Sunday, June 5, 2016

Contoh Cerpen "Perjuangan 2000-an Ibuku"



Perjuangan 2000-an Ibuku

http://www.sumbar.ldii.or.id/wp-content/uploads/2015/12/ibu-anak.jpg

 
Hal yang paling aku ingat dari ibuku adalah warna matanya sipit dan mulai sayu, tiap kali dia tertawa gigi gingsulnya nampak jelas menghiasi bibir mungilnya. Rambutnya yang selalu terurai, “cruel” kata – kata jitu tiap kali ia memuji rambutnya yang keriting itu. Tubuhnya juga tak kalah mungilnya. Karna itu sekarang aku bisa memeluk erat ibuku dengan tangan penuh. Tapi kebiasaan itu sudah tak pernah aku lakukan lagi sekarang. “Diyah, ibu berangkat ya nduk, ndukku. Doakan supaya lancar” kata – kata terakhirnya padaku kemarin. Benar kata – kata para motivator itu bahwa wanita itu pandai dalam menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Mereka tutupi dengan serapi mungkin. Layaknya aku sekarang, senyumku lebar dan begitu semangat melambaikan tangan melihat kepergian ibuku. Hal lain tertutup rapat jauh dalam hatiku.
Aku berusaha tegar, dan mencoba membuat bahwa hal ini biasa – biasa saja. Di rumah serasa tak ada hal yang berubah, tak merasa ada sesuatu yang hilang. Namun, ketika ada sesuatu yang biasa dikerjakan bersama bareng ibu, dan sekarang aku kerjakan sendiri. Aku tak jadi amnesia, begitu pelan sedikit demi sedikit hatiku retak tak beraturan. Senyumku kembali merekah, walau terkadang juga diiringi dengan tetesan air mata. Namun segera ku seka buliran itu, ah malu terlihat anggota keluargaku yang lain, batinku. “Orang tua itu, ah dasar. Biasanya mengajakku ke pasar, membeli onde – onde” ucapku. Onde – onde adalah salah satu makanan tradisional kesukaanku. Hal yang sepele, namun jika telah menjadikan  itu sebagai suatu kebiasaan sangat susah untuk dihilangkan.
Benar semua orang mengatakan bahwa perubahan itu baik, namun tak semua orang itu mau untuk berubah. Tetap berfikir positif, ibu pergi untuk mencari uang, mencarikanku nafkah dan membiayai sekolahku. Karna bapakku sudah kuanggap angkat tangan dalam tanggung jawabnya kali ini. Tak tanggung – tanggung ia merantau begitu jauh, itu di negeri orang yang mereka sebut sebagai Uni Emirat Arab. Ya, ibuku adalah seorang Tenaga Kerja Wanita atau TKW di Abu Dhabi. Tak pernah terbayangkan masa depan orang tuaku menjadi seorang pembantu. Miris hatiku merasakannya. Namun apalah lagi yang harus dilakukan. Mencari pekerjaan dinegeri sendiri susahnya minta ampun. Orangtuaku hanyalah tamatan SLTA. Ingin membuka usaha sendiri, namun tak ada modal untuk menjalankannya. Begitu miskinnya keluargaku.
Dulu keadaannya tak seperti ini, orangtuaku adalah seorang karyawan disuatu pabrik sepatu ternama dinegeri ini. Namun, karna kelalaian beberapa oknum yang tak mentaati peraturan bahwa dilarang merokok dalam ruangan kimia. Tapi tetap mereka lakukan,  jelas pada akhirnya telah diketahui suatu hari ruangan itu terbakar. Karna ada yang merokok dalam ruangan tersebut, dan meninggalkannya tanpa ia matikan terlebih dahulu. Kejadian pertama tak begitu merugikan pihak pabrik, namun kecerobohan ini terulang hingga dua kali. Tentunya pabrik mulai terengah – engah memperbaiki ruangan tersebut berkali – kali. Jelas tak hanya memakan biaya yang sedikit. Dan ruangan tersebut adalah salah satu ruangan utama dalam proses pembuatan sepatu.
Di perparah lagi, tahun itu terjadi krisis moneter, yaitu keadaan dimana terjadinya ketidakstabilan ekonomi. Banyak buruh yang berunjuk rasa, termasuk orangtuaku. Namun, permasalahan terkadang tak semudah untuk menemukan solusinya dilipatan kertas botol. Apalagi krisis ini menimpa suatu negara, yang rakyatnya banyak  dan tentunya kebutuhan mereka juga banyak. Negeri ini benar – benar dalam keadaan kritis. Akhirnya keputusan pahit yang mengubah nasib keluargaku hingga saat ini, yaitu dimana saat orangtuaku di PHK, karna pabrik sudah mulai gulung  tikar. Bahkan proses PHK pun sungguh berbelit – belit, aku melihat bapakku mengecek satu – persatu berkas – berkas yang membludak dikasurku. Dan itu pun aku melihatnya dalam hari – hari ke depannya juga. Begitu stress melihat wajah bapakku, dengan polosnya aku hanya bisa melihat. Wajar, seorang anak – anak.

 http://emaksuper.com/wp-content/uploads/2014/06/Pelukan-Ibu-Bagi-Anak.png


Lalu kami memutuskan untuk kembali pulang kampung, yaitu ke kampung ibuku yang sekarang aku tinggali. Karna dulu mereka merantau ke kota pahlawan. Kebiasaan yang sering dilakukan dalam keluargaku, merantau. Dari pekerjaan menjadi buruh bangunan, jualan kerupuk, membantu saudara bandar daging ayam mulai dari menyembelih, membersihkan tubuhnya dari bulu – bulu dan kotoran serta mengangkati dagangan ke pasar. Sudah mereka coba lakukan, parahnya saat itu ibuku sedang mengandung adikku. Pernah suatu kali ibuku ditinggal sendiri sedangkan meja untuk berjualan belum bapakku angkatkan. Jadi, ibuku yang perkasa berusaha mengangkatnya sendiri dengan keadaan perutnya sedang buncit. Ibu – ibu hamil yang keren.
Namun, itu hanyalah bertahan untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari, kebutuhan sekolahku saja sering menunggak. Akhirnya uang sakuku pun tak jarang mereka beri. Tak jarang aku pun hanya menonton teman – temanku melahap dengan ceria makanan yang dijual dipinggir jalan itu. Karna ibuku sedang hamil, aku sudah belajar mengurus pekerjaan rumah tangga mulai dari menyetrika, mencuci baju, membersihkan rumah aku lakukan diumurku yang masih 8 tahun. Menurutku jarang ada anak yang diumur tersebut sudah bisa menyetrika, tak tanggung – tanggung aku pun menyetrika baju bapakku yang super besar itu. Namun beruntungnya, keluargaku utuh walau dalam keadaan menyulitkan ini. Aku sangat bersyukur sekali. Karna banyak dari teman – teman dikelasku yang diberi banyak uang saku namun orangtuanya sering meninggalkan mereka.
Setelah selang beberapa bulan ibuku melahirkan adikku yang cantik, keluarga mengadakan acara kecil – kecilan yaitu acara “mudun lemah” yang biasanya didalamnya dibuatkan bubur warna – warni, dan adik dipapah untuk menginjak satu – persatu bubur itu. Serunya masa – masa itu. Lalu tiba – tiba salah seorang tetanggaku menawari suatu pekerjaan kepada ibuku. “pekerjaan apa mbak ?” tanya ibuku pada tetanggaku itu. “jadi TKW mbak diluar negeri, seperti saya. Ya alhamdulillah upahnya cukup tinggi.” Katanya begitu meyakinkan. Ibuku hanya membalasnya dengan tertawa renyah.
Semenjak itu, ibuku jadi sering main ke rumah tetanggaku itu, ya katanya hanya sekedar ngerumpi ala ibu – ibu, membuat aneka kue – kue dan masakan ala luar negeri. Aku pun senang karena selalu kebagian dalam hal cicip – mencicip. Namun, tak kusangka ternyata dalam pembicaraan mereka selalu meyelipkan kata – kata menjadi pembantu rumah tangga, kebiasaan makan diluar negeri, tentang kebiasaan aneh majikannya. “Kenapa selalu topik ini ?” batinku. “Lagi – lagi TKW” kesal aku mendengarkannya. Mengapa mereka selalu membicarakan hal ini ?
Pada acara malam menonton TV bareng keluarga pun, ibuku selalu menyindir – nyindir tentang apa yang tadi ia bicarakan dengan tetanggaku itu, apalagi kalau bukan tentang menjadi pembantu rumah tangga. Kukeraskan suara TV agar tak perlu mendengarkan pembicaraan itu lagi. Pikiranku tentang menjadi pembantu rumah tangga itu, rendahan, dan begitu melelahkan jelasnya kan ? karna tiap hari harus bekerja dirumah orang lain. Apalagi ini dirumah orang yang berada diluar negeri. Lalu tak pulang – pulang  seperti yang ada pada lagunya band Wala – Aku Bukan Neng Toyib. Versi perempuannya, karna jarang pulang.
Awalnya, aku berfikir “Ah, itu hanyalah sebuah pembicaraan, percakaan yang menyenangkan akhir – akhir ini” tapi tiba – tiba ibuku memutuskan untuk menjadi TKW, menjadi pembantu rumah tangga diluar negeri. Sakit hatiku mendengar keputusan ini. Sekali lagi hatiku bertanya “Ya Allah, ibuku ? lalu dia tak pulang selang beberapa tahun kan ?” syarat yang wajar dalam menjadi seorang TKW. Walau aku sudah merasa mampu untuk mengurus rumah kecuali dalam hal memasak, tapi yang ku khawatirkan adalah adikku. Dia masih terlalu kecil untuk ditinggalkan.
Hatiku tak karuan beberapa hari karna mendengar keputusan ini. Dan ku coba untuk mencari alasan agar aku bisa menerima keputusan ini. Aku mencari sendiri alasan itu, aku hanyut dalam duniaku sendiri. Hingga ibu menegurku “nduk!!! Kenapa ?” tanyanya padaku. “ Tidak ada apa – apa kok buk, kenapa memangnya ?” tanyaku balik. “kok akhir – akhir ini suka merenung sendirian, wajahmu juga kusut, tahu tidak ?” dengan senyumnya ibu mencoba mencairkan suasana.
Aku orangnya sedikit tertutup, bahkan pada keluargaku sendiri. “Ah, tak apa – apa kok buk. Wajahku kusut karna kelelahan bermain tadi waktu ngaji, hehehe” aku nyengir kuda mencoba meyakinkan bahwa tak ada apa – apa yang aku pikirkan sekarang. Aku tak ingin membuat ibuku merasa terbebani dengan ketidaksetujuanku ini, dan proses pencarianku dalam mencari alasan yang dapat ku terima saat ibu menjadi TKW nantinya. Namun, kesensitifan seorang ibu pastilah sangat tajam. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang mengganjal dalam pikiran anaknya sekarang.
“Kamu tidak terima ya kalau ibu menjadi seorang pembantu rumah tangga ?” ibu menatap lembut wajahku. Aku hanya terdiam mencoba bersikap tenang. Lalu ibu menjelaskan maksud dan tujuan ibu membuat keputusan untuk menjadi seorang pembantu rumah tangga. “Jujur, ibu juga berat meninggalkanmu nduk, apalagi adikmu masih kecil itu.” Ibu membuka cerita panjangnya. “tapi bagaimana lagi nduk ? bapakmu sering sakit – sakitan begitu. Sedangkan kebutuhan kita semakin banyak, sekolahmu, adikmu !” aku mencoba membuka pintu hatiku. “Kalau bukan ibu, siapa lagi ? Mbahmu juga sudah tua, kasihan kalau disuruh kerja juga nduk. Yang penting sekolahmu lancar. Ibu pergi juga karna ingin membiayai sekolahmu sampai di perguruan tinggi. Kamu mau kuliah kan ?” “Ah gila nih orangtua, anak SD sudah ditanyain kuliah ?” sambil mengernyitkan alisku sebelah. “Anak kurang ajar, orangtua sendiri di gila – gilain” batinku sambil terkekeh.
Jelas ini adalah pertanyaan serius menyangkut masa depanku. Aku harus memikirkannya walau pikiranku belum sampai disana. “Iya buk, aku ingin sekolah setinggi – tingginya” “Lah iya, makanya ibu kali ini bekerja jadi TKW nduk. Ibu tidak mencuri kan ?” tanyanya lagi. “Iyalah” jawabku semangat. “Ibu mencari uang dengan menjadi pembantu bukan sebagai pencuri. Mana yang lebih rendah ? pembantu atau pencuri ?” “Pencuri buk” kataku. “Jadi pembantu itu bukan pekerjaan yang rendah kan ?” “Iya” kataku mengiyakan dengan penuh pemahaman. Sekali lagi ibu tersenyum padaku penuh arti.
Oh jadi ini alasannya, baiklah kalau begitu hatiku mulai sedikit bisa menerima dengan ikhlas. Tapi aku tetap sedih tentang pekerjaan ini. Mengapa harus diluar negeri ? mengapa jadi pembantu. Aku merasa kasihan pada ibuku. Tapi bagaimana lagi ? yang bisa aku lakukan sekarang segera bersiap – siap mengikhlaskan kepergian ibuku. “ Doakan ibu saja ndukku, supaya lancar semua. Dan segera melunasi uang sekolahmu” katanya sambil mengusap rambutku dengan lembut. “Aduh” batinku sakit, sakitnya hatiku. Hampir tumpah air mata ini, namun sekuatnya ku coba menahannya agar tidak keluar. “Ya Allah” batinku menjerit lagi. Lalu ibu memelukku.
Ya Allah, jagalah ibuku disana nanti saat mulai bekerja, jaga kesehatannya, jangan biarkan ia sakit – sakitan. Kalau dia sakit nanti siapa yang memijitinnya dan merawatnya kalau bukan aku. Aku titip ibuku. Aku sayang, begitu sayang padanya. Selang beberapa minggu akhirnya ibuku berangkat juga. “Diyah ibu pamit. Doakan ibu ya nduk” katanya dengan sedikit berteriak padaku. Aku melambaikan tangan penuh semangat, mencoba meyakinkan ibu “jangan khawatirkan aku disini buk, baik – baiklah disana. Jaga dirimu baik – baik” batinku sambil tersenyum.
Namun jelasnya hal itu tak akan baik – baik saja tentunya. Di berbagai tempat selalu mengingatkanku pada ibu, kenangan bersama ibu. Tiap malam aku menangis dengan dada yang penuh rasa sakit. Inilah bukti pepatah bahwa jika sudah jauh baru terasa kehadirannya begitu berarti buat kita. Ah, munafiknya manusia ini. Selang beberapa minggu berganti bulan, akhirnya aku sudah mulai bisa mengurangi rasa sedihku ini. Aku juga tak sering menangis tiap malamnya. Dan aku mulai terbiasa dengan keadaan ini, tanpa kasih sayang seorang ibu. Tegarnya seorang anak.
Yang aku herankan mengapa ibuku tak ada kabar – kabar sekalipun. Sudah 5 bulan semenjak kepergiannya, namun ia tidak mengirimiku surat satu pun. Sekedar menyapa, bagaimana keadaanmu ? Kemanakah gerangan ibuku itu ? apakah dia sudah terbang keluar negeri dan mulai bekerja ? atau masih dalam penampungan. Hal awal menjadi seorang TKW yaitu menjalani pembelajaran bagaimana menjadi pembantu yang baik, bagaimana cara melakukan pekerjaan rumah tangga yang baik dan benar. Lalu setelah masa pembelajaran biasanya akan di test dahulu bagaimana keadaan fisiknya, apakah sehat atau ia memiliki penyakit. Jika hasil testnya lulus maka dia akan tinggal menunggu seorang majikan untuk mengambilnya.
Sebaliknya jika dia tidak lulus, atau dia memiliki penyakit biasanya ia lebih lama dipenampungan untuk melakukan proses penyembuhan penyakitnya selama itu tidak begitu berat. Seperti kurang darah, maka dipenampungan akan dirawat dengan intensif. Namun jika penyakitnya luar biasa seperti HIV atau bisa juga karna dia hamil. Maka penampungan akan memulangkannya agar bisa dirawat dirumah. Penuh profesionalisme sekali, menjadi seorang pembantu ini.
Alhamdulillah, beberapa bulan kemudian ibu mengirimkan surat bonus uang gajian pertamanya kepada keluargaku. Karna belum punya telepon genggam, maka komunikasi kita pun lewat surat menyurat. Ku lihat surat dari ibuku begitu panjang, bayangkan baru kali ini aku mendapat surat sepanjang dua lembar kertas folio. “Gila, surat apa cerpenkah ini ? ahahaha” aku tertawa bahagia sambil membolak – balik surat itu. Kumulai membacanya tentunya setelah bapak dan mbahku membacanya. Bapakku begitu serius membacanya, itu terlihat dari ia mengerutkan dahinya.
Sedangkan mbahku baru memegang suratnya saja, bak air tumpah. Katanya sih “ya sedih nduk, kangen sama ibumu” apalagi pas bacanya ya ? pikirku, mungkin keluar sumber mata air itu disana. Ah dasar kurang ajar. Isinya ya menanyakan “bagaimana kabar keluarga disini ? baikkah ? alhamdulillah ibu juga baik” kalimat awal di suratnya itu. Lalu seterusnya ia menjelaskan fungsi – fungsi beberapa uang. Uang segini dibuat beli kebutuhan sehari hari, segini untuk membayar nunggaknya sekolah Diyah, dan lain – lain. Dan anehnya disana ia malah bercerita tentang majikannya. Seru dan lucunya majikannya itu.

 http://www.teropongku.com/wp-content/uploads/2015/11/44269-7-hal-yang-paling-ditakutkan-ibu-love-your-mother-0130571.jpg

Kupikir “Senang amat jadi pembantu” ia diajak bepergian terus sama majikannya. Makannya disana daging terus. Kalau disini tempe tahu terus, ya maklum keluarga vegetarian saking banyaknya makan sayuran terus, jarang makan daging atau susu. Kecuali adikku, jelas susu tiap hari. Tapi sekarang aku lega mendengar kabar dari ibuku. Alhamdulillah ia baik – baik disana dan diperlakukan dengan baik oleh majikannya Ya Allah. 
Keesokannya aku segera bisa makan daging dan minum susu. Ah saingan sama adikku minum susunya. “hai dek, mbak juga minum susu nih” kataku mencoba memamerkan pada adikku. Adikku hanya bisa tertawa imut, tak tahu apa yang dibicarakan oleh kakaknya. Jelaslah tak paham, apalagi membalas perlakuanku dia masih umur satu tahun, mana tahu kalau lagi digodain. Sambil menemani adik minum susu, diam – diam aku juga membatin mendoakan adikku semoga kelak dia menjadi orang yang sukses, sekolah hingga tinggi dan membahagiakan bapak ibuku. Aamiin
Suatu malam aku pergi ke warung internet atau biasa disebut juga dengan warnet untuk mengetik soal dari sekolah. Setalah menyelesaikan dan mencetaknya, tiba – tiba sang penjaga warnet yang juga adalah tetanggaku sendiri mencibirku karna ibuku adalah seorang pembantu dan bapakku hanya malas – malasan dirumah tak bekerja apa – apa. “Yah, enak ya bapakmu dirumah nyantai, dia malah ngirim ibukmu jadi pembantu” dengan nadanya yang menyindir.
Ia terus menertawaiku bersama istrinya. “Ya Allah sabarkan aku, sakit hati ini tolong tahankan sebentar, berikan aku kesabaran sedikit lagi agar kemarahan ini tak meluap” batinku dan berlalu pergi. Sampai rumah wajahku terasa terbakar, karna menahan marah. Ya Allah itu tidak benar, bapakku disini tidak hanya bersantai – santai melainkan menjagaku dan adik, mengajariku tiap hari saat belajar dan memang terkadang kerja serabutan sebagai buruh bangunan. Dan ibuku tidak dikirim oleh bapakku untuk menjadi pembantu rumah tangga diluar negeri oleh bapak. Tapi ia memilih sendiri keputusannya dan bapakku hanyalah memberikan restunya untuk ibuku bekerja sebagai TKW.
Namun aku berprinsip, hai masalah aku memiliki Allah yang Maha Besar yang selalu menolongku selama aku terus berbuat benar. Jadi aku tak khawatir, tak merasa malu ataupun membawanya ke dalam pikiranku lagi dan selalu mencari sebuah solusi yang berbelit – belit. Dan terkadang membuatku pusing dan stress sendiri. Aku sudah yakin pada ibuku, ia menjadi TKW demi aku. Sebagai balasannya aku harus belajar yang tekun agar segera mengentaskan tanggung jawabnya membiayai sekolahku dan adikku.
Aku ingin suatu saat aku mengatakan ini pada bapak dan ibuku “Pak, Buk sekarang tanggung jawabku membiayai sekolah adik hingga sarjana 3 dan membahagiakan kalian, sudah cukup pengorbanan kalian, berhenti sampai disini. Apalagi pengorbananmu ibu. Sekarang tinggal aku yang beraksi, ciattt....... berubah power ranger !!! PINK. Hahahaha” konyol. Mungkin batin mereka “Anakku mulai kekurangan satu kromosom” sambil menggeleng – gelengkan kepala tersenyum bahagia. Suatu saat ya Allah, Aamiin.

No comments:

Post a Comment