Sunday, June 5, 2016

Contoh Cerpen "Kembalikanlah Ibuku!"



Kembalikanlah Ibuku!

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjhqXNiT0XG7f7c7saizFcM8dGNvu_mur2zMVCIQrMhIWDUhed0M6zEdGMsiKinzoH76h5xtrALgdKSMZQrlyWc7V_-p8RVRNfDbi_agn2UwBFMajN1dm9SprZ41eYO568uOq7i41_pIzc/s640/10013749_485361818242243_609504280_n.jpg


Ku biasa memanggilnya dengan sebutan ibu. Sosok seorang yang sering ngomel karna jarangnya aku berada di rumah. Kelayapan ke sana ke mari, tak tau waktu. Kuliah hanya menjadi alibi belaka. Sosok seorang yang sering ngomel karna jarangnya aku tidur malam. Begadang ke sana ke mari, tak tau waktu. Tugas hanya menjadi alibi belaka. Sosok seorang yang sering ngomel karna jarangnya aku makan di rumah. Berburu kuliner ke sana ke mari. Tak tau waktu. Praktikum hanya menjadi alibi belaka. Bertindak semaunya, seolah-olah dia hanya sebagai pembantu.
Hidup gemerlap dunia mahasiswa baru. Menikmati benar hip-hip hura remaja masa kini. Kuliah menjadi ajang akan pencarian kebebasan, bukan ajang akan pencarian prestasi. Hanya bersantai-santai, meski saat ini tengah menghadapi ujian semester.  
Saat hendak menunggu soal dibagikan, ku duduk dengan riangnya sembari mendengarkan berbagai macam lagu melalui headset yang ku pasang di telinga. Tiba-tiba, ku mendapatkan sebuah kabar dari pesan yang dikirim oleh sahabatku, Eni. Dia adalah teman sekelasku sekaligus tetanggaku juga.
“Keluar sebentar, ada suatu hal yang ingin ku sampaikan. Ini menyangkut ibumu.” Tulisnya dengan tambahan emoticon sedih.
Serentak, aku pun terkejut. Aku langsung keluar, tanpa izin sebelumnya kepada dosen yang berjaga di ruangan itu. Sahabatku Eni benar-benar menungguku di sana, ku menghampirinya dan menyapanya dengan ramah.
“Hey en, ada apa memangnya? Dan kenapa lagi dengan ibuku?”
“Nita... Nita... Ibumu... Ibumu...” Berbicara dengan nafas yang tersenggal-senggal karena habis berlarian menghapiriku.
“Iya... Iya... Ada apa? Kenapa dengan ibuku?” Tanyaku bingung dan khawatir.
“Itu... Ibumu kecelakaan!”
“Apa…? Bercanda kamu En?” Tanyaku terkejut.
“Iya beneran, aku tidak bercanda. Barusan aku ditelpon ibuku yang di rumah. Beliau menyuruhku untuk memberikan kabar ini ke kamu!”
“Apa..” Mataku terbelalak dan telingaku pecah berkeping-keping mendengar itu.
Laut yang awalnya tenang, karna kemunculan si gelombang dan si angin yang berselimutkan topan, kini berubah menjadi laut yang ganas. Menciptakan tsunami baru untuk kehidupanku. Pohon yang awalnya rindang nan hijau, karna kemunculan si mendung dan si hujan yang berselimutkan petir, kini pohon itu pun tumbang. Menciptakan pohon yang rapuh dan tak berdaya. Seperti itulah perasaanku sekarang.
Perasaanku benar-benar kacau balau. Bingung harus berbuat apa. Akhirnya, tanpa pikir panjang, aku pun pulang kembali ke rumah. Tak memperdulikan bahwa saat ini tengah ulangan semester.
Sesampainya di sana. Kudapati rumahku dikerumuni oleh banyak orang. Khususnya tetangga-tetangga terdekat. Hal itu membuatku makin khawatir dan tak tenang. Ku berhenti sejenak dan mulai berpikir negatif akan apa yang terjadi pada ibuku. Seakan-akan ku telah kehilangan sesuatu hal yang sangat berharga di dunia ini. Mulai ku langkahkan kaki ini secara perlahan-lahan untuk memastikan bahwa itu tidak benar. Nahas, sebelum sampai masuk rumah dan mengetahui apa yang terjadi sebenarnya, tubuh ini serasa ringan tapi begitu berat untuk melangkah. Kemudian, ku mendengar suara samar-samar orang yang sedang berbicara, tapi setelah itu, suara itu sudah tak terdengar lagi. Seakan-akan hubunganku mulai putus secara paksa dengan dunia ini.
Selang beberapa menit, kelopak mataku terbuka secara perlahan. Sepertinya aku baru saja pingsan tepat di depan rumah dan dibawa masuk oleh warga. Ku lihat Eni berada di sampingku, dia menemaniku dari tadi. 

 http://dantikpuspita.com/wp-content/uploads/2013/11/Capture.png


“Aku berada di mana ini?” Tanya ku bingung pada Eni.
“Di rumahmu Nita, dikamarmu ini..” Jawab Eni dengan lirih dan lembut.
“Oh iya, di mana ibuku? Bagaimana dengan keadaannya yah En? Aku harus menemuinya sekarang!”
“Nita...”
Aku pun bangkit, sembari berdiri untuk menuju ke pintu. Tiba-tiba aku terhenti, Eni meraih tanganku dan menarikku untuk duduk. Berharap agar aku menenangkan diri dulu. Tapi, karena aku sudah sangat khawatir akan keadaan ibuku, aku pun berontak. Ku paksakan diri ini untuk keluar kamar dan menemuinya.
Saat ku buka genggang pintu, ku lihat orang-orang duduk bersila rapi. Membentuk formasi melingkar dengan menyenandungkan ayat-ayat Ilahi secara bersama-sama. Senandung itu tertuju pada sesosok tubuh yang dibalut oleh kafan putih dan tertutupi oleh selendang batik. Posisinya tepat berada di tengah-tengah mereka yang sedang duduk melingkar. Entah mengapa, kaki-kakiku berjalan dengan sendirinya. Menghampirinya yang sedang tertutupi oleh selendang batik. Secara perlahan, aku langsung membuka penutup itu dan...
Kedua kalinya, aku pun tidak sadarkan diri lagi. Aku kembali dibawa ke kamar. Setelah melihat wajah sosok seorang yang sangat aku kenali. Melihatnya sudah dalam kodisi tak bernyawa, berselimutkan kain kafan dan tertutupi oleh selendang batik. Sungguh sangat mengejutkanku.
Saat aku terkapar lemas, pingsan. Ku lihat Eni berada di sampingku lagi.
“Aku berada di mana ini?” Tanya ku bingung pada Eni.
“Kamu sekarang ada dikamarmu nit.” Jawab Eni dengan lirih dan lembut.
“Oh iya, kamu tau di mana ibuku? Bagaimana dengan keadaannya sekarang yah En?”
“Ibumu saat ini akan segera dimakamkan nit. Ayo kita temani ibumu hingga saat-saat terakhir, kamu harus kuat nit.” Balas Eni sembari mengelus-ngelus rambutku yang panjang.
 “Baiklah, ayo en.”
Bersama Eni, aku mengiringi ibuku yang digotong oleh warga dengan sebuah kendaraan terbang. Ku sudah tak mampu untuk melihat ibuku lagi. Kendaraan terbang itu ditutupi oleh selendang batik. Aku hanya berjalan pasrah di samping Eni sembari mendengar lantunan merdu. Warga secara bersama-sama berteriak dengan merdunya: “Lailahailallah... Lailahailallah... Lailahailallah...”
 Sesampaiannya di pemakaman. Orang-orang menurunkan ibuku secara perlahan dari kendaraan terbang yang membawanya tadi. Menaruhnya disebuah lubang yang dalamnya kira-kira satu meter. Sepertinya lubang itu baru saja mereka gali. Saat tumpukkan kayu sudah dipasang di atas ibuku, tubuhku terasa kaku untuk melihatnya. Mataku tiba-tiba meneteskan air secara perlahan. Hanya mampu melihat dari kejauhan bersama Eni.

 https://lovelyzja.files.wordpress.com/2014/05/surga-di-telapak-kaki-ibu.png


Tumpukkan kayu sudah berbaris rapi di atas ibuku. Warga bersiap untuk menutup lubang yang telah mereka gali. Saat warga melemparkan detiran pasir demi pasir kepada ibuku, sontak aku teringat akan kenangan pahitku bersama ibu. Beribu penyesalan pun menghantuiku. Sepintas muncul perasaan tak rela. Tak kuasa, badanku bergerak sendiri. Berlari menghampiri mereka yang tengah menguburkan ibuku secara bersama-sama.
“Pak... berhenti pak, berhenti...”
“Ibu saya ada di dalam, tolong keluarkan ibu saya pak...”
“Keluarkan ibu saya pak, saya mau meminta maaf kepadanya. Saya sudah banyak berbuat dosa kepada ibu saya pak. Tolong pak, tolong...”
“Ibu... Bangun ibu, Bangun... Aku janji akan merubah segala perilaku Nita dan Nita akan nurut ke ibu...”
“Ibu... Kau pasti mendengarnya kan bu...”
“Ibu...”
Tiba-tiba Eni menarik tanganku, kemudian memelukku dengan erat. Dia berteriak dengan kencang agar aku tenang.
“Nita, sudahlah... Ikhlaskan semuanya. Semua ini bukan salahmu Nita.”
“Nita...”
Suara Eni, secara samar-samar menghilang. Mataku tertutup dengan sendirinya. Pikiranku seolah-olah telah lepas kendali. Apakah aku pingsan lagi? Setelah kelopak mataku terbuka secara perlahan, ku lihat aku berada di kelas. Terdapat selembar soal ujian di bangku dan dosen memarahiku dengan galaknya karna aku tertidur saat hendak ujian. Aku pun melanjutkan ujian dan menaruh headset yang telah menidurkanku.
Seusai ujian, aku terngiang akan mimpi yang baru saja aku alami. Mimpi itu seolah-olah nyata. Seolah-olah aku benar-benar telah kehilangan orang yang sangat berharga bagiku. Seketika, ku telfon ibuku yang di rumah.
“Ibu, bagaimana keadaanmu? Ibu ada di mana sekarang? Ibu apa kau dengar suaraku? Ibu...”
Tut... tut... tut...tidak ada respon...


Biodata Penulis

Nama                                       : Sultoni Rijalur Rachman
Tempat, tanggal lahir               : Bondowoso, 18 September 1994
NIM                                        : 1310221060
Prodi, Fakultas                         : Bahasa Indonesia, KIP


No comments:

Post a Comment