Sunday, June 5, 2016

Contoh Cerpen "Yang Belum Bisa Aku Bayar..."



Yang Belum Bisa Aku Bayar...
 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1WB19SdgrFROR2bW660YlLEnupHmsWK5ikwygqTBG8E32aRrhC9tQ0-lHzVWMUdWXJAu38BguT1K4scxWuFN0o_AkGg1G_zMFFwRLEw863aon80KW88fMK9mso-TQqaF_7FSBmJVn31w/s640/bacalah-doa-ini-saat-terlilit-hutang.jpg

Senin, 12 Maret 2010. Campus Center Universitas Jember dipenuhi kepala berkeringat dan pikiran-pikiran yang gaduh. Hari itu semua orang tampak saibuk, meski kaki tak kemanapun. Saya mengenal sebagian kecil kepala itu. Mereka siswa-siswi yang baru saja lulus dari Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, lulusan 2010. Banyak diantara mereka teman-teman saya. Mereka beruntung sangat. Seharusnya, saya berada di antara mereka, memegang map pendaftaran kuliah.
Saya sadar betul dengan keadaan ekonomi keluarga saat itu, keinginan serta dorongan kuliah dari ibu membuat aku semangat untuk mendaftar beasiswa Bidik Misi. Saya hanya sempat mencicipi sebagai calon pendaftar saja, tapi tak lanjut untuk proses selanjutnya. Awal maret 2010 seminggu sebelum surat kelulusan diterima, sesuatu yang tiba-tiba terjadi. Aku masih ingat betul peristiwa itu. Sebuah peristiwa yang merusak mimpi saya, juga mimpi ibu. Peristiwa yang membuat ibu saya selalu merasa bersalah karena saya tak bisa mendaftar  beasiswa kuliah. Saya tidak bisa mendaftar Bidik Misi,  lantaran nomor induk siswaku yang tak ter-upload pada pusat. Saya tak tahu kenapa persisnya, pihak sekolah tak bisa menjelaskan dengan gamblang. Saya tahu persis, itu bukan bunda mengandung.
Kini aku sadar betul segala yang terjadi adalah kehendak semesta yang kekuatannya tak mampu saya cegah, bahkan dengan mantra bimsalabim abrakadabra sekali pun. Saat itu saya merasa kalah, sesekali saya merasa seperti sampah. Saya selalu berpikir, Saya dan mereka berjalan dari garis awal yang sama, berkeringat sama dan mengapa harus berakhir berbeda? Saya sempat merasa jadi orang yang paling tidak beruntung. Tak bisa ikut kuliah, sulit mencari pekerjaan hanya dengan ijazah SMA. Pesimistis. Saya menyebut diri pecundang, saat itu.
Melihat anaknya sepanjang hari di rumah, hidup tanpa gairah, dan merasa kalah, ibu saya bangkit lebih cepat dari keterpurukan yang ada. Ia meyakinkan saya bahwa siapa saja bisa mengalami kekalahan, tapi kalah tidak sama dengan gagal. Ibu hanya memberi satu saran, “Tuhan sudah mengatur rejeki manusia ditempatnya sendiri-sendiri nak”, tuturnya. Entah kenapa tiba-tiba kalimat dari film Forest Gump terngiang dikepala “hidup itu seperti sebuah kotak coklat, dan kau tak akan pernah tau apa isi didalamnya”. Kita tidak akan pernah tau cokelat dengan rasa apa yang akan kita terima. 

 http://myusaha.com/1/wp-content/uploads/2015/11/dalil-kewajiban-membayar-hutang.png

Seperti siput tersiram air garam, saya bangun. Saya belajar lagi mendayung. Kali ini tanpa bantuan siapa pun. Saya mulai mencoba mendayung dengan tangan saya sendiri. Biar saat perahu terbalik nanti, tak ada tangan yang saya salahkan. Saya mulai bersemangat. saya juga mulai mencoba kembali hobi-hobi yang tergeletak berserakan dimakan entah. Menulis misalnya, saya suka menulis dari dulu. Tak tahu kenapa saya menyukai hobi yang satu ini.
Singkat cerita, saya mulai bekerja. Serabutan. Tiap ada kesempatan bekerja, tak saya abaikan. Mulai dari mekanik bengkel, pengamen sampai tukang ketik tembak. Di sela-sela sehabis bekerja, saya selalu sempatkan menulis. Menulis apa saja yang melintas dalam kepala, biar tak hanya berdansa dikepala, biar tak menguap sia-sia, biar tak hanya menghasilkan lupa. Tak lama, saya mendapat pekerjaan menjadi mekanik di salah satu pabrik rokok. Tapi setiap hari saya masih menulis.
Ibu mulai bisa tersenyum lagi. Setiap malam, dari kejauhan ibu selalu melihatku menulis. Beliau yang SD pun tak lulus dan tak pandai membaca suatu ketika meminta saya membacakan apa yang saya tulis setiap hari. Perlahan, aku bacakan isi tulisanku dari lembar satu ke lembar berikutnya. Kami menangis bersama.
Kami menangis lagi, bersama, saat tulisan saya diterima oleh salah satu penerbit ternama. Kami sama senangnya sebab saya bisa membuktikan sebuah kebanggaan kecil dari hobi keseharian, menulis. Tanpa ijazah S1, hanya bermodal segerombolan diksi dan beberapa halaman dari contoh  tulisan yang saya kirim ke Gramedia, sekarang saya mempunyai kesempatan untuk jadi editor. Sebut ini sebagai sebuah pencapaian, tapi saya tetap berhutang pada ibu. Saya berhutang jadi sarjana padanya, dan belum bisa aku bayar.
Sabtu malam, 20 September 2012. Lantai 2 gedung pusat Gramedia jakarta dipenuhi para karyawan Gramedia se-Indonesia. Di sana, berlangsung penghargaan kepada para karyawan yang berprestasi dan mendedikasikan hidupnya kepada Gramedia. 15 orang dari beberapa daerah mendapat penghargaan. Saya, salah seorangnya. Tapi hanya 5 orang yang akan mendapat beasiswa untuk meneruskan kuliah di luar negeri.
Malam itu saya tak termasuk dari 5 orang tersebut. Menjadi finalis adalah sebuah pencapaian yang patut saya syukuri. Saya kalah, tapi saya tidak gagal. Saya bukan lagi orang pesimis. Menjadikan kekurangan diri sendiri sebagai penghambat gerak adalah hal yang sangat melelahkan. Ibu tahu saya kalah dan ia hanya berujar, “Belajar lagi.”


 https://myoesuf.files.wordpress.com/2010/10/hutang-21.jpg

Ya, saya akan terus belajar. Mempelajari apa saja yang saya minati, saya kehendaki. Saya memang belum berhasil jadi sarjana, tapi ibu memberi saya kekuatan untuk lulus dari ujian yang lain. Ujian yang belum tentu bisa dilewati orang lain. Meski saya tetap berhutang sarjana padanya, tapi kecup ibu di kening sudah cukup menggantikan toga. Cukup.
Dan ibuku tetap tak pernah jera menyampaikan hal
yang menurutnya paling sederhana di dunia:
“Jika kenyataan begitu pelik, maka kamu hanya
butuh ikhlas dan peluk.”

Mendengar pesan ibuku, kedua lenganku yang lapang
tiba-tiba ingin sekali memeluk dirinya sendiri
sementara lengan lain memilih tanggal
dari pelukan yang menggantung di halaman belakang.
Kusampaikan seucap kepada ibu,
“Angin terakhir telah berhembus ke dadanya
–bukan aku, dan daun ini tak bisa jatuh dengan sendiri.”

Yang selalu saya cintai
Maimunah


Identitas diri
Nama                           : Idon
Tempat, tanggal lahir  : Jember
NIM                            : 1410651025
Prodi, Fakultas            : Teknik Informatika – Fakultas Teknik

No comments:

Post a Comment