Yang
Belum Bisa Aku Bayar...
Senin,
12 Maret 2010. Campus Center Universitas
Jember dipenuhi kepala berkeringat dan pikiran-pikiran yang gaduh. Hari itu
semua orang tampak saibuk, meski kaki tak kemanapun. Saya mengenal sebagian kecil
kepala itu. Mereka siswa-siswi yang baru saja lulus dari Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas, lulusan 2010. Banyak diantara mereka teman-teman saya. Mereka beruntung
sangat. Seharusnya, saya berada di antara mereka, memegang map pendaftaran
kuliah.
Saya
sadar betul dengan keadaan ekonomi keluarga saat itu, keinginan serta dorongan
kuliah dari ibu membuat aku semangat untuk mendaftar beasiswa Bidik Misi. Saya
hanya sempat mencicipi sebagai calon pendaftar saja, tapi tak lanjut untuk
proses selanjutnya. Awal maret 2010 seminggu sebelum surat kelulusan diterima,
sesuatu yang tiba-tiba terjadi. Aku masih ingat betul peristiwa itu. Sebuah
peristiwa yang merusak mimpi saya, juga mimpi ibu. Peristiwa yang membuat ibu
saya selalu merasa bersalah karena saya tak bisa mendaftar beasiswa kuliah. Saya tidak bisa mendaftar
Bidik Misi, lantaran nomor induk siswaku
yang tak ter-upload pada pusat. Saya
tak tahu kenapa persisnya, pihak sekolah tak bisa menjelaskan dengan gamblang. Saya
tahu persis, itu bukan bunda mengandung.
Kini
aku sadar betul segala yang terjadi adalah kehendak semesta yang kekuatannya
tak mampu saya cegah, bahkan dengan mantra bimsalabim
abrakadabra sekali pun. Saat itu saya merasa kalah, sesekali saya merasa
seperti sampah. Saya selalu berpikir, Saya dan mereka berjalan dari garis awal
yang sama, berkeringat sama dan mengapa harus berakhir berbeda? Saya sempat
merasa jadi orang yang paling tidak beruntung. Tak bisa ikut kuliah, sulit
mencari pekerjaan hanya dengan ijazah SMA. Pesimistis. Saya menyebut diri
pecundang, saat itu.
Melihat
anaknya sepanjang hari di rumah, hidup tanpa gairah, dan merasa kalah, ibu saya
bangkit lebih cepat dari keterpurukan yang ada. Ia meyakinkan saya bahwa siapa
saja bisa mengalami kekalahan, tapi kalah tidak sama dengan gagal. Ibu hanya
memberi satu saran, “Tuhan sudah mengatur
rejeki manusia ditempatnya sendiri-sendiri nak”, tuturnya. Entah kenapa
tiba-tiba kalimat dari film Forest Gump
terngiang dikepala “hidup itu seperti
sebuah kotak coklat, dan kau tak akan pernah tau apa isi didalamnya”. Kita
tidak akan pernah tau cokelat dengan rasa apa yang akan kita terima.
Seperti
siput tersiram air garam, saya bangun. Saya belajar lagi mendayung. Kali ini
tanpa bantuan siapa pun. Saya mulai mencoba mendayung dengan tangan saya
sendiri. Biar saat perahu terbalik nanti, tak ada tangan yang saya salahkan.
Saya mulai bersemangat. saya juga mulai mencoba kembali hobi-hobi yang
tergeletak berserakan dimakan entah. Menulis misalnya, saya suka menulis dari
dulu. Tak tahu kenapa saya menyukai hobi yang satu ini.
Singkat
cerita, saya mulai bekerja. Serabutan. Tiap ada kesempatan bekerja, tak saya
abaikan. Mulai dari mekanik bengkel, pengamen sampai tukang ketik tembak.
Di sela-sela sehabis bekerja, saya selalu sempatkan menulis. Menulis apa saja
yang melintas dalam kepala, biar tak hanya berdansa dikepala, biar tak menguap
sia-sia, biar tak hanya menghasilkan lupa. Tak lama, saya mendapat pekerjaan
menjadi mekanik di salah satu pabrik rokok. Tapi setiap hari saya masih
menulis.
Ibu
mulai bisa tersenyum lagi. Setiap malam, dari kejauhan ibu selalu melihatku
menulis. Beliau yang SD pun tak lulus dan tak pandai membaca suatu ketika meminta
saya membacakan apa yang saya tulis setiap hari. Perlahan, aku bacakan isi
tulisanku dari lembar satu ke lembar berikutnya. Kami menangis bersama.
Kami
menangis lagi, bersama, saat tulisan saya diterima oleh salah satu penerbit
ternama. Kami sama senangnya sebab saya bisa membuktikan sebuah kebanggaan
kecil dari hobi keseharian, menulis. Tanpa ijazah S1, hanya bermodal segerombolan
diksi dan beberapa halaman dari contoh
tulisan yang saya kirim ke Gramedia, sekarang saya mempunyai kesempatan
untuk jadi editor. Sebut ini sebagai sebuah pencapaian, tapi saya tetap
berhutang pada ibu. Saya berhutang jadi sarjana padanya, dan belum bisa aku
bayar.
Sabtu
malam, 20 September 2012. Lantai 2
gedung pusat Gramedia jakarta dipenuhi para karyawan Gramedia se-Indonesia. Di
sana, berlangsung penghargaan kepada para karyawan yang berprestasi dan mendedikasikan
hidupnya kepada Gramedia. 15 orang dari beberapa daerah mendapat penghargaan.
Saya, salah seorangnya. Tapi hanya 5 orang yang akan mendapat beasiswa untuk
meneruskan kuliah di luar negeri.
Malam
itu saya tak termasuk dari 5 orang tersebut. Menjadi finalis adalah sebuah
pencapaian yang patut saya syukuri. Saya kalah, tapi saya tidak gagal. Saya
bukan lagi orang pesimis. Menjadikan kekurangan diri sendiri sebagai penghambat
gerak adalah hal yang sangat melelahkan. Ibu tahu saya kalah dan ia hanya
berujar, “Belajar lagi.”
Ya,
saya akan terus belajar. Mempelajari apa saja yang saya minati, saya kehendaki.
Saya memang belum berhasil jadi sarjana, tapi ibu memberi saya kekuatan untuk
lulus dari ujian yang lain. Ujian yang belum tentu bisa dilewati orang lain.
Meski saya tetap berhutang sarjana padanya, tapi kecup ibu di kening sudah
cukup menggantikan toga. Cukup.
Dan ibuku tetap tak
pernah jera menyampaikan hal
yang menurutnya paling sederhana di dunia:
“Jika kenyataan begitu pelik, maka kamu hanya
butuh ikhlas dan peluk.”
Mendengar pesan ibuku, kedua lenganku yang lapang
tiba-tiba ingin sekali memeluk dirinya sendiri
sementara lengan lain memilih tanggal
dari pelukan yang menggantung di halaman belakang.
yang menurutnya paling sederhana di dunia:
“Jika kenyataan begitu pelik, maka kamu hanya
butuh ikhlas dan peluk.”
Mendengar pesan ibuku, kedua lenganku yang lapang
tiba-tiba ingin sekali memeluk dirinya sendiri
sementara lengan lain memilih tanggal
dari pelukan yang menggantung di halaman belakang.
Kusampaikan seucap
kepada ibu,
“Angin terakhir telah berhembus ke dadanya
–bukan aku, dan daun ini tak bisa jatuh dengan sendiri.”
“Angin terakhir telah berhembus ke dadanya
–bukan aku, dan daun ini tak bisa jatuh dengan sendiri.”
Yang selalu saya cintai
Maimunah
Maimunah
Identitas diri
Nama : Idon
Tempat, tanggal lahir : Jember
NIM : 1410651025
Prodi, Fakultas : Teknik Informatika – Fakultas
Teknik
No comments:
Post a Comment