Perjuangan
2000-an Ibuku
Hal yang paling aku ingat dari ibuku
adalah warna matanya sipit dan mulai sayu, tiap kali dia tertawa gigi
gingsulnya nampak jelas menghiasi bibir mungilnya. Rambutnya yang selalu
terurai, “cruel” kata – kata jitu tiap kali ia memuji rambutnya yang keriting
itu. Tubuhnya juga tak kalah mungilnya. Karna itu sekarang aku bisa memeluk
erat ibuku dengan tangan penuh. Tapi kebiasaan itu sudah tak pernah aku lakukan
lagi sekarang. “Diyah, ibu berangkat ya nduk, ndukku. Doakan supaya lancar”
kata – kata terakhirnya padaku kemarin. Benar kata – kata para motivator itu
bahwa wanita itu pandai dalam menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Mereka
tutupi dengan serapi mungkin. Layaknya aku sekarang, senyumku lebar dan begitu
semangat melambaikan tangan melihat kepergian ibuku. Hal lain tertutup rapat
jauh dalam hatiku.
Aku berusaha tegar, dan mencoba membuat bahwa
hal ini biasa – biasa saja. Di rumah serasa tak ada hal yang berubah, tak
merasa ada sesuatu yang hilang. Namun, ketika ada sesuatu yang biasa dikerjakan
bersama bareng ibu, dan sekarang aku kerjakan sendiri. Aku tak jadi amnesia,
begitu pelan sedikit demi sedikit hatiku retak tak beraturan. Senyumku kembali
merekah, walau terkadang juga diiringi dengan tetesan air mata. Namun segera ku
seka buliran itu, ah malu terlihat anggota keluargaku yang lain, batinku. “Orang
tua itu, ah dasar. Biasanya mengajakku ke pasar, membeli onde – onde” ucapku.
Onde – onde adalah salah satu makanan tradisional kesukaanku. Hal yang sepele,
namun jika telah menjadikan itu sebagai
suatu kebiasaan sangat susah untuk dihilangkan.
Benar semua orang mengatakan bahwa
perubahan itu baik, namun tak semua orang itu mau untuk berubah. Tetap berfikir
positif, ibu pergi untuk mencari uang, mencarikanku nafkah dan membiayai
sekolahku. Karna bapakku sudah kuanggap angkat tangan dalam tanggung jawabnya
kali ini. Tak tanggung – tanggung ia merantau begitu jauh, itu di negeri orang
yang mereka sebut sebagai Uni Emirat Arab. Ya, ibuku adalah seorang Tenaga
Kerja Wanita atau TKW di Abu Dhabi. Tak pernah terbayangkan masa depan orang
tuaku menjadi seorang pembantu. Miris hatiku merasakannya. Namun apalah lagi
yang harus dilakukan. Mencari pekerjaan dinegeri sendiri susahnya minta ampun. Orangtuaku
hanyalah tamatan SLTA. Ingin membuka usaha sendiri, namun tak ada modal untuk
menjalankannya. Begitu miskinnya keluargaku.
Dulu keadaannya tak seperti ini,
orangtuaku adalah seorang karyawan disuatu pabrik sepatu ternama dinegeri ini.
Namun, karna kelalaian beberapa oknum yang tak mentaati peraturan bahwa
dilarang merokok dalam ruangan kimia. Tapi tetap mereka lakukan, jelas pada akhirnya telah diketahui suatu
hari ruangan itu terbakar. Karna ada yang merokok dalam ruangan tersebut, dan
meninggalkannya tanpa ia matikan terlebih dahulu. Kejadian pertama tak begitu
merugikan pihak pabrik, namun kecerobohan ini terulang hingga dua kali.
Tentunya pabrik mulai terengah – engah memperbaiki ruangan tersebut berkali –
kali. Jelas tak hanya memakan biaya yang sedikit. Dan ruangan tersebut adalah
salah satu ruangan utama dalam proses pembuatan sepatu.
Di perparah lagi, tahun itu terjadi
krisis moneter, yaitu keadaan dimana terjadinya ketidakstabilan ekonomi. Banyak
buruh yang berunjuk rasa, termasuk orangtuaku. Namun, permasalahan terkadang tak
semudah untuk menemukan solusinya dilipatan kertas botol. Apalagi krisis ini
menimpa suatu negara, yang rakyatnya banyak
dan tentunya kebutuhan mereka juga banyak. Negeri ini benar – benar
dalam keadaan kritis. Akhirnya keputusan pahit yang mengubah nasib keluargaku
hingga saat ini, yaitu dimana saat orangtuaku di PHK, karna pabrik sudah mulai
gulung tikar. Bahkan proses PHK pun
sungguh berbelit – belit, aku melihat bapakku mengecek satu – persatu berkas –
berkas yang membludak dikasurku. Dan itu pun aku melihatnya dalam hari – hari
ke depannya juga. Begitu stress melihat wajah bapakku, dengan polosnya aku
hanya bisa melihat. Wajar, seorang anak – anak.
Lalu kami memutuskan untuk kembali
pulang kampung, yaitu ke kampung ibuku yang sekarang aku tinggali. Karna dulu
mereka merantau ke kota pahlawan. Kebiasaan yang sering dilakukan dalam
keluargaku, merantau. Dari pekerjaan menjadi buruh bangunan, jualan kerupuk,
membantu saudara bandar daging ayam mulai dari menyembelih, membersihkan
tubuhnya dari bulu – bulu dan kotoran serta mengangkati dagangan ke pasar.
Sudah mereka coba lakukan, parahnya saat itu ibuku sedang mengandung adikku.
Pernah suatu kali ibuku ditinggal sendiri sedangkan meja untuk berjualan belum
bapakku angkatkan. Jadi, ibuku yang perkasa berusaha mengangkatnya sendiri
dengan keadaan perutnya sedang buncit. Ibu – ibu hamil yang keren.
Namun, itu hanyalah bertahan untuk
memenuhi kebutuhan sehari – hari, kebutuhan sekolahku saja sering menunggak.
Akhirnya uang sakuku pun tak jarang mereka beri. Tak jarang aku pun hanya
menonton teman – temanku melahap dengan ceria makanan yang dijual dipinggir
jalan itu. Karna ibuku sedang hamil, aku sudah belajar mengurus pekerjaan rumah
tangga mulai dari menyetrika, mencuci baju, membersihkan rumah aku lakukan diumurku
yang masih 8 tahun. Menurutku jarang ada anak yang diumur tersebut sudah bisa
menyetrika, tak tanggung – tanggung aku pun menyetrika baju bapakku yang super
besar itu. Namun beruntungnya, keluargaku utuh walau dalam keadaan menyulitkan
ini. Aku sangat bersyukur sekali. Karna banyak dari teman – teman dikelasku
yang diberi banyak uang saku namun orangtuanya sering meninggalkan mereka.
Setelah selang beberapa bulan ibuku
melahirkan adikku yang cantik, keluarga mengadakan acara kecil – kecilan yaitu
acara “mudun lemah” yang biasanya didalamnya dibuatkan bubur warna – warni, dan
adik dipapah untuk menginjak satu – persatu bubur itu. Serunya masa – masa itu.
Lalu tiba – tiba salah seorang tetanggaku menawari suatu pekerjaan kepada
ibuku. “pekerjaan apa mbak ?” tanya ibuku pada tetanggaku itu. “jadi TKW mbak
diluar negeri, seperti saya. Ya alhamdulillah upahnya cukup tinggi.” Katanya
begitu meyakinkan. Ibuku hanya membalasnya dengan tertawa renyah.
Semenjak itu, ibuku jadi sering main ke
rumah tetanggaku itu, ya katanya hanya sekedar ngerumpi ala ibu – ibu, membuat
aneka kue – kue dan masakan ala luar negeri. Aku pun senang karena selalu
kebagian dalam hal cicip – mencicip. Namun, tak kusangka ternyata dalam
pembicaraan mereka selalu meyelipkan kata – kata menjadi pembantu rumah tangga,
kebiasaan makan diluar negeri, tentang kebiasaan aneh majikannya. “Kenapa
selalu topik ini ?” batinku. “Lagi – lagi TKW” kesal aku mendengarkannya.
Mengapa mereka selalu membicarakan hal ini ?
Pada acara malam menonton TV bareng
keluarga pun, ibuku selalu menyindir – nyindir tentang apa yang tadi ia
bicarakan dengan tetanggaku itu, apalagi kalau bukan tentang menjadi pembantu
rumah tangga. Kukeraskan suara TV agar tak perlu mendengarkan pembicaraan itu
lagi. Pikiranku tentang menjadi pembantu rumah tangga itu, rendahan, dan begitu
melelahkan jelasnya kan ? karna tiap hari harus bekerja dirumah orang lain.
Apalagi ini dirumah orang yang berada diluar negeri. Lalu tak pulang – pulang seperti yang ada pada lagunya band Wala – Aku
Bukan Neng Toyib. Versi perempuannya, karna jarang pulang.
Awalnya, aku berfikir “Ah, itu hanyalah
sebuah pembicaraan, percakaan yang menyenangkan akhir – akhir ini” tapi tiba –
tiba ibuku memutuskan untuk menjadi TKW, menjadi pembantu rumah tangga diluar
negeri. Sakit hatiku mendengar keputusan ini. Sekali lagi hatiku bertanya “Ya
Allah, ibuku ? lalu dia tak pulang selang beberapa tahun kan ?” syarat yang
wajar dalam menjadi seorang TKW. Walau aku sudah merasa mampu untuk mengurus
rumah kecuali dalam hal memasak, tapi yang ku khawatirkan adalah adikku. Dia
masih terlalu kecil untuk ditinggalkan.
Hatiku tak karuan beberapa hari karna
mendengar keputusan ini. Dan ku coba untuk mencari alasan agar aku bisa menerima
keputusan ini. Aku mencari sendiri alasan itu, aku hanyut dalam duniaku
sendiri. Hingga ibu menegurku “nduk!!! Kenapa ?” tanyanya padaku. “ Tidak ada
apa – apa kok buk, kenapa memangnya ?” tanyaku balik. “kok akhir – akhir ini
suka merenung sendirian, wajahmu juga kusut, tahu tidak ?” dengan senyumnya ibu
mencoba mencairkan suasana.
Aku orangnya sedikit tertutup, bahkan
pada keluargaku sendiri. “Ah, tak apa – apa kok buk. Wajahku kusut karna
kelelahan bermain tadi waktu ngaji, hehehe” aku nyengir kuda mencoba meyakinkan
bahwa tak ada apa – apa yang aku pikirkan sekarang. Aku tak ingin membuat ibuku
merasa terbebani dengan ketidaksetujuanku ini, dan proses pencarianku dalam
mencari alasan yang dapat ku terima saat ibu menjadi TKW nantinya. Namun,
kesensitifan seorang ibu pastilah sangat tajam. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang
mengganjal dalam pikiran anaknya sekarang.
“Kamu tidak terima ya kalau ibu menjadi
seorang pembantu rumah tangga ?” ibu menatap lembut wajahku. Aku hanya terdiam
mencoba bersikap tenang. Lalu ibu menjelaskan maksud dan tujuan ibu membuat
keputusan untuk menjadi seorang pembantu rumah tangga. “Jujur, ibu juga berat
meninggalkanmu nduk, apalagi adikmu masih kecil itu.” Ibu membuka cerita
panjangnya. “tapi bagaimana lagi nduk ? bapakmu sering sakit – sakitan begitu.
Sedangkan kebutuhan kita semakin banyak, sekolahmu, adikmu !” aku mencoba
membuka pintu hatiku. “Kalau bukan ibu, siapa lagi ? Mbahmu juga sudah tua,
kasihan kalau disuruh kerja juga nduk. Yang penting sekolahmu lancar. Ibu pergi
juga karna ingin membiayai sekolahmu sampai di perguruan tinggi. Kamu mau
kuliah kan ?” “Ah gila nih orangtua, anak SD sudah ditanyain kuliah ?” sambil
mengernyitkan alisku sebelah. “Anak kurang ajar, orangtua sendiri di gila –
gilain” batinku sambil terkekeh.
Jelas ini adalah pertanyaan serius
menyangkut masa depanku. Aku harus memikirkannya walau pikiranku belum sampai
disana. “Iya buk, aku ingin sekolah setinggi – tingginya” “Lah iya, makanya ibu
kali ini bekerja jadi TKW nduk. Ibu tidak mencuri kan ?” tanyanya lagi.
“Iyalah” jawabku semangat. “Ibu mencari uang dengan menjadi pembantu bukan
sebagai pencuri. Mana yang lebih rendah ? pembantu atau pencuri ?” “Pencuri
buk” kataku. “Jadi pembantu itu bukan pekerjaan yang rendah kan ?” “Iya” kataku
mengiyakan dengan penuh pemahaman. Sekali lagi ibu tersenyum padaku penuh arti.
Oh jadi ini alasannya, baiklah kalau
begitu hatiku mulai sedikit bisa menerima dengan ikhlas. Tapi aku tetap sedih
tentang pekerjaan ini. Mengapa harus diluar negeri ? mengapa jadi pembantu. Aku
merasa kasihan pada ibuku. Tapi bagaimana lagi ? yang bisa aku lakukan sekarang
segera bersiap – siap mengikhlaskan kepergian ibuku. “ Doakan ibu saja ndukku,
supaya lancar semua. Dan segera melunasi uang sekolahmu” katanya sambil
mengusap rambutku dengan lembut. “Aduh” batinku sakit, sakitnya hatiku. Hampir
tumpah air mata ini, namun sekuatnya ku coba menahannya agar tidak keluar. “Ya
Allah” batinku menjerit lagi. Lalu ibu memelukku.
Ya Allah, jagalah ibuku disana nanti
saat mulai bekerja, jaga kesehatannya, jangan biarkan ia sakit – sakitan. Kalau
dia sakit nanti siapa yang memijitinnya dan merawatnya kalau bukan aku. Aku
titip ibuku. Aku sayang, begitu sayang padanya. Selang beberapa minggu akhirnya
ibuku berangkat juga. “Diyah ibu pamit. Doakan ibu ya nduk” katanya dengan
sedikit berteriak padaku. Aku melambaikan tangan penuh semangat, mencoba
meyakinkan ibu “jangan khawatirkan aku disini buk, baik – baiklah disana. Jaga
dirimu baik – baik” batinku sambil tersenyum.
Namun jelasnya hal itu tak akan baik –
baik saja tentunya. Di berbagai tempat selalu mengingatkanku pada ibu, kenangan
bersama ibu. Tiap malam aku menangis dengan dada yang penuh rasa sakit. Inilah
bukti pepatah bahwa jika sudah jauh baru terasa kehadirannya begitu berarti
buat kita. Ah, munafiknya manusia ini. Selang beberapa minggu berganti bulan,
akhirnya aku sudah mulai bisa mengurangi rasa sedihku ini. Aku juga tak sering
menangis tiap malamnya. Dan aku mulai terbiasa dengan keadaan ini, tanpa kasih
sayang seorang ibu. Tegarnya seorang anak.
Yang aku herankan mengapa ibuku tak ada
kabar – kabar sekalipun. Sudah 5 bulan semenjak kepergiannya, namun ia tidak
mengirimiku surat satu pun. Sekedar menyapa, bagaimana keadaanmu ? Kemanakah
gerangan ibuku itu ? apakah dia sudah terbang keluar negeri dan mulai bekerja ?
atau masih dalam penampungan. Hal awal menjadi seorang TKW yaitu menjalani
pembelajaran bagaimana menjadi pembantu yang baik, bagaimana cara melakukan
pekerjaan rumah tangga yang baik dan benar. Lalu setelah masa pembelajaran
biasanya akan di test dahulu bagaimana keadaan fisiknya, apakah sehat atau ia
memiliki penyakit. Jika hasil testnya lulus maka dia akan tinggal menunggu
seorang majikan untuk mengambilnya.
Sebaliknya jika dia tidak lulus, atau
dia memiliki penyakit biasanya ia lebih lama dipenampungan untuk melakukan
proses penyembuhan penyakitnya selama itu tidak begitu berat. Seperti kurang
darah, maka dipenampungan akan dirawat dengan intensif. Namun jika penyakitnya
luar biasa seperti HIV atau bisa juga karna dia hamil. Maka penampungan akan
memulangkannya agar bisa dirawat dirumah. Penuh profesionalisme sekali, menjadi
seorang pembantu ini.
Alhamdulillah, beberapa bulan kemudian
ibu mengirimkan surat bonus uang gajian pertamanya kepada keluargaku. Karna
belum punya telepon genggam, maka komunikasi kita pun lewat surat menyurat. Ku
lihat surat dari ibuku begitu panjang, bayangkan baru kali ini aku mendapat
surat sepanjang dua lembar kertas folio. “Gila, surat apa cerpenkah ini ?
ahahaha” aku tertawa bahagia sambil membolak – balik surat itu. Kumulai
membacanya tentunya setelah bapak dan mbahku membacanya. Bapakku begitu serius
membacanya, itu terlihat dari ia mengerutkan dahinya.
Sedangkan mbahku baru memegang suratnya
saja, bak air tumpah. Katanya sih “ya sedih nduk, kangen sama ibumu” apalagi
pas bacanya ya ? pikirku, mungkin keluar sumber mata air itu disana. Ah dasar
kurang ajar. Isinya ya menanyakan “bagaimana kabar keluarga disini ? baikkah ?
alhamdulillah ibu juga baik” kalimat awal di suratnya itu. Lalu seterusnya ia
menjelaskan fungsi – fungsi beberapa uang. Uang segini dibuat beli kebutuhan
sehari hari, segini untuk membayar nunggaknya sekolah Diyah, dan lain – lain.
Dan anehnya disana ia malah bercerita tentang majikannya. Seru dan lucunya
majikannya itu.
Kupikir “Senang amat jadi pembantu” ia
diajak bepergian terus sama majikannya. Makannya disana daging terus. Kalau
disini tempe tahu terus, ya maklum keluarga vegetarian saking banyaknya makan
sayuran terus, jarang makan daging atau susu. Kecuali adikku, jelas susu tiap hari.
Tapi sekarang aku lega mendengar kabar dari ibuku. Alhamdulillah ia baik – baik
disana dan diperlakukan dengan baik oleh majikannya Ya Allah.
Keesokannya aku segera bisa makan daging
dan minum susu. Ah saingan sama adikku minum susunya. “hai dek, mbak juga minum
susu nih” kataku mencoba memamerkan pada adikku. Adikku hanya bisa tertawa
imut, tak tahu apa yang dibicarakan oleh kakaknya. Jelaslah tak paham, apalagi
membalas perlakuanku dia masih umur satu tahun, mana tahu kalau lagi digodain.
Sambil menemani adik minum susu, diam – diam aku juga membatin mendoakan adikku
semoga kelak dia menjadi orang yang sukses, sekolah hingga tinggi dan
membahagiakan bapak ibuku. Aamiin
Suatu malam aku pergi ke warung internet
atau biasa disebut juga dengan warnet untuk mengetik soal dari sekolah. Setalah
menyelesaikan dan mencetaknya, tiba – tiba sang penjaga warnet yang juga adalah
tetanggaku sendiri mencibirku karna ibuku adalah seorang pembantu dan bapakku
hanya malas – malasan dirumah tak bekerja apa – apa. “Yah, enak ya bapakmu
dirumah nyantai, dia malah ngirim ibukmu jadi pembantu” dengan nadanya yang
menyindir.
Ia terus menertawaiku bersama istrinya.
“Ya Allah sabarkan aku, sakit hati ini tolong tahankan sebentar, berikan aku
kesabaran sedikit lagi agar kemarahan ini tak meluap” batinku dan berlalu
pergi. Sampai rumah wajahku terasa terbakar, karna menahan marah. Ya Allah itu
tidak benar, bapakku disini tidak hanya bersantai – santai melainkan menjagaku
dan adik, mengajariku tiap hari saat belajar dan memang terkadang kerja
serabutan sebagai buruh bangunan. Dan ibuku tidak dikirim oleh bapakku untuk
menjadi pembantu rumah tangga diluar negeri oleh bapak. Tapi ia memilih sendiri
keputusannya dan bapakku hanyalah memberikan restunya untuk ibuku bekerja
sebagai TKW.
Namun aku berprinsip, hai masalah aku
memiliki Allah yang Maha Besar yang selalu menolongku selama aku terus berbuat
benar. Jadi aku tak khawatir, tak merasa malu ataupun membawanya ke dalam
pikiranku lagi dan selalu mencari sebuah solusi yang berbelit – belit. Dan
terkadang membuatku pusing dan stress sendiri. Aku sudah yakin pada ibuku, ia
menjadi TKW demi aku. Sebagai balasannya aku harus belajar yang tekun agar
segera mengentaskan tanggung jawabnya membiayai sekolahku dan adikku.
Aku ingin suatu saat aku mengatakan ini
pada bapak dan ibuku “Pak, Buk sekarang tanggung jawabku membiayai sekolah adik
hingga sarjana 3 dan membahagiakan kalian, sudah cukup pengorbanan kalian,
berhenti sampai disini. Apalagi pengorbananmu ibu. Sekarang tinggal aku yang
beraksi, ciattt....... berubah power ranger !!! PINK. Hahahaha” konyol. Mungkin
batin mereka “Anakku mulai kekurangan satu kromosom” sambil menggeleng –
gelengkan kepala tersenyum bahagia. Suatu saat ya Allah, Aamiin.
No comments:
Post a Comment