Sunday, June 5, 2016

Contoh Cerpen "Kepada air susu Ibu : Tentang hutang yang harus degera dilunasi"



Kepada air susu Ibu : Tentang hutang yang harus degera dilunasi

 https://assets.jalantikus.com/assets/cache/1380/600/tips/2015/12/22/ucapan-selamat-hari-ibu-banner.jpeg


Cerpen oleh : FitrotHM


Empat belas tahun lalu, saat aku duduk di kelas empat Sekolah Dasar, aku dikejutkan oleh kedatangan Ibu di Sekolah. Hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya. Ibu lalu menemui Wali Kelas dan Kepala Sekolah, meminta agar mengizinkanku pulang lebih awal. Ibu tampak terburu-buru, membawa beberapa barang yang diangkut dengan becak.
“Nay, Kita harus pergi secepatnya.”
“Ke mana bu?”
“Ke Malang. Kita akan tinggal di Malang”
“Tinggal? pindah rumah maksudnya?”
“Iya.”
 “Baju-bajumu sudah Ibu bawa, yang lainnya nanti kita beli yang baru.”
“Bapak mana? Kenapa Ibu buru-buru?”
“Nanti saja Ibu ceritakan. Ayo, bus akan berangkat sebentar lagi”.
Untuk pertama kalinya aku naik Bus jurusan Surabaya-Malang. Biasanya setiap ke Malang, kami selalu naik mobil Bapak. Sementara Bapak menyetir, Ibu akan bercerita tentang sebuah dongeng hingga kantuk menyerang. Tapi hari itu berbeda. Sepanjang perjalanan Ibu lebih banyak diam. Sementara aku sibuk sendiri. Bermain game boy, sambil sesekali memandang lalu lalang kendaraan.
Setelah beberapa jam, akhirnya kami sampai di daerah Sengkaling, Malang. Rumah keluarga Almarhum nenek. Walau aku terbiasa dengan lingkungan di sana, Ibu tetap mengajariku beradaptasi, dan sengaja melupakan janjinya bercerita tentang “mengapa Bapak tak ikut serta”.
Ibu mengajariku bagaimana memulai pertemanan, bagaimana menjadi jujur, bagaimana meminta tolong atas bantuan-bantuan, bagaimana mendengarkan orang lain, bagaimana menatap dengan ramah, bagaimana meminta maaf setelah berbuat salah, bagaimana meminta maaf, dan bagaimana meminta maaf. Ibu juga mengajariku bagaimana caranya memberi maaf.
Aku bersyukur, saudara-saudara Ibu semuanya baik. Walau kami tak tinggal satu dusun, Mereka berbondong-bondong membantu kami menata rumah yang akan kami tempati. Dan walaupun sudah beberapa bulan ditinggal Almarhum Nenek, rumah itu dijaga Pak Lik Slamet.  Seorang tetangga yang dianggap anak oleh nenekku.
***
Suatu sore, setelah aku merasa betah dengan rumah baru dan sekelilingnya, Ibu tampak bosan dan kehabisan cara mengelak dari pertanyaanku seputar kepindahan kami tanpa Bapak.
Aku mendapati Ibu sedang duduk di teras rumah. Melemparkan pandangan ke halaman rumah yang penuh tanaman. Aku memeluk bahunya dari belakang. Ibu membalas mencium keningku.
“Bu, jadi kenapa Bapak tidak ikut kesini?”
Ibu memelukku. Lama dan dalam. Ia menenggelamkanku di dadanya.
 “Maafkan Ibu ya Nay” katanya terisak.
“Bapak dan Ibu sudah tak bisa lagi tinggal serumah. Bapak sudah memilih jalannya sendiri. Dan Ibu tak bisa mencegahnya. Tapi yang terpenting, Ibu sama Bapak sayang sama Nayla”.
Ibu berkata sangat pelan, setengah berbisik.
Dadaku sesak mendengarnya. Walau aku belum benar-benar mengerti maksud perkataan Ibu, aku hanya membayangkan, pastilah sulit hidup tanpa Bapak.
Kami lalu saling diam dalam waktu yang lama.
“Kenapa Ibu membiarkan Bapak pergi?” tanyaku lagi.
Ibu terdiam, dan melepas pelukannya.
“Nanti kalau sudah besar, Nayla pasti mengerti” Ibu menjawab sambil merapikan rambutku yang berantakan.
Kami masih duduk di tempat yang sama saat senja mengecup dinding-dinding teras rumah.

 http://www.radarindo.com/wp-content/uploads/2015/12/ibu-Copy.jpg


***
Tahun-tahun berlalu. Saat usiaku tiga belas, baru Ibu memberitahu, bahwa Bapak selingkuh, dan memilih meninggalkan Ibu. Aku bingung mencerma maksudnya. Hal yang selama ini cuma aku lihat di televisi, kini terjadi pada keluargaku. Kepalaku pusing. Ibu lalu memelukku erat sekali.
***
Beberapa bulan kemudian, Ibu diterima menjadi salah satu redaktur sebuah media cetak mingguan, atas rekomendasi Tante Widi, sahabat karibnya. Tante Widi tahu, Ibu bisa diandalkan di bidangnya. Ibu senang luar biasa. Karena bisa mengerjakan hal yang disukainya, dan dibayar pula. Sejak berpisah dengan Bapak, Ibu memang harus bekerja sendiri untuk menghidupi kebutuhan kami berdua.
Setiap hari selepas sholat subuh, sebelum berangkat kerja Ibu menanak nasi, mengisi penuh bak mandi. Bermain dengan wajan serta spatula, dan meramu sarapan untuk kami berdua. Kemudian membersihkan minyak dan lemak yang menempel pada piring, gelas, dan sendok garpu-garpu. Sementara aku diberi tugas menyapu rumah dan halaman.
Setiap pulang bekerja, Ibu selalu nampak letih. Namun Ia selalu menyempatkan dan mengajakku sholat bersama, menjadi simpul mati atas nama Iman, sebelum akhirnya kami tertidur pulas dalam pelukan.
***.
Beberapa tahun ini, entah sudah berepa lelaki yang mendekati Ibu. Usia Ibuku memang baru tiga puluh tiga tahun. Ibuku masih segar dan cantik. Terlebih dulu Ibu menikah muda, karena terlampau yakin, bahwa Bapak adalah lelaki terbaik untuknya. Seorang saudara yang sudah berstatus duda terang-terangan melamar Ibu. Lalu seorang Guru muda, dan bahkan teman kantornya sendiri menyampaikan keinginan yang serius mempersunting Ibuku. Tapi semuanya ditolak dengan tegas.
Ibuku tak lagi menginginkan pernikahan. Itu sudah jelas Ia katakan padaku, saat aku mencoba menanyakannya, apakah Ibu ingin menikah.
“Ibu nggak mau nikah lagi?”
”Tidak. Ibu tak akan menikah lagi sampai kapanpun. Bapakmu sudah menjadi alasan yang cukup” katanya tanpa menatapku. Aku diam saja. Dan berjanji untuk tak akan menyinggung-nyinggung masalah itu lagi.
***
November 2009, Saat aku mulai disibukkan persiapan Ujian Akhir Sekolah Menengah Atas, tiba-tiba aku dihadapkan pada situasi yang sangat sulit. Keadaan yang membuatku hampir tumbang. Aku dilanda ketakutan luar biasa saat Ibu kehilangan kendali atas kesehatannya. Hampir sebulan Ia terbaring lemas di ranjang sebuah rumah sakit. Beberapa kali tak sadarkan diri, karena ginjalnya meradang.  Belum lagi darah rendah dan vertigo yang kerap menimpanya. Terakhir, dokter mendiagnosa jantung Ibuku melemah. Hari-hari yang sangat berat untukku. Aku butuh Bapak. Seharusnya Ia disini bersamaku.
Kerena ke tidak berdayaannya, sebelum berangkat sekolah aku mencoba menggantikan pekerjaan rumah. Mulai dari menanak nasi, hingga menyapu halaman. Belum apa-apa pinggangku sudah ngilu. Terpaksa aku sewa pembantu. Ternyata menjadi seorang ibu itu melelahkan. Aku tak bisa menggantikannya. Tapi aku lebih tak bisa melihatnya tertidur lemah diselimuti selang-selang oksigen dan infus.

 http://infounik.org/wp-content/uploads/2015/06/kata-kata-doa-ibu-550x275.jpg


Doaku saat itu, semoga Tuhan membebaskan segala sesak yang menyumbat jantungnya. membuang segala nyeri di ginjalnya. membuang yang buruk-buruk dari tubuh gempalnya. Rumah kami kehilangan pilar utamanya saat itu.
Selama sakit, saudara-saudara Ibu berdatangan menjenguk. Kadang juga ke rumah, membawakanku makanan untuk beberapa hari. Aku tak pernah merasa sendiri.
Setelah tiga bulan, akhirnya hari-hari sulit itu berakhir. Ibuku kembali beraktifitas seperti biasa. Kembali ke meja kantor, berkutat dengan lembaran kertas dan layar komputer, kembali menjadi telinga terbaik, kembali menjadi Imam, dan tugas tambahan menjadi guru les bahasa Inggris untukku.
***
Ibu berubah otoriter menjelang ujian kelulusanku. Ia membatasi jam menonton Televisi, mewajibkanku mengulang pelajaran setiap habis sholat isya, serta mengajariku agar lebih banyak berdo’a. Dan yang paling menyenangkan, Ia pulang kerja lebih awal, Ibu jadi lebih banyak menghabiskan waktu bersamaku.
***
Ujian kelulusan pun berakhir. Semua kenangan indah itu berputar-putar dalam kepala. Aku sadar, kenangan itu memang pasti berakhir. Hanya saja aku terlalu sayang dan takut, kalau hal indah itu tak dapat aku temukan di masa depan. Aku seolah-olah tak ingin beranjak.
***
Pertengahan tahun 2010, aku terpaksa keluar rumah. Aku memilih Jogjakarta sebagai tempat belajar sekaligus merantau. Kota yang aku impikan sejak beberapa tahun terakhir. Keluar rumah bukan karena aku merasa cukup dididik oleh Ibu, tapi aku merasa perlu mendidik diri sendiri. Perlu menemukan diri sendiri.
Tinggal terpisah dari Ibu bukan perkara mudah. Sungguh. Banyak hal yang berubah. Aku dan Ibu jadi lebih sering berjumpa melalui telepon. Aku jadi lebih sering sakit perut karena terlambat makan dan makan sembarang. Ibu jadi lebih sering panik saat Aku tak mengangkat telepon darinya.
Selain mengubah banyak hal, jarak juga menguak banyak hal. Aku jadi tahu bagaimana rasanya memupuk gengsi untuk tidak bilang saat sedang tak punya uang. Aku jadi tahu rasanya berutang, dan paniknya ditagih saat uangku belum cukup untuk melunasinya.
Suatu siang, ketukan pintu membangunkanku dari tidur yang panjang. Aku baru bisa tidur subuh, karena suatu hal. Dan handphone yang mati, lupa ku isi ulang. Tentu saja Ibu panik bukan kepalang. Mengira putrinya semaput di kamar sendirian atau tertimpa kecelakaan yang tak dapat ia bayangkan. Aku bangun, membuka pintu, lalu mendapati Ibu kost berdiri di depan pintu dengan rangkaian pertanyaan. Ternyata Ibu memaksanya ke kamar dengan gunung di kepalanya. Aku merasa konyol seketika. Sekaligus merasa begitu dicintai.
***
Fakultas Sastra tak semenyenangkan seperti yang ku bayangkan. Dosen-dosen dan teman-teman kuliahku pun tak seperti yang dikatakan Pak Lubis. Guru Bahasa Indonesiaku ketika SMA dulu. Jamannya berubah. Tak ada diskusi-diskusi, tak ada keberanian berbicara, aku benar-benar malas.
Aku lebih banyak menghabiskan waktu membaca buku, menonton pertunjukn seni, aktif di Pers Mahasiswa, dan membuat kelompok diskusi dengan beberapa teman. Sampai aku berpacaran dengan seorang diantaranya. Kukuh, lelaki yang begitu menyanangkan, walau Ia jarang mandi.
***
Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, dan sekarang sepuluh semester aku lewati dengan semangat yang hampir habis. Apalagi saat menhadapi awal bulan Oktober lalu. Saat Gedung Serbaguna Pandawa lima dipenuhi ribuan orang. Aku mengenal beberapa diantaranya. Mereka mahasiswa Sastra Inggris Universitas Chairil Anwar, angkatan 2010. Mereka teman-temanku. Mereka sarjana, dan aku belum.
Sebenarnya aku tak pernah bersedih, walau tak kunjung diwisuda. Ibuku mengerti. Dan Ia pun tahu, anak perempuannya tak lebih bodoh dari mereka yang lebih dulu memakai toga. Aku hanya agak kesal menerima kenyataan bahwa Aku dan mereka berjalan dari garis awal yang sama, mengapa harus berakhir berbeda?
Setiap kekesalan itu aku utarakan pada Ibu. Dan Ibu masih tak bosan mengajariku hal yang menurutnya paling sederhana di dunia; “Yang terpenting adalah, beribadah dengan baik, belajar dengan baik, dan makan dengan baik.”.  Setiap mendengar pesan itu, kedua lenganku yang lapang tiba-tiba ingin sekali memeluknya.
Ibu menyarankan agar aku lebih rajin menulis. Seperti kucing disiram air, aku mencoba memulainya. Aku menulis lagi. Kali ini tanpa papahan siapa pun. Aku mulai mencoba berjalan dengan kaki sendiri. Aku mulai bersemangat. Aku mulai menulis puisi, esai, dan cerpen. Menjajal beberapa perlombaan dengan beberapa kemenangan. Aku juga mengabarkan, saat puisiku berhasil masuk daftar antologi bersama para penulis perempuan sekelas Dewi (Dee) Lestari dan Jenar Maesa Ayu.
Ibu berbahagia mendengarnya. Beliau meminta ku membacakan apa yang ku tulis dalam antologi itu. Perlahan, dari stanza ke stanza berikutnya. Kami menangis bersama. Entah hal ini sebuah pencapaian, yang jelas aku tetap berhutang pada ibu. Hutang yang harus segera diunasi. Yaitu hutang jadi sarjana.
***
“Kamu ndak kangen Ibu?” katanya melalui telepon.
Tentu saja Aku kangen. Aku kangen masakan Ibu yang kadang terlalu banyak garam tapi selalu ku habiskan. Aku kangen obrolan sore hari di teras dengan kopi masing-masing. Aku kangen omelan Ibu yang gemas karena Aku selalu bangun lebih siang.
Aku kangen Ibu yang kadang membuat ku merasa ingin pulang justru saat sedang berada di rumah. Aku kangen Ibu yang selalu membuka telinga lebar-lebar, selarut apapun aku mengetuknya. Aku kangen Ibu yang setia pada setiap doa baiknya untukku. Aku kangen Ibu yang selalu menganggapku ini istimewa padahal tidak.
Aku kangen Ibu...
Aku ingin pulang...
Tapi nanti...
Setelah aku menjadi Sarjana...
NB : Judul cerpen terinspirasi dari Puisi Andi Gunawan berjudul sama


LAMPIRAN

Nama                           : Fitriyah Hamidah
Tempat, tanggal lahir     : Sumenep, 10 Agustus 1992
NIM                            : 1410231084
Prodi / Fakultas            : Bahasa Inggris / FKIP

No comments:

Post a Comment