Masihkah
Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu?
Ku
mulai mendekatinya saat puing-puing cinta mulai rapuh. Bangunan yang ia susun
sejak tiga tahun silam akan segera runtuh. Reruntuhan itu akan benar-benar terjadi
ketika si puing pertama dan si puing kedua keluar dari jalur yang lurus.
Sedangkan dua pilar pembuat puing-puing tersebut pun kini telah goyah. Dua
pilar penegak bagunan yang dinamakan keluarga.
Sebelum
ku ceritakan detik-detik hancurnya bangunan yang dinamakan keluarga dan campur
tanganku terhadap percepatan-percepatan mereka yang akan rapuh. Aku akan
memperkenalkan diriku. Diriku bukanlah sosok yang biasa muncul dalam suatu
cerita. Bukan pula sosok yang diidolakan oleh para pembaca dengan sikapnya yang
hero. Bukan pula sosok cantik nan
jelita dengan kemurahan dan kebaikan hatinya. Bukan pula sosok rupawan dengan
segala talentanya. Lalu, aku siapa?
Aku adalah sosok yang dibenci oleh pembaca.
Kehadiranku sangat tidak diinginkan oleh mereka. Aku dianggap perusak dan
pembawa bencana. Bahkan aku disimbolkan sebagai musuh dari kebaikan. Karna aku
memiliki sifat angkuh dan sombong.
Para
pembaca, biasa menyebutku dengan sebutan ath-thaghut,
ba’alzabul, lucifer, ghoul dan diabolic. Sebutan itu, diambil dari
kitab-kitab yang dianggap suci oleh masing-masing dari mereka. Kitab-kitab
meraka bersepakat dan menganjurkan agar para pembaca tidak terjerumus akan bujuk
rayuanku. Bahkan, kitab-kitab mereka juga berisikan langkah-langkah atau cara
agar terhindar dariku. Sungguh benar-benar luar biasa kitab-kitab mereka.
Aku
akui benar atas kehebatan kitab-kitab mereka, tapi itu bukanlah tanda akan
ketidakberdayaanku terhadap mereka. Mereka lupa, bahwa aku terbuat dari api.
Aku dapat memanaskan dan membakar segalanya, termasuk para pembaca. Mengingat
mereka hanyalah terbuat dari tanah dan mudahnya mereka terbuai akan keindahan
dunia.
Kucukupkan
sampai sini perkenalanku. Selebihnya, kalian akan mengerti kinerjaku terhadap
mereka. Kinerjaku dimulai saat Dina putri pertama mereka asik bermain-main di
taman sekolah. Bercanda ria bersama teman sebaya layaknya seorang remaja SMA.
Aku berbisik dengan manjanya kepada Dina, ditengah-tengah perbincangannya yang
hampa.
“Hey
Dina, apakah kau tidak bosan setiap hari berada di sini? Cobalah untuk keluar,
nikmati masa mudamu.” Bisikku terhadapnya.
Bisikan
pertamaku terhadapnya tidaklah ampuh. Tidak membuatnya goyah sedikitpun. Dia masih
belum terpengaruh atas masalahnya di rumah. Masih bersandiwara akan kebahagiaan
semu di depan teman sebayanya. Sementara ini dia mampu menahannya. Aku akui
itu. Tapi, untuk salanjutnya...
Diam-diam
ku masuk dalam percakapan mereka. Menyimak sejenak tentang perihal yang dibahas. Hingga ku dapati, perbincangan
mereka sampai pada kekaguman sepasang sahabat terhadap sesosok Dina.
“Wah
din, itu handphone barumu yah? Bagus
sekali, pasti itu mahal! “
“Pasti
mahal dong, segala sesuatu yang ia inginkan pasti akan terkabul. Dia kan dari
keluarga orang kaya, ibunya saja seorang pengamat pendidikan terkenal. Sering
muncul di TV lagi.”
“Pasti
menyenangkan sekali, menjadi anak dari orang terkenal. Pantas, guru-guru di
sini memperlakukanmu secara khusus.”
Dina
hanya termenung sejenak atas mereka. Sepertinya Dina tidak merasa bahagia dan
bangga atas kekaguman sepasang sahabat. Menundukkan kepala sembari membalasnya
dengan terbatah-batah.
“Semuanya
tidak semudah seperti apa yang kalian bayangkan. Apa yang kalian lihat belum
tentu akan sama dengan apa yang kalian rasakan.”
Perasaan
Dina mulai goyah. Merana akan kondisi yang ia alami. Saat itulah aku pun mulai
beraksi kembali.
“Hey
Dina, sudahlah jangan terlalu bersedih. Jangan terlalu difikirkan masalahmu
yang di rumah. Ingat, kamu tidaklah sendiri. Kamu masih memiliki
sahabat-sahabat yang setia menemanimu. Keluarlah, berbahagialah bersama
mereka.” Bisikku dengan lembut terhadap telinga kirinya.
Perlahan-lahan
dia mulai terpengaruh atas bujuk rayuanku. Tanpa pikir panjang, mengajak segala
bala sahabatnya untuk bolos sekolah.
“Yuk,
ikut aku sekarang juga.” Ujar Dina, untuk memulai obrolan.
“Loh,
ke mana din?”
“Iya
din, mau ke mana? Sebentar lagi sudah masuk loh!”
“Sudahlah,
ayo ikut aku. Aku akan mengajak kalian semua ke tempat-tempat yang menarik. Untuk
urusan sekolah, biar aku saja yang urus. Untuk urusan dompet, biar aku saja
yang urus.” Bantah Dina pada mereka.
Rencanaku
berjalan dengan mulus. Hanya cukup melakukan sedikit pergerakan, mereka telah
terjebak akan kebahagiaan semu, khususnya pada Dina. Di sisi lain, rencanaku
terhadap bangunan mereka tidaklah cukup sampai di sini saja. Rencanaku yang
berikutnya tertuju pada puin-puing bangunan kedua. Anak terakhir dari mereka,
Dani.
Kinerjaku
terhadap Dani dimulai saat ia terpuruk sepi dalam hausnya kasih sayang seorang
ibu. Merana atas perhatian-perhatian yang tak pernah ia dapatkan. Hanya
tergantikan oleh sosok yang menamakan dirinya baby sitter. Menghabiskan kesehariannya dengan segala
permainan-permainan gadget. Sungguh
kondisi yang sangat aku senangi.
Di
sekolah, ku buat dia makin menderita. Kurasuki sebagian teman-temannya. Ku buat
mereka yang kurasuki menjadi preman dan perusak. Merusak segenap mental Dani,
menjadikan Dani sebagai korban bullying
setiap hari. Sering ku berbisik kepada mereka saat Dani selalu terdiam di
bangku sekolah.
“Hey,
lihat temanmu itu, si gendut. Dia pasti membawa makanan dan uang yang banyak. Dekatilah
dia! Rampaslah segala apa yang dia punya! Dia itu lemah, dia hanyalah anak mama
gagal. Jadi, dia tidak akan bisa untuk berontak.”
Serentak,
mereka melakukannya. Tepat sesuai dengan intrupsiku. Sedangkan aku, hanya
tertawa lepas di sini. Aku benar-benar senang kegirangan melihat mereka saling
membenci. Terutama pada Dani, dia telah menjadi korban keputusasaan. Dia tidak
berdaya, terkapar lemas di bawah bangku kelas. Selalu mendesis dalam hati
seraya membenturkan kedua tangannya ke lantai.
“Aku
benar-benar bodoh, sampah, tidak berguna!”
“Apa
yang salah denganku dan mengapa mereka selalu berbuat seperti itu padaku?”
“Dunia
ini memang tidak adil...”
Dani
mulai berada pada ujung kegelisahan. Kebencian akan diri sendiri sudah tidak
tertahankan. Disaat itulah aku membuka sedikit kotak masa lalunya. Memberikannya
halusinasi-halusinasi palsu. Berharap, dia akan terngiang dalam lintas imajiku.
“Hey
Dani, masih ingatkah kamu? Dulu ibumu salalu menemanimu saat hendak tidur.
Membacakan cerita-cerita dongeng lucu yang membuatmu tertawa.”
“Hey
Dani, masih ingatkah kamu? Dulu ibumu selalu membangunkanmu di pagi hari.
Menyiapkan sarapan lezat untuk disantap sebelum berangkat sekolah.”
“Hey
Dani, masih ingatkah kamu? Dulu ibumu selalu mengantarkanmu dan menjemputmu
sekolah. Melawan teriknya matahari dengan sepeda keranjang berwarna biru.”
“Hey
Dani, masih ingatkah kamu? Dulu ibumu selalu membantumu mengerjakan PR. Mengajarimu
dengan sabar, berharap kau menjadi anak yang pintar.”
“Hey
Dani, masih ingatkah kamu? Dulu ibumu selalu menemanimu dikala sepi. Bercanda
ria bersama di ruang keluarga.”
“Tapi
itu dulu, sekarang semuanya telah berubah. Benar-benar berubah. Ibumu kini
sudah tidak melakukannya lagi. Ibumu sudah tidak menganggapmu sebagai anak dan
ibumu sudah bahagia dengan apa yang ia lakukan sekarang. Jadi... ”
Tiba-tiba
Dani tersadar. Kembali mendesis dalam hati seraya membenturkan kedua tangannya
ke lantai. Kali ini makin keras.
“Sial,
semua ini bukanlah salahku, tapi salahnya. Gara-gara dia aku menjadi seperti
ini. Lebih baik dia tidak usah melahirkanku kalau jadinya akan sia-sia seperti
ini.”
“Dasar
bodoh, sampah, tidak berguna...”
Kinerja
keduaku berjalan dengan lancar. Jarang ku temui kendala yang berarti. Mengapa
bisa seperti itu? Selama aku mengetahui kelemahan-kelamahan para pembaca, maka
semuanya akan terasa mudah. Congkak, iri hati, tamak, keangkuhan, pertengkaran,
amarah, keterbatasan pengetahuan, lupa dan ketergesaan adalah kelemahan dari
mereka semua. Sebaliknya, mereka semua khususnya para pembaca, hampir-hampir
tidak ada yang mengetahui tentang hakikatku. Padahal, terpampang dengan jelas
pada kitab-kitab mereka. Mereka enggan dan malas untuk membaca atau
mempelajariku secara serius. Jadi, Beginilah akhirnya. Keberuntungan
benar-benar berpihak kepadaku.
Kusoroti
kembali puing-puing bangunan pertama mereka, Dina. Seusai bersenang ria bersama
sahabat-sahabatnya, makan dan berbelanja di tempat-tempat istimewa. Dina
kembali ke rumah larut malam. Sesampainya di sana, dia sedikit terkejut.
Semuanya tidak sesuai yang diharapkan. Padahal dia berharap akan sambutan
hangat dari segenap keluarganya. Dia berharap rumah menjadi solusi atas permasalahannya
di sekolah. Dia berharap ibunya sudah menyiapkan makanan kesukaannya. Dia
berharap ibunya datang menghampirinya, mengajak berbicara secara empat mata.
Berbicara secara serius perihal cinta, wanita dan pria. Tapi, apa yang ia
dapati? Rumahnya sepi bak rumah hantu. Tak ada satu pun yang menyambutnya.
Sepertinya, inilah kondisi yang harus ia terima. Sedangkan aku hanya tersenyum
sinis, tiada peduli melihat air matanya menetes-netes.
Di meja makan, terdapat hidangan dan sepucuk
surat yang menyambutnya. Dina langsung membuka surat itu, dan membacanya.
Isinya seperti ini.
“Dina
sayang, malam ini ibu tidak tidur di rumah lagi. Ibu ada urusan dengan
pekerjaan ibu. Jadi, ibu tidak bisa curhat-curhatan sama Dina. Tapi tenang, ibu
sudah membelikan makanan kesukaanmu. Makanlah yang banyak yah sayang, ibu
sangatlah mencintaimu.”
Seketika, surat itu pun robek. Bercerai berai
entah ke mana. Hidangan yang terbungkus rapi oleh restoran besar, kini
bersarang tepat di tempat sampah. Tanpa harus berganti pakaian sebelumnya,
masih menggunakan seragam sekolah. Dina keluar rumah. Entah ke mana dia akan
pergi, tapi inilah saat yang tepat untukku beraksi.
“Hey
Dina, Lihatlah apa yang mereka lakukan padamu? Ibumu sudah tidak menganggapmu
dan memperdulikanmu. Kini kau hanyalah anak telantar belaka.”
“Hey
Dina, dari pada pusing-pusing memikirkan masalah ini. Pergilah ke tempat yang
sekiranya akan menyambut kedatanganmu. Tempat yang membuatmu bahagia dan
menjadi solusi atas semua masalahmu. Pergilah ke tempat itu Dina.”
Akhirnya,
Dina pun pergi ke tempat yang menurutnya bisa membuat bahagia. Tempat penuh
gemerlap akan hiasan dunia. Mereka berdansa ria bersama. Musik diputar dengan
kerasnya. Minuman-minuman beralkohol pun menjadi teman setia. Seolah-olah malam
bukanlah sarana tidur bagi mereka. Inilah tempat yang aku sukai. Jika mereka di
sini, khususnya Dina, maka dengan sendirinya dia akan rusak dan melebur manjadi
satu denganku. Sungguh sangat membantuku. Sebuah tempat yang diciptakan untuk
mempercepat kinerjaku.
Puing-puing
bangunan yang kedua, yaitu Dani. Kubuat dia bernasib sama degan kakaknya.
Selalu membuatnya jarang atau bahkan tidak pernah pulang ke rumah.
Menggiringnya ke tempat yang sepenuhnya menerima keberadaannya. Tempat yang
menurutnya membuat bahagia. Tempat di mana orang-orang tidak mengerjainya lagi.
Tempat itu adalah warung internet. Mereka biasa menyebut tempat itu dengan warnet.
Keberadaannya di sana semakin memudahkanku. Ku
rayu Dani dengan bisikan-bisakan manja. Ku buat dia terperdaya akan buaian
dunia.
“Hey
Dani, bagaimana tampat ini? Sangat berbeda jauh kan dengan yang di sekolah dan
dengan yang di rumah!”
“Kau
bisa melakukan apa saja di sini. Tempat ini akan memberikanmu kebutuhan lebih
dari ibumu. Puaskan saja kamu bermain game-nya.
Jika bosan, dengarkan segala musik yang ada atau lihatlah video-video yang
menarik.”
“Aku
jamin, kau akan bahagia jika selalu berada di sini Dani...”
Kedua
puing-puing bagunan mereka telah berada di luar jalur yang lurus. Kini tinggal
beberapa langkah lagi untuk membuat runtuh bangunan mereka. Yaitu, merobohkan
dua pilar pembangun puing-puing tersebut. Kurasa yang ini lebih mudah, karna
kedua pilar ini sudah goyah. Aku pun cukup memberikan sentuhan kecil pada
mereka. Menjadi motivator akan apa yang sudah mereka lakukan.
Pilar
pertama sejatinya adalah tulang punggung keluarga. Namun, dia kehilangan
martabatnya sebagai sosok yang dutugaskan untuk mencari nafkah. Tugas itu
digantikan oleh pilar yang kedua. Jadi, dia hanyalah pengangguran yang selalu
mencari kesibukan ke sana ke mari. Mencari eksistensi akan martabat yang pernah
hilang. Dari situ, aku pun memotivasinya dari belakang.
“Hey,
sudahlah kau jangan bersedih atas hak dan kewajibanmu yang hilang. Nikmati saja
semuanya.”
“Kau
tidak usah susah-susah lagi. Kau tak lagi bekerja keras sampai pulang malam,
kau tak lagi mengorbankan segala pikiran, tenaga dan waktumu. Cukup duduk dan
nikmati. Jika bosan melandamu, bermainlah dengan wanita-wanita lain.”
“Masalah
anak-anak kan sudah ada yang urus. Jadi, tidak usah terlalu dipikirkan. Sekali
lagi, nikmatilah hidupmu.”
Tak
jauh beda apa yang aku lakukan pada pilar yang kedua. Cukup memotivasinya dari
belakang. Dari situ, kita tinggal melihat bagaimana detik-detik hancurnya
bagunan mereka.
“Hey,
kau tidak usah bingung dan bimbang tentang apa yang kamu lakukan saat ini.”
“Teruskanlah,
ini saatnya kamu untuk menunjukkan kepada mereka bahwa kau bisa. Kau bisa hidup
mandiri. Kau bisa untuk mencari uang sendiri. Tak lagi berpasrah pada orang
lain.”
“Ini
adalah kesempatan emas yang tidak akan terulang untuk kedua kalinya. Jadi,
teruslah tingkatkan prestasi karirmu. Aku yakin, keluargamu akan bangga
terhadap yang kamu lakukan.”
“Masalah
anak-anak tidak usah terlau dipikirkan. Kau cukup memfasilitasinya saja, maka
mereka akan bahagia...”
Seiring
berjalannya waktu. Cepat ataupun lembat, mereka akan terkena skandal yang
besar. Menghebohkan seluruh para pembaca yang ada. Bangunan yang dinamakan
kelurga pun telah runtuh. Tak tersisa sedikitpun puing-puingnya. Hanya
bersisakan sejarah akan luka lama. Sama pesis seperti yang pernah aku lakukan
pada nenek moyang mereka.
“...Sesungguhnya,
saya adalah termasuk orang yang memberi nasihat kepada kamu berdua.” (QS.
Al-A’raf 7:21)
“...Hai
Adam, maukah aku tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak
akan binasa?” (QS. Thaha 20:120)
“...Tuhan
kamu tidak melarangmu mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak
menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).” (QS.
Al-A’raf 7:20)
“Dan
aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku
dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih
baik daripada kebun-kebun itu.” (QS. Al-Kahf 18:36)
Biodata
Penulis
Nama : Sultoni
Rijalur Rachman
Tempat, tanggal lahir : Bondowoso, 18 September 1994
Prodi, Fakultas : Bahasa Indonesia, KIP
No comments:
Post a Comment