KESANTUNAN BERBAHASA

Definisi Kesantuanan
Dalam KBBI edisi ketiga (1990) dijelaskan yang
dimaksud dengan kesantunan adalah kehalusan dan baik (budi bahasanya, tingkah
lakunya). Pendapat lain diuraikan dalam (http://Muslich.M.blogspot.com) bahwa kesantunan
(politiness), kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan
yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang
ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan
sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh
karena itu, kesantunan ini biasa disebut "tatakrama".
Kesantunan bersifat relatif di dalam masyarakat.
Ujaran tertentu bisa dikatakan santun di dalam suatu kelompok masyarakat
tertentu, akan tetapi di kelompok masyarakat lain bisa dikatakan tidak santun.
Menurut Zamzani,dkk. (2010: 2) kesantunan (politeness) merupakan perilaku yang
diekspresikan dengan cara yang baik atau beretika. Kesantunan merupakan fenomena
kultural, sehingga apa yang dianggap santun oleh suatu kultur mungkin tidak
demikian halnya dengan kultur yang lain. Tujuan kesantunan, termasuk kesantunan
berbahasa, adalah membuat suasana berinteraksi menyenangkan, tidak mengancam
muka dan
efektif.
Paradigma Kesantunan
Berbahasa
Menurut Rahardi (2005: 35) penelitian kesantunan
mengkaji penggunaan bahasa (language use) dalam suatu masyarakat bahasa
tertentu. Masyarakat tutur yang dimaksud adalah masyarakat dengan aneka latar
belakang situasi sosial dan budaya yang mewadahinya. Adapun yang dikaji di
dalam penelitian kesantunan adalah segi maksud dan fungsi tuturan. Fraser
(melalui Rahardi, 2005: 38-40) menyebutkan bahwa sedikitnya terdapat empat
pandangan yang dapat digunakan untuk mengkaji masalah kesantunan dalam
bertutur.
a.
Pandangan kesantunan yang berkaitan dengan norma-norma
sosial (the social-norm view). Dalam pandangan ini, kesantunan dalam bertutur
ditentukan berdasarkan norma-norma sosial dan kultural yang ada dan berlaku di
dalam masyarakat bahasa itu. Santun dalam bertutur ini disejajarkan dengan
etiket berbahasa (language etiquette).
b.
Pandangan yang melihat kesantunan sebagai sebuah maksim
percakapan (conversational maxim) dan sebagai sebuah upaya penyelamatan muka
(facesaving). Pandangan kesantunan sebagai maksim percakapan menganggap prinsip
kesantunan (politeness principle) hanyalah sebagai pelengkap prinsip kerja sama
(cooperative principle).
c.
Pandangan ini melihat kesantunan sebagai tindakan untuk
memenuhi persyaratan terpenuhinya sebuah kontrak percakapan (conversational
contract). Jadi, bertindak santun itu sejajar
dengan bertutur yang penuh pertimbangan etiket berbahasa.
d.
Pandangan kesantunan yang keempat berkaitan dengan
penelitian sosiolinguistik. Dalam pandangan ini, kesantunan dipandang sebagai
sebuah indeks sosial (social indexing). Indeks sosial yang demikian terdapat
dalam bentuk-bentuk referensi sosial (social reference), honorific (honorific),
dan gaya bicara (style of speaking) (Rahardi, 2005: 40).
Menurut Chaer (2010: 10) secara singkat dan umum
ada tiga kaidah yang harus dipatuhi agar tuturan kita terdengar santun oleh
pendengar atau lawan tutur kita. Ketiga kaidah itu adalah (1) formalitas
(formality), (2) ketidaktegasan (hesistancy), dan (3) kesamaan atau kesekawanan
(equality or camaraderie). Jadi, menurut Chaer (2010: 11) dengan singkat bisa
dikatakan bahwa sebuah tuturan disebut santun kalau ia tidak terdengar memaksa
atau angkuh, tuturan itu memberi pilihan tindakan kepada lawan tutur, dan lawan
tutur itu menjadi senang.
Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara
berkomunikasi lewat tanda
verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada
normanorma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan.
Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam
masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi.
Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya,
maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang
sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya.
Kesantunan berbahasa dapat dilakukan dengan cara
pelaku tutur mematuhi prinsip sopan santun berbahasa yang berlaku di masyarakat
pemakai bahasa itu. Jadi, diharapkan pelaku tutur dalam bertutur dengan mitra
tuturnya untuk tidak mengabaikan prinsip sopan santun. Hal ini untuk menjaga
hubungan baik dengan mitra tuturnya.
Prinsip Kesantunan Berbahasa
Wijana (1996: 55) mengungkapkan bahwa sebagai
retorika interpersonal, pragmatik membutuhkan prinsip kesopanan (politeness
principle). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan,
yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur,
dan orang lain adalah lawan tutur, dan orang ketiga yang dibicarakan penutur
dan lawan tutur. Senada dengan hal di atas, menurut Rahardi (2005: 60-66) dalam
bertindak tutur yang santun, agar pesan dapat disampaikan dengan baik pada peserta
tutur, komunikasi yang terjadi perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip
kesantunan berbahasa. Prinsip kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh Leech
(1993: 206-207), yakni sebagai berikut.
1) Maksim Kebijaksanaan
Rahardi (2005: 60) mengungkapkan gagasan dasar
dalam maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta
pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan
dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan
bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan
akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Wijana (1996: 56) menambahkan bahwa
semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk
bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan
secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang
diutarakan secara langsung. Dalam maksim kebijaksanaan ini, Leech (1993: 206) menggunakan
istilah maksim kearifan.
contoh:
(1) Tuan rumah : “Silakan makan saja dulu, nak!”
Tadi kami semua sudah mendahului.”
Tamu : “Wah, saya jadi tidak enak, Bu.”
Informasi Indeksial:
Dituturkan oleh seorang Ibu kepada seorang anak muda yang sedang bertamu di
rumah Ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus berada di rumah Ibu tersebut sampai
malam karena hujan sangat deras dan tidak segera reda (Rahardi, 2005: 60).
Dalam tuturan di atas, tampak dengan jelas bahwa
apa yang dituturkan si tuan rumah sungguh memaksimalkan keuntungan bagi sang
tamu. Lazimnya, tuturan semacam itu ditemukan dalam keluarga pada masyarakat
tutur desa. Orang desa biasanya sangat menghargai tamu, baik tamu yang
datangnya secara kebetulan maupun tamu yang sudah direncanakan terlebih dahulu
kedatangannya (Rahardi, 2005: 60-61).
2) Maksim Kedermawanan
Menurut Leech (1993: 209) maksud dari maksim
kedermawanan ini adalah buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin;
buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. Rahardi (2005: 61) mengatakan
bahwa dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta
pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang
lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya
sendiri dan
memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Chaer (2010: 60) menggunakan istilah
maksim penerimaan untuk maksim kedermawanan Leech.
Rahardi (2005: 62) memberikan contoh sebagai berikut.
(2) Anak kos A : “ Mari saya cucikan baju kotormu!
Pakaianku tidak banyak, kok, yang kotor.”
Anak kos B : “Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan
mencuci juga, kok!”
Informasi Indeksial:
Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antar
anak kos pada sebuah rumah kos di kota Yogyakarta. Anak yang satu berhubungan
demikian erat dengan anak yang satunya. Dari tuturan yang disampaikan si A di
atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan
pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Orang yang tidak
suka membantu orang lain, apalagi tidak pernah bekerja bersama dengan orang
lain, akan dapat dikatakan tidak sopan dan biasanya tidak akan mendapatkan
banyak teman di dalam pergaulan keseharian hidupnya (Rahardi, 2005: 62).
3) Maksim Penghargaan
Menurut Wijana (1996: 57) maksim penghargaan ini diutarakan dengan kalimat
ekspresif dan kalimat asertif. Nadar (2009: 30) memberikan contoh tuturan ekspresif
yakni mengucapkan selamat, mengucapkan terima kasih, memuji, dan mengungkapkan
bela sungkawa. Dalam maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk
memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat
kepada orang lain. Rahardi (2005: 63) menambahkan, dalam maksim penghargaan
dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu
berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan
agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling
merendahkan pihak lain. Dalam maksim ini Chaer menggunakan istilah lain, yakni
maksim kemurahan.
contoh:
(3) Dosen A : “ Pak, aku tadi sudah memulai kuliah
perdana untuk kelas Bussines English.”
Dosen B : “Oya, tadi aku mendengar Bahasa
Inggrismu jelas sekali dari sini.”
Informasi Indeksial:
Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang
juga seorang dosen dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi
(Rahardi, 2005: 63). Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya
dosen B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai
pujian atau penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di
dalam pertuturan itu, dosen B berperilaku santun (Rahardi, 2005: 63).
4) Maksim Kesederhanaan
Rahardi (2005: 63) mengatakan bahwa di dalam
maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan
dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri.
Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, kesederhanaan dan kerendahan hati
banyak digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang. Wijana
(1996: 58) mengatakan maksim kerendahan hati ini diungkapkan dengan kalimat
ekspresif dan asertif. Bila maksim kemurahan atau penghargaan berpusat pada
orang lain, maksim kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Maksim ini
menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada
diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
contoh:
(4) Sekretaris A : “Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa
dulu, ya!”
Sekretaris B : “Ya, Mbak. Tapi saya jelek, lho.”
Informasi Indeksial:
Dituturkan oleh seorang sekretaris kepada
sekretaris lain yang masih junior pada saat mereka bersama-sama bekerja di
ruang kerja mereka (Rahardi, 2005: 64). Dari tuturan sekretaris B di atas,
dapat terlihat bahwa ia bersikap rendah hati dan mengurangi pujian untuk
dirinya sendiri. Dengan demikian, tuturan tersebut terasa santun.
5) Maksim Permufakatan
Menurut Rahardi (2005: 64) dalam maksim ini,
ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau
kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau
kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing
dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun. Wijana (1996: 59) menggunakan
istilah maksim kecocokan dalam maksim permufakatan ini. Maksim kecocokan ini
diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim kecocokan menggariskan
setiap
penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka, dan
meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka.
contoh:
(5) Noni : “Nanti malam kita makan bersama ya, Yun!”
Yuyun : “Boleh. Saya tunggu di Bambu Resto.”
Informasi Indeksial:
Dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya
yang juga mahasiswa pada saat mereka sedang berada di sebuah ruangan kelas
(Rahardi, 2005: 65). Tuturan di atas terasa santun, karena Yuyun mampu membina
kecocokan dengan Noni. Dengan memaksimalkan kecocokan di antara mereka tuturan
akan menjadi santun.
6) Maksim Kesimpatian
Leech (1993: 207) mengatakan di dalam maksim ini
diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara
pihak yang satu dengan pihak lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang
peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Orang yang bersikap
antipati terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain,
akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat (Rahardi,
2005: 65). MenurutWijana (1996: 60), jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan
atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur
mendapatkan kesusahan, atau musibah, penutur layak turut berduka, atau
mengutarakan ucapan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.
contoh:
Ani : “Tut, nenekku meninggal.”
Tuti : “Innalillahiwainailaihi rojiun. Ikut berduka
cita.”
Informasi Indeksial:
Dituturkan oleh seorang karyawan kepada karyawan
lain yang sudah berhubungan erat pada saat mereka berada di ruang kerja mereka
(Rahardi, 2005: 66). Dari tuturan di atas, terlihat Tuti menunjukkan rasa
simpatinya kepada Ani. Orang yang mampu memaksimalkan rasa simpatinya kepada
orang lain akan dianggap orang yang santun.
.jpg)
Ciri Kesantunan Berbahasa
Kesantunan berbahasa seseorang, dapat diukur
dengan beberapa jenis skalavkesantunan. Chaer (2010: 63) menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan skala kesantunan adalah peringkat kesantunan, mulai dari yang
tidak santun sampai dengan yang paling santun. Rahardi (2005: 66-67)
menyebutkan bahwa sedikitnya terdapat tiga macam skala pengukur peringkat kesantunan
yang sampai saat ini banyak digunakan sebagai dasar acuan dalam penelitian
kesantunan.
Dalam model kesantunan Leech, setiap maksimum
interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan
sebuah tuturan. Rahardi (2005: 66) menyatakan bahwa skala kesantunan Leech
dibagi menjadi lima.
1) Cost benefit scale atau skala kerugian dan
keuntungan, menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang
diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan
tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu.
Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan
semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu (Rahardi, 2005: 67).
2) Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk
kepada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur
kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu
memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan
leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila
pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur
dan si mitra tutur, tuturan tersebut dianggap tidak santun (Rahardi, 2005: 67).
3) Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan
menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah
tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak
santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung, maksud
sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu (Rahardi, 2005:
67).
4) Authority scale atau skala keotoritasan
menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat
dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara
penutur dan dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi
semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di
antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang
digunakan dalam bertutur itu (Rahardi, 2005: 67).
5) Social distance scale atau skala jarak sosial
menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang
terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak
peringkat sosial di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah
tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara
penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu
(Rahardi, 2005: 67).
Berdasarkan keenam maksim kesantunan yang
dikemukakan Leech (1993: 206), Chaer (2010: 56-57) memberikan ciri kesantunan
sebuah tuturan sebagai berikut.
a.
Semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula
keinginan orang itu untuk bersikap santun kepada lawan tuturnya.
b.
Tuturan yang diutarakan secara tidak langsung, lebih
santun dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.
c.
Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya
dipandang lebih santun dibandingkan dengan kalimat perintah (imperatif).
Zamzani, dkk. (2010: 20) merumuskan beberapa ciri
tuturan yang baik berdasarkan prinsip kesantunan Leech, yakni sebagai berikut.
a.
Tuturan yang menguntungkan orang lain
b.
Tuturan yang meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri.
c.
Tuturan yang menghormati orang lain
d.
Tuturan yang merendahkan hati sendiri
e.
Tuturan yang memaksimalkan kecocokan tuturan dengan orang
lain
f.
Tuturan yang memaksimalkan rasa simpati pada orang lain
Dalam sebuah tuturan juga diperlukan
indikator-indikator untuk mengukur kesantunan sebuah tuturan, khususnya diksi.
Pranowo (2009: 104) memberikan saran agar tuturan dapat mencerminkan rasa
santun, yakni sebagai berikut.
a.
Gunakan kata “tolong” untuk meminta bantuan pada orang
lain.
b.
Gunakan kata “maaf” untuk tuturan yang diperkirakan akan
menyinggung perasaan lain.
c.
Gunakan kata “terima kasih” sebagai penghormatan atas
kebaikan orang lain.
d.
Gunakan kata “berkenan” untuk meminta kesediaan orang
lain melakukan sesuatu.
e.
Gunakan kata “beliau” untuk menyebut orang ketiga yang
dihormati.
f.
Gunakan kata “bapak/ibu” untuk menyapa orang ketiga.
Penyebab Ketidaksantunan
Pranowo (melalui Chaer, 2010: 69) menyatakan bahwa ada beberapa faktor atau
hal yang menyebabkan sebuah pertuturan itu menjadi tidak santun. Penyebab ketidaksantunan
itu antara lain.
1) Kritik secara langsung dengan kata-kata kasar
Menurut Chaer (2010: 70) kritik kepada lawan tutur secara langsung dan dengan
menggunakan kata-kata kasar akan menyebabkan sebuah pertuturan menjadi tidak
santun atau jauh dari peringkat kesantunan. Dengan memberikan kritik secara
langsung dan menggunakan kata-kata yang kasar tersebut dapat menyinggung
perasaan lawan tutur, sehingga dinilai tidak santun.
contoh:
Pemerintah memang tidak pecus mengelola uang. Mereka
bisanya hanya
mengkorupsi uang rakyat saja.
Tuturan di atas jelas
menyinggung perasaan lawan tutur. Kalimat di atas
terasa tidak santun
karena penutur menyatakan kritik secara langsung dan
menggunakan kata-kata
yang kasar.
2) Dorongan rasa emosi penutur
Chaer (2010: 70) mengungkapkan, kadang kala ketika bertutur dorongan rasa
emosi penutur begitu berlebihan sehingga ada kesan bahwa penutur marah kepada
lawan tuturnya. Tuturan yang diungkapkan dengan rasa emosi oleh penuturnya akan
dianggap menjadi tuturan yang tidak santun.
contoh:
(8) Apa buktinya kalau pendapat anda benar? Jelas-jelas
jawaban anda tidak
masuk akal.
Tuturan di atas terkesan
dilakukan secara emosional dan kemarahan. Pada
tuturan tersebut terkesan
bahwa penutur tetap berpegang teguh pada pendapatnya,
dan tidak mau menghargai
pendapat orang lain.
3) Protektif terhadap pendapat
Menurut Chaer (2010: 71), seringkali ketika bertutur seorang penutur bersifat
protektif terhadap pendapatnya. Hal ini dilakukan agar tuturan lawan tutur tidak
dipercaya oleh pihak lain. Penutur ingin memperlihatkan pada orang lain bahwa
pendapatnya benar, sedangkan pendapat mitra tutur salah. Dengan tuturan seperti
itu akan dianggap tidak santun.
contoh:
(9) Silakan kalau tidak percaya. Semua akan terbukti
kalau pendapat saya yang
paling benar.
Tuturan di atas tidak
santun karena penutur menyatakan dialah yang benar;
dia memproteksi kebenaran
tuturannya. Kemudian menyatakan pendapat yang
dikemukakan lawan
tuturnya salah.
4) Sengaja menuduh lawan tutur
Chaer (2010: 71) menyatakan bahwa acapkali penutur menyampaikan tuduhan
pada mitra tutur dalam tuturannya. Tuturannya menjadi tidak santun jika penutur
terkesan menyampaikan kecurigaannya terhadap mitra tutur.
contoh:
(10) Hasil penelitian ini sangat lengkap dan bagus. Apakah
yakin tidak ada
manipulasi data?
Tuturan di atas tidak
santun karena penutur menuduh lawan tutur atas dasar
kecurigaan belaka
terhadap lawan tutur. Jadi, apa yang dituturkan dan juga cara
menuturkannya dirasa
tidak santun.
5) Sengaja memojokkan mitra tutur
Chaer (2010: 72) mengungkapkan bahwa adakalanya pertuturan menjadi tidak santun karena penutur dengan sengaja ingin
memojokkan lawan tutur dan membuat lawan tutur tidak berdaya. Dengan ini,
tuturan yang disampaikan penutur menjadikan lawan tutur tidak dapat melakukan
pembelaan.
contoh:
(11) Katanya sekolah gratis, tetapi mengapa siswa masih
diminta membayar
iuran sekolah? Pada akhirnya masih banyak anak-anak yang
putus sekolah.
Tuturan di atas terkesan
sangat keras karena terlihat keinginan untuk
memojokkan lawan tutur.
Tuturan seperti itu dinilai tidak santun, karena
menunjukkan bahwa penutur
berbicara kasar, dengan nada mara, dan rasa jengkel.
Mulyana (2005: 21) menyebutkan bahwa konteks ialah
situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai
sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan atau dialog. Segala sesuatu yang
behubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun
informasinya, sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan
itu.
Penyimpangan dan pematuhan prinsip kesantunan
berbahasa merupakan
bagian dari peristiwa tutur. Peristiwa tutur atau peristiwa berbahasa yang
terjadi pada kegiatan diskusi kelas ditentukan oleh beberapa faktor. Menurut
Dell Hymes (melalui Chaer dan Agustina, 2004: 48-49), bahwa suatu peristiwa
tutur harus memenuhi delapan komponen, yang disingkat menjadi SPEAKING, yakni
sebagai berikut.
a.
S = Setting and Scene
Setting berkenaan dengan
waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu para situasi tempat
dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan.
b.
P = Participants
Participants adalah
pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar,
penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan).
c.
E = Ends
Ends menunjuk pada maksud
dan tujuan pertuturan
d.
A = Act Sequences
Act Sequences mengacu
pada bentuk ujaran dan isi ujaran.
e.
K = Key
Key, mengacu pada nada,
cara, dan semangat di mana suatu pesan disampaikan; dengan senang hati, dengan
serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya.
f.
I = Instrumentalities
Instrumentalities mengacu
pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui
telegraf atau telepon.
g.
N = Norms of Interaction and Interpretation
Norms of Interaction and
Interpretation mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi.
h.
G = Genres
Genre mengacu pada jenis bentuk
penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa dan sebagainya.
Imam Syafi’ie (melalui Mulyana, 2005: 24)
menambahkan bahwa, apabila
dicermati dengan benar, konteks terjadinya suatu percakapan dapat dipilah
menjadi empat macam, yakni sebagai berikut.
a.
Konteks linguistik (linguistic context), yaitu
kalimat-kalimat dalam percakapan.
b.
Konteks epistemis (epistemis context), adalah latar
belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh partisipan.
c.
Konteks fisik (physical context), meliputi tempat
terjadinya percakapan, objek yang disajikan dalam percakapan, dan tindakan para
partisipan.
d.
Konteks sosial (sosial context), yaitu relasi
sosio-kultural yang melengkapi hubungan antarpelaku atau partisipan dalam
percakapan.
Uraian tentang konteks terjadinya suatu percakapan
(wacana) menunjukka bahwa konteks memegang peranan penting dalam memberi
bantuan untu menafsirkan suatu wacana. Kesimpulannya, secara singkat dapat
dikatakan: ilanguage, context is everything. Dalam berbahasa (berkomunikasi),
konteks adalah segala-galanya (Mulyana, 2005: 24).
Baryadi, I. Praptomo. 2002. Dasar-dasar
Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa.
Yogyakarta :
Pustaka Gondhosuli.
Brown, Penelope dan S. C.
Levinson. 1978. Universals in Language Usage :
Politness
Phenomena dalam
Ester N. Goody (ed) Question and
Politness. Cambrige
University Press. Halaman 56 - 324.
Grice, H. Paul. 1975. "Logic
and conversation" dalam Cole, Dater dan S. Morgen
(ed). Pragmatik
: A. Readers. New York : Oxford University Press.
Gunarwan, Asim. 1993c. "Kesantunan
Negatif di Kalangan Dwi Bahasawan
Indonesia - Jawa
di Jakarta : Kajian Sosiopragmatik". Makalah pada
Pelba VII,
Jakarta 26-27 Oktober 1993.
Gunarwan, Asim. 1994. "Pragmatik
: Pandangan Mata Burung" dalam Soenjono
Dardjowidjojo (ed) Mengiring
Rekan Sejati : Festschrift Buat Pak Ton. Jakarta :
Unika Atmajaya.
Gunarwan, Asim. 1995. "Direktif
dan Sopan Santun Bahasa Dalam Bahasa Indonesia :
Kajian Pendahuluan".
Makalah
Universitas Indonesia Depok.
Ibrahim, A. S. 1993. Kajian
Tindak Tutur. Surabaya : Usaha Nasional.
Kunjana, Rahadi. 2005. Pragmatik
: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta :
Erlangga.
Lakoff, R. 1972. The
Pragmatics of Modality Papers from The 8th Regional Meeting.
Chicago
Linguistik
Society.
Leech, Geoffrey. 1983. Principle
of Pragmatics. Terjemahan ke Dalam Bahasa Indonesia oleh
M. D.
D. Oka. 1993. Prinsip-prinsip
Pragmatik. Jakarta:
UI Press. London : Longman.
Lubis. 1993. Analisis Wacana
Pragmatik. Bandung : Angkasa.
Mey, Jacob. L. 1994. Pragmaties
: An Introduction. Oxford & Cambrige, USA : Black
Well.
Rustono. 1999. Pokok-pokok
Pragmatik. Semarang : IKIP Semarang Press.
-----------. 1998. Implikatur
Percakapan Sebagai Pengungkap Humor Di Dalam
Sudaryanto. 1993. Metode dan
Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta : University
Press.
Susiloningsih, Dyah. 2001. Jenis
dan Fungsi Tindak TuturDirektif dalam Wacana Kuis
di Televisi. Skripsi.
Universitas Negeri Semarang.
Stubbs, Michael. 1983. Discourse
Analysis : The Sociolinguistics Analysis of Natural
Language. Oxford
: Basil Black Well.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar
Pragmatik. Yogyakarta : Angkasa.
Wiryotinoyo, Mujiyono. 1996. Implikatur
Percakapan Anak Usia Sekolah Dasar. Disertasi FPS.
IKIP Malang.
No comments:
Post a Comment