Sunday, June 5, 2016

Contoh Cerpen "Dia adalah Kamu Ibu"



DIA ADALAH KAMU, IBU.


 http://seftiansetia.com/wp-content/uploads/2016/04/ibu-anak.jpg




             Tik, tik, tik... Tik, tik... Tik, tik, tik...
Ruangan kerja kantorku begitu sepi menjelang istirahat siang, hanya suara keyboard dari komputer yang mengisi kesunyian ruangan. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan hari ini, mulai dari penetapan kebijakan operasional pendidikan, Perencanaan operasional program pendidikan, Sosialisasi serta pelaksanaan standar nasional pendidikan, dan masih banyak tugas yang lain di tingkat kabupaten yang harus ku kerjakan. Memang terkadang sulit tapi aku memiliki motivasi. Ya, aku memilikinya begitu kuat motivasi itu.
            Tok, tok, tok...............
Suara ketukan pintu itu menyadarkanku dari lamunan sesaat ini.
            “Siapa?” Tanyaku singkat
            “Saya bu, Ratih” Jawab wanita yang berada dibalik pintu ruang kerjaku. Dia adalah Ratih. Asistenku.
            “Silakan masuk Ratih.”
            “Permisi bu, ini draft perencanaan operasional pendidikan yang ibu minta kemarin”
            “Terima kasih Ratih.”
            “Sama-sama bu” Jawab Ratih, tetapi dia tak kunjung keluar dari kantorku dan masih berdiri di depanku.
            “Ada apa Ratih?” Tanyaku bingung karena aku tak menyuruhnya melakukan pekerjaan lain
            “Sebenarnya saya dari dulu ingin menanyakan sesuatu pada ibu tetapi saya takut ibu tidak suka dan menganggap saya lancang.” Jawabnya menunduk ragu
            “Saya hanya ingin tau siapa wanita di foto yang memeluk ibu dari belakang itu karena selama saya bekerja dengan ibu ataupun saya ke rumah bu Ani saya tidak pernah melihatnya.”

            Ya, memang Ratih sudah begitu lama bekerja denganku. Sejak aku baru pertama kali duduk di kursi kerjaku ini, Ratih sudah banyak membantu dan tau tentangku tetapi dia tidak pernah tau siapa wanita yang memelukku dari belakang. Dalam foto di ruang kerja yang ku pajang begitu besar di ruang kerjaku.

            “Oh... Beliau adalah wanita terkuat yang memperjuangkanku hingga seperti ini. Dia adalah Almarhum ibuku.” jawabku dengan senyum penuh makna pada Ratih.
            “Oh, maaf bu. Sebelumnya saya tidak tau.”
            “ Apa kamu tau Ratih, hidup manusia itu seperti bilangan bulat positif dan negatif dalam rumus matematika?” Tanyaku.
            “ Maksud ibu apa? Maaf, saya tidak mengerti.” Jawab Ratih masih dengan wajah kebingungan
            “Apa kamu punya pekerjaan yang harus kamu selesaikan sekarang?”
            “Tidak ada bu.”
            “Duduklah aku akan menceritakannya padamu.”
            Ratih menjawab dengan sebuah senyuman.
***
Setidaknya aku masih memilikinya..
Tempat bagiku untuk bernafas..
Bernafas dari segala kemirisan hidupku..

Aku adalah gadis yang tumbuh di desa kecil dekat hutan. Mentawai. Itulah nama desa kecil ku yang sangat sulit untuk dijangkau dengan apa yang biasa orang kota sebut dengan gadget,ipad, ataupun alat mahal yang biasa mereka pakai. Desa ini masih begitu rendah dalam pengetahuan akan pentingnya pendidikan. Aku dibesarkan dari keluarga miskin yang sangat minim dalam masalah finansial. Ibuku adalah seorang pekerja serabutan. Apa pun yang bisa Ibu kerjakan, maka ia akan mengerjakannya seperti menjadi buruh tani di sawah, mencari kayu di hutan, membuat sapu lidi dan masih banyak pekerjaan kasar lain yang biasa ibu lakukan. Sedangkan ayah, entahlah aku sudah lupa kapan terakhir aku melihatnya. Mungkin sekitar 4 atau 5 tahun yang lalu ayah pergi bekerja ke kota untuk bisa meringankan beban keluarga ini tapi pada kenyataannya jangan kan kembali ke Mentawai mendengar kabarnya pun kami tidak pernah. Tapi, entah kenapa ibu masih menunggunya dan percaya bahwa ayah akan kembali namun bagiku Ayah telah mati bersama dengan raganya yang tidak pernah hadir di samping kami selama ini.
 Setiap pagi buta ibu selalu membangunkanku untuk sholat subuh dan segera bersiap berangkat ke sekolah. Maklum, desa ku sangat jauh jadi untuk mencapai sekolah kami harus menuruni bukit terjal yang di kelilingi hutan Mentawai. Perjalanan dari desa Mentawai menuju sekolah sekitar 1 setengah jam dengan berjalan kaki menuju stasiun kecil di Kecamatan Punggur. Pagi ini, aku menunggu Lastri di jalan ujung desa untuk berangkat sekolah bersama. Sekarang sudah menunjukan hampir pukul 05.30 WIB bisa-bisa aku telat ke sekolah.
“Aniiiii..... “ Teriak gadis berambut sebahu sambil berlari ke arahku.
“Kamu ngapain aja sih las? Aku udah nunggu kamu dari jam 5!” Kataku spontan saat dia berada tepat disampingku
“Maaf-maaf tadi umi masih nyuruh aku ke rumah mbok buat nganter makanan.” Jelasnya
“Udah yuk berangkat” Ajak ku.
            Aku berjalan secepat mungkin agar tak terlambat sampai ke sekolah karena aku tidak mau harus menyapu lapangan seperti kemarin. Aku berjalan sangat cepat dan kutinggalkan Lastri yang berada dibelakangku.
            “Ani... Jalannya jangan cepat-cepat dong masih ada waktu kok. Kita nggak akan telat”
            “Kemarin kamu juga bilang gitu.” Cetusku
            “Hehe.. Maaf aku kemarin bikin kamu telat” kata Lastri meminta maaf dengan gaya cengengesannya.
            “Iya-iya aku maafin asal waktu istirahat nanti kamu jajanin aku.”
            “Ibu kamu gak kasih uang jajan lagi?” Tanya Lastri.
            “Si nenek tua itu mana pernah sih ngasih aku uang jajan.” Kataku dengan nada sedikit marah.
            “Pasti cuma dikasih bekal nasi sama tempe doang ya kan!”
            Aku tak menjawab kata-kata dari Lastri, aku hanya mendengus kesal. Pada kenyataannya memang begitu setiap hari dari mulai aku masih duduk di bangku sekolah dasar sampai di bangku sekolah menengah atas seperti sekarang ini. Ibu tidak pernah sekalipun memberiku uang jajan seperti yang anak-anak lain dapatkan dari orang tua mereka.  Aku selalu merasa hidup tidak pernah adil padaku. Anak-anak lain yang seusia ku hidup dengan kesenangan dan segala hal yang melimpah, sedangkan aku? Apa yang aku miliki? Merasakan uang jajan pun tidak pernah, yang ku tau hanya bekal nasi dan tempe yang ibu bawakan setiap hari tak jarang pula aku membawa bekal gorengan ubi jalar liar yang ibu dapat dari hutan. Hidup tak pernah adil bagiku. Kenapa aku di beri ibu yang begitu miskin tapi tetap memaksaku sekolah padahal mencari uang untuk makan saja ia hampir kewalahan. Aku merasa hidup tidak adil padaku. Tidak pernah.
            “Ani..”  
            “Apa?”
            “Setelah lulus SMA apa kamu mau kuliah, kerja, atau menikah?”
            “Aku mau kerja” Jawabku singkat.
            “Bukannya kamu pingin banget kuliah?”
            “Sebesar apa pun keinginanku untuk kuliah itu mustahil dengan keadaanku ini las.”
            “Sayang banget kamu gak kuliah padahal kamu pinter.”
Aku hanya tersenyum menjawab kata-kata Lastri yang memang membuatku kepikiran.
            “Hey, jangan ngelamun. Yuk, masuk” Ajak Lastri.
Aku hanya membalas ajakan Lastri dengan senyuman. Tidak terasa sudah sampai di depan gerbang sekolah. Ya, bagiku hanya tempat ini yang sedikit memberiku ruang bernafas pada kemirisan hidupku di desa Mentawai. Aku cukup pintar di sekolah jadi setidaknya anak-anak orang kaya itu bisa sedikit menghargaiku. Mungkin lebih tepatnya menjadikanku pesuruh untuk mengerjakan PR mereka. Biasanya mereka akan memberiku imbalan jika aku mengerjakan PR mereka seperti uang atau makan di kantin secara gratis. Meski begitu setidaknya aku masih memiliki tempat ku bernafas. Sekolah... Ya benar tempat itu adalah sekolah.

 http://4.bp.blogspot.com/-ouFS49poj_M/VZJU_bMvbaI/AAAAAAAADW0/T4atvyU-am8/s1600/Ibu%2B1.jpg


***
Wanita itu..
Kuharap aku tak pernah memanggilnya..
Ibu..

            Siang itu sepulang sekolah, seperti biasanya aku akan pulang tapi kali ini aku tidak pulang dengan Lastri, karena seperti biasa ia akan pergi jalan-jalan dengan Bayu pacarnya. Tidak jarang pula mereka minum-minuman keras yang seharusnya tidak boleh diminum oleh anak SMA seperti kami. Lastri bilang padaku kalau alkohol bisa meringankan beban yang ada di pikiran. Ya, mungkin aku bisa mencobanya nanti jika aku benar-benar sudah muak dengan hidupku. Tapi untuk saat ini kurasa tidak, karena aku masih menyayangi otakku.
Pada dasarnya jika berlebihan mengkonsumsinya akan menghentikan pembentukan sel otak baru juga gangguan pada memori. Jika sudah begitu aku tidak akan menjadi siswa yang pintar lagi. Lalu bagaimana caraku agar bisa mendapatkan uang dari anak-anak orang kaya itu? Tidak ada. Anak-anak lain berlalu lalang didepanku, tapi aku masih berjalan santai menuju gerbang sekolah. Aku terlalu malas untuk pulang karena aku tidak ingin kembali ke tempat kumuh dan bertemu dengan wanita tua itu. Tapi mau bagaimana lagi aku harus pulang karena cuaca juga mendung, pasti setelah ini akan turun hujan. Hah, menyebalkan. Andai aku punya mobil pasti sangat menyenangkan. Aku tidak perlu kehujanan. Tapi ya sudahlah. Aku berjalan santai sampai akhirnya aku sampai di depan gerbang sekolah. Aku sangat terkejut dengan apa yang aku lihat. Ibu. Kenapa wanita tua itu ada di sini?
            Aku sangat malu. Banyak teman-temanku memandangnya dengan heran sekaligus jijik. Dia menggunakan celana dan baju yang sudah sangat usang dengan membawa payung ditangannya. Bagaimana ini? Pasti setelah ini teman-teman akan membicarakanku.
            “Anii..” Panggil ibu ketika ia melihatku.
            “Ibu bawakan payung ndok. Ibu takut kamu kehujanan lalu sakit” Ucapnya lagi.
            Aku sangat malu. Banyak ku dengar suara berbisik-bisik dibelakangku.
            “Oh ternyata itu ibunya Ani.”
            “Pantas saja dia mau mengerjakan tugas kita selama ini orang dia anak orang gak punya”
            “Itu Ibunya Ani ya ampun kasihan ya.”
            “Bagaimana rasanya memiliki ibu seperti itu? Menjijikan”
            Dan masih banyak bisikan yang ku dengar dilakangku. Aku sangat marah dan malu. Tak ada yang mampu ku berbuat yang ku pikirkan hanyalah aku sangat marah pada ibu. Aku berjalan kearahnya lantas langsung ku ambil payung yang di bawa wanita tua itu dengan kasar tanpa berkata apa pun dan pergi.
            Aku berjalan dengan perasaan marah yang teramat namun ibu tetap mengikuti dibelakangku. Di bawah derasnya air hujan hanya dengan berpayungkan daun pisang karena hanya ada satu payung. Aku sangat marah bahkan untuk berpikir berbagi payung pun aku tidak memilikinya. Ibu terus berada di belakang mengkutiku hingga kami berada di hutan Mentawai. Aku tidak mampu menahan kemarahan dan rasa malu ini lantas ku tumpahkan semua pada Ibu di bawah derasnya hujan yang mengguyur tubuh rentanya.
            “Kenapa sih ibu datang ke sekolah? Apa kamu tau berapa banyak cemooh yang akan aku dapat nanti? Aku lebih suka mati kehujanan dari pada aku harus melihat Ibu ke sekolah. Apa aku masih kurang tersiksa dengan hidup miskin kita, Ayah yang pergi entah ke mana, dan memiliki Ibu sepertimu. Hah.. Apa masih kurang?” Kataku dengan semua kemarahan yang meluap-luap.
Ibu terisak di bawah guyuran air hujan seraya berkata.. 
“Maaf ndok maaf, Ibu tidak bisa memberi apa yang kamu mau. Ibu hanya...”
“Hanya apa? Hanya mau aku lebih tersiksa kan? Kenapa dulu gak kamu bunuh saja aku saat aku lahir? Ibu? Kamu menyebut dirimu ibu tapi kamu tidak pernah mau mengerti aku. Ibu? Kamu hanya wanita tua yang tak pernah ingin aku panggil ibu” teriakku sembari melempar payung yang kubawa entah ke mana.
Setelah itu aku berlari entah kemana tanpa memperdulikannya. Aku hanya tidak ingin berada di dekat wanita tua itu. Aku menangis. Aku menangisi malangnya kehidupanku yang tak mampu ku bendung lagi. Aku hanya terus berlari menyusuri hutan Mentawai layaknya aku ingin lari dan meninggalkan kehidupanku sekarang jauh di belakang. Ya, jauh di belakang hingga tak mampu kulihat lagi.

 http://ayobuka.com/wp-content/uploads/2016/04/ibu2.jpg


***
Dia menutup mata namun terjaga
Dia terluka namun tersembunyi
Dia menangis namun tersenyum
Semuanya karnaku..

            Sejak hari itu, aku tidak pernah kembali pulang ke rumah. Aku mengurung diriku di rumah bibiku di desa Bangsal yang masih satu kecamatan dengan desa Mentawai. Aku memang sering ke sini jika aku bertengkar dengan wanita tua itu. Mungkin hampir setiap hari pula aku kesini karena aku tidak mau melihatnya. Aku menginap di rumah Bibi Widarsih selama 3 hari dan tidak berangkat sekolah selama 3 hari itu pula. Bibi Widarsih sangat khawatir padaku karena aku tidak pernah marah hingga seperti ini sebelumnya. Hingga dia memutuskan untuk berbicara dengan ku di kamar yang biasa aku pakai di rumah bibi.
            “Ani, kamu sedang apa?” Tanya Bibi Widarsih di samping pintu kamar.
            “Eh bibi, tidak ada kok bi” Jawabku seraya membenarkan posisi dudukku di kasur.
            “Kenapa selama berhari-hari tidak pulang kerumahmu? Ibu mu pasti khawatir” Kata bibi seraya menghampiriku dan duduk di kasur.
            “Sudahlah Bi, aku tidak perduli dengannya. Dia sudah membuatku malu.”
            “Apa malu karena ibumu datang dan membawakanmu payung agar kamu tidak sakit karena hujan?”
Aku hanya terdiam mendengar pertanyaan bibi.
“Ibu mu begitu karena tidak ingin kamu sakit. Apa kamu tau Ani? Tidak ada seorang Ibu yang mau melihat atau bahkan mendengar anaknya sakit. Kamu tau pengorbanan seperti apa yang ibumu lakukan untuk dapat membiayai kalian hidupmu seorang diri. Bukankah seharusnya kamu bangga.”
“Tapi aku tidak ingin hidup seperti ini bibi.”
“Ani, Kita tidak bisa memilih seperti apa kehidupan kita. Kita hanya mampu menjalaninya sebaik mungkin. Lihat Ibu mu, apa dia pernah mengeluh? Apa Ibu mu pernah menyuruhmu melakukan pekerjaan kasar seperti yang dia lakukan setiap hari?”
            Aku diam dan mengangguk membenarkan semua perkataan bibi.
            “Ani, Seorang Ibu bahkan saat menutup mata mereka akan terjaga untuk tetap membuatmu aman. Lukanya akan tetap tersembunyi untuk membuatmu tidak khawatir. Bahkan saat dia menangis karena kepergian ayahmu, dia akan tetap tersenyum untukmu agar kamu tidak sedih. Itulah seorang Ibu, Itu adalah Ibumu” Nasihat Bibi
            Aku hanya tertunduk sembari menitikkan air mata. Semua perkataannya memang benar. Aku memang egois dan tidak pernah memikirkan apapun tentang ibu. Semua kesulitannya, dia memikulnya sendiri tanpa menginginkan aku tau semua rasa sakit dan lukanya selama ini.
            “Apa kamu tau sekarang?” Tanya bibi.
Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala.
            “Sudah hapus air matamu. Pulanglah sekarang, ibumu setiap hari ke sini menghawatirkanmu. Dia diluar, sekarang pulang lah bersamanya”
Sekali lagi aku hanya menjawab dengan anggukan kepala.
            “Oh ya. Bibi lupa. Kemarin Lastri kesini. Dia memberikan ini pada bibi”
Bibi menyerahkan beberapa lembar kertas dan pamflet yang bertuliskan Schoolarship Goes to Campus. Aku menerimanya dengan senang karena masih ada jalan bagiku untuk meneruskan pendidikan ke kota jika aku mendapatkan beasiswa. Aku tersenyum dan menyimpannya di dalam tas sekolah yang kemarin sempat ku bawa lalu aku bergegas keluar kamar dan menemui ibu untuk pulang kerumah. Pulang ke tempat yang kukira sangat menjijikan tapi mungkin perkataan Bibi sedikit melegakan rasa benciku dan setidaknya meski aku tak suka pada Ibu serta rumah kumuh itu. Aku harus tetap menjalaninya. Ya, apa mampuku selain menjalaninya untuk saat ini karena Ibu juga tak bisa memilih hidupnya sama sepertiku.
***
Aku mendapat lentera..
Tapi..
Aku kehilangan sinarnya..

            Aku memulai hariku kembali masih tetap seperti keadaanku yang dulu. Nasihat bibi mungkin sedikit memberiku ruang untuk tidak lagi terlalu membenci ibu dan hidupku tapi tetap saja aku masih tidak suka berada pada keadaan ini. Hari ini aku kembali ke sekolah setelah selama 3 hari tidak masuk. Mungkin banyak ku dengar banyak cacian tapi biarlah. Aku sudah terbiasa dengan itu semua. Satu-satunya motivasiku untuk pergi ke sekolah adalah lembaran kertas beasiswa yang di titipkan Lastri lewat Bibi kemarin. Hari ini aku mendaftarkan diriku untuk mengikuti ujian untuk mendapatkan beasiswa itu. Aku mendatangi ruang guru dan menyerahkan semua data diriku. Ujian pendaftaran beasiswa itu akan dilaksanakan 1 minggu lagi. Mulai hari ini aku tidak akan terlalu banyak memikirkan masalah hal-hal disekitarkku. Fokus saja. Aku hanya perlu fokus agar belajarku maksimal karena ini adalah harapan terakhirku sebelum ujian akhir nasional yang akan di mulai sekitar 3 bulan lagi. Aku mulai menyendiri sekarang. Aku sering belajar di bawah pohon Akasia di belakang sekolahku seperti sekarang ini.
            Aku suka tempat ini karena disini sangat sepi dan nyaman. Aku juga tidak harus mendengar cemooh dari anak-anak kota yang kaya itu. Benar, disini memang lebih baik. Mungkin aku akan melakukan ini hingga kelulusan SMA ku. Agar semuanya berjalan lancar terkadang menghindar juga akan menjadi solusi yang baik juga. Terkadang terlihat seperti pengecut tapi sekali lagi ini akan menjadi lebih baik dari pada mendengar cemooh mereka.
            Hari silih berganti dengan cepat hingga tidak terasa besok adalah hari untuk ujian beasiswa itu dimulai. Masih berkutat dengan buku, Aku terus belajar tanpa henti hingga hari ini dirumahku yang begitu kecil.
            Ndok, masih belajar?” Tanya ibu sembari membuka kelambu pintu kamarku.
            “Masih belajar? Ya iya lah, emang ibu liatnya aku lagi ngapain.” Jawabku ketus
Bibi memang sudah menasihatiku waktu itu dan aku memang sudah tidak semarah dulu. Tapi tetap saja aku masih tidak suka berada didekatnya atau mungkin aku tidak tau bagaimana cara mengungkapakan kasih sayangku kepada ibuku.
            “Iya maaf, ibu hanya sekedar bertanya. Oh ya ndok, besok ujiannya kan? Besok ibu antar ya? Sekalian ibu ada urusan di kota.”
            “Iya.” Jawabku acuh
Setelah itu ibu keluar dari kamar dan aku tidur. Esoknya aku bangun pagi-pagi buta untuk berangkat lebih awal ke tempat ujian. Setelah semua persiapan selesai aku lakukan, aku pun berangkat ke kota bersama ibu tetapi aku menyuruh ibu untuk berjalan di belakangku karena aku tidak suka dia berjalan disampingku. Begitu seterusnya hingga kami sampai di kota ibu terus dibelakangku. Tanpa pamit aku langsung berjalan ke tempat ujian. Tapi sebelum itu ibu mengatakan sesuatu yang akan aku ingat selamanya.
            Ndok, sebelum kamu pergi ujian ibu ingin mengatakan sesuatu”
            “Apa?” Tanyaku singkat
            “Ibu tidak apa-apa kamu membenci ibu seterusnya tapi bisakah satu kali saja untuk hari ini kamu melakukan sesuatu karna ibu?” Ucapnnya sambil berkaca-kaca menahan air mata
            “Aku tidak janji tapi akan aku coba” Jawabku malas
Setelah itu tanpa mencium tangannya aku berlalu pergi ke ruang ujian dimana aku akan melangsungkan ujian itu. Ya, baiklah aku akan mencoba untuk hari ini saja melakukan sesuatu karena ibu. Saat kertas ujian dibagikan aku berkata dalam hati aku melakukan ujian ini demi ibu agar aku bisa meringankan bebannya dalam membiayai pendidikanku. Lalu aku mengerjakan soalku dengan lancar.
            Hingga saat pengumuman tiba 20 peserta orang yang lolos beasiswa dari 200 lebih peserta yang ada. Aku termasuk di dalamnya. Ani Ranita. Namaku dipanggil ke podium beserta 19 peseta lainnya dan mendapat sertifikat juga mendali sebagai tanda peserta penerima beasiswa. Aku sangat senang. Setelah itu aku langsung berlari pulang sembari membawa mendali dan sertifikat itu pulang kerumah. Aku ingin menceritakan pada ibu bahwa apa yang dia katakan berhasil.
            Aku berlari hingga depan rumahku yang riot tampak bendera kuning. Orang-orang berkumpul disana dan kulihat Bibi Widarsih menangis sesegukan. Aku menghampiri mereka dengan rasa bingung. Ada apa ini? Siapa yang meninggal? Begitu bibi melihatku dia langsung memelukku.
            “Ani.. yang kuat ya ndok. Ibumu terperosok jatuh di hutan Mentawai saat hendak pulang kata bibi sembari memelukku
            Masih dalam keadaan bingung aku langsung berjalan sambil membawa mendali dan sertifikat beasiswa ke tempat dimana ibuku tergeletak kaku dengan dibungkus kain putih pada sekujur tubuhnya. Aku tak kuasa menangis melihatnya.
            “Ibu lihat aku membawakanmu mendali ini. Lihat bu aku melakukannya untuk ibu. Aku berhasil bu.” Kataku sambil menangis memeluknya
            Seluruh pelayat menangis melihatku memeluk ibu sambil membawa mendali yang tak sempat aku tunjukan pada ibu. Setelah itu, Aku tak mampu berkata apapun lagi seperti kehilangan sinar dari sebuah lentera seluruh warna mulai memudar dan badanku tergeletak lemah disamping jenazah ibu.

***
            “Lalu apa yang ibu lakukan setelah itu?” Tanya Ratih.
            “Aku sulit bangkit, tidak pernah bisa belajar baik, dan aku hanya menangis setiap hari menyesali apa yang aku lakukan pada ibu dan ketika aku ingin memperbaikinya. Aku terlambat. Tetapi aku yakin ibu tidak pernah ingin aku selalu terpuruk. Aku selalu mengingat kalimat terakhir yang dia ucapkan:
“Mulai hari ini..
Bisakah kamu memulai segalanya..
Karena ibu..
karena aku. Ibumu.”

            “Apa ibu tidak pernah menyesalinya?” Tanya Ratih lagi
‘Aku selalu menyesalinya tetapi aku tau hidup ini seperti terkadang seperti bilangan positif dan negatif dalam rumus matematika. - x - = + , minus diibaratkan kesalahan dan plus layaknya kebenaran. Untuk mencapai yang plus atau kebenaran kita harus melewati minus atau apa yang bisa disebut kesalahan.” Jelasku pada Ratih
            “Cerita ibu benar-benar membuatku terharu” Kata Ratih sembari menghapus setitik air mata yang jatuh ke pipinya
            “Ya, aku menjadikannya motivasi untukku. Hingga aku menjadi seorang kepala dinas di Kabupaten Galunggung seperti sekarang ini. Seperti kata ibuku, aku memulai sesuatu karena dia. Karena ibuku.”
            Ratih menatapku tersenyum dengan penuh makna.





Biodata Penulis

Nama                                 : Weni Riski Amalia
Tempat, tanggal lahir           : Banyuwangi, 12 Februari 1995
NIM                                   : 1410231045
Prodi, Fakultas                    : Bahasa Inggris / FKIP

No comments:

Post a Comment