Sunday, June 5, 2016

Contoh Cerpen "Hati Nana untuk Bunda"



Hati Nana untuk Bunda

 http://www.sumbar.ldii.or.id/wp-content/uploads/2015/12/ibu-anak.jpg


Dia tak bisa berkata satu patah kata pun, dia hanya bingun dengan dirinya sendiri. Dia terus saja menatap cermin dengan pandangan kosong, suara jam pun dia hiraukan padahal jam menunjukkan pukul 07.15 pagi. Dia juga tak menghiraukan sinar matahari yang menyusup dari jendela kamarnya. Dia melamun dengan sisir ditangannya dengan memandang ke arah pintu. Hatinya terasa berkabut padahal cuaca hai ini cerah.
“ Nana, cepatlah turun ”. Panggil ibunya, menghentikan lamunannya yang tak pernah berujung. Dia terlihat amat lesu dan tak bersemangat hari ini, Nana itu nama panggilannya.
Dia melihat anak tangga seperti melihat jurang dalam yang sedang menunggunya terjun. Dia amat takut dan dia perlahan menuruni anak tangga satu demi satu dan tiba-tiba saja dia tergelincir sedikit, dan untunglah dia tak sampai jatuh.
 “ Nana, ngelamun apa sih? Hampir saja jatuh, coba kalau ayah tidak cepat-cepat menahan Nana, pasti Nana sudah...”.Ujar ayahnya yang sejak tadi penasaran apa yang terjadi dengan anak tunggalnya itu.
“ Sudah lah ayah, mungkin Nana tadi tidak sengaja hampir..”. Potong ibu Nana, sambil menyiapakan roti dan selai, serta memberi susu pada Nana.
“ Kalau Nana sengaja bagaimana Bunda?  Kenapa bunda pikir Nana baik-baik saja!”. Ucapnya memotong pembicaraan ibunya dengan setengah marah. Dia beranjak dari meja makannya, tanpa berpamitan dia langsung berangkat ke sekolah tanpa memikirkan perasaan ibunya, yang dia panggil Bunda.
“ Nana, sarapan dulu nak! ”. Ucap ibunya dengan sedikit teriak namun lembut, tetapi ucapan ibunya tak dihiraukan, dia terus saja berjalan dengan perasaan dongkol.
Dengan wajah yang sayu dan sabar, ibunya menghela nafas dan membungkus sarapan Nana yang belum sempat dimakan dan menambah porsinya.
“ Bunda yang sabar ya, dia seperti ini juga karena sayang sama bunda ”. Kata suaminya dengan tatapan sedih. Ia hanya tersenyum, meski sebenarnya menahan air mata. Ibunya bergegas menyusul Nana dan memberikan bekal yang tadinya adalah sarapan. Dengan berjalan sedikit berlari dan tergesa-gesa ia menyusul anaknya dengan segenap rasa kasih sayang. Ia terus memikirkan apa yang harus dilakukannya sebagai seorang ibu, hatinya berkecamuk, menahan apa yang ia pendam. Ia hanya bergumam kecil di dalam benak hatinya.
“ Maafkan Bunda nak, maafkan Bunda..”. Seperti itulah suara hatinya. Ibarat mendung itulah isi hatinya, ingin rasanya ia menumpahkan segala hal seperti hujan. Ia berharap waktu tidak berlalu terlalu cepat, dia juga berharap bahwa waktu itu berhenti agar dia bisa tertawa kembali dengan anaknya.

 http://statis.dakwatuna.com/wp-content/uploads/2016/04/siluet-ibu-dan-anak-di-pantai.jpg

Sesampainya di halte, Nana tampak murung, tetapi dia juga terlihat sangat sedih. Tanpa disadarinya cairan bening dan hangat tiba-tiba mulai keluar dari persembunyiannya selama ini.
“ Aku kesal dengan ibuku, yang ini lah, yang itu lah. Cerewet banget ”. Ucap salah satu teman sekolahnya yang sedang bercerita dengan sahabatnya. Nana yang berada di sampingnyanya hanya terdiam mendengar percakapan temannya. Dia terlihat sangat iri dan juga sedih.
“ Masak aku begini nggak boleh, aku mau kesana nggak boleh, yang ini lah, yang itu lah ”. Ucapnya lagi pada sahabatnya.
“ Kamu mah mendingan dari pada aku, aku malah nggak boleh nonton televisi lah, nggak boleh makan ini lah, nggak boleh keluar jalan-jalan...”
“ Hey! Kalian itu lebih berisik dari pada ibu kalian. Kalau tidak ada ibu kalian, apa bisa kalian makan tanpa memasaknya, apa bisa kalian pergi ke sekolah tanpa sarapan, apa kalian pernah berfikir capeknya ibu kalian menyiapkan makanan, mencuci baju kalian, menyetrika baju kalian, membangunkan kalian dipagi hari. Pernahkah kalian berfikir untuk membantunya, meskipun itu hanya sekedar membatu. Pernahkan kalian merasakan sakitnya saat ibu kalian melahirkan, pernahkan kalian membalas kasih sayangnya. Nggak kan! Apa yang akan kalian lakukan jika ibu kalian sudah tiada, apa? ”. Ucap Nana dengan marah, dia merasa tidak terima jika perjuangan seorang ibu dinilai rendah oleh anak mereka.
Kedua temannya hanya terdiam, tak bisa berkata apapun dan mulai berfikir serta merasa bersalah dan menyesal. Namun disisi lain Nana juga merasa sangat sedih, mengapa dia memberi nasehat kepada orang lain, sedangkan dirinya sudah melakukannya tadi pagi, menyakiti hati ibunya.
 “ Bunda maafkan Nana sudah menyakiti hati Bunda ”. Gumamnya dalam hati dengan berlinangan air mata.
Disisi lain, ibunya yang sedari tadi menyusulnya melihat Nana sudah naik bus dan juga melihat Nana yang sedang menangis. Hatinya semakin kalut dan mendung dihatinya semakin gelap melihat anaknya yang menangis karenanya. Ia tak sempat menyusul bus yang dinaiki Nana, dan ibunya menaiki angkutan umum untuk mengejarnya ke sekolah. Diperjalanan menuju ke sekolah Nana, Ia mulai mengingat masa lalu saat bersama Nana.
“ Nak, dengarkan Bunda bercerita tentang benang yang menghubungkan hati seseorang dengan orang yang disayanginya ”. Ucapnya seraya tersenyum. Nana yang masih kanak-kanak sangat antusias mendengar ibunya akan bercerita.
“ Suatu hari seekor anak ayam kehilangan induknya ditengah hutan, anak ayam itu terus saja memanggil ibunya ”. Cerita ibunya.
“ Jadi anak ayam akan menemukan induknya setelah dia memanggilnya? ”. Tanya Nana dengan polosnya.
“ Tidak, anak ayam itu terus saja mencari induknya. Dia terus berjalan dengan memanggil ibunya ”. Ucap ibunya kemudian.
“ Mengapa anak ayam itu tidak berhenti saja mencari induknya. Ibu, apakah induk ayam itu tidak mencari anaknya yang hilang ? ”.
“ Dia tidak berhenti sampai bertemu dengan induknya, suatu saat dia berjalan tanpa bersuara lagi, dia terus berjalan, dan dia mendengar induknya berkotek. Anak ayam tadi mulai bersuara memanggil induknya, dan bertemu dengan induknya ”. Ceritanya pada anaknya.
“ Jadi anak ayam tadi bertemu dengan Induknya ”.
“ Tentu saja bertemu, tapi apa yang kau pelajari dari cerita Bunda ”. Tanyanya pada Nana kecil.
“ Anak ayam bahagia bisa menemukan induknya kembali dan berkumpul dengan keluarganya kembali ”. Jawab Nana dengan serius.
“ Jawaban Nana betul, tapi sebenarnya dari cerita itu kita bisa tahu, bahwa kekuatan kasih sayang, kekuatan cinta itu lah yang menuntun anak ayam dan induknya bisa bertemu, itu adalah ikatan yang tidak terlihat namun keberadaanya nyata, itu adalah benang yang mengikat hati seorang anak dengan ibunya. Dan perlu Nana tahu, Nana bagi Bunda selalu disini ”. Ucap ibunya sambil memegang dadanya.
Kemudian Nana kecil meraih tangan ibunya dan meletakkannnya di dadanya juga, kemudian berkata “ Bunda juga ada disini ”. Ucapnya dengan riang, bahagia, dan tertawa.
Waktupun berlalu, mengingat masa lalu membuatnya tak menyadari bahwa ia telah sampai di sekolah Nana. Ia terbangun dari ingatannya dengan Nana dan turun dari angkutan umum. Belum lama dia turun, dia melihat Nana baru turun dari bus, dan langsung memanggilnya.
“ Nana.. Nana...tunggu nak,,!”. Teriaknya dan membuat Nana menoleh. Nana terlihat amat sedih melihat ibunya jauh-jauh datang menemuinya untuk mengantarkan bekal padanya.
“ Bunda pulang saja, Nana mau sekolah ”. Ucap Nana dengan nada culas.
“ Ini bekalnya, tadi Nana belum sempat sarapan ”. Ucap ibunya dan memberikan bekal kepada Nana.
“ Kenapa bunda, kenapa? ”. Ucapnya sedikit bergetar dan air matanya mulai beruraian.
“ Ada apa Nana, bunda hanya ingin memberimu bekal ”. Ucap ibunya.
“ Bunda harusnya istirahat, bunda seharusnya tidak perlu melakukan hal yang seperti ini lagi, sudah cukup Bunda ”. Ucapnya dan menangis. Dia tiadak bisa lagi menahan kesedihan yang lama dia pendam.
“ Bunda hanya ingin melakukan pekerjaan bunda sebagai ibu nak ”. Ucapnya dengan suara bergetar.
“ Nana lebih bahagia jika bunda istirahat dan sehat kembali ”.
“ Tapi bunda akan sedih Nana, jika bunda tidak melakukan apa yang harus bunda lakukan ”. Ucapnya dan menangis.
“ Nana tahu sendiri dokter berkata apa tentang Bunda, waktu bunda sedikit. Bunda hanya ingin melakukan apa yang seharusnya bunda lakukan. Bunda ingin memberikan seluruh cinta bunda yang tersisa untuk Nana ”. Ucapnya lagi dengan tersedu-sedu.
Nana hanya terdiam, dia tak sanggup berkata, dadanya mulai sesak ketika ibunya berkata demikian. Dia ingat betul apa yang dikatakan dokter padanya dan ayahnya, bahwa Ibunya terkena kanker pankreas stadium akhir, dan hidupnya divonis hanya bertahan sampai dua bulan. Kemudian Nana mulai memeluk erat ibunya dan berbisik pada ibunya.
“ Cinta bunda telah memenuhi ruang hati Nana, kasih sayang Bunda juga terlalu banyak untuk Nana. Harus seperti apa nana membalasnya, bagaimana caranya Bunda? Apa yang harus Nana lakukan jika bunda...” ucapnya terisak-isak.
Ibunya mulai membelai rambut Nana dengan lembut dengan penuh kasih sayang, ibunya tersenyum hangat dengan air mata sebagai penghiasnya. Tanganya mulai meraih tangan Nana dan mengenggamnya dengan erat.
“ Dengan meletakkan Bunda disini, maka Bunda akan sangat berterimakasih kepada Nana, dengan cara itu Nana membalas cinta Bunda sudah cukup ”. Ucapnya dengan lembut dan menghapus air mata anaknya.
“ Bunda...”. Ucap Nana dengan menangis sekeras mungkin dan memeluk erat ibunya seakan tak ingin melepaskannya.
Sejak saat itu Nana memulai hal-hal indah dan membuat kenangan indah bersama ibunya, disisa akhir waktu yang dimiliki ibunya. Andai waktu bisa terpotong dan berhenti ingin rasanya dia lebih lama bersama ibunya. Namun takdir berkata lain, hidup memanglah perantara perpisahan antara dua dunia yang berbeda, dan yang menjadi penghubungnya adalah benang tak kasat mata yaitu antara hati ke hati dan benangnya berupa cinta dan kasih sayang.

No comments:

Post a Comment