Sunday, June 5, 2016

Contoh Cerpen "Masihkah Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu?"



Masihkah Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu?

 https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQdTlir_Djv8MF7mQ2bjazwRgV01vSJPLqjZuG2AIf7nUnbWHU0qA


Ku mulai mendekatinya saat puing-puing cinta mulai rapuh. Bangunan yang ia susun sejak tiga tahun silam akan segera runtuh. Reruntuhan itu akan benar-benar terjadi ketika si puing pertama dan si puing kedua keluar dari jalur yang lurus. Sedangkan dua pilar pembuat puing-puing tersebut pun kini telah goyah. Dua pilar penegak bagunan yang dinamakan keluarga.
Sebelum ku ceritakan detik-detik hancurnya bangunan yang dinamakan keluarga dan campur tanganku terhadap percepatan-percepatan mereka yang akan rapuh. Aku akan memperkenalkan diriku. Diriku bukanlah sosok yang biasa muncul dalam suatu cerita. Bukan pula sosok yang diidolakan oleh para pembaca dengan sikapnya yang hero. Bukan pula sosok cantik nan jelita dengan kemurahan dan kebaikan hatinya. Bukan pula sosok rupawan dengan segala talentanya. Lalu, aku siapa?
  Aku adalah sosok yang dibenci oleh pembaca. Kehadiranku sangat tidak diinginkan oleh mereka. Aku dianggap perusak dan pembawa bencana. Bahkan aku disimbolkan sebagai musuh dari kebaikan. Karna aku memiliki sifat angkuh dan sombong.
Para pembaca, biasa menyebutku dengan sebutan ath-thaghut, ba’alzabul, lucifer, ghoul dan diabolic. Sebutan itu, diambil dari kitab-kitab yang dianggap suci oleh masing-masing dari mereka. Kitab-kitab meraka bersepakat dan menganjurkan agar para pembaca tidak terjerumus akan bujuk rayuanku. Bahkan, kitab-kitab mereka juga berisikan langkah-langkah atau cara agar terhindar dariku. Sungguh benar-benar luar biasa kitab-kitab mereka.
Aku akui benar atas kehebatan kitab-kitab mereka, tapi itu bukanlah tanda akan ketidakberdayaanku terhadap mereka. Mereka lupa, bahwa aku terbuat dari api. Aku dapat memanaskan dan membakar segalanya, termasuk para pembaca. Mengingat mereka hanyalah terbuat dari tanah dan mudahnya mereka terbuai akan keindahan dunia.
Kucukupkan sampai sini perkenalanku. Selebihnya, kalian akan mengerti kinerjaku terhadap mereka. Kinerjaku dimulai saat Dina putri pertama mereka asik bermain-main di taman sekolah. Bercanda ria bersama teman sebaya layaknya seorang remaja SMA. Aku berbisik dengan manjanya kepada Dina, ditengah-tengah perbincangannya yang hampa.
“Hey Dina, apakah kau tidak bosan setiap hari berada di sini? Cobalah untuk keluar, nikmati masa mudamu.” Bisikku terhadapnya.
Bisikan pertamaku terhadapnya tidaklah ampuh. Tidak membuatnya goyah sedikitpun. Dia masih belum terpengaruh atas masalahnya di rumah. Masih bersandiwara akan kebahagiaan semu di depan teman sebayanya. Sementara ini dia mampu menahannya. Aku akui itu. Tapi, untuk salanjutnya...

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjSpjdKpkV2n9ogGU1YvT4FJSo7gpceN5PV1rXVIUCeHYGBGsCoYMjqqNrGXJHdn9UYnwqsGveAQTvUgOwYVo9GLs0r6mIcaKeZ5zPaZbjdXGyEiGkVNy-yja5cIXMklrdjOHia_dPL5CWL/s1600/surga+di+bawah+telapak+kaki+ibu.jpg


Diam-diam ku masuk dalam percakapan mereka. Menyimak sejenak tentang perihal  yang dibahas. Hingga ku dapati, perbincangan mereka sampai pada kekaguman sepasang sahabat terhadap sesosok Dina.
“Wah din, itu handphone barumu yah? Bagus sekali, pasti itu mahal! “
“Pasti mahal dong, segala sesuatu yang ia inginkan pasti akan terkabul. Dia kan dari keluarga orang kaya, ibunya saja seorang pengamat pendidikan terkenal. Sering muncul di TV lagi.”
“Pasti menyenangkan sekali, menjadi anak dari orang terkenal. Pantas, guru-guru di sini memperlakukanmu secara khusus.”
Dina hanya termenung sejenak atas mereka. Sepertinya Dina tidak merasa bahagia dan bangga atas kekaguman sepasang sahabat. Menundukkan kepala sembari membalasnya dengan terbatah-batah.
“Semuanya tidak semudah seperti apa yang kalian bayangkan. Apa yang kalian lihat belum tentu akan sama dengan apa yang kalian rasakan.”
Perasaan Dina mulai goyah. Merana akan kondisi yang ia alami. Saat itulah aku pun mulai beraksi kembali.
“Hey Dina, sudahlah jangan terlalu bersedih. Jangan terlalu difikirkan masalahmu yang di rumah. Ingat, kamu tidaklah sendiri. Kamu masih memiliki sahabat-sahabat yang setia menemanimu. Keluarlah, berbahagialah bersama mereka.” Bisikku dengan lembut terhadap telinga kirinya.
Perlahan-lahan dia mulai terpengaruh atas bujuk rayuanku. Tanpa pikir panjang, mengajak segala bala sahabatnya untuk bolos sekolah.
“Yuk, ikut aku sekarang juga.” Ujar Dina, untuk memulai obrolan.
“Loh, ke mana din?”
“Iya din, mau ke mana? Sebentar lagi sudah masuk loh!”
“Sudahlah, ayo ikut aku. Aku akan mengajak kalian semua ke tempat-tempat yang menarik. Untuk urusan sekolah, biar aku saja yang urus. Untuk urusan dompet, biar aku saja yang urus.” Bantah Dina pada mereka.

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPXtroM8BQXtnNmVRSyvo3O1TKmiwjc_bCOHlPppCs0YrG31junHFcSfFTVhTd2qBjzFFVvh9U-86U_gbvavZTdWcfa1B9tqRe-jkjbGwCxp4MKQh1UN7wrjk89m5ilXQZZinH2kA9T8Y/s640/IMG_20151102_132253.gif



Rencanaku berjalan dengan mulus. Hanya cukup melakukan sedikit pergerakan, mereka telah terjebak akan kebahagiaan semu, khususnya pada Dina. Di sisi lain, rencanaku terhadap bangunan mereka tidaklah cukup sampai di sini saja. Rencanaku yang berikutnya tertuju pada puin-puing bangunan kedua. Anak terakhir dari mereka, Dani.
Kinerjaku terhadap Dani dimulai saat ia terpuruk sepi dalam hausnya kasih sayang seorang ibu. Merana atas perhatian-perhatian yang tak pernah ia dapatkan. Hanya tergantikan oleh sosok yang menamakan dirinya baby sitter. Menghabiskan kesehariannya dengan segala permainan-permainan gadget. Sungguh kondisi yang sangat aku senangi.
Di sekolah, ku buat dia makin menderita. Kurasuki sebagian teman-temannya. Ku buat mereka yang kurasuki menjadi preman dan perusak. Merusak segenap mental Dani, menjadikan Dani sebagai korban bullying setiap hari. Sering ku berbisik kepada mereka saat Dani selalu terdiam di bangku sekolah.
“Hey, lihat temanmu itu, si gendut. Dia pasti membawa makanan dan uang yang banyak. Dekatilah dia! Rampaslah segala apa yang dia punya! Dia itu lemah, dia hanyalah anak mama gagal. Jadi, dia tidak akan bisa untuk berontak.”
  Serentak, mereka melakukannya. Tepat sesuai dengan intrupsiku. Sedangkan aku, hanya tertawa lepas di sini. Aku benar-benar senang kegirangan melihat mereka saling membenci. Terutama pada Dani, dia telah menjadi korban keputusasaan. Dia tidak berdaya, terkapar lemas di bawah bangku kelas. Selalu mendesis dalam hati seraya membenturkan kedua tangannya ke lantai.
“Aku benar-benar bodoh, sampah, tidak berguna!”
“Apa yang salah denganku dan mengapa mereka selalu berbuat seperti itu padaku?”
“Dunia ini memang tidak adil...”
Dani mulai berada pada ujung kegelisahan. Kebencian akan diri sendiri sudah tidak tertahankan. Disaat itulah aku membuka sedikit kotak masa lalunya. Memberikannya halusinasi-halusinasi palsu. Berharap, dia akan terngiang dalam lintas imajiku.
“Hey Dani, masih ingatkah kamu? Dulu ibumu salalu menemanimu saat hendak tidur. Membacakan cerita-cerita dongeng lucu yang membuatmu tertawa.”
“Hey Dani, masih ingatkah kamu? Dulu ibumu selalu membangunkanmu di pagi hari. Menyiapkan sarapan lezat untuk disantap sebelum berangkat sekolah.”
“Hey Dani, masih ingatkah kamu? Dulu ibumu selalu mengantarkanmu dan menjemputmu sekolah. Melawan teriknya matahari dengan sepeda keranjang berwarna biru.”
“Hey Dani, masih ingatkah kamu? Dulu ibumu selalu membantumu mengerjakan PR. Mengajarimu dengan sabar, berharap kau menjadi anak yang pintar.”
“Hey Dani, masih ingatkah kamu? Dulu ibumu selalu menemanimu dikala sepi. Bercanda ria bersama di ruang keluarga.”
“Tapi itu dulu, sekarang semuanya telah berubah. Benar-benar berubah. Ibumu kini sudah tidak melakukannya lagi. Ibumu sudah tidak menganggapmu sebagai anak dan ibumu sudah bahagia dengan apa yang ia lakukan sekarang. Jadi... ”
Tiba-tiba Dani tersadar. Kembali mendesis dalam hati seraya membenturkan kedua tangannya ke lantai. Kali ini makin keras.
“Sial, semua ini bukanlah salahku, tapi salahnya. Gara-gara dia aku menjadi seperti ini. Lebih baik dia tidak usah melahirkanku kalau jadinya akan sia-sia seperti ini.”
“Dasar bodoh, sampah, tidak berguna...”
Kinerja keduaku berjalan dengan lancar. Jarang ku temui kendala yang berarti. Mengapa bisa seperti itu? Selama aku mengetahui kelemahan-kelamahan para pembaca, maka semuanya akan terasa mudah. Congkak, iri hati, tamak, keangkuhan, pertengkaran, amarah, keterbatasan pengetahuan, lupa dan ketergesaan adalah kelemahan dari mereka semua. Sebaliknya, mereka semua khususnya para pembaca, hampir-hampir tidak ada yang mengetahui tentang hakikatku. Padahal, terpampang dengan jelas pada kitab-kitab mereka. Mereka enggan dan malas untuk membaca atau mempelajariku secara serius. Jadi, Beginilah akhirnya. Keberuntungan benar-benar berpihak kepadaku.

 https://pbs.twimg.com/profile_images/3753053595/22307b5e292e93b114d81605c7befc87_400x400.jpeg



Kusoroti kembali puing-puing bangunan pertama mereka, Dina. Seusai bersenang ria bersama sahabat-sahabatnya, makan dan berbelanja di tempat-tempat istimewa. Dina kembali ke rumah larut malam. Sesampainya di sana, dia sedikit terkejut. Semuanya tidak sesuai yang diharapkan. Padahal dia berharap akan sambutan hangat dari segenap keluarganya. Dia berharap rumah menjadi solusi atas permasalahannya di sekolah. Dia berharap ibunya sudah menyiapkan makanan kesukaannya. Dia berharap ibunya datang menghampirinya, mengajak berbicara secara empat mata. Berbicara secara serius perihal cinta, wanita dan pria. Tapi, apa yang ia dapati? Rumahnya sepi bak rumah hantu. Tak ada satu pun yang menyambutnya. Sepertinya, inilah kondisi yang harus ia terima. Sedangkan aku hanya tersenyum sinis, tiada peduli melihat air matanya menetes-netes.
 Di meja makan, terdapat hidangan dan sepucuk surat yang menyambutnya. Dina langsung membuka surat itu, dan membacanya. Isinya seperti ini.
“Dina sayang, malam ini ibu tidak tidur di rumah lagi. Ibu ada urusan dengan pekerjaan ibu. Jadi, ibu tidak bisa curhat-curhatan sama Dina. Tapi tenang, ibu sudah membelikan makanan kesukaanmu. Makanlah yang banyak yah sayang, ibu sangatlah mencintaimu.”
 Seketika, surat itu pun robek. Bercerai berai entah ke mana. Hidangan yang terbungkus rapi oleh restoran besar, kini bersarang tepat di tempat sampah. Tanpa harus berganti pakaian sebelumnya, masih menggunakan seragam sekolah. Dina keluar rumah. Entah ke mana dia akan pergi, tapi inilah saat yang tepat untukku beraksi.
“Hey Dina, Lihatlah apa yang mereka lakukan padamu? Ibumu sudah tidak menganggapmu dan memperdulikanmu. Kini kau hanyalah anak telantar belaka.”
“Hey Dina, dari pada pusing-pusing memikirkan masalah ini. Pergilah ke tempat yang sekiranya akan menyambut kedatanganmu. Tempat yang membuatmu bahagia dan menjadi solusi atas semua masalahmu. Pergilah ke tempat itu Dina.”
Akhirnya, Dina pun pergi ke tempat yang menurutnya bisa membuat bahagia. Tempat penuh gemerlap akan hiasan dunia. Mereka berdansa ria bersama. Musik diputar dengan kerasnya. Minuman-minuman beralkohol pun menjadi teman setia. Seolah-olah malam bukanlah sarana tidur bagi mereka. Inilah tempat yang aku sukai. Jika mereka di sini, khususnya Dina, maka dengan sendirinya dia akan rusak dan melebur manjadi satu denganku. Sungguh sangat membantuku. Sebuah tempat yang diciptakan untuk mempercepat kinerjaku.
Puing-puing bangunan yang kedua, yaitu Dani. Kubuat dia bernasib sama degan kakaknya. Selalu membuatnya jarang atau bahkan tidak pernah pulang ke rumah. Menggiringnya ke tempat yang sepenuhnya menerima keberadaannya. Tempat yang menurutnya membuat bahagia. Tempat di mana orang-orang tidak mengerjainya lagi. Tempat itu adalah warung internet. Mereka biasa menyebut tempat itu dengan warnet.
 Keberadaannya di sana semakin memudahkanku. Ku rayu Dani dengan bisikan-bisakan manja. Ku buat dia terperdaya akan buaian dunia.
“Hey Dani, bagaimana tampat ini? Sangat berbeda jauh kan dengan yang di sekolah dan dengan yang di rumah!”
“Kau bisa melakukan apa saja di sini. Tempat ini akan memberikanmu kebutuhan lebih dari ibumu. Puaskan saja kamu bermain game-nya. Jika bosan, dengarkan segala musik yang ada atau lihatlah video-video yang menarik.”
“Aku jamin, kau akan bahagia jika selalu berada di sini Dani...”
Kedua puing-puing bagunan mereka telah berada di luar jalur yang lurus. Kini tinggal beberapa langkah lagi untuk membuat runtuh bangunan mereka. Yaitu, merobohkan dua pilar pembangun puing-puing tersebut. Kurasa yang ini lebih mudah, karna kedua pilar ini sudah goyah. Aku pun cukup memberikan sentuhan kecil pada mereka. Menjadi motivator akan apa yang sudah mereka lakukan.
Pilar pertama sejatinya adalah tulang punggung keluarga. Namun, dia kehilangan martabatnya sebagai sosok yang dutugaskan untuk mencari nafkah. Tugas itu digantikan oleh pilar yang kedua. Jadi, dia hanyalah pengangguran yang selalu mencari kesibukan ke sana ke mari. Mencari eksistensi akan martabat yang pernah hilang. Dari situ, aku pun memotivasinya dari belakang.
“Hey, sudahlah kau jangan bersedih atas hak dan kewajibanmu yang hilang. Nikmati saja semuanya.”
“Kau tidak usah susah-susah lagi. Kau tak lagi bekerja keras sampai pulang malam, kau tak lagi mengorbankan segala pikiran, tenaga dan waktumu. Cukup duduk dan nikmati. Jika bosan melandamu, bermainlah dengan wanita-wanita lain.”
“Masalah anak-anak kan sudah ada yang urus. Jadi, tidak usah terlalu dipikirkan. Sekali lagi, nikmatilah hidupmu.”
   Tak jauh beda apa yang aku lakukan pada pilar yang kedua. Cukup memotivasinya dari belakang. Dari situ, kita tinggal melihat bagaimana detik-detik hancurnya bagunan mereka.
“Hey, kau tidak usah bingung dan bimbang tentang apa yang kamu lakukan saat ini.”
“Teruskanlah, ini saatnya kamu untuk menunjukkan kepada mereka bahwa kau bisa. Kau bisa hidup mandiri. Kau bisa untuk mencari uang sendiri. Tak lagi berpasrah pada orang lain.”
“Ini adalah kesempatan emas yang tidak akan terulang untuk kedua kalinya. Jadi, teruslah tingkatkan prestasi karirmu. Aku yakin, keluargamu akan bangga terhadap yang kamu lakukan.”
“Masalah anak-anak tidak usah terlau dipikirkan. Kau cukup memfasilitasinya saja, maka mereka akan bahagia...”
Seiring berjalannya waktu. Cepat ataupun lembat, mereka akan terkena skandal yang besar. Menghebohkan seluruh para pembaca yang ada. Bangunan yang dinamakan kelurga pun telah runtuh. Tak tersisa sedikitpun puing-puingnya. Hanya bersisakan sejarah akan luka lama. Sama pesis seperti yang pernah aku lakukan pada nenek moyang mereka.
“...Sesungguhnya, saya adalah termasuk orang yang memberi nasihat kepada kamu berdua.” (QS. Al-A’raf 7:21)
“...Hai Adam, maukah aku tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (QS. Thaha 20:120)
“...Tuhan kamu tidak melarangmu mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).” (QS. Al-A’raf 7:20)
“Dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu.” (QS. Al-Kahf 18:36)  

    
Biodata Penulis

Nama                                       : Sultoni Rijalur Rachman
Tempat, tanggal lahir              : Bondowoso, 18 September 1994

Prodi, Fakultas                        : Bahasa Indonesia, KIP


No comments:

Post a Comment