Tuesday, June 7, 2016

Konsep Kesantunan Berbahasa



KESANTUNAN BERBAHASA

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhkXoR9EVuZZki7CT9dGRDTe54HYrj3fJ7vZB-1Gg3eOKWhCp1S4v7DwBQHTtZDx-HN5_n0KfdQ-X5aZT2mZ9unz78_LFS119-Afoiit-Kw2K2Y5csl56e4H74NxebuSrRqhFmDTaNDwKrZ/s1600/4+blog.jpg


Definisi Kesantuanan
Dalam KBBI edisi ketiga (1990) dijelaskan yang dimaksud dengan kesantunan adalah kehalusan dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya). Pendapat lain diuraikan dalam (http://Muslich.M.blogspot.com) bahwa kesantunan (politiness), kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh
karena itu, kesantunan ini biasa disebut "tatakrama".
Kesantunan bersifat relatif di dalam masyarakat. Ujaran tertentu bisa dikatakan santun di dalam suatu kelompok masyarakat tertentu, akan tetapi di kelompok masyarakat lain bisa dikatakan tidak santun. Menurut Zamzani,dkk. (2010: 2) kesantunan (politeness) merupakan perilaku yang diekspresikan dengan cara yang baik atau beretika. Kesantunan merupakan fenomena kultural, sehingga apa yang dianggap santun oleh suatu kultur mungkin tidak demikian halnya dengan kultur yang lain. Tujuan kesantunan, termasuk kesantunan berbahasa, adalah membuat suasana berinteraksi menyenangkan, tidak mengancam muka dan
efektif.

http://cdn.slidesharecdn.com/ss_thumbnails/kesantunanbahasa-120718034034-phpapp02-thumbnail.jpg?cb=1342583418


Paradigma Kesantunan Berbahasa
Menurut Rahardi (2005: 35) penelitian kesantunan mengkaji penggunaan bahasa (language use) dalam suatu masyarakat bahasa tertentu. Masyarakat tutur yang dimaksud adalah masyarakat dengan aneka latar belakang situasi sosial dan budaya yang mewadahinya. Adapun yang dikaji di dalam penelitian kesantunan adalah segi maksud dan fungsi tuturan. Fraser (melalui Rahardi, 2005: 38-40) menyebutkan bahwa sedikitnya terdapat empat pandangan yang dapat digunakan untuk mengkaji masalah kesantunan dalam bertutur.
a.      Pandangan kesantunan yang berkaitan dengan norma-norma sosial (the social-norm view). Dalam pandangan ini, kesantunan dalam bertutur ditentukan berdasarkan norma-norma sosial dan kultural yang ada dan berlaku di dalam masyarakat bahasa itu. Santun dalam bertutur ini disejajarkan dengan etiket berbahasa (language etiquette).
b.      Pandangan yang melihat kesantunan sebagai sebuah maksim percakapan (conversational maxim) dan sebagai sebuah upaya penyelamatan muka (facesaving). Pandangan kesantunan sebagai maksim percakapan menganggap prinsip kesantunan (politeness principle) hanyalah sebagai pelengkap prinsip kerja sama (cooperative principle).
c.       Pandangan ini melihat kesantunan sebagai tindakan untuk memenuhi persyaratan terpenuhinya sebuah kontrak percakapan (conversational contract). Jadi, bertindak santun itu  sejajar dengan bertutur yang penuh pertimbangan etiket berbahasa.
d.      Pandangan kesantunan yang keempat berkaitan dengan penelitian sosiolinguistik. Dalam pandangan ini, kesantunan dipandang sebagai sebuah indeks sosial (social indexing). Indeks sosial yang demikian terdapat dalam bentuk-bentuk referensi sosial (social reference), honorific (honorific), dan gaya bicara (style of speaking) (Rahardi, 2005: 40).

Menurut Chaer (2010: 10) secara singkat dan umum ada tiga kaidah yang harus dipatuhi agar tuturan kita terdengar santun oleh pendengar atau lawan tutur kita. Ketiga kaidah itu adalah (1) formalitas (formality), (2) ketidaktegasan (hesistancy), dan (3) kesamaan atau kesekawanan (equality or camaraderie). Jadi, menurut Chaer (2010: 11) dengan singkat bisa dikatakan bahwa sebuah tuturan disebut santun kalau ia tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan itu memberi pilihan tindakan kepada lawan tutur, dan lawan tutur itu menjadi senang.
Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda
verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada normanorma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya.
Kesantunan berbahasa dapat dilakukan dengan cara pelaku tutur mematuhi prinsip sopan santun berbahasa yang berlaku di masyarakat pemakai bahasa itu. Jadi, diharapkan pelaku tutur dalam bertutur dengan mitra tuturnya untuk tidak mengabaikan prinsip sopan santun. Hal ini untuk menjaga hubungan baik dengan mitra tuturnya.

Prinsip Kesantunan Berbahasa
Wijana (1996: 55) mengungkapkan bahwa sebagai retorika interpersonal, pragmatik membutuhkan prinsip kesopanan (politeness principle). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur, dan orang ketiga yang dibicarakan penutur dan lawan tutur. Senada dengan hal di atas, menurut Rahardi (2005: 60-66) dalam bertindak tutur yang santun, agar pesan dapat disampaikan dengan baik pada peserta tutur, komunikasi yang terjadi perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip kesantunan berbahasa. Prinsip kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh Leech (1993: 206-207), yakni sebagai berikut.

1) Maksim Kebijaksanaan
Rahardi (2005: 60) mengungkapkan gagasan dasar dalam maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Wijana (1996: 56) menambahkan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung. Dalam maksim kebijaksanaan ini, Leech (1993: 206) menggunakan istilah maksim kearifan.
contoh:
(1) Tuan rumah : “Silakan makan saja dulu, nak!”
Tadi kami semua sudah mendahului.”
Tamu : “Wah, saya jadi tidak enak, Bu.”
Informasi Indeksial:

Dituturkan oleh seorang Ibu kepada seorang anak muda yang sedang bertamu di rumah Ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus berada di rumah Ibu tersebut sampai malam karena hujan sangat deras dan tidak segera reda (Rahardi, 2005: 60).

Dalam tuturan di atas, tampak dengan jelas bahwa apa yang dituturkan si tuan rumah sungguh memaksimalkan keuntungan bagi sang tamu. Lazimnya, tuturan semacam itu ditemukan dalam keluarga pada masyarakat tutur desa. Orang desa biasanya sangat menghargai tamu, baik tamu yang datangnya secara kebetulan maupun tamu yang sudah direncanakan terlebih dahulu kedatangannya (Rahardi, 2005: 60-61).
2) Maksim Kedermawanan
Menurut Leech (1993: 209) maksud dari maksim kedermawanan ini adalah buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin; buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. Rahardi (2005: 61) mengatakan bahwa dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan
memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Chaer (2010: 60) menggunakan istilah maksim penerimaan untuk maksim kedermawanan Leech.

Rahardi (2005: 62) memberikan contoh sebagai berikut.
(2) Anak kos A : “ Mari saya cucikan baju kotormu!
Pakaianku tidak banyak, kok, yang kotor.”
Anak kos B : “Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan
mencuci juga, kok!”
Informasi Indeksial:
Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antar anak kos pada sebuah rumah kos di kota Yogyakarta. Anak yang satu berhubungan demikian erat dengan anak yang satunya. Dari tuturan yang disampaikan si A di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Orang yang tidak suka membantu orang lain, apalagi tidak pernah bekerja bersama dengan orang lain, akan dapat dikatakan tidak sopan dan biasanya tidak akan mendapatkan banyak teman di dalam pergaulan keseharian hidupnya (Rahardi, 2005: 62).

3) Maksim Penghargaan
Menurut Wijana (1996: 57) maksim penghargaan ini diutarakan dengan kalimat ekspresif dan kalimat asertif. Nadar (2009: 30) memberikan contoh tuturan ekspresif yakni mengucapkan selamat, mengucapkan terima kasih, memuji, dan mengungkapkan bela sungkawa. Dalam maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain. Rahardi (2005: 63) menambahkan, dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Dalam maksim ini Chaer menggunakan istilah lain, yakni maksim kemurahan.
contoh:
(3) Dosen A : “ Pak, aku tadi sudah memulai kuliah
perdana untuk kelas Bussines English.”
Dosen B : “Oya, tadi aku mendengar Bahasa
Inggrismu jelas sekali dari sini.”
Informasi Indeksial:
Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi (Rahardi, 2005: 63). Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai pujian atau penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu, dosen B berperilaku santun (Rahardi, 2005: 63).

4) Maksim Kesederhanaan
Rahardi (2005: 63) mengatakan bahwa di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, kesederhanaan dan kerendahan hati banyak digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang. Wijana (1996: 58) mengatakan maksim kerendahan hati ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Bila maksim kemurahan atau penghargaan berpusat pada orang lain, maksim kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
contoh:
(4) Sekretaris A : “Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa
dulu, ya!”
Sekretaris B : “Ya, Mbak. Tapi saya jelek, lho.”
Informasi Indeksial:

Dituturkan oleh seorang sekretaris kepada sekretaris lain yang masih junior pada saat mereka bersama-sama bekerja di ruang kerja mereka (Rahardi, 2005: 64). Dari tuturan sekretaris B di atas, dapat terlihat bahwa ia bersikap rendah hati dan mengurangi pujian untuk dirinya sendiri. Dengan demikian, tuturan tersebut terasa santun.

5) Maksim Permufakatan
Menurut Rahardi (2005: 64) dalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun. Wijana (1996: 59) menggunakan istilah maksim kecocokan dalam maksim permufakatan ini. Maksim kecocokan ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim kecocokan menggariskan setiap
penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka.

contoh:
(5) Noni : “Nanti malam kita makan bersama ya, Yun!”
Yuyun : “Boleh. Saya tunggu di Bambu Resto.”
Informasi Indeksial:
Dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya yang juga mahasiswa pada saat mereka sedang berada di sebuah ruangan kelas (Rahardi, 2005: 65). Tuturan di atas terasa santun, karena Yuyun mampu membina kecocokan dengan Noni. Dengan memaksimalkan kecocokan di antara mereka tuturan akan menjadi santun.

6) Maksim Kesimpatian
Leech (1993: 207) mengatakan di dalam maksim ini diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Orang yang bersikap antipati terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat (Rahardi, 2005: 65). MenurutWijana (1996: 60), jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan, atau musibah, penutur layak turut berduka, atau mengutarakan ucapan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.
contoh:
Ani : “Tut, nenekku meninggal.”
Tuti : “Innalillahiwainailaihi rojiun. Ikut berduka cita.”
Informasi Indeksial:

Dituturkan oleh seorang karyawan kepada karyawan lain yang sudah berhubungan erat pada saat mereka berada di ruang kerja mereka (Rahardi, 2005: 66). Dari tuturan di atas, terlihat Tuti menunjukkan rasa simpatinya kepada Ani. Orang yang mampu memaksimalkan rasa simpatinya kepada orang lain akan dianggap orang yang santun.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhTIwvrxHWp3Xcg32BKXt1KzgcQXlu7g2E8H6ugX1BPunnFrElUTeCIn1UpUJXJuhjYZJag5jIYix5LMo2HDoBomO9jpqkhzhCcApCVsJYoluz63ykz6LtTQVe4TeU5ZLsN88cajJGbU0w/s1600/bahasa+jiwa+bangsa+(1).jpg


Ciri Kesantunan Berbahasa
Kesantunan berbahasa seseorang, dapat diukur dengan beberapa jenis skalavkesantunan. Chaer (2010: 63) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan skala kesantunan adalah peringkat kesantunan, mulai dari yang tidak santun sampai dengan yang paling santun. Rahardi (2005: 66-67) menyebutkan bahwa sedikitnya terdapat tiga macam skala pengukur peringkat kesantunan yang sampai saat ini banyak digunakan sebagai dasar acuan dalam penelitian kesantunan.
Dalam model kesantunan Leech, setiap maksimum interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Rahardi (2005: 66) menyatakan bahwa skala kesantunan Leech dibagi menjadi lima.
1) Cost benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu (Rahardi, 2005: 67).
2) Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut dianggap tidak santun (Rahardi, 2005: 67).
3) Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung, maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu (Rahardi, 2005: 67).
4) Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara penutur dan dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu (Rahardi, 2005: 67).
5) Social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu (Rahardi, 2005: 67).

Berdasarkan keenam maksim kesantunan yang dikemukakan Leech (1993: 206), Chaer (2010: 56-57) memberikan ciri kesantunan sebuah tuturan sebagai berikut.
a.      Semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap santun kepada lawan tuturnya.
b.      Tuturan yang diutarakan secara tidak langsung, lebih santun dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.
c.       Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih santun dibandingkan dengan kalimat perintah (imperatif).

Zamzani, dkk. (2010: 20) merumuskan beberapa ciri tuturan yang baik berdasarkan prinsip kesantunan Leech, yakni sebagai berikut.
a.      Tuturan yang menguntungkan orang lain
b.      Tuturan yang meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri.
c.       Tuturan yang menghormati orang lain
d.      Tuturan yang merendahkan hati sendiri
e.      Tuturan yang memaksimalkan kecocokan tuturan dengan orang lain
f.        Tuturan yang memaksimalkan rasa simpati pada orang lain

Dalam sebuah tuturan juga diperlukan indikator-indikator untuk mengukur kesantunan sebuah tuturan, khususnya diksi. Pranowo (2009: 104) memberikan saran agar tuturan dapat mencerminkan rasa santun, yakni sebagai berikut.
a.      Gunakan kata “tolong” untuk meminta bantuan pada orang lain.
b.      Gunakan kata “maaf” untuk tuturan yang diperkirakan akan menyinggung perasaan lain.
c.       Gunakan kata “terima kasih” sebagai penghormatan atas kebaikan orang lain.
d.      Gunakan kata “berkenan” untuk meminta kesediaan orang lain melakukan sesuatu.
e.      Gunakan kata “beliau” untuk menyebut orang ketiga yang dihormati.
f.        Gunakan kata “bapak/ibu” untuk menyapa orang ketiga.




Penyebab Ketidaksantunan
Pranowo (melalui Chaer, 2010: 69) menyatakan bahwa ada beberapa faktor atau hal yang menyebabkan sebuah pertuturan itu menjadi tidak santun. Penyebab ketidaksantunan itu antara lain.
1) Kritik secara langsung dengan kata-kata kasar
Menurut Chaer (2010: 70) kritik kepada lawan tutur secara langsung dan dengan menggunakan kata-kata kasar akan menyebabkan sebuah pertuturan menjadi tidak santun atau jauh dari peringkat kesantunan. Dengan memberikan kritik secara langsung dan menggunakan kata-kata yang kasar tersebut dapat menyinggung perasaan lawan tutur, sehingga dinilai tidak santun.
contoh:
Pemerintah memang tidak pecus mengelola uang. Mereka bisanya hanya
mengkorupsi uang rakyat saja.
Tuturan di atas jelas menyinggung perasaan lawan tutur. Kalimat di atas
terasa tidak santun karena penutur menyatakan kritik secara langsung dan
menggunakan kata-kata yang kasar.

2) Dorongan rasa emosi penutur
Chaer (2010: 70) mengungkapkan, kadang kala ketika bertutur dorongan rasa emosi penutur begitu berlebihan sehingga ada kesan bahwa penutur marah kepada lawan tuturnya. Tuturan yang diungkapkan dengan rasa emosi oleh penuturnya akan dianggap menjadi tuturan yang tidak santun.
contoh:
(8) Apa buktinya kalau pendapat anda benar? Jelas-jelas jawaban anda tidak
masuk akal.
Tuturan di atas terkesan dilakukan secara emosional dan kemarahan. Pada
tuturan tersebut terkesan bahwa penutur tetap berpegang teguh pada pendapatnya,
dan tidak mau menghargai pendapat orang lain.

3) Protektif terhadap pendapat
Menurut Chaer (2010: 71), seringkali ketika bertutur seorang penutur bersifat protektif terhadap pendapatnya. Hal ini dilakukan agar tuturan lawan tutur tidak dipercaya oleh pihak lain. Penutur ingin memperlihatkan pada orang lain bahwa pendapatnya benar, sedangkan pendapat mitra tutur salah. Dengan tuturan seperti itu akan dianggap tidak santun.
contoh:
(9) Silakan kalau tidak percaya. Semua akan terbukti kalau pendapat saya yang
paling benar.
Tuturan di atas tidak santun karena penutur menyatakan dialah yang benar;
dia memproteksi kebenaran tuturannya. Kemudian menyatakan pendapat yang
dikemukakan lawan tuturnya salah.

4) Sengaja menuduh lawan tutur
Chaer (2010: 71) menyatakan bahwa acapkali penutur menyampaikan tuduhan pada mitra tutur dalam tuturannya. Tuturannya menjadi tidak santun jika penutur terkesan menyampaikan kecurigaannya terhadap mitra tutur.
contoh:
(10) Hasil penelitian ini sangat lengkap dan bagus. Apakah yakin tidak ada
manipulasi data?
Tuturan di atas tidak santun karena penutur menuduh lawan tutur atas dasar
kecurigaan belaka terhadap lawan tutur. Jadi, apa yang dituturkan dan juga cara
menuturkannya dirasa tidak santun.

5) Sengaja memojokkan mitra tutur
Chaer (2010: 72) mengungkapkan bahwa adakalanya pertuturan menjadi tidak santun karena penutur dengan sengaja ingin memojokkan lawan tutur dan membuat lawan tutur tidak berdaya. Dengan ini, tuturan yang disampaikan penutur menjadikan lawan tutur tidak dapat melakukan pembelaan.
contoh:
(11) Katanya sekolah gratis, tetapi mengapa siswa masih diminta membayar
iuran sekolah? Pada akhirnya masih banyak anak-anak yang putus sekolah.
Tuturan di atas terkesan sangat keras karena terlihat keinginan untuk
memojokkan lawan tutur. Tuturan seperti itu dinilai tidak santun, karena
menunjukkan bahwa penutur berbicara kasar, dengan nada mara, dan rasa jengkel.


Mulyana (2005: 21) menyebutkan bahwa konteks ialah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan atau dialog. Segala sesuatu yang behubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu.
Penyimpangan dan pematuhan prinsip kesantunan berbahasa merupakan
bagian dari peristiwa tutur. Peristiwa tutur atau peristiwa berbahasa yang terjadi pada kegiatan diskusi kelas ditentukan oleh beberapa faktor. Menurut Dell Hymes (melalui Chaer dan Agustina, 2004: 48-49), bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang disingkat menjadi SPEAKING, yakni sebagai berikut.
a.      S = Setting and Scene
Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu para situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan.
b.      P = Participants
Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan).
c.       E = Ends
Ends menunjuk pada maksud dan tujuan pertuturan
d.      A = Act Sequences
Act Sequences mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran.
e.      K = Key
Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan disampaikan; dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya.
f.        I = Instrumentalities
Instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon.
g.      N = Norms of Interaction and Interpretation
Norms of Interaction and Interpretation mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi.
h.      G = Genres
Genre mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa dan sebagainya.

Imam Syafi’ie (melalui Mulyana, 2005: 24) menambahkan bahwa, apabila
dicermati dengan benar, konteks terjadinya suatu percakapan dapat dipilah
menjadi empat macam, yakni sebagai berikut.
a.      Konteks linguistik (linguistic context), yaitu kalimat-kalimat dalam percakapan.
b.      Konteks epistemis (epistemis context), adalah latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh partisipan.
c.       Konteks fisik (physical context), meliputi tempat terjadinya percakapan, objek yang disajikan dalam percakapan, dan tindakan para partisipan.
d.      Konteks sosial (sosial context), yaitu relasi sosio-kultural yang melengkapi hubungan antarpelaku atau partisipan dalam percakapan.

Uraian tentang konteks terjadinya suatu percakapan (wacana) menunjukka bahwa konteks memegang peranan penting dalam memberi bantuan untu menafsirkan suatu wacana. Kesimpulannya, secara singkat dapat dikatakan: ilanguage, context is everything. Dalam berbahasa (berkomunikasi), konteks adalah segala-galanya (Mulyana, 2005: 24).




Baryadi, I. Praptomo. 2002. Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa.
                 Yogyakarta : Pustaka Gondhosuli.

Brown, Penelope dan S. C. Levinson. 1978. Universals in Language Usage :
                Politness Phenomena dalam Ester N. Goody (ed) Question and
                Politness. Cambrige University Press. Halaman 56 - 324.

Grice, H. Paul. 1975. "Logic and conversation" dalam Cole, Dater dan S. Morgen
                (ed). Pragmatik : A. Readers. New York : Oxford University Press.

Gunarwan, Asim. 1993c. "Kesantunan Negatif di Kalangan Dwi Bahasawan
              Indonesia - Jawa di Jakarta : Kajian Sosiopragmatik". Makalah pada
             Pelba VII, Jakarta 26-27 Oktober 1993.

Gunarwan, Asim. 1994. "Pragmatik : Pandangan Mata Burung" dalam Soenjono

Dardjowidjojo (ed) Mengiring Rekan Sejati : Festschrift Buat Pak Ton. Jakarta : Unika Atmajaya.

Gunarwan, Asim. 1995. "Direktif dan Sopan Santun Bahasa Dalam Bahasa Indonesia : Kajian                   Pendahuluan". Makalah Universitas Indonesia Depok.

Ibrahim, A. S. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya : Usaha Nasional.

Kunjana, Rahadi. 2005. Pragmatik : Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta : Erlangga.

Lakoff, R. 1972. The Pragmatics of Modality Papers from The 8th Regional Meeting. Chicago  Linguistik Society.

Leech, Geoffrey. 1983. Principle of Pragmatics. Terjemahan ke Dalam Bahasa Indonesia oleh M. D.

D. Oka. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: UI Press. London : Longman.

Lubis. 1993. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung : Angkasa.
Mey, Jacob. L. 1994. Pragmaties : An Introduction. Oxford & Cambrige, USA : Black Well.

Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang : IKIP Semarang Press.

-----------. 1998. Implikatur Percakapan Sebagai Pengungkap Humor Di Dalam

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta : University Press.

Susiloningsih, Dyah. 2001. Jenis dan Fungsi Tindak TuturDirektif dalam Wacana Kuis di Televisi. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.

Stubbs, Michael. 1983. Discourse Analysis : The Sociolinguistics Analysis of Natural Language. Oxford : Basil Black Well.

Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta : Angkasa.

Wiryotinoyo, Mujiyono. 1996. Implikatur Percakapan Anak Usia Sekolah Dasar. Disertasi FPS. IKIP Malang.

Yule, Gerge (terjemahan Wahyuni, Indah Fajar). 2006. Pragmatik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

No comments:

Post a Comment