Sunday, June 5, 2016

Contoh Cerpen "Demi Kesembuhan Ibuku"



Demi Kesembuhan Ibuku

 http://jokokurniawan.com/wp-content/uploads/2014/12/ibu-buta.jpg

Nafasku terengah-engah saat berlari mengejar sebuah kasur yang berodakan empat. Sebuah kasur terbuat dari besi yang di-desaign secara khusus, sehingga kasur itu dapat berlari dengan kencang. Tidak seperti kasur di rumahku, riot dan rapuh karna hanya terbuat dari kayu tua. Kasur itu didorong oleh beberapa orang dengan berpakaian serba putih. Mereka mendorongnya dengan kencang seolah-olah sedang terburu-buru untuk melakukan sesuatu. Kasur itu membawa ibuku yang sedang terkapar lemas. Ibuku tampak kurus dan puncat dengan selang kecil yang tertanam di lubang hidungnya. Jarum kecil tertusuk di lengan kirinya beserta selang yang dihubungkan ke sebuah tabung plastik. Tabung itu berisikan air berwarna bening yang digenggam oleh salah satu dari mereka. Ku berusaha untuk memanggil ibuku yang di sana, berharap dia akan terbangun dari tidurnya.
            “Ibu... Ibu... Ibu... Tunggu aku bu!”
            “Ibu, sebenarnya apa yang terjadi ini, mengapa ibu terkapar lemas di sana?”
            “Ibu, mengapa orang-orang berbaju putih itu membawamu dengan tergesa-gesa?”
            “Ada apa bu?”
            Suaraku tak mampu melintang keras dimimpi ibuku dan perjalanannya pun kini terhenti. Mereka tak lagi membawa ibuku dengan tergesa-gesa. Kasur besi yang berodakan empat kini tak lagi berputar cepat. Mereka memasukkan kasur itu disebuah ruangan yang dibatasi oleh dua pintu gerbang besar. Diatasnya bertuliskan “UGD” degan jelas dan ku tak boleh ikut masuk kedalamnya.
            Kakak-kakakku hanya duduk di kursi panjang dan berdiam diri tak ada yang dilakukan. Bagaikan batu yang hanya berdiam diri, tapi tetesan air mata mereka sangat jelas kurasakan. Entah apa yang membuat mereka bersedih dan tak berdaya seperti itu? Aku masih belum paham, yang bisa aku lakukan di sini hanyalah berharap. Berharap dan berharap.
            Selang satu jam, seorang laki-laki berpakain putih keluar dari ruangan itu. Kakak-kakakku mengerumuninya dan mereka pun melakukan pembicaraan. Entah apa yang mereka bicarakan, sepertinya serius. Sehabis melakukan pembicaraan, orang itu kembali keruangannya.
            Serentak kakak-kakakku mengajakku untuk duduk. Duduk sembari menundukkan kepalanya masing-masing. Memeluk pundakku dengan lembut, secara bergantian berbisik kepadaku.
            “Dik, kita mendapat sebuah musibah.”
            “Dik, ibu kita sedang sakit keras.”
            “Dik, kakak-kakakmu ini akan berusaha keras untuk membayar biaya rumah sakit.”
            “Dik, kakak minta tolong, kamu jaga dan rawat beliau di sini, selagi kami tidak di sini.”
            Bisikan itu pun berakhir, bersamaan dengan dimulainya detingan jantung yang keras: “Dag, dig, dug, dag, dig, dug...” Hatiku tiba-tiba berubah menjadi kacau balau. Merana akan takdir yang baru saja ku terima. Membuatku termenung sepi dalam kalbu.
            “Ibu, benarkah ini yang terjadi padamu saat ini?”
            “Ibu, apakah semua ini terjadi karna perbuatanku semata?”
            “Ibu, maafkanlah anakmu ini!”
            “Ibu...”
Tak banyak kata yang dapat ku ucap. Mendengarnya seraya aku ditunggu-tunggu oleh kutukan ibu terhadap malin kundangnya. Manjadi batu akan sejarah kedurhakaan anak kepada ibunya. Penebusan akan dosa-dosa lama. Terbayar lunas jika aku mampu melakukan sesuatu untuknya.

 http://patriotgaruda.com/wp-content/uploads/2014/12/kasih-sayang-2.jpg

Mataku seolah-olah telah beku, tak dapat mengeluarkan air mata. Air mataku akan turun sia-sia jika aku tidak melakukan sesuatu. Kakak-kakakku sudah banyak melakukan sesuatu untuknya, termasuk mengusahakan sebuah kesembuhan dan membayar biaya pengobatannya. Lalu, bagaimana dengan aku? Tak banyak yang ku perbuat di sini. Hanya menjadi satpam sekaligus pembantu umum dari segala kebutuhannya.
Kembali. Untuk kedua kalinya, aku hanya duduk termenung di kursi panjang ini. Berharap akan ada sebuah keajaiban datang menemui keluarga kami, tapi bagaimana? Aku sendiri saja tak mampu berbuat apa-apa! Ingin rasanya seperti kakakku-kakakku, berjuang demi kesembuhannya. Hanya saja, aku sudah diberi amanah untuk menjaga dan merawatnya di sini.
Hari demi hari pun berlalu, kondisi ibu pun tetap saja seperti itu. Tidak berubah. Sepertinya para pemakai baju putih itu sudah tidak becus lagi. Pekerjaan para penganut omong kosong, padahal kakak-kakakku sudah berjuang demi gaji dan tenaga mereka. Tapi, lihatlah hasilnya sekarang. Nihil.
Kegelapan hati muncul. Menguak dalam-dalam persepsi negatif. Akhirnya setan dalam hatiku pun ikut berbicara, bagaimana jika aku keluar secara diam-diam dan mencari uang untuk membayar para gerombolan putih itu? Tapi, bagaimana dan di mana aku harus mencari uang? Aku tidak memiliki relasi untuk itu. Atau bagaimana jika aku membawa ibu kembali ke rumah secara diam-diam agar aku dapat dengan leluasa merawatnya dan mengobatinya? Tapi, apa dan bagaimana aku mengobatinya? Aku tidak memiliki kemampuan dan pengalaman dibidang kesehatan. Lalu, apa yang harus aku lakukan?

 http://s.kaskus.id/images/2014/12/22/1496874_20141222082313.jpg

Diwaktu yang bersamaan, saat kegelisahanku berada dipuncaknya, kakak-kakakku datang menjenguk. Sepertinya, masing-masing dari mereka sudah membawa segumpal uang untuk menyumbat mulut mereka. Ku harap kerja mereka akan memuaskan kami. Tidak membuat kami kecewa.
Kakak-kakakku kembali menemui laki-laki dengan pakain putih. Mereka berdiskusi dengan serius. Entah apa yang mereka bicarakan? Aku hanya duduk di kursi panjang untuk menantikan mereka. Benar-benar pasrah. Mungkin yang bisa aku lakukan di sini hanyalah berharap. Berharap dan berharap.
Seusai diskusi, serentak kakak-kakakku mengajakku untuk duduk . Duduk sembari menundukkan kepalanya masing-masing. Memeluk pundakku dengan lembut, secara bergantian berbisik kepadaku.
“Dik, kita mendapat sebuah musibah.”
“Dik, dokter belum menemukan penyakit yang diderita ibu kita.”
“Dik, sepertinya kita harus lebih bersabar lagi.”
“Dik, aku yakin Tuhan pasti punya rencana dibalik semua ini. Jadi, jangan pernah menyalahkan apapun atau siapapun!”
Bisikan itu pun berakhir, bersamaan dengan kegelisahan yang menumpuk. Sejenak, ku coba untuk menenangkan diri. Melupakan segala permasalahan ini, baik masalah ibuku atau masalah kegelisahanku. Ku langkahkan kaki ini ke suatu tempat yang tidak pernah terfikirkan sebelumnya. Sebuah tempat indah nan suci.
Seharusnya, sejak awal aku membiasakan diri di sini. Tak kuasa jika aku mengotori tempat indah nan suci, ku basuh sebagian tubuhku dengan tetes demi tetes air yang tergenang. Setelah kurasakan akan sucinya jiwa, ku memberanikan diri untuk masuk kedalamnya. Di dalam, suhunya dingin dan tentram. Membuatku ingin melakukannya, sebuah ritual yang jarang aku lakukan karena keegoisanku dan kini aku benar-benar ingin melakukannya karena kebutuhanku.
Ritual itu biasa aku lakukan dengan menurukan kepalaku diatas sejadah panjang yang terkapar lebar. Diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Tak banyak bicara hanya berbisik lirih. Bisikan ini benar-benar aku tuangkan dengan segenap jiwaku: “Duhai yang Maha menghidupkan dan Mematikan. Aku mohon kepada Mu, jangan kau cabut nyawa ibuku sebelum aku mampu memberikan suatu hal yang sangat berarti baginya. Aku mengerti kasih sayang ibuku mungkin tidak akan terbalas, tapi aku ingin berbuat sesuatu yang membahagiakan ibuku. Beri aku petunjuk dan pertolongan agar aku mampu membahagiakan ibuku walaupun sesaat. Duhai yang Maha Pengasih, izinkanlah aku... Izinkalah...”
Seusai aku laksanakan, ada suatu hal yang berbeda. Benar-benar berbeda. Sepertinya aku mendapatkan sebuah ketenangan dan kedamaian yang luar biasa. Sehingga, kegelisahanku pun mulai mereda dan aku dapat berfikir secara jernih.
Ku tebarkan senyum cerah yang tulus kepada setiap orang yang berkunjung ke tempat suci nan indah ini. Ku bentangkan tikar dan ku tawarkan pijat refleksi kepada mereka semua. Seiring berjalannya waktu, orang-orang silih berganti menerima dan merasakan jasa yang aku berikan kepada mereka. Selesai memijat dan saat pengguna jasa itu membuka dompetnya, aku buru-buru mencegahnya. Ku pegang tanganya dengan senyum berkata: “Maaf pak, saya tidak minta ini. Saya hanya minta bapak mendoakan agar ibu saya sembuh dari sakitnya. Hanya dengan cara ini saya bisa berbakti kepada ibu saya.” Jawaban itulah yang selalu aku berikan kepada setiap orang yang selesai ku pijat. 

 http://sifaloveshijab.com/wp-content/uploads/2015/09/Doa-ibu-haniffdotsg.jpg

Selama tiga hari, selalu aku rutinkan untuk melakukan pijat refleksi. Entah apa yang terjadi. Entah karena khusyuknya aku berdoa atau mungkin doa para jemaah yang aku pijat atau sebab lain, terjadi semacam “keajaiban”. Aku mendapat sebuah kabar yang sangat mengejutkanku. Seorang laki-laki berpakaian putih itu memberitahu kepada kakak-kakakku bahwa ibuku dinyatakan sehat dan boleh dibawa pulang meski belum diketahui penyakitnya.
Aku dan kakakku sangat senang mendengar kabar kesembuhan ibuku. Tapi, disatu sisi kita dipusingkan dengan biaya para gerombolan putih itu. Sudah sepekan lebih ibuku dirawat di sini dan kakak-kakakku masih belum bisa melunasi semuanya. Disaat kondisi seperti ini, apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus menagih uang kesemua orang yang sudah aku pijat? Aku rasa tidak, aku benar-benar ikhlas melakukannya dan tidak berharap sedikitpun tentang sebuah imbalan. Lalu...
Kesekian kalinya, kakak-kakakku kembali berdiskusi dengan seorang pria berpakaian putih itu. Entah apa yang mereka bicarakan? Aku hanya duduk di kursi panjang untuk menantikan mereka. Benar-benar pasrah. Mungkin yang bisa aku lakukan di sini hanyalah berharap. Berharap dan berharap.
Seusai diskusi, serentak kakak-kakakku mengajakku untuk duduk . Duduk sembari menundukkan kepalanya masing-masing. Memeluk pundakku dengan lembut, secara bergantian berbisik kepadaku.
“Dik, kita mendapat sebuah kabar gembira.”
“Dik, dokter bilang, kita tidak usah memikirkan biaya rumah sakit lagi.”
“Dik, sepertinya ada salah seorang jamaah yang kamu pijat, diam-diam melunasi biaya rumah sakit yang belum terbayar .”
“Dik, aku yakin ini mungkin ini salah satu rencana Tuhan yang luar biasa. Lihatlah yang kamu lakukan ini, kamu tidak hanya meminta tetapi terlebih dahulu memberi kepada orang lain berupa pijatan cuma-cuma. Lebih dari itu, kakak-kakakmu ini merasakan getaran yang besar dari semangatmu untuk berbakti dan membahagiakan ibumu. Sungguh luar bisa.”







Biodata Penulis

Nama                                       : Sultoni Rijalur Rachman
Tempat, tanggal lahir                 : Bondowoso, 18 September 1994
NIM                                        : 1310221060
Prodi, Fakultas                        : Bahasa Indonesia, KIP

No comments:

Post a Comment