Sunday, June 5, 2016

Contoh Cerpen "Face E-Book"



Face E-Book
(Ves Ibuk)


 http://indowarta.com/wp-content/uploads/2016/04/fb-logo.png



Namaku Agus. Aku adalah orang populer menurutku. Orang-orang menyukai cara berpikirku, dan bagaimana aku membantu orang lain dalam mengerjakan tugas. Orang selalu menyarankan aku untuk memakai baju yang modis. Saran itu karena bajuku kebesaran, atau terkadang memakai baju berkerah yang usang warnanya seperti baju yang di jual di lapak-lapak baju bekas. Setiap mendapatkan saran untuk memakai baju modis dan mengganti gaya rambut, ke esokan harinya aku mengikuti saran itu. Keesokan hari seketika aku masuk kelas biasanya langsung mendapatkan sorakan, “Waw!” dari cewek maupun teman cowok.
Candaku amat jenaka. Mereka di kelas tertawa ketika aku melucu, dikala maju mempresentasikan tugas. Melawak di tengah-tengah presentasi adalah menjadi ciri khas. Pada akhir presentasi, teman-teman berdecak kagum karena tugasku sukses, mendekati sempurna tanpa banyak revisi. Meraih tepuk tangan riuh yang tulus, tertawanya mereka dan decak kagum adalah imbalan yang menyenangkan. Senang sekali rasanya. Setiap hari masuk kuliah, selalu merasakan dukungan yang besar dari teman-teman.
Pernah memiliki hand phone android, bisa melakukan BBM- sebuah pesan yang lebih murah dari pesan SMS biasa. Iya, pernah punya. Setelah itu aku mengganti kembali ke hand phone yang lama. Teman-teman hampir berkata yang sama saat aku mengganti HP,”Jadi BBM-mu sudah tidak aktif, Gus?”

 https://www.seoclerk.com/pics/trade1959-17s1o51399317123.jpg



“Iya. BBM-ku sudah tidak aktif. Aku memberikan HP-ku kepada anak yatim.” Jawabku.
Sekali lagi teman-teman berdecak kagum karena ulahku. Lantas biasanya aku melanjutkan dengan berkata, “Tapi jangan khawatir, saya aktif di facebook.”
Meski aku bilang aktif di facebook, teman-teman lebih aktif BBM. Bagi yang memiliki BBM, mereka lebih baik memakainya, karena lebih praktis dan hubunganya cepat dan terasa lebih hemat.
Bagaimanapun aku tetap popular tanpa BBM. Buktinya ada, sih. Teman-teman sekelas kuliah masih banyak memberikan acungan jempol dalam setiap postingan, dan update statusku yang memakai untaian kata indah. Nice, handsome, beauty smile, inspire!, good poems![1] Itulah komentar mereka pada foto-foto dan status yang aku up load.
Sangat populer bukan berarti mereka tahu kehidupanku yang sebenarnya. Itulah kenyataannya. Fotoku di depan mobil, seakan hobi traveling berfoto di laut dengan mendayung kano[2], berpose di atas perahu, atau sering bertemu orang-orang bule di restoran. Ah! semuanya palsu. Palsu, meski bukan editan. Foto di depan mobil itu bukan punya temanku, seperti saat aku berkomentar kalau mobil itu punya temanku.
Aku tidak pernah meng-upload foto ayah dan ibuku. Wajahku tak sama dengan mereka. Kulitku tak sama, mancungku berbeda dan aku tahu ibuku orang yang setia. Tidak mungkin ibu selingkuh dengan orang yang berketurunan Arab. Aku mirip siapa? Kenapa hidung dan kulitku berbeda? Aku bersyukur sebetulnya. Hanya saja sampai tak punya HP berkamera bagus pun sekarang, aku tak pernah meng-up load  foto orang tuaku dan apa yang aku lakukan dengan mereka ketika pulang kampung.
Merekalah, ayah dan ibuku yang membanting wajah ke lututnya. Mereka yang selalu meminjamkan uang kepada tetangga, kerabat dekat, dan lintah darat demi lancarnya biaya kuliahku. Aku yang bekerja paruh waktu di sebuah lembaga kursus, di warung internet, dan guru ngaji privat sering tak cukup memenuhi biaya kuliah. Ayahku sudah sepuh, sudah tua dan pensiun dari bekerja sebagai pengayuh becak dan sebagai tukang pijat. Tidak ada yang menyalahkan ayah sekarang, ketika beliau tidak mampu membiayaiku kuliah.
Kurus dan jalan membungkuk, dengan bibir yang selalu bergerak-gerak sendiri, itulah ayahku. Ketika tuan sempat melihatku berjalan-jalan dengan orang tua di kampus dengan ciri-ciri tersebut, itulah ayahku. Kopyah yang dipakai biasanya kopyah usang, dengan rambutnya yang putih. Satu lagi ciri khas orang tua itu, memakai sandal jepit. Jika bertemu aku sedang jalan dengan orang memakai baju dan berdasi seperti orang kantoran, janganlah tuan berpikir beliau adalah papa si Agus ini.
Ibuku sudah sepuh pula. Tetapi tubuh pendeknya masih tegap dan kuat berjalan berkilo-kilo meter menjajakan ikan laut yang ia ambil dari tengkulak. Uangnya pun tak cukup buat biaya kuliahku pastinya. Semua kerabat iba dengan kemiskinan keluargaku. Tetangga salut perjuangan Ibu mencukupi kebutuhan keluarga. Kebutuhan makan ayah, kakak dan dua keponakan. Bila aku tak segera lulus kuliah, mau ditaruh kemana muka ini. Malu. Masalah kerjaan, ibu tak membebaniku dengan harus bekerja menjadi pegawai negeri, yang penting uangku cukup untuk makanku sehari-hari di kost.

 http://smeaker.com/wp-content/uploads/2015/11/FB-9.png

Hutang ibu dari sejak semester satu hingga semester tujuh ini pastinya menumpuk. Dan ia bilang kepadaku, “Aku sudah tidak ada pinjaman kepada siapa pun.” Seperti itulah jawabannya.
Mesti begitu jawaban darinya. Aku tetap menghubunginya melalui hand phone tetangga, bertanya apakah piutang sudah terbayar dan beliau menjawab sudah. Aku heran dan suatu kesempatan, bertanya kepada beliau sekali lagi, ”Hutang dua bulan lalu di abang[3] apa benar –benar sudah dilunasi, mak?”
Aku tak memanggilnya ibu, ibuk atau mama. Seperti yang biasa aku tulis di status facebook. Aku memanggilnya Emak atau mak’e. Setelah bertanya apa hutang di abang sudah dilunasi, ibuku menjawab, “Iya, sudah. Sekarang Mak’e sudah tidak punya piutang, kok.” Seperti biasa, hatiku tenang mendengarnya. Sekaligus heran darimana beliau mendapatkan uang untuk melunasi piutang di lintah darat yang berbunga-bunga itu? Sementara pekerjaan beliau, pendapatannya tak seberapa namun kakinya terseok-seok berkilo-kilo?
***
Jangankan meng-­up load foto ibu. Menceritakan apa pekerjaannya pun aku tak sudi. Tangan sulit rasanya membuat status, “ibu sedang mengansak[4] padi, ibu sedang jual ikan pindang keliling lintas kecamatan, ibu sedang memberi uang jajan lima ribu cucunya setelah datang jual ikan, ibu mengambil cicilan demi tas baruku.” Susah. Susah sekali menulis hal itu. Teman-teman SMA dan SMP-ku biasa saja ketika aku bilang di status, “Miss you, mama. Papa. Long time no see![5]iya, benar. Itu karena teman-teman tidak ada yang pernah kerumahku atau yang sering kerumah tidak mempermasalahkan status berlebihan dan sok gaya begitu.
Teman-teman kampus sering menanyai alamat rumahku di desa. Meski aku tunjukkan letaknya, mereka tak akan pergi kerumahku karena mereka sibuk organsisasi atau semacamnya. Sebetulnya, aku malu. Malu ketika mereka datang ke rumah dan melihat ruamhku hanyalah seonggok gubuk. Ibuku berdandan ala pekerja rodi perempuan zaman Belanda, ayah seperti mahatma Gandhi kurusnya.
Terkadang tergelitik, untuk meminjam HP tetangga lalu memotret ibu dan ayah. Hanya saja setelah terpotret, mau diapakan foto mereka. HP canggih milik tetangga tak bisa dipakai BBM atau buka facebook karena tak ada pulsa kuota internet dari kartunya.
Seandainya, aku mampu lagi membeli HP android. Aku upload foto mereka di facebook dan instagram. Kenapa aku bisa malu menuliskan kegiatan ibu yang sesungguhnya di kampung, aku tak tahu. Kenapa aku bisa malu memposting foto ibu dan ayah, aku tak tahu.
Takutnya, aku tak sempat meng-upload foto mereka sebagai kenang-kenangan masa sepuh mereka. Padahal di dalam diary­-ku, penuh kata-kata bijak ibu sementara ayah jarang bicara. Kata-kata bijaknya tak sekalipun aku upload khawatir tidak disukai karena terlalu melebih-lebihkan dan dikira menarik perhatian facebooker[6]. Bagaimanapun, Ibuku atau ayahku tidak ada di setiap postingan di facebook. Mungkin tak akan pernah. Durhakah aku? Mungkin suatu sat nanti ketika sudah luls dan bisa membelikan baju baru dan make-up untuk merias wajah kedua orang tuaku, barulah aku posting. Mungkin.
***
Dear, Diary.
Inilah kata-kata ibuku kemarin  yang membuatku semangat! Lulus cepat kuliah. Ayo, gus! Malu sama ibu dan ayahnya.
“Emak tak bisa berikan warisan harta, apalagi bapakmu. Orang tua hanya bisa berikan warisan ilmu kepadamu. Terserah mau kerja apa setelah lulus, orang tua tak minta di kasih gaji.” Kata ibuku saat menelepon di minggu pertama bulan Januari.
Ah, meneleponnya karena aku rindu. Memang aku tidak bisa pulang kerumah berbulan-bulan. Entah sampai kapan tak bisa pulang. Mengerikan hidup dengan biaya sendiri ditambah hutang-hutang yang tak pernah terbayar olehku.
Kata ibu lagi di dalam telepon, “Emak mau bantu uang sudah tak sampai. Mudah-mudahan kerjamu lancar, rejekinya barokah, tidak ada halangan apa-apa.”
Akhirnya sempat menulis buku harian setelah seminggu vakum. Kali ini, aku membawa sampul supaya buku tulis harianku ini terkesan bagus. Di depan sampulnya aku akan menulis judul yang membuatku akan ingat pada ibuku, yang tak pernah datang ke kampus. Sementara ayah sering.
Ku beri judul sampul buku ini: FACE E-BOOK. Bila dibaca dalam bahasa Inggris menjadi Fes Ibuk atau wajah ibuk. Jadi setiap membaca sampul diary, aku bisa mengingat perjuangannya. Meski tak suka membuat status tentang kedua orang tuaku, aku yakin menceritakan perjuangannya di buku harian sudah  cukup.


[1] Bagus, tampan, senyum menawan, menginspirasi, untaian puisi yang indah.
[2] Kano sejenis perahu kecil hampir berbentuk dan seukuran selancar dan memakai dayung dari tongkat untuk menggerakkannya di atas air.
[3] Abang adalah sebutan para rentenir di desaku.
[4] Dalam bahasa Jawa atau Madura dikenal ngasak yang artinya memungut sisa-sisa padi di sawah hasil panen atau ketika padi sedang di selep padi.
[5] Rindu kamu, ibu. Ayah. Lama tak jumpa.
[6] Pengguna setia facebook.

No comments:

Post a Comment