Kembalikanlah Ibuku!
Ku
biasa memanggilnya dengan sebutan ibu. Sosok seorang yang sering ngomel karna jarangnya aku berada di
rumah. Kelayapan ke sana ke mari, tak tau waktu. Kuliah hanya menjadi alibi belaka.
Sosok seorang yang sering ngomel
karna jarangnya aku tidur malam. Begadang ke sana ke mari, tak tau waktu. Tugas
hanya menjadi alibi belaka. Sosok seorang yang sering ngomel karna jarangnya aku makan di rumah. Berburu kuliner ke sana
ke mari. Tak tau waktu. Praktikum hanya menjadi alibi belaka. Bertindak
semaunya, seolah-olah dia hanya sebagai pembantu.
Hidup
gemerlap dunia mahasiswa baru. Menikmati benar hip-hip hura remaja masa kini. Kuliah
menjadi ajang akan pencarian kebebasan, bukan ajang akan pencarian prestasi. Hanya
bersantai-santai, meski saat ini tengah menghadapi ujian semester.
Saat
hendak menunggu soal dibagikan, ku duduk dengan riangnya sembari mendengarkan
berbagai macam lagu melalui headset yang
ku pasang di telinga. Tiba-tiba, ku mendapatkan sebuah kabar dari pesan yang
dikirim oleh sahabatku, Eni. Dia adalah teman sekelasku sekaligus tetanggaku
juga.
“Keluar
sebentar, ada suatu hal yang ingin ku sampaikan. Ini menyangkut ibumu.”
Tulisnya dengan tambahan emoticon
sedih.
Serentak,
aku pun terkejut. Aku langsung keluar, tanpa izin sebelumnya kepada dosen yang
berjaga di ruangan itu. Sahabatku Eni benar-benar menungguku di sana, ku
menghampirinya dan menyapanya dengan ramah.
“Hey
en, ada apa memangnya? Dan kenapa lagi dengan ibuku?”
“Nita...
Nita... Ibumu... Ibumu...” Berbicara dengan nafas yang tersenggal-senggal karena
habis berlarian menghapiriku.
“Iya...
Iya... Ada apa? Kenapa dengan ibuku?” Tanyaku bingung dan khawatir.
“Itu...
Ibumu kecelakaan!”
“Apa…?
Bercanda kamu En?” Tanyaku terkejut.
“Iya
beneran, aku tidak bercanda. Barusan aku ditelpon ibuku yang di rumah. Beliau
menyuruhku untuk memberikan kabar ini ke kamu!”
“Apa..”
Mataku terbelalak dan telingaku pecah berkeping-keping mendengar itu.
Laut
yang awalnya tenang, karna kemunculan si gelombang dan si angin yang
berselimutkan topan, kini berubah menjadi laut yang ganas. Menciptakan tsunami
baru untuk kehidupanku. Pohon yang awalnya rindang nan hijau, karna kemunculan
si mendung dan si hujan yang berselimutkan petir, kini pohon itu pun tumbang.
Menciptakan pohon yang rapuh dan tak berdaya. Seperti itulah perasaanku
sekarang.
Perasaanku
benar-benar kacau balau. Bingung harus berbuat apa. Akhirnya, tanpa pikir
panjang, aku pun pulang kembali ke rumah. Tak memperdulikan bahwa saat ini tengah
ulangan semester.
Sesampainya
di sana. Kudapati rumahku dikerumuni oleh banyak orang. Khususnya tetangga-tetangga
terdekat. Hal itu membuatku makin khawatir dan tak tenang. Ku berhenti sejenak
dan mulai berpikir negatif akan apa yang terjadi pada ibuku. Seakan-akan ku telah
kehilangan sesuatu hal yang sangat berharga di dunia ini. Mulai ku langkahkan
kaki ini secara perlahan-lahan untuk memastikan bahwa itu tidak benar. Nahas,
sebelum sampai masuk rumah dan mengetahui apa yang terjadi sebenarnya, tubuh
ini serasa ringan tapi begitu berat untuk melangkah. Kemudian, ku mendengar
suara samar-samar orang yang sedang berbicara, tapi setelah itu, suara itu
sudah tak terdengar lagi. Seakan-akan hubunganku mulai putus secara paksa
dengan dunia ini.
Selang
beberapa menit, kelopak mataku terbuka secara perlahan. Sepertinya aku baru
saja pingsan tepat di depan rumah dan dibawa masuk oleh warga. Ku lihat Eni
berada di sampingku, dia menemaniku dari tadi.
“Aku
berada di mana ini?” Tanya ku bingung pada Eni.
“Di
rumahmu Nita, dikamarmu ini..” Jawab Eni dengan lirih dan lembut.
“Oh
iya, di mana ibuku? Bagaimana dengan keadaannya yah En? Aku harus menemuinya
sekarang!”
“Nita...”
Aku
pun bangkit, sembari berdiri untuk menuju ke pintu. Tiba-tiba aku terhenti, Eni
meraih tanganku dan menarikku untuk duduk. Berharap agar aku menenangkan diri
dulu. Tapi, karena aku sudah sangat khawatir akan keadaan ibuku, aku pun
berontak. Ku paksakan diri ini untuk keluar kamar dan menemuinya.
Saat
ku buka genggang pintu, ku lihat orang-orang duduk bersila rapi. Membentuk
formasi melingkar dengan menyenandungkan ayat-ayat Ilahi secara bersama-sama. Senandung
itu tertuju pada sesosok tubuh yang dibalut oleh kafan putih dan tertutupi oleh
selendang batik. Posisinya tepat berada di tengah-tengah mereka yang sedang
duduk melingkar. Entah mengapa, kaki-kakiku berjalan dengan sendirinya.
Menghampirinya yang sedang tertutupi oleh selendang batik. Secara perlahan, aku
langsung membuka penutup itu dan...
Kedua
kalinya, aku pun tidak sadarkan diri lagi. Aku kembali dibawa ke kamar. Setelah
melihat wajah sosok seorang yang sangat aku kenali. Melihatnya sudah dalam
kodisi tak bernyawa, berselimutkan kain kafan dan tertutupi oleh selendang
batik. Sungguh sangat mengejutkanku.
Saat
aku terkapar lemas, pingsan. Ku lihat Eni berada di sampingku lagi.
“Aku
berada di mana ini?” Tanya ku bingung pada Eni.
“Kamu
sekarang ada dikamarmu nit.” Jawab Eni dengan lirih dan lembut.
“Oh
iya, kamu tau di mana ibuku? Bagaimana dengan keadaannya sekarang yah En?”
“Ibumu
saat ini akan segera dimakamkan nit. Ayo kita temani ibumu hingga saat-saat
terakhir, kamu harus kuat nit.” Balas Eni sembari mengelus-ngelus rambutku yang
panjang.
“Baiklah, ayo en.”
Bersama
Eni, aku mengiringi ibuku yang digotong oleh warga dengan sebuah kendaraan
terbang. Ku sudah tak mampu untuk melihat ibuku lagi. Kendaraan terbang itu
ditutupi oleh selendang batik. Aku hanya berjalan pasrah di samping Eni sembari
mendengar lantunan merdu. Warga secara bersama-sama berteriak dengan merdunya: “Lailahailallah...
Lailahailallah... Lailahailallah...”
Sesampaiannya di pemakaman. Orang-orang
menurunkan ibuku secara perlahan dari kendaraan terbang yang membawanya tadi.
Menaruhnya disebuah lubang yang dalamnya kira-kira satu meter. Sepertinya
lubang itu baru saja mereka gali. Saat tumpukkan kayu sudah dipasang di atas
ibuku, tubuhku terasa kaku untuk melihatnya. Mataku tiba-tiba meneteskan air
secara perlahan. Hanya mampu melihat dari kejauhan bersama Eni.
Tumpukkan
kayu sudah berbaris rapi di atas ibuku. Warga bersiap untuk menutup lubang yang
telah mereka gali. Saat warga melemparkan detiran pasir demi pasir kepada
ibuku, sontak aku teringat akan kenangan pahitku bersama ibu. Beribu penyesalan
pun menghantuiku. Sepintas muncul perasaan tak rela. Tak kuasa, badanku
bergerak sendiri. Berlari menghampiri mereka yang tengah menguburkan ibuku
secara bersama-sama.
“Pak...
berhenti pak, berhenti...”
“Ibu
saya ada di dalam, tolong keluarkan ibu saya pak...”
“Keluarkan
ibu saya pak, saya mau meminta maaf kepadanya. Saya sudah banyak berbuat dosa
kepada ibu saya pak. Tolong pak, tolong...”
“Ibu...
Bangun ibu, Bangun... Aku janji akan merubah segala perilaku Nita dan Nita akan
nurut ke ibu...”
“Ibu...
Kau pasti mendengarnya kan bu...”
“Ibu...”
Tiba-tiba
Eni menarik tanganku, kemudian memelukku dengan erat. Dia berteriak dengan
kencang agar aku tenang.
“Nita,
sudahlah... Ikhlaskan semuanya. Semua ini bukan salahmu Nita.”
“Nita...”
Suara
Eni, secara samar-samar menghilang. Mataku tertutup dengan sendirinya.
Pikiranku seolah-olah telah lepas kendali. Apakah aku pingsan lagi? Setelah
kelopak mataku terbuka secara perlahan, ku lihat aku berada di kelas. Terdapat
selembar soal ujian di bangku dan dosen memarahiku dengan galaknya karna aku
tertidur saat hendak ujian. Aku pun melanjutkan ujian dan menaruh headset yang telah menidurkanku.
Seusai
ujian, aku terngiang akan mimpi yang baru saja aku alami. Mimpi itu seolah-olah
nyata. Seolah-olah aku benar-benar telah kehilangan orang yang sangat berharga
bagiku. Seketika, ku telfon ibuku yang di rumah.
“Ibu,
bagaimana keadaanmu? Ibu ada di mana sekarang? Ibu apa kau dengar suaraku? Ibu...”
Tut... tut... tut...tidak ada respon...
Biodata
Penulis
Nama : Sultoni
Rijalur Rachman
Tempat, tanggal lahir : Bondowoso, 18 September 1994
NIM :
1310221060
Prodi, Fakultas : Bahasa Indonesia, KIP
No comments:
Post a Comment