DIA ADALAH KAMU, IBU.
Tik, tik, tik... Tik, tik... Tik, tik, tik...
Ruangan kerja kantorku begitu sepi menjelang istirahat siang, hanya suara keyboard dari komputer yang mengisi kesunyian ruangan. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan hari ini, mulai dari penetapan kebijakan operasional pendidikan, Perencanaan operasional program pendidikan, Sosialisasi serta pelaksanaan standar nasional pendidikan, dan masih banyak tugas yang lain di tingkat kabupaten yang harus ku kerjakan. Memang terkadang sulit tapi aku memiliki motivasi. Ya, aku memilikinya begitu kuat motivasi itu.
Ruangan kerja kantorku begitu sepi menjelang istirahat siang, hanya suara keyboard dari komputer yang mengisi kesunyian ruangan. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan hari ini, mulai dari penetapan kebijakan operasional pendidikan, Perencanaan operasional program pendidikan, Sosialisasi serta pelaksanaan standar nasional pendidikan, dan masih banyak tugas yang lain di tingkat kabupaten yang harus ku kerjakan. Memang terkadang sulit tapi aku memiliki motivasi. Ya, aku memilikinya begitu kuat motivasi itu.
Tok, tok, tok...............
Suara
ketukan pintu itu menyadarkanku dari lamunan sesaat ini.
“Siapa?” Tanyaku singkat
“Saya bu, Ratih” Jawab wanita yang
berada dibalik pintu ruang kerjaku. Dia adalah Ratih. Asistenku.
“Silakan masuk Ratih.”
“Permisi bu, ini draft perencanaan operasional pendidikan
yang ibu minta kemarin”
“Terima kasih Ratih.”
“Sama-sama bu” Jawab Ratih, tetapi dia
tak kunjung keluar dari kantorku dan masih berdiri di depanku.
“Ada apa Ratih?” Tanyaku bingung
karena aku tak menyuruhnya melakukan pekerjaan lain
“Sebenarnya saya dari dulu ingin
menanyakan sesuatu pada ibu tetapi saya takut ibu tidak suka dan menganggap
saya lancang.” Jawabnya menunduk ragu
“Saya hanya ingin tau siapa wanita
di foto yang memeluk ibu dari belakang itu karena selama saya bekerja dengan
ibu ataupun saya ke rumah bu Ani saya tidak pernah melihatnya.”
Ya, memang Ratih sudah begitu lama
bekerja denganku. Sejak aku baru pertama kali duduk di kursi kerjaku ini, Ratih
sudah banyak membantu dan tau tentangku tetapi dia tidak pernah tau siapa
wanita yang memelukku dari belakang. Dalam foto di ruang kerja yang ku pajang
begitu besar di ruang kerjaku.
“Oh... Beliau adalah wanita terkuat
yang memperjuangkanku hingga seperti ini. Dia adalah Almarhum ibuku.” jawabku
dengan senyum penuh makna pada Ratih.
“Oh, maaf bu. Sebelumnya saya tidak
tau.”
“ Apa kamu tau Ratih, hidup manusia
itu seperti bilangan bulat positif dan negatif dalam rumus matematika?” Tanyaku.
“ Maksud ibu apa? Maaf, saya tidak
mengerti.” Jawab Ratih masih dengan wajah kebingungan
“Apa kamu punya pekerjaan yang harus
kamu selesaikan sekarang?”
“Tidak ada bu.”
“Duduklah aku akan menceritakannya
padamu.”
Ratih menjawab dengan sebuah
senyuman.
***
Setidaknya aku masih memilikinya..
Tempat bagiku untuk bernafas..
Bernafas dari segala kemirisan
hidupku..
Aku adalah gadis yang tumbuh di desa
kecil dekat hutan. Mentawai. Itulah nama desa kecil ku yang sangat sulit untuk
dijangkau dengan apa yang biasa orang kota sebut dengan gadget,ipad, ataupun alat mahal yang biasa mereka pakai. Desa ini
masih begitu rendah dalam pengetahuan akan pentingnya pendidikan. Aku
dibesarkan dari keluarga miskin yang sangat minim dalam masalah finansial.
Ibuku adalah seorang pekerja serabutan. Apa pun yang bisa Ibu kerjakan, maka ia
akan mengerjakannya seperti menjadi buruh tani di sawah, mencari kayu di hutan,
membuat sapu lidi dan masih banyak pekerjaan kasar lain yang biasa ibu lakukan.
Sedangkan ayah, entahlah aku sudah lupa kapan terakhir aku melihatnya. Mungkin
sekitar 4 atau 5 tahun yang lalu ayah pergi bekerja ke kota untuk bisa
meringankan beban keluarga ini tapi pada kenyataannya jangan kan kembali ke Mentawai
mendengar kabarnya pun kami tidak pernah. Tapi, entah kenapa ibu masih
menunggunya dan percaya bahwa ayah akan kembali namun bagiku Ayah telah mati
bersama dengan raganya yang tidak pernah hadir di samping kami selama ini.
Setiap
pagi buta ibu selalu membangunkanku untuk sholat subuh dan segera bersiap
berangkat ke sekolah. Maklum, desa ku sangat jauh jadi untuk mencapai sekolah
kami harus menuruni bukit terjal yang di kelilingi hutan Mentawai. Perjalanan
dari desa Mentawai menuju sekolah sekitar 1 setengah jam dengan berjalan kaki
menuju stasiun kecil di Kecamatan Punggur. Pagi ini, aku menunggu Lastri di
jalan ujung desa untuk berangkat sekolah bersama. Sekarang sudah menunjukan
hampir pukul 05.30 WIB bisa-bisa aku telat ke sekolah.
“Aniiiii..... “ Teriak gadis berambut
sebahu sambil berlari ke arahku.
“Kamu
ngapain aja sih las? Aku udah nunggu
kamu dari jam 5!” Kataku spontan saat dia berada tepat disampingku
“Maaf-maaf
tadi umi masih nyuruh aku ke rumah
mbok buat nganter makanan.” Jelasnya
“Udah yuk berangkat” Ajak ku.
Aku berjalan secepat mungkin agar
tak terlambat sampai ke sekolah karena aku tidak mau harus menyapu lapangan
seperti kemarin. Aku berjalan sangat cepat dan kutinggalkan Lastri yang berada
dibelakangku.
“Ani... Jalannya jangan cepat-cepat
dong masih ada waktu kok. Kita nggak
akan telat”
“Kemarin kamu juga bilang gitu.” Cetusku
“Hehe.. Maaf aku kemarin bikin kamu
telat” kata Lastri meminta maaf dengan gaya cengengesannya.
“Iya-iya aku maafin asal waktu
istirahat nanti kamu jajanin aku.”
“Ibu kamu gak kasih uang jajan
lagi?” Tanya Lastri.
“Si nenek tua itu mana pernah sih
ngasih aku uang jajan.” Kataku dengan nada sedikit marah.
“Pasti cuma dikasih bekal nasi sama
tempe doang ya kan!”
Aku tak menjawab kata-kata dari
Lastri, aku hanya mendengus kesal. Pada kenyataannya memang begitu setiap hari dari
mulai aku masih duduk di bangku sekolah dasar sampai di bangku sekolah menengah
atas seperti sekarang ini. Ibu tidak pernah sekalipun memberiku uang jajan
seperti yang anak-anak lain dapatkan dari orang tua mereka. Aku selalu merasa hidup tidak pernah adil
padaku. Anak-anak lain yang seusia ku hidup dengan kesenangan dan segala hal
yang melimpah, sedangkan aku? Apa yang aku miliki? Merasakan uang jajan pun
tidak pernah, yang ku tau hanya bekal nasi dan tempe yang ibu bawakan setiap
hari tak jarang pula aku membawa bekal gorengan ubi jalar liar yang ibu dapat
dari hutan. Hidup tak pernah adil bagiku. Kenapa aku di beri ibu yang begitu
miskin tapi tetap memaksaku sekolah padahal mencari uang untuk makan saja ia
hampir kewalahan. Aku merasa hidup tidak adil padaku. Tidak pernah.
“Ani..”
“Apa?”
“Setelah lulus SMA apa kamu mau
kuliah, kerja, atau menikah?”
“Aku mau kerja” Jawabku singkat.
“Bukannya kamu pingin banget kuliah?”
“Sebesar apa pun keinginanku untuk
kuliah itu mustahil dengan keadaanku ini las.”
“Sayang banget kamu gak kuliah padahal kamu pinter.”
Aku
hanya tersenyum menjawab kata-kata Lastri yang memang membuatku kepikiran.
“Hey, jangan ngelamun. Yuk, masuk” Ajak
Lastri.
Aku
hanya membalas ajakan Lastri dengan senyuman. Tidak terasa sudah sampai di
depan gerbang sekolah. Ya, bagiku hanya tempat ini yang sedikit memberiku ruang
bernafas pada kemirisan hidupku di desa Mentawai. Aku cukup pintar di sekolah
jadi setidaknya anak-anak orang kaya itu bisa sedikit menghargaiku. Mungkin
lebih tepatnya menjadikanku pesuruh untuk mengerjakan PR mereka. Biasanya
mereka akan memberiku imbalan jika aku mengerjakan PR mereka seperti uang atau
makan di kantin secara gratis. Meski begitu setidaknya aku masih memiliki
tempat ku bernafas. Sekolah... Ya benar tempat itu adalah sekolah.
***
Wanita
itu..
Kuharap
aku tak pernah memanggilnya..
Ibu..
Siang
itu sepulang sekolah, seperti biasanya aku akan pulang tapi kali ini aku tidak pulang
dengan Lastri, karena seperti biasa ia akan pergi jalan-jalan dengan Bayu pacarnya.
Tidak jarang pula mereka minum-minuman keras yang seharusnya tidak boleh diminum
oleh anak SMA seperti kami. Lastri bilang padaku kalau alkohol bisa meringankan
beban yang ada di pikiran. Ya, mungkin aku bisa mencobanya nanti jika aku
benar-benar sudah muak dengan hidupku. Tapi untuk saat ini kurasa tidak, karena
aku masih menyayangi otakku.
Pada dasarnya jika
berlebihan mengkonsumsinya akan menghentikan pembentukan sel otak baru juga
gangguan pada memori. Jika sudah begitu aku tidak akan menjadi siswa yang
pintar lagi. Lalu bagaimana caraku agar bisa mendapatkan uang dari anak-anak
orang kaya itu? Tidak ada. Anak-anak lain berlalu lalang didepanku, tapi aku
masih berjalan santai menuju gerbang sekolah. Aku terlalu malas untuk pulang
karena aku tidak ingin kembali ke tempat kumuh dan bertemu dengan wanita tua
itu. Tapi mau bagaimana lagi aku harus pulang karena cuaca juga mendung, pasti
setelah ini akan turun hujan. Hah, menyebalkan. Andai aku punya mobil pasti
sangat menyenangkan. Aku tidak perlu kehujanan. Tapi ya sudahlah. Aku berjalan
santai sampai akhirnya aku sampai di depan gerbang sekolah. Aku sangat terkejut
dengan apa yang aku lihat. Ibu. Kenapa wanita tua itu ada di sini?
Aku
sangat malu. Banyak teman-temanku memandangnya dengan heran sekaligus jijik.
Dia menggunakan celana dan baju yang sudah sangat usang dengan membawa payung
ditangannya. Bagaimana ini? Pasti setelah ini teman-teman akan membicarakanku.
“Anii..”
Panggil ibu ketika ia melihatku.
“Ibu
bawakan payung ndok. Ibu takut kamu
kehujanan lalu sakit” Ucapnya lagi.
Aku
sangat malu. Banyak ku dengar suara berbisik-bisik dibelakangku.
“Oh
ternyata itu ibunya Ani.”
“Pantas
saja dia mau mengerjakan tugas kita selama ini orang dia anak orang gak punya”
“Itu
Ibunya Ani ya ampun kasihan ya.”
“Bagaimana
rasanya memiliki ibu seperti itu? Menjijikan”
Dan
masih banyak bisikan yang ku dengar dilakangku. Aku sangat marah dan malu. Tak
ada yang mampu ku berbuat yang ku pikirkan hanyalah aku sangat marah pada ibu.
Aku berjalan kearahnya lantas langsung ku ambil payung yang di bawa wanita tua itu
dengan kasar tanpa berkata apa pun dan pergi.
Aku
berjalan dengan perasaan marah yang teramat namun ibu tetap mengikuti dibelakangku.
Di bawah derasnya air hujan hanya dengan berpayungkan daun pisang karena hanya
ada satu payung. Aku sangat marah bahkan untuk berpikir berbagi payung pun aku
tidak memilikinya. Ibu terus berada di belakang mengkutiku hingga kami berada
di hutan Mentawai. Aku tidak mampu menahan kemarahan dan rasa malu ini lantas
ku tumpahkan semua pada Ibu di bawah derasnya hujan yang mengguyur tubuh
rentanya.
“Kenapa
sih ibu datang ke sekolah? Apa kamu tau berapa banyak cemooh yang akan aku dapat
nanti? Aku lebih suka mati kehujanan dari pada aku harus melihat Ibu ke
sekolah. Apa aku masih kurang tersiksa dengan hidup miskin kita, Ayah yang
pergi entah ke mana, dan memiliki Ibu sepertimu. Hah.. Apa masih kurang?” Kataku
dengan semua kemarahan yang meluap-luap.
Ibu terisak di bawah
guyuran air hujan seraya berkata..
“Maaf ndok maaf, Ibu tidak bisa memberi apa
yang kamu mau. Ibu hanya...”
“Hanya apa? Hanya mau
aku lebih tersiksa kan? Kenapa dulu gak kamu bunuh saja aku saat aku lahir?
Ibu? Kamu menyebut dirimu ibu tapi kamu tidak pernah mau mengerti aku. Ibu?
Kamu hanya wanita tua yang tak pernah ingin aku panggil ibu” teriakku sembari
melempar payung yang kubawa entah ke mana.
Setelah itu aku berlari
entah kemana tanpa memperdulikannya. Aku hanya tidak ingin berada di dekat
wanita tua itu. Aku menangis. Aku menangisi malangnya kehidupanku yang tak
mampu ku bendung lagi. Aku hanya terus berlari menyusuri hutan Mentawai
layaknya aku ingin lari dan meninggalkan kehidupanku sekarang jauh di belakang.
Ya, jauh di belakang hingga tak mampu kulihat lagi.
***
Dia
menutup mata namun terjaga
Dia
terluka namun tersembunyi
Dia
menangis namun tersenyum
Semuanya
karnaku..
Sejak hari itu, aku tidak pernah
kembali pulang ke rumah. Aku mengurung diriku di rumah bibiku di desa Bangsal
yang masih satu kecamatan dengan desa Mentawai. Aku memang sering ke sini jika
aku bertengkar dengan wanita tua itu. Mungkin hampir setiap hari pula aku
kesini karena aku tidak mau melihatnya. Aku menginap di rumah Bibi Widarsih
selama 3 hari dan tidak berangkat sekolah selama 3 hari itu pula. Bibi Widarsih
sangat khawatir padaku karena aku tidak pernah marah hingga seperti ini
sebelumnya. Hingga dia memutuskan untuk berbicara dengan ku di kamar yang biasa
aku pakai di rumah bibi.
“Ani, kamu sedang apa?” Tanya Bibi
Widarsih di samping pintu kamar.
“Eh bibi, tidak ada kok bi” Jawabku
seraya membenarkan posisi dudukku di kasur.
“Kenapa selama berhari-hari tidak
pulang kerumahmu? Ibu mu pasti khawatir” Kata bibi seraya menghampiriku dan
duduk di kasur.
“Sudahlah Bi, aku tidak perduli
dengannya. Dia sudah membuatku malu.”
“Apa malu karena ibumu datang dan
membawakanmu payung agar kamu tidak sakit karena hujan?”
Aku hanya terdiam mendengar pertanyaan bibi.
“Ibu mu begitu karena tidak ingin kamu
sakit. Apa kamu tau Ani? Tidak ada seorang Ibu yang mau melihat atau bahkan
mendengar anaknya sakit. Kamu tau pengorbanan seperti apa yang ibumu lakukan
untuk dapat membiayai kalian hidupmu seorang diri. Bukankah seharusnya kamu
bangga.”
“Tapi aku tidak ingin hidup seperti ini
bibi.”
“Ani, Kita tidak bisa memilih seperti
apa kehidupan kita. Kita hanya mampu menjalaninya sebaik mungkin. Lihat Ibu mu,
apa dia pernah mengeluh? Apa Ibu mu pernah menyuruhmu melakukan pekerjaan kasar
seperti yang dia lakukan setiap hari?”
Aku diam dan mengangguk membenarkan
semua perkataan bibi.
“Ani, Seorang Ibu bahkan saat
menutup mata mereka akan terjaga untuk tetap membuatmu aman. Lukanya akan tetap
tersembunyi untuk membuatmu tidak khawatir. Bahkan saat dia menangis karena
kepergian ayahmu, dia akan tetap tersenyum untukmu agar kamu tidak sedih.
Itulah seorang Ibu, Itu adalah Ibumu” Nasihat Bibi
Aku hanya tertunduk sembari
menitikkan air mata. Semua perkataannya memang benar. Aku memang egois dan
tidak pernah memikirkan apapun tentang ibu. Semua kesulitannya, dia memikulnya
sendiri tanpa menginginkan aku tau semua rasa sakit dan lukanya selama ini.
“Apa kamu tau sekarang?” Tanya bibi.
Aku
hanya menjawab dengan anggukan kepala.
“Sudah hapus air matamu. Pulanglah
sekarang, ibumu setiap hari ke sini menghawatirkanmu. Dia diluar, sekarang
pulang lah bersamanya”
Sekali
lagi aku hanya menjawab dengan anggukan kepala.
“Oh ya. Bibi lupa. Kemarin Lastri kesini.
Dia memberikan ini pada bibi”
Bibi
menyerahkan beberapa lembar kertas dan pamflet yang bertuliskan Schoolarship Goes to Campus. Aku
menerimanya dengan senang karena masih ada jalan bagiku untuk meneruskan
pendidikan ke kota jika aku mendapatkan beasiswa. Aku tersenyum dan
menyimpannya di dalam tas sekolah yang kemarin sempat ku bawa lalu aku bergegas
keluar kamar dan menemui ibu untuk pulang kerumah. Pulang ke tempat yang kukira
sangat menjijikan tapi mungkin perkataan Bibi sedikit melegakan rasa benciku
dan setidaknya meski aku tak suka pada Ibu serta rumah kumuh itu. Aku harus
tetap menjalaninya. Ya, apa mampuku selain menjalaninya untuk saat ini karena
Ibu juga tak bisa memilih hidupnya sama sepertiku.
***
Aku
mendapat lentera..
Tapi..
Aku
kehilangan sinarnya..
Aku
memulai hariku kembali masih tetap seperti keadaanku yang dulu. Nasihat bibi
mungkin sedikit memberiku ruang untuk tidak lagi terlalu membenci ibu dan
hidupku tapi tetap saja aku masih tidak suka berada pada keadaan ini. Hari ini
aku kembali ke sekolah setelah selama 3 hari tidak masuk. Mungkin banyak ku
dengar banyak cacian tapi biarlah. Aku sudah terbiasa dengan itu semua.
Satu-satunya motivasiku untuk pergi ke sekolah adalah lembaran kertas beasiswa
yang di titipkan Lastri lewat Bibi kemarin. Hari ini aku mendaftarkan diriku untuk
mengikuti ujian untuk mendapatkan beasiswa itu. Aku mendatangi ruang guru dan
menyerahkan semua data diriku. Ujian pendaftaran beasiswa itu akan dilaksanakan
1 minggu lagi. Mulai hari ini aku tidak akan terlalu banyak memikirkan masalah
hal-hal disekitarkku. Fokus saja. Aku hanya perlu fokus agar belajarku maksimal
karena ini adalah harapan terakhirku sebelum ujian akhir nasional yang akan di
mulai sekitar 3 bulan lagi. Aku mulai menyendiri sekarang. Aku sering belajar
di bawah pohon Akasia di belakang sekolahku seperti sekarang ini.
Aku
suka tempat ini karena disini sangat sepi dan nyaman. Aku juga tidak harus
mendengar cemooh dari anak-anak kota yang kaya itu. Benar, disini memang lebih
baik. Mungkin aku akan melakukan ini hingga kelulusan SMA ku. Agar semuanya
berjalan lancar terkadang menghindar juga akan menjadi solusi yang baik juga.
Terkadang terlihat seperti pengecut tapi sekali lagi ini akan menjadi lebih
baik dari pada mendengar cemooh mereka.
Hari
silih berganti dengan cepat hingga tidak terasa besok adalah hari untuk ujian
beasiswa itu dimulai. Masih berkutat dengan buku, Aku terus belajar tanpa henti
hingga hari ini dirumahku yang begitu kecil.
“Ndok, masih belajar?” Tanya ibu sembari
membuka kelambu pintu kamarku.
“Masih
belajar? Ya iya lah, emang ibu
liatnya aku lagi ngapain.” Jawabku ketus
Bibi
memang sudah menasihatiku waktu itu dan aku memang sudah tidak semarah dulu.
Tapi tetap saja aku masih tidak suka berada didekatnya atau mungkin aku tidak
tau bagaimana cara mengungkapakan kasih sayangku kepada ibuku.
“Iya
maaf, ibu hanya sekedar bertanya. Oh ya ndok, besok ujiannya kan? Besok ibu
antar ya? Sekalian ibu ada urusan di kota.”
“Iya.”
Jawabku acuh
Setelah itu ibu keluar
dari kamar dan aku tidur. Esoknya aku bangun pagi-pagi buta untuk berangkat
lebih awal ke tempat ujian. Setelah semua persiapan selesai aku lakukan, aku
pun berangkat ke kota bersama ibu tetapi aku menyuruh ibu untuk berjalan di
belakangku karena aku tidak suka dia berjalan disampingku. Begitu seterusnya
hingga kami sampai di kota ibu terus dibelakangku. Tanpa pamit aku langsung
berjalan ke tempat ujian. Tapi sebelum itu ibu mengatakan sesuatu yang akan aku
ingat selamanya.
“Ndok, sebelum kamu pergi ujian ibu ingin
mengatakan sesuatu”
“Apa?”
Tanyaku singkat
“Ibu
tidak apa-apa kamu membenci ibu seterusnya tapi bisakah satu kali saja untuk
hari ini kamu melakukan sesuatu karna ibu?” Ucapnnya sambil berkaca-kaca
menahan air mata
“Aku
tidak janji tapi akan aku coba” Jawabku malas
Setelah itu tanpa mencium tangannya aku
berlalu pergi ke ruang ujian dimana aku akan melangsungkan ujian itu. Ya,
baiklah aku akan mencoba untuk hari ini saja melakukan sesuatu karena ibu. Saat
kertas ujian dibagikan aku berkata dalam hati aku melakukan ujian ini demi ibu
agar aku bisa meringankan bebannya dalam membiayai pendidikanku. Lalu aku
mengerjakan soalku dengan lancar.
Hingga
saat pengumuman tiba 20 peserta orang yang lolos beasiswa dari 200 lebih
peserta yang ada. Aku termasuk di dalamnya. Ani Ranita. Namaku dipanggil ke
podium beserta 19 peseta lainnya dan mendapat sertifikat juga mendali sebagai
tanda peserta penerima beasiswa. Aku sangat senang. Setelah itu aku langsung
berlari pulang sembari membawa mendali dan sertifikat itu pulang kerumah. Aku
ingin menceritakan pada ibu bahwa apa yang dia katakan berhasil.
Aku
berlari hingga depan rumahku yang riot tampak bendera kuning. Orang-orang
berkumpul disana dan kulihat Bibi Widarsih menangis sesegukan. Aku menghampiri
mereka dengan rasa bingung. Ada apa ini? Siapa yang meninggal? Begitu bibi melihatku
dia langsung memelukku.
“Ani..
yang kuat ya ndok. Ibumu terperosok
jatuh di hutan Mentawai saat hendak pulang”
kata bibi sembari memelukku
Masih
dalam keadaan bingung aku langsung berjalan sambil membawa mendali dan
sertifikat beasiswa ke tempat dimana ibuku tergeletak kaku dengan dibungkus
kain putih pada sekujur tubuhnya. Aku tak kuasa menangis melihatnya.
“Ibu
lihat aku membawakanmu mendali ini. Lihat bu aku melakukannya untuk ibu. Aku
berhasil bu.” Kataku sambil menangis memeluknya
Seluruh
pelayat menangis melihatku memeluk ibu sambil membawa mendali yang tak sempat
aku tunjukan pada ibu. Setelah itu, Aku tak mampu berkata apapun lagi seperti
kehilangan sinar dari sebuah lentera seluruh warna mulai memudar dan badanku
tergeletak lemah disamping jenazah ibu.
***
“Lalu
apa yang ibu lakukan setelah itu?” Tanya Ratih.
“Aku
sulit bangkit, tidak pernah bisa belajar baik, dan aku hanya menangis setiap
hari menyesali apa yang aku lakukan pada ibu dan ketika aku ingin memperbaikinya.
Aku terlambat. Tetapi aku yakin ibu tidak pernah ingin aku selalu terpuruk. Aku
selalu mengingat kalimat terakhir yang dia ucapkan:
“Mulai
hari ini..
Bisakah
kamu memulai segalanya..
Karena
ibu..
karena
aku. Ibumu.”
“Apa
ibu tidak pernah menyesalinya?” Tanya Ratih lagi
‘Aku selalu
menyesalinya tetapi aku tau hidup ini seperti terkadang seperti bilangan
positif dan negatif dalam rumus matematika. - x - = + , minus diibaratkan kesalahan dan plus
layaknya kebenaran. Untuk mencapai yang plus
atau kebenaran kita harus melewati minus
atau apa yang bisa disebut kesalahan.” Jelasku pada Ratih
“Cerita
ibu benar-benar membuatku terharu” Kata Ratih sembari menghapus setitik air
mata yang jatuh ke pipinya
“Ya,
aku menjadikannya motivasi untukku. Hingga aku menjadi seorang kepala dinas di
Kabupaten Galunggung seperti sekarang ini. Seperti kata ibuku, aku memulai
sesuatu karena dia. Karena ibuku.”
Ratih
menatapku tersenyum dengan penuh makna.
Biodata
Penulis
Nama : Weni Riski
Amalia
Tempat, tanggal lahir : Banyuwangi, 12 Februari 1995
NIM : 1410231045
Prodi, Fakultas : Bahasa Inggris / FKIP
No comments:
Post a Comment