Face E-Book
(Ves Ibuk)
Namaku Agus. Aku adalah orang populer
menurutku. Orang-orang menyukai cara berpikirku, dan bagaimana aku membantu
orang lain dalam mengerjakan tugas. Orang selalu menyarankan aku untuk memakai
baju yang modis. Saran itu karena bajuku kebesaran, atau terkadang memakai baju
berkerah yang usang warnanya seperti baju yang di jual di lapak-lapak baju
bekas. Setiap mendapatkan saran untuk memakai baju modis dan mengganti gaya
rambut, ke esokan harinya aku mengikuti saran itu. Keesokan hari seketika aku
masuk kelas biasanya langsung mendapatkan sorakan, “Waw!” dari cewek maupun
teman cowok.
Candaku amat jenaka. Mereka di kelas
tertawa ketika aku melucu, dikala maju mempresentasikan tugas. Melawak di
tengah-tengah presentasi adalah menjadi ciri khas. Pada akhir presentasi,
teman-teman berdecak kagum karena tugasku sukses, mendekati sempurna tanpa
banyak revisi. Meraih tepuk tangan riuh yang tulus, tertawanya mereka dan decak
kagum adalah imbalan yang menyenangkan. Senang sekali rasanya. Setiap hari
masuk kuliah, selalu merasakan dukungan yang besar dari teman-teman.
Pernah memiliki hand phone android, bisa melakukan BBM- sebuah pesan yang lebih
murah dari pesan SMS biasa. Iya, pernah punya. Setelah itu aku mengganti
kembali ke hand phone yang lama.
Teman-teman hampir berkata yang sama saat aku mengganti HP,”Jadi BBM-mu sudah
tidak aktif, Gus?”
“Iya. BBM-ku sudah tidak aktif. Aku
memberikan HP-ku kepada anak yatim.” Jawabku.
Sekali lagi teman-teman berdecak kagum
karena ulahku. Lantas biasanya aku melanjutkan dengan berkata, “Tapi jangan
khawatir, saya aktif di facebook.”
Meski aku bilang aktif di facebook, teman-teman lebih aktif BBM.
Bagi yang memiliki BBM, mereka lebih baik memakainya, karena lebih praktis dan
hubunganya cepat dan terasa lebih hemat.
Bagaimanapun aku tetap popular tanpa
BBM. Buktinya ada, sih. Teman-teman
sekelas kuliah masih banyak memberikan acungan jempol dalam setiap postingan,
dan update statusku yang memakai
untaian kata indah. Nice, handsome,
beauty smile, inspire!, good poems![1]
Itulah komentar mereka pada foto-foto dan status yang aku up load.
Sangat populer bukan berarti mereka tahu
kehidupanku yang sebenarnya. Itulah kenyataannya. Fotoku di depan mobil, seakan
hobi traveling berfoto di laut dengan
mendayung kano[2],
berpose di atas perahu, atau sering bertemu orang-orang bule di restoran. Ah!
semuanya palsu. Palsu, meski bukan editan. Foto di depan mobil itu bukan punya
temanku, seperti saat aku berkomentar kalau mobil itu punya temanku.
Aku tidak pernah meng-upload foto ayah dan ibuku. Wajahku tak
sama dengan mereka. Kulitku tak sama, mancungku berbeda dan aku tahu ibuku
orang yang setia. Tidak mungkin ibu selingkuh dengan orang yang berketurunan
Arab. Aku mirip siapa? Kenapa hidung dan kulitku berbeda? Aku bersyukur sebetulnya.
Hanya saja sampai tak punya HP berkamera bagus pun sekarang, aku tak pernah
meng-up load foto orang tuaku dan apa yang aku lakukan
dengan mereka ketika pulang kampung.
Merekalah, ayah dan ibuku yang
membanting wajah ke lututnya. Mereka yang selalu meminjamkan uang kepada
tetangga, kerabat dekat, dan lintah darat demi lancarnya biaya kuliahku. Aku
yang bekerja paruh waktu di sebuah lembaga kursus, di warung internet, dan guru
ngaji privat sering tak cukup memenuhi biaya kuliah. Ayahku sudah sepuh, sudah
tua dan pensiun dari bekerja sebagai pengayuh becak dan sebagai tukang pijat. Tidak
ada yang menyalahkan ayah sekarang, ketika beliau tidak mampu membiayaiku
kuliah.
Kurus dan jalan membungkuk, dengan bibir
yang selalu bergerak-gerak sendiri, itulah ayahku. Ketika tuan sempat melihatku
berjalan-jalan dengan orang tua di kampus dengan ciri-ciri tersebut, itulah
ayahku. Kopyah yang dipakai biasanya kopyah usang, dengan rambutnya yang putih.
Satu lagi ciri khas orang tua itu, memakai sandal jepit. Jika bertemu aku
sedang jalan dengan orang memakai baju dan berdasi seperti orang kantoran,
janganlah tuan berpikir beliau adalah papa si Agus ini.
Ibuku sudah sepuh pula. Tetapi tubuh
pendeknya masih tegap dan kuat berjalan berkilo-kilo meter menjajakan ikan laut
yang ia ambil dari tengkulak. Uangnya pun tak cukup buat biaya kuliahku
pastinya. Semua kerabat iba dengan kemiskinan keluargaku. Tetangga salut
perjuangan Ibu mencukupi kebutuhan keluarga. Kebutuhan makan ayah, kakak dan
dua keponakan. Bila aku tak segera lulus kuliah, mau ditaruh kemana muka ini.
Malu. Masalah kerjaan, ibu tak membebaniku dengan harus bekerja menjadi pegawai
negeri, yang penting uangku cukup untuk makanku sehari-hari di kost.
Hutang ibu dari sejak semester satu
hingga semester tujuh ini pastinya menumpuk. Dan ia bilang kepadaku, “Aku sudah
tidak ada pinjaman kepada siapa pun.” Seperti itulah jawabannya.
Mesti begitu jawaban darinya. Aku tetap
menghubunginya melalui hand phone tetangga,
bertanya apakah piutang sudah terbayar dan beliau menjawab sudah. Aku heran dan
suatu kesempatan, bertanya kepada beliau sekali lagi, ”Hutang dua bulan lalu di
abang[3]
apa benar –benar sudah dilunasi, mak?”
Aku tak memanggilnya ibu, ibuk atau
mama. Seperti yang biasa aku tulis di status facebook. Aku memanggilnya Emak atau mak’e. Setelah bertanya apa
hutang di abang sudah dilunasi, ibuku menjawab, “Iya, sudah. Sekarang Mak’e
sudah tidak punya piutang, kok.”
Seperti biasa, hatiku tenang mendengarnya. Sekaligus heran darimana beliau
mendapatkan uang untuk melunasi piutang di lintah darat yang berbunga-bunga
itu? Sementara pekerjaan beliau, pendapatannya tak seberapa namun kakinya
terseok-seok berkilo-kilo?
***
Jangankan meng-up load foto ibu. Menceritakan apa pekerjaannya pun aku tak sudi.
Tangan sulit rasanya membuat status, “ibu
sedang mengansak[4] padi, ibu sedang jual
ikan pindang keliling lintas kecamatan, ibu sedang memberi uang jajan lima ribu
cucunya setelah datang jual ikan, ibu mengambil cicilan demi tas baruku.”
Susah. Susah sekali menulis hal itu. Teman-teman SMA dan SMP-ku biasa saja
ketika aku bilang di status, “Miss you,
mama. Papa. Long time no see![5]”
iya, benar. Itu karena teman-teman tidak ada yang pernah kerumahku atau
yang sering kerumah tidak mempermasalahkan status berlebihan dan sok gaya begitu.
Teman-teman kampus sering menanyai
alamat rumahku di desa. Meski aku tunjukkan letaknya, mereka tak akan pergi
kerumahku karena mereka sibuk organsisasi atau semacamnya. Sebetulnya, aku
malu. Malu ketika mereka datang ke rumah dan melihat ruamhku hanyalah seonggok
gubuk. Ibuku berdandan ala pekerja rodi perempuan zaman Belanda, ayah seperti
mahatma Gandhi kurusnya.
Terkadang tergelitik, untuk meminjam HP
tetangga lalu memotret ibu dan ayah. Hanya saja setelah terpotret, mau diapakan
foto mereka. HP canggih milik tetangga tak bisa dipakai BBM atau buka facebook karena tak ada pulsa kuota
internet dari kartunya.
Seandainya, aku mampu lagi membeli HP
android. Aku upload foto mereka di facebook dan instagram. Kenapa aku bisa
malu menuliskan kegiatan ibu yang sesungguhnya di kampung, aku tak tahu. Kenapa
aku bisa malu memposting foto ibu dan ayah, aku tak tahu.
Takutnya,
aku tak sempat meng-upload foto mereka sebagai kenang-kenangan masa sepuh
mereka. Padahal di dalam diary-ku,
penuh kata-kata bijak ibu sementara ayah jarang bicara. Kata-kata bijaknya tak
sekalipun aku upload khawatir tidak
disukai karena terlalu melebih-lebihkan dan dikira menarik perhatian facebooker[6].
Bagaimanapun, Ibuku atau ayahku tidak ada di setiap postingan di facebook. Mungkin tak akan pernah.
Durhakah aku? Mungkin suatu sat nanti ketika sudah luls dan bisa membelikan
baju baru dan make-up untuk merias wajah kedua orang tuaku, barulah aku
posting. Mungkin.
***
Dear,
Diary.
Inilah
kata-kata ibuku kemarin yang membuatku
semangat! Lulus cepat kuliah. Ayo, gus! Malu sama ibu dan ayahnya.
“Emak tak bisa berikan warisan harta,
apalagi bapakmu. Orang tua hanya bisa berikan warisan ilmu kepadamu. Terserah
mau kerja apa setelah lulus, orang tua tak minta di kasih gaji.” Kata ibuku
saat menelepon di minggu pertama bulan Januari.
Ah, meneleponnya karena aku rindu.
Memang aku tidak bisa pulang kerumah berbulan-bulan. Entah sampai kapan tak
bisa pulang. Mengerikan hidup dengan biaya sendiri ditambah hutang-hutang yang
tak pernah terbayar olehku.
Kata ibu lagi di dalam telepon, “Emak
mau bantu uang sudah tak sampai. Mudah-mudahan kerjamu lancar, rejekinya
barokah, tidak ada halangan apa-apa.”
Akhirnya
sempat menulis buku harian setelah seminggu vakum. Kali ini, aku membawa sampul
supaya buku tulis harianku ini terkesan bagus. Di depan sampulnya aku akan
menulis judul yang membuatku akan ingat pada ibuku, yang tak pernah datang ke
kampus. Sementara ayah sering.
Ku
beri judul sampul buku ini: FACE E-BOOK. Bila dibaca dalam bahasa Inggris menjadi Fes
Ibuk atau wajah ibuk. Jadi setiap
membaca sampul diary, aku bisa mengingat perjuangannya. Meski tak suka membuat
status tentang kedua orang tuaku, aku yakin menceritakan perjuangannya di buku
harian sudah cukup.
[1] Bagus, tampan, senyum menawan, menginspirasi, untaian puisi yang
indah.
[2] Kano sejenis perahu kecil hampir berbentuk dan seukuran selancar
dan memakai dayung dari tongkat untuk menggerakkannya di atas air.
[3] Abang adalah sebutan para rentenir di desaku.
[4] Dalam bahasa Jawa atau Madura dikenal ngasak yang artinya memungut
sisa-sisa padi di sawah hasil panen atau ketika padi sedang di selep padi.
[5] Rindu kamu, ibu. Ayah. Lama tak jumpa.
[6] Pengguna setia facebook.
No comments:
Post a Comment