Demi
Kesembuhan Ibuku
Nafasku
terengah-engah saat berlari mengejar sebuah kasur yang berodakan empat. Sebuah
kasur terbuat dari besi yang di-desaign secara khusus, sehingga kasur itu dapat
berlari dengan kencang. Tidak seperti kasur di rumahku, riot dan rapuh karna
hanya terbuat dari kayu tua. Kasur itu didorong oleh beberapa orang dengan
berpakaian serba putih. Mereka mendorongnya dengan kencang seolah-olah sedang
terburu-buru untuk melakukan sesuatu. Kasur itu membawa ibuku yang sedang
terkapar lemas. Ibuku tampak kurus dan puncat dengan selang kecil yang tertanam
di lubang hidungnya. Jarum kecil tertusuk di lengan kirinya beserta selang yang
dihubungkan ke sebuah tabung plastik. Tabung itu berisikan air berwarna bening
yang digenggam oleh salah satu dari mereka. Ku berusaha untuk memanggil ibuku
yang di sana, berharap dia akan terbangun dari tidurnya.
“Ibu... Ibu... Ibu... Tunggu aku bu!”
“Ibu, sebenarnya apa yang terjadi ini, mengapa ibu
terkapar lemas di sana?”
“Ibu, mengapa orang-orang berbaju putih itu membawamu
dengan tergesa-gesa?”
“Ada apa bu?”
Suaraku tak mampu melintang keras dimimpi ibuku dan
perjalanannya pun kini terhenti. Mereka tak lagi membawa ibuku dengan
tergesa-gesa. Kasur besi yang berodakan empat kini tak lagi berputar cepat.
Mereka memasukkan kasur itu disebuah ruangan yang dibatasi oleh dua pintu
gerbang besar. Diatasnya bertuliskan “UGD” degan jelas dan ku tak boleh ikut
masuk kedalamnya.
Kakak-kakakku hanya duduk di kursi panjang dan berdiam
diri tak ada yang dilakukan. Bagaikan batu yang hanya berdiam diri, tapi
tetesan air mata mereka sangat jelas kurasakan. Entah apa yang membuat mereka
bersedih dan tak berdaya seperti itu? Aku masih belum paham, yang bisa aku
lakukan di sini hanyalah berharap. Berharap dan berharap.
Selang satu jam, seorang laki-laki berpakain putih keluar
dari ruangan itu. Kakak-kakakku mengerumuninya dan mereka pun melakukan
pembicaraan. Entah apa yang mereka bicarakan, sepertinya serius. Sehabis
melakukan pembicaraan, orang itu kembali keruangannya.
Serentak kakak-kakakku mengajakku untuk duduk. Duduk
sembari menundukkan kepalanya masing-masing. Memeluk pundakku dengan lembut, secara
bergantian berbisik kepadaku.
“Dik, kita mendapat sebuah musibah.”
“Dik, ibu kita sedang sakit keras.”
“Dik, kakak-kakakmu ini akan berusaha keras untuk
membayar biaya rumah sakit.”
“Dik, kakak minta tolong, kamu jaga dan rawat beliau di
sini, selagi kami tidak di sini.”
Bisikan itu pun berakhir, bersamaan dengan dimulainya
detingan jantung yang keras: “Dag, dig, dug, dag, dig, dug...” Hatiku tiba-tiba
berubah menjadi kacau balau. Merana akan takdir yang baru saja ku terima. Membuatku
termenung sepi dalam kalbu.
“Ibu, benarkah ini yang terjadi padamu saat ini?”
“Ibu, apakah semua ini terjadi karna perbuatanku semata?”
“Ibu, maafkanlah anakmu ini!”
“Ibu...”
Tak
banyak kata yang dapat ku ucap. Mendengarnya seraya aku ditunggu-tunggu oleh
kutukan ibu terhadap malin kundangnya. Manjadi batu akan sejarah kedurhakaan
anak kepada ibunya. Penebusan akan dosa-dosa lama. Terbayar lunas jika aku
mampu melakukan sesuatu untuknya.
Mataku
seolah-olah telah beku, tak dapat mengeluarkan air mata. Air mataku akan turun
sia-sia jika aku tidak melakukan sesuatu. Kakak-kakakku sudah banyak melakukan
sesuatu untuknya, termasuk mengusahakan sebuah kesembuhan dan membayar biaya
pengobatannya. Lalu, bagaimana dengan aku? Tak banyak yang ku perbuat di sini.
Hanya menjadi satpam sekaligus pembantu umum dari segala kebutuhannya.
Kembali.
Untuk kedua kalinya, aku hanya duduk termenung di kursi panjang ini. Berharap
akan ada sebuah keajaiban datang menemui keluarga kami, tapi bagaimana? Aku
sendiri saja tak mampu berbuat apa-apa! Ingin rasanya seperti kakakku-kakakku,
berjuang demi kesembuhannya. Hanya saja, aku sudah diberi amanah untuk menjaga
dan merawatnya di sini.
Hari
demi hari pun berlalu, kondisi ibu pun tetap saja seperti itu. Tidak berubah.
Sepertinya para pemakai baju putih itu sudah tidak becus lagi. Pekerjaan para
penganut omong kosong, padahal kakak-kakakku sudah berjuang demi gaji dan
tenaga mereka. Tapi, lihatlah hasilnya sekarang. Nihil.
Kegelapan
hati muncul. Menguak dalam-dalam persepsi negatif. Akhirnya setan dalam hatiku
pun ikut berbicara, bagaimana jika aku keluar secara diam-diam dan mencari uang
untuk membayar para gerombolan putih itu? Tapi, bagaimana dan di mana aku harus
mencari uang? Aku tidak memiliki relasi untuk itu. Atau bagaimana jika aku
membawa ibu kembali ke rumah secara diam-diam agar aku dapat dengan leluasa
merawatnya dan mengobatinya? Tapi, apa dan bagaimana aku mengobatinya? Aku
tidak memiliki kemampuan dan pengalaman dibidang kesehatan. Lalu, apa yang
harus aku lakukan?
Diwaktu
yang bersamaan, saat kegelisahanku berada dipuncaknya, kakak-kakakku datang
menjenguk. Sepertinya, masing-masing dari mereka sudah membawa segumpal uang
untuk menyumbat mulut mereka. Ku harap kerja mereka akan memuaskan kami. Tidak
membuat kami kecewa.
Kakak-kakakku
kembali menemui laki-laki dengan pakain putih. Mereka berdiskusi dengan serius.
Entah apa yang mereka bicarakan? Aku hanya duduk di kursi panjang untuk
menantikan mereka. Benar-benar pasrah. Mungkin yang bisa aku lakukan di sini
hanyalah berharap. Berharap dan berharap.
Seusai
diskusi, serentak kakak-kakakku mengajakku untuk duduk . Duduk sembari
menundukkan kepalanya masing-masing. Memeluk pundakku dengan lembut, secara
bergantian berbisik kepadaku.
“Dik,
kita mendapat sebuah musibah.”
“Dik,
dokter belum menemukan penyakit yang diderita ibu kita.”
“Dik,
sepertinya kita harus lebih bersabar lagi.”
“Dik,
aku yakin Tuhan pasti punya rencana dibalik semua ini. Jadi, jangan pernah
menyalahkan apapun atau siapapun!”
Bisikan
itu pun berakhir, bersamaan dengan kegelisahan yang menumpuk. Sejenak, ku coba
untuk menenangkan diri. Melupakan segala permasalahan ini, baik masalah ibuku
atau masalah kegelisahanku. Ku langkahkan kaki ini ke suatu tempat yang tidak
pernah terfikirkan sebelumnya. Sebuah tempat indah nan suci.
Seharusnya,
sejak awal aku membiasakan diri di sini. Tak kuasa jika aku mengotori tempat
indah nan suci, ku basuh sebagian tubuhku dengan tetes demi tetes air yang
tergenang. Setelah kurasakan akan sucinya jiwa, ku memberanikan diri untuk
masuk kedalamnya. Di dalam, suhunya dingin dan tentram. Membuatku ingin
melakukannya, sebuah ritual yang jarang aku lakukan karena keegoisanku dan kini
aku benar-benar ingin melakukannya karena kebutuhanku.
Ritual
itu biasa aku lakukan dengan menurukan kepalaku diatas sejadah panjang yang
terkapar lebar. Diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Tak banyak
bicara hanya berbisik lirih. Bisikan ini benar-benar aku tuangkan dengan
segenap jiwaku: “Duhai yang Maha menghidupkan dan Mematikan. Aku mohon kepada
Mu, jangan kau cabut nyawa ibuku sebelum aku mampu memberikan suatu hal yang
sangat berarti baginya. Aku mengerti kasih sayang ibuku mungkin tidak akan
terbalas, tapi aku ingin berbuat sesuatu yang membahagiakan ibuku. Beri aku
petunjuk dan pertolongan agar aku mampu membahagiakan ibuku walaupun sesaat.
Duhai yang Maha Pengasih, izinkanlah aku... Izinkalah...”
Seusai
aku laksanakan, ada suatu hal yang berbeda. Benar-benar berbeda. Sepertinya aku
mendapatkan sebuah ketenangan dan kedamaian yang luar biasa. Sehingga,
kegelisahanku pun mulai mereda dan aku dapat berfikir secara jernih.
Ku
tebarkan senyum cerah yang tulus kepada setiap orang yang berkunjung ke tempat
suci nan indah ini. Ku bentangkan tikar dan ku tawarkan pijat refleksi kepada
mereka semua. Seiring berjalannya waktu, orang-orang silih berganti menerima
dan merasakan jasa yang aku berikan kepada mereka. Selesai memijat dan saat
pengguna jasa itu membuka dompetnya, aku buru-buru mencegahnya. Ku pegang tanganya
dengan senyum berkata: “Maaf pak, saya tidak minta ini. Saya hanya minta bapak
mendoakan agar ibu saya sembuh dari sakitnya. Hanya dengan cara ini saya bisa
berbakti kepada ibu saya.” Jawaban itulah yang selalu aku berikan kepada setiap
orang yang selesai ku pijat.
Selama
tiga hari, selalu aku rutinkan untuk melakukan pijat refleksi. Entah apa yang
terjadi. Entah karena khusyuknya aku berdoa atau mungkin doa para jemaah yang
aku pijat atau sebab lain, terjadi semacam “keajaiban”. Aku mendapat sebuah kabar
yang sangat mengejutkanku. Seorang laki-laki berpakaian putih itu memberitahu
kepada kakak-kakakku bahwa ibuku dinyatakan sehat dan boleh dibawa pulang meski
belum diketahui penyakitnya.
Aku
dan kakakku sangat senang mendengar kabar kesembuhan ibuku. Tapi, disatu sisi
kita dipusingkan dengan biaya para gerombolan putih itu. Sudah sepekan lebih
ibuku dirawat di sini dan kakak-kakakku masih belum bisa melunasi semuanya.
Disaat kondisi seperti ini, apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus
menagih uang kesemua orang yang sudah aku pijat? Aku rasa tidak, aku
benar-benar ikhlas melakukannya dan tidak berharap sedikitpun tentang sebuah
imbalan. Lalu...
Kesekian
kalinya, kakak-kakakku kembali berdiskusi dengan seorang pria berpakaian putih
itu. Entah apa yang mereka bicarakan? Aku hanya duduk di kursi panjang untuk
menantikan mereka. Benar-benar pasrah. Mungkin yang bisa aku lakukan di sini
hanyalah berharap. Berharap dan berharap.
Seusai
diskusi, serentak kakak-kakakku mengajakku untuk duduk . Duduk sembari
menundukkan kepalanya masing-masing. Memeluk pundakku dengan lembut, secara
bergantian berbisik kepadaku.
“Dik,
kita mendapat sebuah kabar gembira.”
“Dik,
dokter bilang, kita tidak usah memikirkan biaya rumah sakit lagi.”
“Dik,
sepertinya ada salah seorang jamaah yang kamu pijat, diam-diam melunasi biaya
rumah sakit yang belum terbayar .”
“Dik,
aku yakin ini mungkin ini salah satu rencana Tuhan yang luar biasa. Lihatlah
yang kamu lakukan ini, kamu tidak hanya meminta tetapi terlebih dahulu memberi
kepada orang lain berupa pijatan cuma-cuma. Lebih dari itu, kakak-kakakmu ini
merasakan getaran yang besar dari semangatmu untuk berbakti dan membahagiakan
ibumu. Sungguh luar bisa.”
Biodata
Penulis
Nama : Sultoni
Rijalur Rachman
Tempat, tanggal lahir :
Bondowoso, 18 September 1994
NIM :
1310221060
Prodi, Fakultas : Bahasa Indonesia, KIP
No comments:
Post a Comment