Hati Nana untuk
Bunda
Dia tak bisa berkata satu patah kata
pun, dia hanya bingun dengan dirinya sendiri. Dia terus saja menatap cermin
dengan pandangan kosong, suara jam pun dia hiraukan padahal jam menunjukkan
pukul 07.15 pagi. Dia juga tak menghiraukan sinar matahari yang menyusup dari
jendela kamarnya. Dia melamun dengan sisir ditangannya dengan memandang ke arah
pintu. Hatinya terasa berkabut padahal cuaca hai ini cerah.
“ Nana, cepatlah turun ”. Panggil
ibunya, menghentikan lamunannya yang tak pernah berujung. Dia terlihat amat
lesu dan tak bersemangat hari ini, Nana itu nama panggilannya.
Dia melihat anak tangga seperti melihat
jurang dalam yang sedang menunggunya terjun. Dia amat takut dan dia perlahan
menuruni anak tangga satu demi satu dan tiba-tiba saja dia tergelincir sedikit,
dan untunglah dia tak sampai jatuh.
“
Nana, ngelamun apa sih? Hampir saja jatuh, coba kalau ayah tidak cepat-cepat
menahan Nana, pasti Nana sudah...”.Ujar ayahnya yang sejak tadi penasaran apa
yang terjadi dengan anak tunggalnya itu.
“ Sudah lah ayah, mungkin Nana tadi
tidak sengaja hampir..”. Potong ibu Nana, sambil menyiapakan roti dan selai,
serta memberi susu pada Nana.
“ Kalau Nana sengaja bagaimana
Bunda? Kenapa bunda pikir Nana baik-baik
saja!”. Ucapnya memotong pembicaraan ibunya dengan setengah marah. Dia beranjak
dari meja makannya, tanpa berpamitan dia langsung berangkat ke sekolah tanpa
memikirkan perasaan ibunya, yang dia panggil Bunda.
“ Nana, sarapan dulu nak! ”. Ucap ibunya
dengan sedikit teriak namun lembut, tetapi ucapan ibunya tak dihiraukan, dia
terus saja berjalan dengan perasaan dongkol.
Dengan wajah yang sayu dan sabar, ibunya
menghela nafas dan membungkus sarapan Nana yang belum sempat dimakan dan
menambah porsinya.
“ Bunda yang sabar ya, dia seperti ini
juga karena sayang sama bunda ”. Kata suaminya dengan tatapan sedih. Ia hanya
tersenyum, meski sebenarnya menahan air mata. Ibunya bergegas menyusul Nana dan
memberikan bekal yang tadinya adalah sarapan. Dengan berjalan sedikit berlari
dan tergesa-gesa ia menyusul anaknya dengan segenap rasa kasih sayang. Ia terus
memikirkan apa yang harus dilakukannya sebagai seorang ibu, hatinya berkecamuk,
menahan apa yang ia pendam. Ia hanya bergumam kecil di dalam benak hatinya.
“ Maafkan Bunda nak, maafkan Bunda..”. Seperti
itulah suara hatinya. Ibarat mendung itulah isi hatinya, ingin rasanya ia
menumpahkan segala hal seperti hujan. Ia berharap waktu tidak berlalu terlalu
cepat, dia juga berharap bahwa waktu itu berhenti agar dia bisa tertawa kembali
dengan anaknya.
Sesampainya di halte, Nana tampak
murung, tetapi dia juga terlihat sangat sedih. Tanpa disadarinya cairan bening
dan hangat tiba-tiba mulai keluar dari persembunyiannya selama ini.
“ Aku kesal dengan ibuku, yang ini lah,
yang itu lah. Cerewet banget ”. Ucap salah satu teman sekolahnya yang sedang
bercerita dengan sahabatnya. Nana yang berada di sampingnyanya hanya terdiam
mendengar percakapan temannya. Dia terlihat sangat iri dan juga sedih.
“ Masak aku begini nggak boleh, aku mau
kesana nggak boleh, yang ini lah, yang itu lah ”. Ucapnya lagi pada sahabatnya.
“ Kamu mah mendingan dari pada aku, aku
malah nggak boleh nonton televisi lah, nggak boleh makan ini lah, nggak boleh
keluar jalan-jalan...”
“ Hey! Kalian itu lebih berisik dari
pada ibu kalian. Kalau tidak ada ibu kalian, apa bisa kalian makan tanpa
memasaknya, apa bisa kalian pergi ke sekolah tanpa sarapan, apa kalian pernah
berfikir capeknya ibu kalian menyiapkan makanan, mencuci baju kalian,
menyetrika baju kalian, membangunkan kalian dipagi hari. Pernahkah kalian
berfikir untuk membantunya, meskipun itu hanya sekedar membatu. Pernahkan
kalian merasakan sakitnya saat ibu kalian melahirkan, pernahkan kalian membalas
kasih sayangnya. Nggak kan! Apa yang akan kalian lakukan jika ibu kalian sudah
tiada, apa? ”. Ucap Nana dengan marah, dia merasa tidak terima jika perjuangan
seorang ibu dinilai rendah oleh anak mereka.
Kedua temannya hanya terdiam, tak bisa
berkata apapun dan mulai berfikir serta merasa bersalah dan menyesal. Namun
disisi lain Nana juga merasa sangat sedih, mengapa dia memberi nasehat kepada
orang lain, sedangkan dirinya sudah melakukannya tadi pagi, menyakiti hati
ibunya.
“
Bunda maafkan Nana sudah menyakiti hati Bunda ”. Gumamnya dalam hati dengan
berlinangan air mata.
Disisi lain, ibunya yang sedari tadi
menyusulnya melihat Nana sudah naik bus dan juga melihat Nana yang sedang
menangis. Hatinya semakin kalut dan mendung dihatinya semakin gelap melihat
anaknya yang menangis karenanya. Ia tak sempat menyusul bus yang dinaiki Nana,
dan ibunya menaiki angkutan umum untuk mengejarnya ke sekolah. Diperjalanan
menuju ke sekolah Nana, Ia mulai mengingat masa lalu saat bersama Nana.
“ Nak, dengarkan Bunda bercerita tentang
benang yang menghubungkan hati seseorang dengan orang yang disayanginya ”. Ucapnya
seraya tersenyum. Nana yang masih kanak-kanak sangat antusias mendengar ibunya
akan bercerita.
“ Suatu hari seekor anak ayam kehilangan
induknya ditengah hutan, anak ayam itu terus saja memanggil ibunya ”. Cerita
ibunya.
“ Jadi anak ayam akan menemukan induknya
setelah dia memanggilnya? ”. Tanya Nana dengan polosnya.
“ Tidak, anak ayam itu terus saja
mencari induknya. Dia terus berjalan dengan memanggil ibunya ”. Ucap ibunya
kemudian.
“ Mengapa anak ayam itu tidak berhenti
saja mencari induknya. Ibu, apakah induk ayam itu tidak mencari anaknya yang
hilang ? ”.
“ Dia tidak berhenti sampai bertemu
dengan induknya, suatu saat dia berjalan tanpa bersuara lagi, dia terus
berjalan, dan dia mendengar induknya berkotek. Anak ayam tadi mulai bersuara
memanggil induknya, dan bertemu dengan induknya ”. Ceritanya pada anaknya.
“ Jadi anak ayam tadi bertemu dengan
Induknya ”.
“ Tentu saja bertemu, tapi apa yang kau
pelajari dari cerita Bunda ”. Tanyanya pada Nana kecil.
“ Anak ayam bahagia bisa menemukan
induknya kembali dan berkumpul dengan keluarganya kembali ”. Jawab Nana dengan
serius.
“ Jawaban Nana betul, tapi sebenarnya
dari cerita itu kita bisa tahu, bahwa kekuatan kasih sayang, kekuatan cinta itu
lah yang menuntun anak ayam dan induknya bisa bertemu, itu adalah ikatan yang
tidak terlihat namun keberadaanya nyata, itu adalah benang yang mengikat hati
seorang anak dengan ibunya. Dan perlu Nana tahu, Nana bagi Bunda selalu disini ”.
Ucap ibunya sambil memegang dadanya.
Kemudian Nana kecil meraih tangan ibunya
dan meletakkannnya di dadanya juga, kemudian berkata “ Bunda juga ada disini ”.
Ucapnya dengan riang, bahagia, dan tertawa.
Waktupun berlalu, mengingat masa lalu
membuatnya tak menyadari bahwa ia telah sampai di sekolah Nana. Ia terbangun
dari ingatannya dengan Nana dan turun dari angkutan umum. Belum lama dia turun,
dia melihat Nana baru turun dari bus, dan langsung memanggilnya.
“ Nana.. Nana...tunggu nak,,!”. Teriaknya
dan membuat Nana menoleh. Nana terlihat amat sedih melihat ibunya jauh-jauh
datang menemuinya untuk mengantarkan bekal padanya.
“ Bunda pulang saja, Nana mau sekolah ”.
Ucap Nana dengan nada culas.
“ Ini bekalnya, tadi Nana belum sempat
sarapan ”. Ucap ibunya dan memberikan bekal kepada Nana.
“ Kenapa bunda, kenapa? ”. Ucapnya
sedikit bergetar dan air matanya mulai beruraian.
“ Ada apa Nana, bunda hanya ingin
memberimu bekal ”. Ucap ibunya.
“ Bunda harusnya istirahat, bunda
seharusnya tidak perlu melakukan hal yang seperti ini lagi, sudah cukup Bunda ”.
Ucapnya dan menangis. Dia tiadak bisa lagi menahan kesedihan yang lama dia
pendam.
“ Bunda hanya ingin melakukan pekerjaan
bunda sebagai ibu nak ”. Ucapnya dengan suara bergetar.
“ Nana lebih bahagia jika bunda
istirahat dan sehat kembali ”.
“ Tapi bunda akan sedih Nana, jika bunda
tidak melakukan apa yang harus bunda lakukan ”. Ucapnya dan menangis.
“ Nana tahu sendiri dokter berkata apa
tentang Bunda, waktu bunda sedikit. Bunda hanya ingin melakukan apa yang
seharusnya bunda lakukan. Bunda ingin memberikan seluruh cinta bunda yang
tersisa untuk Nana ”. Ucapnya lagi dengan tersedu-sedu.
Nana hanya terdiam, dia tak sanggup
berkata, dadanya mulai sesak ketika ibunya berkata demikian. Dia ingat betul
apa yang dikatakan dokter padanya dan ayahnya, bahwa Ibunya terkena kanker
pankreas stadium akhir, dan hidupnya divonis hanya bertahan sampai dua bulan.
Kemudian Nana mulai memeluk erat ibunya dan berbisik pada ibunya.
“ Cinta bunda telah memenuhi ruang hati
Nana, kasih sayang Bunda juga terlalu banyak untuk Nana. Harus seperti apa nana
membalasnya, bagaimana caranya Bunda? Apa yang harus Nana lakukan jika
bunda...” ucapnya terisak-isak.
Ibunya mulai membelai rambut Nana dengan
lembut dengan penuh kasih sayang, ibunya tersenyum hangat dengan air mata
sebagai penghiasnya. Tanganya mulai meraih tangan Nana dan mengenggamnya dengan
erat.
“ Dengan meletakkan Bunda disini, maka
Bunda akan sangat berterimakasih kepada Nana, dengan cara itu Nana membalas cinta
Bunda sudah cukup ”. Ucapnya dengan lembut dan menghapus air mata anaknya.
“ Bunda...”. Ucap Nana dengan menangis
sekeras mungkin dan memeluk erat ibunya seakan tak ingin melepaskannya.
Sejak saat itu Nana memulai hal-hal
indah dan membuat kenangan indah bersama ibunya, disisa akhir waktu yang
dimiliki ibunya. Andai waktu bisa terpotong dan berhenti ingin rasanya dia
lebih lama bersama ibunya. Namun takdir berkata lain, hidup memanglah perantara
perpisahan antara dua dunia yang berbeda, dan yang menjadi penghubungnya adalah
benang tak kasat mata yaitu antara hati ke hati dan benangnya berupa cinta dan
kasih sayang.
No comments:
Post a Comment