapi kesantunan diperlukan hanya untuk melengkapi prinsip kerjasama dan mengatasi kesulitan yang timbul
akibat penerapan prinsip kerjasama (Gunarwan, 1995:6)
menegaskan bahwa pelanggaran prinsip kerjasama adalah bukti bahwa
didalam berkomunikasi penutur dan mitra tutur tidak hanya
sekedar penyampai informasi saja tetapi juga menyampaikan amanat. Sehingga kebutuhan penutur adalah menjaga dan memelihara
hubungan sosial penutur dan mitra tutur (walaupun dalam situasi
tertentu tidak menuntut pemeliharaan hubungan itu).
Leech
(1983) menulis buku dengan judul Principle of fragmatik. Dalam mengembangkan ilmu pragmatiknya Leech dan pakar-pakar yang mendahuluinya seperti Austin, Searle, dan Grice. Menurut Leech, Austin
dan Searle, merupakan perumus kajian makna dari kajian
daya ilokusi, sedangkan Grice merupakan perumus makna
implikatur percakapan. Gagasan Leech yang sangat penting di
dalam buku karyanya, tersebut adalah tentang prinsipkesantunan (pliteness
principle). Prinsip kesantunan yang dicetuskan oleh Leech itu berkenaan dengan kaidah kesantunan yang dirumuskan kedalam maxsim (enam bidal) yaitu bidal ketimbangrasaan, kemurahhatian,
kerendahhatian, kesetujuan, kesimpatian dan keantipatian. Bidal
ketimbangrasaan didalam prinsip kesantunan memberikan petunjuk bahwa
pihak lain didalam tuturan hendaknya dibebani biaya
seringan-ringannya tetapi dengan keuntungan sebesar-besarnya. Bidal ketimbangrasaan ini lazimnya diungkapkan dengan tuturan impositif
dan tuturan komisif (Leech, 1983:132).
Rustono (1999:71)
juga mengemukakan teori kesantunan yang lebih mendasarkan
pada prinsip kesantunan (politeness principle), yaitu yang mencakup sejumlah bidal atau pepatah yang berisi nasehat yang harus dipatuhi
agar tuturan menjadi lebih santun yaitu, (1) biaya (cost) dan keuntungan (benefit), (2) celaan atau penjelekan
(dispraise) dan pujian (praise), (3) kesetujuan (agreement) serta (4) kesimpatian dan keantipatian (simpathy/antipathy).
Sementara
itu, Fraser (1978) juga membahasa topik lain pragmatic yaitu kesantunan berbahasa. Dia mengemukakan perbedaan antara
kesantunan dan penghormatan. Kesantunan tuturan dimaksudkan peserta
tuturan tidak melampaui hak-haknya dan tidak mengingkari
untuk memenuhi kewajibannya, sedangkan penghormatan
berfungsi sebagai sarana simbolis untuk menyatakan suatu perhargaan. Kesantunan berbahasa yang dikemukakannya lebih mengacu
kepadaatas dasar strategi-strategi, yaitu strategi-strategi apakah yang dapat
diterapkan penutur agar tuturannya lebih santun. Namun, Fraser
tidak merinci bentuk dan strategi kesantunannya.
Kajian
kesantunan berbahasa juga telah dibahas oleh Brown dan Levinson (1978). Mereka mengemukakan kesantunan berbahasa itu tidak berkenaan dengan kaidah-kaidah, tetapi menyangkut lima strategi, kelima
strategi tersebut yaitu, (1) melakukan tindak tutur secara apa
adanya, tanpa basa-basi, dengan mematuhi prinsip-prinsip
kerjasama Grice; (2) melakukan tindak tutur dengan menggunakan
kesantunan positif;(3) melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan negatif; (4) melakukan tindak tutur secara off
record; dan (5) tidak melakukan tindak tutur atau diam saja
(Rustono, 1999:69-70).
Peristiwa
komunikasi dengan kondisi para penutur tidak selalu menaati prinsip kerjasama telah mendorong para ahli berfikir dan mencetuskan
teori kesantunan, antara lain Lakof (1972) mencetuskan teori
kesantunan yang harus dipatuhi dengan tiga kaidah, yaitu
formalitas, ketidaktegasan, dan persamaan atau kesekawanan.
Kaidah formalitas memiliki maksud tidak memaksa atau tidak lazimnya bertutur sedemikian rupa agar mitra tutur dapat menentukan
pilihan. Selanjutnya kaidah persamaan atau kesekawanan. Kaidah
ini lebih mengacu agar penutur dapat membuat mitra tuturnya
senang (Rustono, 1999:67).
Sementara
itu, menurut Gunarwan (1992:19) sebuah tindak tutur dapat mengancam muka mitra tuturnya. Untuk mengurangi kerasnya ancaman
terhadap muka mitra tuturnya dalam berkomunikasi hendaklah
penutur tidak selalu mematuhi prinsip kerjasama tetapi
lebih menekankan pada nilai kesantunan.

PRINSIP KESANTUAN
Prinsip kesantunan disebut juga prinsip kesopanan.
Sebagai retorika tekstual pragmatik membutuhkan prinsip kerja sama (cooperative
principle), yaitu prinsip kesopanan (politeness principle). Prinsip kesopanan
memiliki sejumlah bidal yaitu bidal kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan
(generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahatian
(modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian
(simpathy maxim). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta
percakapan, yaitu diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah
penutur, dan orang lain adalah lawan tutur dan orang ketiga yang dibicarakan
penutur dan lawan tutur (Wijana, 1996:55).
Menurut Suyono (1990:15) aturan-aturan dalam
prinsip kesantunan memiliki aturan berkaitan dengan kebijaksanaan yang
berkaitan dengan kerugian dan keuntungan dalam situasi tutur, yaitu (1) perkecil
kerugian pada orang lain, (2) perbesar keuntungan pada orang lain, aturan
kedermawanan terikat pada aturan-aturan, yaitu (1) kurangi keuntungan bagi diri
sendiri, (2) tambahilah pengorbanan pada diri sendiri. Selanjutnya aturan
penghargaan menyarankan, (1) kurangi cacian pada orang lain, (2) tambahilah
pujian pada orang lain. Aturan kesederhanaan menyarankan, (1) kurangi pujian pada
diri sendiri, (2) tambahilah cacian pada diri sendiri. Aturan pemufakatan
menyarankan, (1) kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain,
(2) tingkatkan penyesuaian diri sendiri dengan orang lain. Aturan kesimpatian
menyarankan, (1) kurangi antipati antara diri sendiri dan orang lain, dan (2) perbesarlah
simpati antara diri sendiri dan orang lain.
Aturan-aturan di atas merupakan perwujudan dalam
peristiwa tutur yang dapat terjadi secara simultan yang pada dasarnya sebagai
pelengkap prinsipprinsip kerjasama. Dalam kondisi tertentu prinsip kerjasama
lebih dominan daripada prinsip kesantunan, sementara itu pada kondisi yang lain
kemungkinan akan terjadi sebaliknya prinsip kesantunan lebih dominan daripada
prinsip kerjasama.
Adapun skala pengukur kesantunan yang banyak
digunakan sebagai dasar acuan dalam penelitian kesantunan ada tiga macam, yaitu
(1) skala kesantunan menurut Leech (1983), (2) skala kesantunan menurut Brown
dan Levinson (1978), dan (3) skala kesantunan menurut Lakoff (1973).
a.
Skala Kesantunan Leech
Skala kesantunan Leech (1983), mengemukakan setiap bidal interpersonal
itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan menurut tuturan,
yaitu (1) skala untung rugi (cost-benefit scale, (2) skala pilihan (optionaly
scale, (3) skala ketidaklangsungan (indirectness scale, (4) skala keotoritasan
status sosial (authority scale), dan (5) skala jarak sosial (social distance
scale). Penjabaran kelima skala Leech sebagai berikut:
(1) Skala kerugian dan keuntungan
(cost benefit scale) lebih mengacu pada besar kecilnya kerugian dan keuntungan
yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah penuturan. Makin tuturan
tersebut merugikan diri penutur akan dianggap santunlah tuturan itu. Demikian
sebaliknya apabila tuturan itu menguntungkan diri penutur akan makin dianggap
tidak santunlah tuturan itu. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan
alternatif atau pilihan, karena makin banyak pilihan maka makin santunlah
tuturan itu. Namun apabila dalam sebuah tuturan tidak ada pilihan atau alternatif
dalam memecahkan sebuah problem maka dianggap tidak santun, karena terkesan
menyuruh dan memaksa penutur. Kemungkinan usia penutur lebih tua dari mitra
tutur, alangkah lebih baiknya dalam memecahkan problem mitra tutur memberi
banyak alternatif agar tidak terkesan menggurui kepada penutur, seperti pada
tuturan,
(6) Singgahlah ke gubukku walau sebentar.
(7) Kamu bodoh sekali sampai tidak naik kelas.
Maksud dari tuturan (6)
mengidentifikasikan kesantunan karena menggunakan
bahasa yang merendahkan diri, walaupun sebenarnya yang
dianggap gubuk adalah
rumah yang mewah, sementara itu pada tuturan (7)
mengidentifikasikan skala
kerugian karena menyinggung perasaan mitra tutur atau
tidak menghargai mitra
tutur dengan mengatakan "Kamu bodoh sekali".
(2) Skala pilihan (optionaly
scale) lebih mengacu pada banyaknya pilihan yang disampaikan penutur kepada
mitra tutur dalam melakukan aktivitas tutur. Makin banyak pilihan atau
alternatif jawaban yang disampaikan dalam kegiatan bertutur akan dianggap
santun, tetapi makin sedikit pilihan atau alternatif jawaban dalam aktifitas
tutur akan dianggap kurang santun karena dianggap mendekte aktivitas dan
kreatifitas orang lain. Seperti pada tuturan
(8) Jika
ada waktu dan tidak lelah, perbaiki sepeda saya !
(9)
Perbaiki sepeda saya !
Kaidah ketiga adalah persamaan
dan kesekawanan. Maka kaidah ketiga ini adalah bahwa penutur hendaknya
bertindak seolah-olah mitra tuturnya itu sama, atau dengan kata lain buatlah
mitra tutur merasa senang (Rustono, 1998:68).
(3) Skala ketidaklangsungan
(indirectness scale) lebih mengacu pada peringkat langsung atau tidak
langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan
dianggap makin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya makin tidak
langsung maksud sebuah tuturan akan dianggap santunlah tuturan itu. Seperti
pada penggalan tuturan
(10) Mulutmu bau sekali, belum gosok gigi ya?
Tuturan diatas
mengidentifikasikan skala kelangsungan
ketidaksantunan. Tuturan (10) sebaiknya tidak perlu diucapkan karena akan membuat
malu atau tersinggung mitra tutur.
(4) Skala keotoritasan
(authority scale) lebih mengacu pada hubungan status sosial antara penutur dan
mitra tutur yang terlibat dalam penuturan. Social distance scale atau skala
jarak sosial menunjuk pada peringkat hubungan antara penutur dan mitra tutur
yang terlibat dalam sebuah penuturan. Ada kecenderungan bahwa makin dekat jarak
peringkat sosial diantara keduanya, akan menjadi kurang santunlah tuturan itu
karena keduanya telah mengenal satu sama lain. Sementara apabila jarak sosial
keduanya jauh akan terjadi tingkat kesantunan yang tinggi, karena dari kedua
pihak takut menyakiti atau menyinggung perasaan terhadap orang yang belum
dikenal dengan baik. Seperti pada penuturan
(11) Hallo Bos dari mana?
(12) Maaf Bu, dimana rumah Pak Lurah?
Tuturan (11) mengidentifikasikan suasana akrab atau kesekawanan maka dianggap
tuturan biasa kepada sesama teman yang sudah akrab. Sementara itu tuturan (12)
mengiden-tifikasikan kesantunan, karena lebih menghargai mitra tutur.
(5) Skala jarak sosial (social distance scale) lebih mengacu pada peringkat
hubungan sosial, karena makin jauh jarak hubungan sosial kecenderungan tingkat
kesantunan makin tinggi. Sementara itu makin dekat jarak hubungan sosial akan
dianggap kurang santun karena komunikasi sering terjadi maka kekerabatan dan
keakraban telah terbina dengan sendirinya tingkat kesantunan mulai berkurang.
Seperti pada tuturan
(13) Siap
Komandan !
Tuturan (13) mengidentifikasikan adanya rasa hormat, patuh dan menghargai terhadap
seorang atasan.
b.
Skala Kesantunan Brown dan Levinson
Sementara itu kesantunan Brown
dan Levinson (1978) terdapat tiga skala penentu tinggi rendahnya peringkat
kesantunan sebuah tuturan. Ketiga skala tersebut (1) peringkat sosial, (2)
peringkat kewenangan, dan (3) peringkat kulturan.
Berikut penjelasan dari setiap skala kesantunan adalah
Skala peringkat jarak sosial
antara penutur dan mitra tutur (social distance speaker and hearer) banyak
ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin dan latar belakang
sosiokultural. Perbedaan umur antara penutur dan mitra tutur dapat menciptakan
tuturan kesantunan. Makin tua umur peringkat kesantunan semakin tinggi. Hal ini
karena faktor usia dan pengalaman hidup yang dirasa sudah banyak pengalaman
dalam memecahkan sesuatu hal. Sebaliknya orang yang masih berusia muda
cenderung memiliki peringkat kesantunan yang rendah. Hal ini karena faktor usia
yang masih labil dan belum banyak pengalaman hidup khususnya dalam memecahkan
berbagai persoalan hidup. Demikian pula seorang wanita, memiliki tingkat
kesantunan lebih tinggi dibanding dengan seorang pria. Hal ini disebabkan
karena wanita cenderung lebih banyak berperasaan dan mengutamakan estetika
dalam keseharian dibidangnya. Sementara pria cendering banyak berkenan dengan
pemakaian logika dalam kegiatan keseharian hidupnya. Tingkat pendidikan
seseorang juga berpengaruh dalam melakukan situasi tutur. Mereka yang
berpendidikan tinggi cenderung hatihati dalam bertutur, sementara mereka yang
tidak berpendidikan akan bertutur tanpa memikirkan perasaan orang lain.
Seperti pada tuturan
(14) Tidurlah nak sudah malam. Mau Ibu temani?
(15) Cepat tidur sudah malam !
Tuturan (14) mengidentifikasikan
penghalusan kata atau kesantunan seorang ibu dalam bertutur kepada anaknya yang
susah tidur, sementara tuturan (15) mengidentifikasikan ketidaksantunan tuturan
ayah yang dianggap kasar.
Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra
tutur (the speaker dan hearer relative power) atau seringkali disebut dengan
peringkat kekuasaan (power rating) didasarkan pada kedudukan asimetrik antara
penutur dan mitra tutur. Maksudnya adalah bahwa kekuasaan seseorang sangat
dihargai ketika ia berada pada bidang dan fungsinya.
Seperti pada tuturan
(16) Ada apa Pak Polisi datang kesini?
(17) Maaf Pak Polisi SIM saya ketinggal di rumah, karena
saya
ditelepon pihak rumah sakit untuk
segera mengoperasi pasien.
Tuturan (16) mengidentifikasi
kekuasaan atau wewenang seorang dokter disebuah rumah sakit. Tuturan (17)
mengidentifikasikan kekuasaan seorang Polisi lalu lintas yang sedang
menjalankan tugasnya di lapangan.
Skala peringkat tindak tutur atau
sering pula disebut dengan rank rating atau selengkapnya adalah the degree of impodsition associated with
the required expenditure of goods or sevises didasarkan atas kedudukan
relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya. Maksudnya adalah
bahwa budaya mempengaruhi seseorang dalam bertutur dan berperilaku. Seperti
sopan santun telah menjadi budaya bangsa Indonesia, maka adat ketimuranlah yang
senantiasa dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia, seperti tidak melakukan
hubungan seksual sebelum menikah, atau ketika berkunjung di rumah orang lain
tidak lebih dari jam sembilan malam.
Seperti pada tuturan
(18) Maaf
sudah hampir jam 9 malam saya permisi dulu Bu.
Tuturan (18) mengidentifikasikan
tuturan yang berhubungan dengan nilai budaya dan etika yang berkembang di
masyarakat Indonesia pada umumnya.
c.
Skala Kesantunan Lakof
Skala kesantunan Lakoff (1973)
menyatakan tiga ketentuan untuk dapat dipenuhinya kesantunan di dalam kegiatan
bertutur, yaitu (1) skala formalitas (formality scale), (2) skala
ketidaktegasan (hesitancy scale), (3) skala kesamaan atau kesekawanan (equelity
scale). Berikut penjelasan dari setiap skala kesantunan Lakoff.
Skala formalitas (formality
scale), yakni skala yang dinyatakan bahwa agar para peserta tutur dapat merasa
nyaman dan kerasan dalam kegiatan bertutur, tuturan yang digunakan tidak boleh
bernada memaksa dan tidak boleh terkesan angkuh. Jarak formalitas harus selalu
dijaga dengan sewajarnya tanpa ada kesan dibuat-buat. Konsekuensi kaidah ini
adalah memaksa dan angkuh seperti pada tuturan (19) dan (20) adalah tuturan
yang tidak santun.
Seperti pada tuturan
(19)
Bersihkan lantai itu sekarang juga !
(20)
Sudahlah, kamu tidak akan dapat menyelesaikan masalah ini !
(Rustono,
1998:67).
Skala ketidaktegasan (hesitency
scale) yaitu skala yang seringkali disebut dengan skala pilihan (optionality
scale) dalam kegiatan bertutur penutur dan mitra tutur dapat saling merasa
nyaman dan kerasan, pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua
belah pihak. Dengan tujuan menciptakan suasana santun agar tidak tercipta
suasana tegang. Karena suasana tegang akan dianggap kurang santun karena
komunikasi tidak berjalan sebagaimana selayaknya. Seperti pada tuturan
(21) Jika
ada waktu dan tidak lelah, perbaiki sepeda saya !
(22)
Perbaiki sepeda saya !
(Rustono, 1998:68)
Tuturan (21) mengidentifikasikan
tuturan yang tidak memaksa tetapi memberi pilihan kepada mitra tutur dalam
mengambil suatu keputusan tertentu. Tuturan (22) tidak memberikan pilihan atau
alternatif kepada mitra tutur dan terkesan memaksa.
Skala kesekawanan yakni peringkat
kesekawanan atau kesamaan menunjukkan bahwa agar dapat bersifat umum, orang
haruslah bersikap ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak
yang satu dengan pihak yang lain. Agar tercapai maksud yang demikian, penutur
haruslah dapat menganggap mitra tutur sebagai sahabat. Dengan menganggap pihak
yang satu sebagai sahabat baik pihak lainnya, rasa kesekawanan dan kesejajaran
sebagaisalah satu prasyarat kesantunan akan dapat tercapai.
Seperti
pada tuturan
(23) Halus
sekali kulitmu seperti kulitku.
(24)
Mengapa nilai TOEFL-mu tetap jelek?
(Rustono,
1998:68)
Tuturan (23) mengidentifikasikan
menyenangkan perasaan orang lain atau membuat mitra tutur merasa nyaman, karena
telah menyenangkan hatinya. Tuturan (24) mengidentifikasikan kondisi yang tidak
menyenangkan pada diri mitra tutur.
Baryadi, I. Praptomo. 2002. Dasar-dasar
Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa.
Yogyakarta :
Pustaka Gondhosuli.
Brown, Penelope dan S. C.
Levinson. 1978. Universals in Language Usage :
Politness
Phenomena dalam
Ester N. Goody (ed) Question and
Politness. Cambrige
University Press. Halaman 56 - 324.
Grice, H. Paul. 1975. "Logic
and conversation" dalam Cole, Dater dan S. Morgen
(ed). Pragmatik
: A. Readers. New York : Oxford University Press.
Gunarwan, Asim. 1993c. "Kesantunan
Negatif di Kalangan Dwi Bahasawan
Indonesia - Jawa
di Jakarta : Kajian Sosiopragmatik". Makalah pada
Pelba VII,
Jakarta 26-27 Oktober 1993.
Gunarwan, Asim. 1994. "Pragmatik
: Pandangan Mata Burung" dalam Soenjono
Dardjowidjojo (ed) Mengiring
Rekan Sejati : Festschrift Buat Pak Ton. Jakarta :
Unika Atmajaya.
Gunarwan, Asim. 1995. "Direktif
dan Sopan Santun Bahasa Dalam Bahasa Indonesia :
Kajian Pendahuluan".
Makalah
Universitas Indonesia Depok.
Ibrahim, A. S. 1993. Kajian
Tindak Tutur. Surabaya : Usaha Nasional.
Kunjana, Rahadi. 2005. Pragmatik
: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta :
Erlangga.
Lakoff, R. 1972. The
Pragmatics of Modality Papers from The 8th Regional Meeting.
Chicago
Linguistik
Society.
Leech, Geoffrey. 1983. Principle
of Pragmatics. Terjemahan ke Dalam Bahasa Indonesia oleh
M. D.
D. Oka. 1993. Prinsip-prinsip
Pragmatik. Jakarta:
UI Press. London : Longman.
Lubis. 1993. Analisis Wacana
Pragmatik. Bandung : Angkasa.
Mey, Jacob. L. 1994. Pragmaties
: An Introduction. Oxford & Cambrige, USA : Black
Well.
Rustono. 1999. Pokok-pokok
Pragmatik. Semarang : IKIP Semarang Press.
-----------. 1998. Implikatur
Percakapan Sebagai Pengungkap Humor Di Dalam
Sudaryanto. 1993. Metode dan
Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta : University
Press.
Susiloningsih, Dyah. 2001. Jenis
dan Fungsi Tindak TuturDirektif dalam Wacana Kuis
di Televisi. Skripsi.
Universitas Negeri Semarang.
Stubbs, Michael. 1983. Discourse
Analysis : The Sociolinguistics Analysis of Natural
Language. Oxford
: Basil Black Well.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar
Pragmatik. Yogyakarta : Angkasa.
Wiryotinoyo, Mujiyono. 1996. Implikatur
Percakapan Anak Usia Sekolah Dasar. Disertasi FPS.
IKIP Malang.
Yule, Gerge (terjemahan Wahyuni,
Indah Fajar). 2006. Pragmatik. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
No comments:
Post a Comment