Tuesday, June 7, 2016

Kesantunan Berbahasa



KESANTUNAN BERBAHASA

http://bapersip.jatimprov.go.id/Uploadedimage/CVR20110622014130.jpg


Sudah lazim apabila memperlakukan kesantunan sebagai suatu konsep yang tegas, seperti gagasan, tingkah laku sosial yang sopan, atau etiket, terdapat dalam budaya, prinsip umum yang berbeda untuk menjadi sopan dalam interaksi sosial dalam suatu budaya khusus, sebagian dari prinsip-prinsip umum ini termasuk sifat bijaksana, pemurah, rendah hati, dan simpatik terhadap orang lain (Yule, 2006:104).
Dicetuskannya konsep kesantunan karena di dalam tuturan penutur tidak hanya mematuhi prinsip kerjasama, tetapi kesantunan diperlukan hanya untuk melengkapi prinsip kerjasama dan mengatasi kesulitan yang timbul akibat penerapan prinsip kerjasama (Gunarwan, 1995:6) menegaskan bahwa pelanggaran prinsip kerjasama adalah bukti bahwa didalam berkomunikasi penutur dan mitra tutur tidak hanya sekedar penyampai informasi saja tetapi juga menyampaikan amanat. Sehingga kebutuhan penutur adalah menjaga dan memelihara hubungan sosial penutur dan mitra tutur (walaupun dalam situasi tertentu tidak menuntut pemeliharaan hubungan itu).
Leech (1983) menulis buku dengan judul Principle of fragmatik. Dalam mengembangkan ilmu pragmatiknya Leech dan pakar-pakar yang mendahuluinya seperti Austin, Searle, dan Grice. Menurut Leech, Austin dan Searle, merupakan perumus kajian makna dari kajian daya ilokusi, sedangkan Grice merupakan perumus makna implikatur percakapan. Gagasan Leech yang sangat penting di dalam buku karyanya, tersebut adalah tentang prinsipkesantunan (pliteness principle). Prinsip kesantunan yang dicetuskan oleh Leech itu berkenaan dengan kaidah kesantunan yang dirumuskan kedalam maxsim (enam bidal) yaitu bidal ketimbangrasaan, kemurahhatian, kerendahhatian, kesetujuan, kesimpatian dan keantipatian. Bidal ketimbangrasaan didalam prinsip kesantunan memberikan petunjuk bahwa pihak lain didalam tuturan hendaknya dibebani biaya seringan-ringannya tetapi dengan keuntungan sebesar-besarnya. Bidal ketimbangrasaan ini lazimnya diungkapkan dengan tuturan impositif dan tuturan komisif (Leech, 1983:132).
Rustono (1999:71) juga mengemukakan teori kesantunan yang lebih mendasarkan pada prinsip kesantunan (politeness principle), yaitu yang mencakup sejumlah bidal atau pepatah yang berisi nasehat yang harus dipatuhi agar tuturan menjadi lebih santun yaitu, (1) biaya (cost) dan keuntungan (benefit), (2) celaan atau penjelekan (dispraise) dan pujian (praise), (3) kesetujuan (agreement) serta (4) kesimpatian dan keantipatian (simpathy/antipathy).
Sementara itu, Fraser (1978) juga membahasa topik lain pragmatic yaitu kesantunan berbahasa. Dia mengemukakan perbedaan antara kesantunan dan penghormatan. Kesantunan tuturan dimaksudkan peserta tuturan tidak melampaui hak-haknya dan tidak mengingkari untuk memenuhi kewajibannya, sedangkan penghormatan berfungsi sebagai sarana simbolis untuk menyatakan suatu perhargaan. Kesantunan berbahasa yang dikemukakannya lebih mengacu kepadaatas dasar strategi-strategi, yaitu strategi-strategi apakah yang dapat diterapkan penutur agar tuturannya lebih santun. Namun, Fraser tidak merinci bentuk dan strategi kesantunannya.
Kajian kesantunan berbahasa juga telah dibahas oleh Brown dan Levinson (1978). Mereka mengemukakan kesantunan berbahasa itu tidak berkenaan dengan kaidah-kaidah, tetapi menyangkut lima strategi, kelima strategi tersebut yaitu, (1) melakukan tindak tutur secara apa adanya, tanpa basa-basi, dengan mematuhi prinsip-prinsip kerjasama Grice; (2) melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan positif;(3) melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan negatif; (4) melakukan tindak tutur secara off record; dan (5) tidak melakukan tindak tutur atau diam saja (Rustono, 1999:69-70).
Peristiwa komunikasi dengan kondisi para penutur tidak selalu menaati prinsip kerjasama telah mendorong para ahli berfikir dan mencetuskan teori kesantunan, antara lain Lakof (1972) mencetuskan teori kesantunan yang harus dipatuhi dengan tiga kaidah, yaitu formalitas, ketidaktegasan, dan persamaan atau kesekawanan. Kaidah formalitas memiliki maksud tidak memaksa atau tidak lazimnya bertutur sedemikian rupa agar mitra tutur dapat menentukan pilihan. Selanjutnya kaidah persamaan atau kesekawanan. Kaidah ini lebih mengacu agar penutur dapat membuat mitra tuturnya senang (Rustono, 1999:67).
Sementara itu, menurut Gunarwan (1992:19) sebuah tindak tutur dapat mengancam muka mitra tuturnya. Untuk mengurangi kerasnya ancaman terhadap muka mitra tuturnya dalam berkomunikasi hendaklah penutur tidak selalu mematuhi prinsip kerjasama tetapi lebih menekankan pada nilai kesantunan.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg9mbhqn8H3JQO0IvKZC87LbJSNS0TH48JDfSEzgrZDca-u1GNJyQrkAYDtVoW3YGo9kTBRFlRKE2ToN2SvXMP1JENI1qILNPiIsgWYT2wTyOi0Gr9y9po82vwmt7o-35hbm4M4KlUoAnA/s1600/080306.jpg


PRINSIP KESANTUAN
Prinsip kesantunan disebut juga prinsip kesopanan. Sebagai retorika tekstual pragmatik membutuhkan prinsip kerja sama (cooperative principle), yaitu prinsip kesopanan (politeness principle). Prinsip kesopanan memiliki sejumlah bidal yaitu bidal kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahatian (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (simpathy maxim). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yaitu diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur dan orang ketiga yang dibicarakan penutur dan lawan tutur (Wijana, 1996:55).
Menurut Suyono (1990:15) aturan-aturan dalam prinsip kesantunan memiliki aturan berkaitan dengan kebijaksanaan yang berkaitan dengan kerugian dan keuntungan dalam situasi tutur, yaitu (1) perkecil kerugian pada orang lain, (2) perbesar keuntungan pada orang lain, aturan kedermawanan terikat pada aturan-aturan, yaitu (1) kurangi keuntungan bagi diri sendiri, (2) tambahilah pengorbanan pada diri sendiri. Selanjutnya aturan penghargaan menyarankan, (1) kurangi cacian pada orang lain, (2) tambahilah pujian pada orang lain. Aturan kesederhanaan menyarankan, (1) kurangi pujian pada diri sendiri, (2) tambahilah cacian pada diri sendiri. Aturan pemufakatan menyarankan, (1) kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain, (2) tingkatkan penyesuaian diri sendiri dengan orang lain. Aturan kesimpatian menyarankan, (1) kurangi antipati antara diri sendiri dan orang lain, dan (2) perbesarlah simpati antara diri sendiri dan orang lain.
Aturan-aturan di atas merupakan perwujudan dalam peristiwa tutur yang dapat terjadi secara simultan yang pada dasarnya sebagai pelengkap prinsipprinsip kerjasama. Dalam kondisi tertentu prinsip kerjasama lebih dominan daripada prinsip kesantunan, sementara itu pada kondisi yang lain kemungkinan akan terjadi sebaliknya prinsip kesantunan lebih dominan daripada prinsip kerjasama.
Adapun skala pengukur kesantunan yang banyak digunakan sebagai dasar acuan dalam penelitian kesantunan ada tiga macam, yaitu (1) skala kesantunan menurut Leech (1983), (2) skala kesantunan menurut Brown dan Levinson (1978), dan (3) skala kesantunan menurut Lakoff (1973).
a.      Skala Kesantunan Leech
Skala kesantunan Leech (1983), mengemukakan setiap bidal interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan menurut tuturan, yaitu (1) skala untung rugi (cost-benefit scale, (2) skala pilihan (optionaly scale, (3) skala ketidaklangsungan (indirectness scale, (4) skala keotoritasan status sosial (authority scale), dan (5) skala jarak sosial (social distance scale). Penjabaran kelima skala Leech sebagai berikut:
(1) Skala kerugian dan keuntungan (cost benefit scale) lebih mengacu pada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah penuturan. Makin tuturan tersebut merugikan diri penutur akan dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya apabila tuturan itu menguntungkan diri penutur akan makin dianggap tidak santunlah tuturan itu. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan alternatif atau pilihan, karena makin banyak pilihan maka makin santunlah tuturan itu. Namun apabila dalam sebuah tuturan tidak ada pilihan atau alternatif dalam memecahkan sebuah problem maka dianggap tidak santun, karena terkesan menyuruh dan memaksa penutur. Kemungkinan usia penutur lebih tua dari mitra tutur, alangkah lebih baiknya dalam memecahkan problem mitra tutur memberi banyak alternatif agar tidak terkesan menggurui kepada penutur, seperti pada tuturan,

(6) Singgahlah ke gubukku walau sebentar.
(7) Kamu bodoh sekali sampai tidak naik kelas.

Maksud dari tuturan (6) mengidentifikasikan kesantunan karena menggunakan
bahasa yang merendahkan diri, walaupun sebenarnya yang dianggap gubuk adalah
rumah yang mewah, sementara itu pada tuturan (7) mengidentifikasikan skala
kerugian karena menyinggung perasaan mitra tutur atau tidak menghargai mitra
tutur dengan mengatakan "Kamu bodoh sekali".

(2) Skala pilihan (optionaly scale) lebih mengacu pada banyaknya pilihan yang disampaikan penutur kepada mitra tutur dalam melakukan aktivitas tutur. Makin banyak pilihan atau alternatif jawaban yang disampaikan dalam kegiatan bertutur akan dianggap santun, tetapi makin sedikit pilihan atau alternatif jawaban dalam aktifitas tutur akan dianggap kurang santun karena dianggap mendekte aktivitas dan kreatifitas orang lain. Seperti pada tuturan
(8) Jika ada waktu dan tidak lelah, perbaiki sepeda saya !
(9) Perbaiki sepeda saya !
Kaidah ketiga adalah persamaan dan kesekawanan. Maka kaidah ketiga ini adalah bahwa penutur hendaknya bertindak seolah-olah mitra tuturnya itu sama, atau dengan kata lain buatlah mitra tutur merasa senang (Rustono, 1998:68).

       (3) Skala ketidaklangsungan (indirectness scale) lebih mengacu pada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap makin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya makin tidak langsung maksud sebuah tuturan akan dianggap santunlah tuturan itu. Seperti pada penggalan tuturan
(10) Mulutmu bau sekali, belum gosok gigi ya?
Tuturan diatas mengidentifikasikan skala kelangsungan
ketidaksantunan. Tuturan (10) sebaiknya tidak perlu diucapkan karena akan membuat malu atau tersinggung mitra tutur.

            (4) Skala keotoritasan (authority scale) lebih mengacu pada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam penuturan. Social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk pada peringkat hubungan antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah penuturan. Ada kecenderungan bahwa makin dekat jarak peringkat sosial diantara keduanya, akan menjadi kurang santunlah tuturan itu karena keduanya telah mengenal satu sama lain. Sementara apabila jarak sosial keduanya jauh akan terjadi tingkat kesantunan yang tinggi, karena dari kedua pihak takut menyakiti atau menyinggung perasaan terhadap orang yang belum dikenal dengan baik. Seperti pada penuturan

(11) Hallo Bos dari mana?
(12) Maaf Bu, dimana rumah Pak Lurah?

Tuturan (11) mengidentifikasikan suasana akrab atau kesekawanan maka dianggap tuturan biasa kepada sesama teman yang sudah akrab. Sementara itu tuturan (12) mengiden-tifikasikan kesantunan, karena lebih menghargai mitra tutur.
(5) Skala jarak sosial (social distance scale) lebih mengacu pada peringkat hubungan sosial, karena makin jauh jarak hubungan sosial kecenderungan tingkat kesantunan makin tinggi. Sementara itu makin dekat jarak hubungan sosial akan dianggap kurang santun karena komunikasi sering terjadi maka kekerabatan dan keakraban telah terbina dengan sendirinya tingkat kesantunan mulai berkurang. Seperti pada tuturan

(13) Siap Komandan !

Tuturan (13) mengidentifikasikan adanya rasa hormat, patuh dan menghargai terhadap seorang atasan.


b.      Skala Kesantunan Brown dan Levinson
Sementara itu kesantunan Brown dan Levinson (1978) terdapat tiga skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan sebuah tuturan. Ketiga skala tersebut (1) peringkat sosial, (2) peringkat kewenangan, dan (3) peringkat kulturan.
Berikut penjelasan dari setiap skala kesantunan adalah
Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social distance speaker and hearer) banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin dan latar belakang sosiokultural. Perbedaan umur antara penutur dan mitra tutur dapat menciptakan tuturan kesantunan. Makin tua umur peringkat kesantunan semakin tinggi. Hal ini karena faktor usia dan pengalaman hidup yang dirasa sudah banyak pengalaman dalam memecahkan sesuatu hal. Sebaliknya orang yang masih berusia muda cenderung memiliki peringkat kesantunan yang rendah. Hal ini karena faktor usia yang masih labil dan belum banyak pengalaman hidup khususnya dalam memecahkan berbagai persoalan hidup. Demikian pula seorang wanita, memiliki tingkat kesantunan lebih tinggi dibanding dengan seorang pria. Hal ini disebabkan karena wanita cenderung lebih banyak berperasaan dan mengutamakan estetika dalam keseharian dibidangnya. Sementara pria cendering banyak berkenan dengan pemakaian logika dalam kegiatan keseharian hidupnya. Tingkat pendidikan seseorang juga berpengaruh dalam melakukan situasi tutur. Mereka yang berpendidikan tinggi cenderung hatihati dalam bertutur, sementara mereka yang tidak berpendidikan akan bertutur tanpa memikirkan perasaan orang lain.

Seperti pada tuturan
(14) Tidurlah nak sudah malam. Mau Ibu temani?
(15) Cepat tidur sudah malam !

Tuturan (14) mengidentifikasikan penghalusan kata atau kesantunan seorang ibu dalam bertutur kepada anaknya yang susah tidur, sementara tuturan (15) mengidentifikasikan ketidaksantunan tuturan ayah yang dianggap kasar.

Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur (the speaker dan hearer relative power) atau seringkali disebut dengan peringkat kekuasaan (power rating) didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur. Maksudnya adalah bahwa kekuasaan seseorang sangat dihargai ketika ia berada pada bidang dan fungsinya.

Seperti pada tuturan
(16) Ada apa Pak Polisi datang kesini?
(17) Maaf Pak Polisi SIM saya ketinggal di rumah, karena saya
              ditelepon pihak rumah sakit untuk segera mengoperasi pasien.

Tuturan (16) mengidentifikasi kekuasaan atau wewenang seorang dokter disebuah rumah sakit. Tuturan (17) mengidentifikasikan kekuasaan seorang Polisi lalu lintas yang sedang menjalankan tugasnya di lapangan.

Skala peringkat tindak tutur atau sering pula disebut dengan rank rating atau selengkapnya adalah the degree of impodsition associated with the required expenditure of goods or sevises didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya. Maksudnya adalah bahwa budaya mempengaruhi seseorang dalam bertutur dan berperilaku. Seperti sopan santun telah menjadi budaya bangsa Indonesia, maka adat ketimuranlah yang senantiasa dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia, seperti tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah, atau ketika berkunjung di rumah orang lain tidak lebih dari jam sembilan malam.



Seperti pada tuturan
(18) Maaf sudah hampir jam 9 malam saya permisi dulu Bu.

Tuturan (18) mengidentifikasikan tuturan yang berhubungan dengan nilai budaya dan etika yang berkembang di masyarakat Indonesia pada umumnya.


c.       Skala Kesantunan Lakof
Skala kesantunan Lakoff (1973) menyatakan tiga ketentuan untuk dapat dipenuhinya kesantunan di dalam kegiatan bertutur, yaitu (1) skala formalitas (formality scale), (2) skala ketidaktegasan (hesitancy scale), (3) skala kesamaan atau kesekawanan (equelity scale). Berikut penjelasan dari setiap skala kesantunan Lakoff.

Skala formalitas (formality scale), yakni skala yang dinyatakan bahwa agar para peserta tutur dapat merasa nyaman dan kerasan dalam kegiatan bertutur, tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan tidak boleh terkesan angkuh. Jarak formalitas harus selalu dijaga dengan sewajarnya tanpa ada kesan dibuat-buat. Konsekuensi kaidah ini adalah memaksa dan angkuh seperti pada tuturan (19) dan (20) adalah tuturan yang tidak santun.

Seperti pada tuturan
(19) Bersihkan lantai itu sekarang juga !
(20) Sudahlah, kamu tidak akan dapat menyelesaikan masalah ini !
(Rustono, 1998:67).

Skala ketidaktegasan (hesitency scale) yaitu skala yang seringkali disebut dengan skala pilihan (optionality scale) dalam kegiatan bertutur penutur dan mitra tutur dapat saling merasa nyaman dan kerasan, pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua belah pihak. Dengan tujuan menciptakan suasana santun agar tidak tercipta suasana tegang. Karena suasana tegang akan dianggap kurang santun karena komunikasi tidak berjalan sebagaimana selayaknya. Seperti pada tuturan

(21) Jika ada waktu dan tidak lelah, perbaiki sepeda saya !
(22) Perbaiki sepeda saya !
        (Rustono, 1998:68)

Tuturan (21) mengidentifikasikan tuturan yang tidak memaksa tetapi memberi pilihan kepada mitra tutur dalam mengambil suatu keputusan tertentu. Tuturan (22) tidak memberikan pilihan atau alternatif kepada mitra tutur dan terkesan memaksa.

Skala kesekawanan yakni peringkat kesekawanan atau kesamaan menunjukkan bahwa agar dapat bersifat umum, orang haruslah bersikap ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak yang satu dengan pihak yang lain. Agar tercapai maksud yang demikian, penutur haruslah dapat menganggap mitra tutur sebagai sahabat. Dengan menganggap pihak yang satu sebagai sahabat baik pihak lainnya, rasa kesekawanan dan kesejajaran sebagaisalah satu prasyarat kesantunan akan dapat tercapai.

Seperti pada tuturan
(23) Halus sekali kulitmu seperti kulitku.
(24) Mengapa nilai TOEFL-mu tetap jelek?
(Rustono, 1998:68)

Tuturan (23) mengidentifikasikan menyenangkan perasaan orang lain atau membuat mitra tutur merasa nyaman, karena telah menyenangkan hatinya. Tuturan (24) mengidentifikasikan kondisi yang tidak menyenangkan pada diri mitra tutur.



Baryadi, I. Praptomo. 2002. Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa.
                 Yogyakarta : Pustaka Gondhosuli.

Brown, Penelope dan S. C. Levinson. 1978. Universals in Language Usage :
                Politness Phenomena dalam Ester N. Goody (ed) Question and
                Politness. Cambrige University Press. Halaman 56 - 324.

Grice, H. Paul. 1975. "Logic and conversation" dalam Cole, Dater dan S. Morgen
                (ed). Pragmatik : A. Readers. New York : Oxford University Press.

Gunarwan, Asim. 1993c. "Kesantunan Negatif di Kalangan Dwi Bahasawan
              Indonesia - Jawa di Jakarta : Kajian Sosiopragmatik". Makalah pada
             Pelba VII, Jakarta 26-27 Oktober 1993.

Gunarwan, Asim. 1994. "Pragmatik : Pandangan Mata Burung" dalam Soenjono

Dardjowidjojo (ed) Mengiring Rekan Sejati : Festschrift Buat Pak Ton. Jakarta : Unika Atmajaya.

Gunarwan, Asim. 1995. "Direktif dan Sopan Santun Bahasa Dalam Bahasa Indonesia : Kajian                   Pendahuluan". Makalah Universitas Indonesia Depok.

Ibrahim, A. S. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya : Usaha Nasional.

Kunjana, Rahadi. 2005. Pragmatik : Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta : Erlangga.

Lakoff, R. 1972. The Pragmatics of Modality Papers from The 8th Regional Meeting. Chicago  Linguistik Society.

Leech, Geoffrey. 1983. Principle of Pragmatics. Terjemahan ke Dalam Bahasa Indonesia oleh M. D.

D. Oka. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: UI Press. London : Longman.

Lubis. 1993. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung : Angkasa.
Mey, Jacob. L. 1994. Pragmaties : An Introduction. Oxford & Cambrige, USA : Black Well.

Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang : IKIP Semarang Press.

-----------. 1998. Implikatur Percakapan Sebagai Pengungkap Humor Di Dalam

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta : University Press.

Susiloningsih, Dyah. 2001. Jenis dan Fungsi Tindak TuturDirektif dalam Wacana Kuis di Televisi. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.

Stubbs, Michael. 1983. Discourse Analysis : The Sociolinguistics Analysis of Natural Language. Oxford : Basil Black Well.

Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta : Angkasa.

Wiryotinoyo, Mujiyono. 1996. Implikatur Percakapan Anak Usia Sekolah Dasar. Disertasi FPS. IKIP Malang.

Yule, Gerge (terjemahan Wahyuni, Indah Fajar). 2006. Pragmatik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

No comments:

Post a Comment