Kepada air susu Ibu
: Tentang hutang yang harus degera dilunasi
Cerpen oleh :
FitrotHM
Empat belas tahun lalu, saat aku
duduk di kelas empat Sekolah Dasar, aku dikejutkan oleh kedatangan Ibu di
Sekolah. Hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya. Ibu lalu menemui Wali Kelas
dan Kepala Sekolah, meminta agar mengizinkanku pulang lebih awal. Ibu tampak
terburu-buru, membawa beberapa barang yang diangkut dengan becak.
“Nay, Kita harus pergi secepatnya.”
“Ke mana bu?”
“Ke Malang. Kita akan tinggal di
Malang”
“Tinggal? pindah rumah maksudnya?”
“Iya.”
“Baju-bajumu sudah Ibu bawa, yang lainnya
nanti kita beli yang baru.”
“Bapak mana? Kenapa Ibu
buru-buru?”
“Nanti saja Ibu ceritakan. Ayo,
bus akan berangkat sebentar lagi”.
Untuk pertama kalinya aku naik
Bus jurusan Surabaya-Malang. Biasanya setiap ke Malang, kami selalu naik mobil
Bapak. Sementara Bapak menyetir, Ibu akan bercerita tentang sebuah dongeng hingga
kantuk menyerang. Tapi hari itu berbeda. Sepanjang perjalanan Ibu lebih banyak diam.
Sementara aku sibuk sendiri. Bermain game boy, sambil sesekali memandang
lalu lalang kendaraan.
Setelah beberapa jam, akhirnya kami
sampai di daerah Sengkaling, Malang. Rumah keluarga Almarhum nenek. Walau aku
terbiasa dengan lingkungan di sana, Ibu tetap mengajariku beradaptasi, dan sengaja
melupakan janjinya bercerita tentang “mengapa Bapak tak ikut serta”.
Ibu mengajariku bagaimana
memulai pertemanan, bagaimana menjadi jujur, bagaimana meminta tolong atas
bantuan-bantuan, bagaimana mendengarkan orang lain, bagaimana menatap dengan
ramah, bagaimana meminta maaf setelah berbuat salah, bagaimana meminta maaf,
dan bagaimana meminta maaf. Ibu juga mengajariku bagaimana caranya memberi
maaf.
Aku bersyukur, saudara-saudara
Ibu semuanya baik. Walau kami tak tinggal satu dusun, Mereka berbondong-bondong
membantu kami menata rumah yang akan kami tempati. Dan walaupun sudah beberapa
bulan ditinggal Almarhum Nenek, rumah itu dijaga Pak Lik Slamet. Seorang tetangga yang dianggap anak oleh
nenekku.
***
Suatu sore, setelah aku merasa
betah dengan rumah baru dan sekelilingnya, Ibu tampak bosan dan kehabisan cara
mengelak dari pertanyaanku seputar kepindahan kami tanpa Bapak.
Aku mendapati Ibu sedang duduk
di teras rumah. Melemparkan pandangan ke halaman rumah yang penuh tanaman. Aku
memeluk bahunya dari belakang. Ibu membalas mencium keningku.
“Bu, jadi kenapa Bapak tidak
ikut kesini?”
Ibu
memelukku. Lama dan dalam. Ia menenggelamkanku di dadanya.
“Maafkan Ibu ya Nay” katanya terisak.
“Bapak
dan Ibu sudah tak bisa lagi tinggal serumah. Bapak sudah memilih jalannya
sendiri. Dan Ibu tak bisa mencegahnya. Tapi yang terpenting, Ibu sama Bapak sayang
sama Nayla”.
Ibu
berkata sangat pelan, setengah berbisik.
Dadaku
sesak mendengarnya. Walau aku belum benar-benar mengerti maksud perkataan Ibu,
aku hanya membayangkan, pastilah sulit hidup tanpa Bapak.
Kami
lalu saling diam dalam waktu yang lama.
“Kenapa
Ibu membiarkan Bapak pergi?” tanyaku lagi.
Ibu
terdiam, dan melepas pelukannya.
“Nanti
kalau sudah besar, Nayla pasti mengerti” Ibu menjawab sambil merapikan rambutku
yang berantakan.
Kami masih duduk di tempat yang
sama saat senja mengecup dinding-dinding teras rumah.
***
Tahun-tahun berlalu. Saat usiaku
tiga belas, baru Ibu memberitahu, bahwa Bapak selingkuh, dan memilih
meninggalkan Ibu. Aku bingung mencerma maksudnya. Hal yang selama ini cuma aku
lihat di televisi, kini terjadi pada keluargaku. Kepalaku pusing. Ibu lalu
memelukku erat sekali.
***
Beberapa bulan kemudian, Ibu
diterima menjadi salah satu redaktur sebuah media cetak mingguan, atas rekomendasi
Tante Widi, sahabat karibnya. Tante Widi tahu, Ibu bisa diandalkan di
bidangnya. Ibu senang luar biasa. Karena bisa mengerjakan hal yang disukainya,
dan dibayar pula. Sejak berpisah dengan Bapak, Ibu memang harus bekerja sendiri
untuk menghidupi kebutuhan kami berdua.
Setiap hari selepas sholat
subuh, sebelum berangkat kerja Ibu menanak nasi, mengisi penuh bak mandi.
Bermain dengan wajan serta spatula, dan meramu sarapan untuk kami berdua.
Kemudian membersihkan minyak dan lemak yang menempel pada piring, gelas, dan sendok
garpu-garpu. Sementara aku diberi tugas menyapu rumah dan halaman.
Setiap pulang bekerja, Ibu
selalu nampak letih. Namun Ia selalu menyempatkan dan mengajakku sholat bersama,
menjadi simpul mati atas nama Iman, sebelum akhirnya kami tertidur pulas dalam
pelukan.
***.
Beberapa tahun ini, entah sudah
berepa lelaki yang mendekati Ibu. Usia Ibuku memang baru tiga puluh tiga tahun.
Ibuku masih segar dan cantik. Terlebih dulu Ibu menikah muda, karena terlampau
yakin, bahwa Bapak adalah lelaki terbaik untuknya. Seorang saudara yang sudah berstatus
duda terang-terangan melamar Ibu. Lalu seorang Guru muda, dan bahkan teman
kantornya sendiri menyampaikan keinginan yang serius mempersunting Ibuku. Tapi
semuanya ditolak dengan tegas.
Ibuku tak lagi menginginkan
pernikahan. Itu sudah jelas Ia katakan padaku, saat aku mencoba menanyakannya, apakah
Ibu ingin menikah.
“Ibu nggak mau nikah lagi?”
”Tidak. Ibu tak akan menikah lagi sampai
kapanpun. Bapakmu sudah menjadi alasan yang cukup” katanya tanpa menatapku. Aku
diam saja. Dan berjanji untuk tak akan menyinggung-nyinggung masalah itu lagi.
***
November 2009, Saat aku mulai
disibukkan persiapan Ujian Akhir Sekolah Menengah Atas, tiba-tiba aku
dihadapkan pada situasi yang sangat sulit. Keadaan yang membuatku hampir
tumbang. Aku dilanda ketakutan luar biasa saat Ibu kehilangan kendali atas
kesehatannya. Hampir sebulan Ia terbaring lemas di ranjang sebuah rumah sakit. Beberapa
kali tak sadarkan diri, karena ginjalnya meradang. Belum lagi darah rendah dan vertigo yang
kerap menimpanya. Terakhir, dokter mendiagnosa jantung Ibuku melemah. Hari-hari
yang sangat berat untukku. Aku butuh Bapak. Seharusnya Ia disini bersamaku.
Kerena
ke tidak berdayaannya, sebelum berangkat sekolah aku mencoba
menggantikan pekerjaan rumah. Mulai dari menanak nasi, hingga menyapu halaman.
Belum apa-apa pinggangku sudah ngilu. Terpaksa aku sewa pembantu. Ternyata
menjadi seorang ibu itu melelahkan. Aku tak bisa menggantikannya. Tapi aku
lebih tak bisa melihatnya tertidur lemah diselimuti selang-selang oksigen dan
infus.
Doaku saat itu, semoga Tuhan
membebaskan segala sesak yang menyumbat jantungnya. membuang segala nyeri di
ginjalnya. membuang yang buruk-buruk dari tubuh gempalnya. Rumah kami kehilangan
pilar utamanya saat itu.
Selama sakit, saudara-saudara
Ibu berdatangan menjenguk. Kadang juga ke rumah, membawakanku makanan untuk
beberapa hari. Aku tak pernah merasa sendiri.
Setelah tiga bulan, akhirnya
hari-hari sulit itu berakhir. Ibuku kembali beraktifitas seperti biasa. Kembali
ke meja kantor, berkutat dengan lembaran kertas dan layar komputer, kembali
menjadi telinga terbaik, kembali menjadi Imam, dan tugas tambahan menjadi guru
les bahasa Inggris untukku.
***
Ibu berubah otoriter menjelang
ujian kelulusanku. Ia membatasi jam menonton Televisi, mewajibkanku mengulang
pelajaran setiap habis sholat isya, serta mengajariku agar lebih banyak
berdo’a. Dan yang paling menyenangkan, Ia pulang kerja lebih awal, Ibu jadi lebih
banyak menghabiskan waktu bersamaku.
***
Ujian kelulusan pun berakhir.
Semua kenangan indah itu berputar-putar dalam kepala. Aku sadar, kenangan itu
memang pasti berakhir. Hanya saja aku terlalu sayang dan takut, kalau hal indah
itu tak dapat aku temukan di masa depan. Aku seolah-olah tak ingin beranjak.
***
Pertengahan tahun 2010, aku
terpaksa keluar rumah. Aku memilih Jogjakarta sebagai tempat belajar sekaligus
merantau. Kota yang aku impikan sejak beberapa tahun terakhir. Keluar rumah
bukan karena aku merasa cukup dididik oleh Ibu, tapi aku merasa perlu mendidik
diri sendiri. Perlu menemukan diri sendiri.
Tinggal terpisah dari Ibu bukan
perkara mudah. Sungguh. Banyak hal yang berubah. Aku dan Ibu jadi lebih sering berjumpa
melalui telepon. Aku jadi lebih sering sakit perut karena terlambat makan dan
makan sembarang. Ibu jadi lebih sering panik saat Aku tak mengangkat telepon
darinya.
Selain mengubah banyak hal,
jarak juga menguak banyak hal. Aku jadi tahu bagaimana rasanya memupuk gengsi
untuk tidak bilang saat sedang tak punya uang. Aku jadi tahu rasanya berutang,
dan paniknya ditagih saat uangku belum cukup untuk melunasinya.
Suatu siang, ketukan pintu
membangunkanku dari tidur yang panjang. Aku baru bisa tidur subuh, karena suatu
hal. Dan handphone yang mati, lupa ku isi ulang. Tentu saja Ibu panik
bukan kepalang. Mengira putrinya semaput di kamar sendirian atau tertimpa
kecelakaan yang tak dapat ia bayangkan. Aku bangun, membuka pintu, lalu
mendapati Ibu kost berdiri di depan pintu dengan rangkaian pertanyaan. Ternyata
Ibu memaksanya ke kamar dengan gunung di kepalanya. Aku merasa konyol seketika.
Sekaligus merasa begitu dicintai.
***
Fakultas Sastra tak semenyenangkan seperti yang ku
bayangkan. Dosen-dosen dan teman-teman kuliahku pun tak seperti yang dikatakan
Pak Lubis. Guru Bahasa Indonesiaku ketika SMA dulu. Jamannya berubah. Tak ada
diskusi-diskusi, tak ada keberanian berbicara, aku benar-benar malas.
Aku lebih banyak menghabiskan waktu membaca buku,
menonton pertunjukn seni, aktif di Pers Mahasiswa, dan membuat kelompok diskusi
dengan beberapa teman. Sampai aku berpacaran dengan seorang diantaranya. Kukuh,
lelaki yang begitu menyanangkan, walau Ia jarang mandi.
***
Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan,
sembilan, dan sekarang sepuluh semester aku lewati dengan semangat yang hampir
habis. Apalagi saat menhadapi awal bulan Oktober lalu. Saat Gedung Serbaguna Pandawa
lima dipenuhi ribuan orang. Aku mengenal beberapa diantaranya. Mereka mahasiswa
Sastra Inggris Universitas Chairil Anwar, angkatan 2010. Mereka teman-temanku.
Mereka sarjana, dan aku belum.
Sebenarnya aku tak pernah bersedih, walau tak kunjung
diwisuda. Ibuku mengerti. Dan Ia pun tahu, anak perempuannya tak lebih bodoh
dari mereka yang lebih dulu memakai toga. Aku hanya agak kesal menerima
kenyataan bahwa Aku dan mereka berjalan dari garis awal yang sama, mengapa
harus berakhir berbeda?
Setiap kekesalan itu aku utarakan pada Ibu. Dan Ibu
masih tak bosan mengajariku hal yang menurutnya paling sederhana di dunia; “Yang
terpenting adalah, beribadah dengan baik, belajar dengan baik, dan makan dengan
baik.”. Setiap mendengar
pesan itu, kedua lenganku yang lapang tiba-tiba ingin sekali memeluknya.
Ibu menyarankan agar aku lebih
rajin menulis. Seperti kucing disiram air, aku mencoba memulainya. Aku
menulis lagi. Kali ini tanpa papahan siapa pun. Aku mulai mencoba berjalan
dengan kaki sendiri. Aku mulai bersemangat. Aku mulai menulis puisi, esai, dan
cerpen. Menjajal beberapa perlombaan dengan beberapa kemenangan. Aku juga
mengabarkan, saat puisiku berhasil masuk daftar antologi bersama para penulis
perempuan sekelas Dewi (Dee) Lestari dan Jenar Maesa Ayu.
Ibu berbahagia mendengarnya. Beliau meminta ku
membacakan apa yang ku tulis dalam antologi itu. Perlahan, dari stanza ke
stanza berikutnya. Kami menangis bersama. Entah hal ini sebuah pencapaian, yang
jelas aku tetap berhutang pada ibu. Hutang yang harus segera diunasi. Yaitu
hutang jadi sarjana.
***
“Kamu ndak kangen Ibu?” katanya melalui telepon.
Tentu saja Aku kangen. Aku
kangen masakan Ibu yang kadang terlalu banyak garam tapi selalu ku habiskan. Aku
kangen obrolan sore hari di teras dengan kopi masing-masing. Aku kangen omelan
Ibu yang gemas karena Aku selalu bangun lebih siang.
Aku kangen Ibu yang kadang
membuat ku merasa ingin pulang justru saat sedang berada di rumah. Aku kangen Ibu
yang selalu membuka telinga lebar-lebar, selarut apapun aku mengetuknya. Aku
kangen Ibu yang setia pada setiap doa baiknya untukku. Aku kangen Ibu yang
selalu menganggapku ini istimewa padahal tidak.
Aku kangen Ibu...
Aku ingin pulang...
Tapi nanti...
Setelah aku menjadi
Sarjana...
NB : Judul cerpen
terinspirasi dari Puisi Andi Gunawan berjudul sama
LAMPIRAN
Nama : Fitriyah Hamidah
Tempat,
tanggal lahir : Sumenep, 10 Agustus
1992
NIM : 1410231084
Prodi
/ Fakultas : Bahasa Inggris /
FKIP
No comments:
Post a Comment