PRAANGGAPAN
Hakikat Praanggapan
Praanggapan erat kaitannya dengan implikatur dan
juga perikutan atau entailmen. Implikatur percakapan adalah implikasi pragmatis
yang terdapat di dalam percakapan yang timbul sebagai akibat terjadinya
pelanggaran prinsip percakapan. Sejalan dengan batasan tentang implikasi
pragmatis, implikatur percakapan itu adalah proposisi atau “pernyataan”
implikatif, yaitu apa yang mungkin diartikan, disiratkan, atau dimaksudkan oleh
penutur, yang berbeda dari apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur, yang
berbeda dari apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur di dalam suatu
percakapan (Rustono 1999:82).
Di dalam batasan tentang pragmatik yang
dikemukakan Levinson (1983:9 dalam Rustono 1999:82) istilah praanggapan
(presupposition) dan perikutan (entailment) juga biasa dibahas dalam kajian
pragmatik. Konsep tentang perikutan ini berdekatan dengan konsep tentang
praanggapan dan implikatur. Tiga konsep (implikatur, praanggapan, dan perikutan)
yang berdekatan itu memiliki perbedaan-perbedaan. Jika implikatur percakapan
merupakan proposisi atau „pernyataan implikatif‟ dari suatu tuturan yang
melanggar prinsip percakapan di dalam suatu peristiwa tutur dan konsep itu
dikemukakan dengan maksud menerangkan apa yang mungkin diartikan, disiratkan,
atau dimaksudkan oleh penutur di dalam suatu percakapan; praanggapan atau
presuposisi adalah apa yang digunakan penutur sebagai dasar bersama bagi para
peserta percakapan (Stalnaker 1978:321 dalam Rustono 1999:105). Yang dimaksud
dengan dasar bersama itu adalah bahwa sebuah praanggapan hendaknya dipahami
bersama oleh penutur dan mitra tutur sebagai pelaku percakapan di dalam
bertindak tutur.
Prinsip dasar bersama ini dalam konsep praanggapan
itu batas-batasnya
ditentukan bersama berdasarkan anggapan-anggapan pembicara mengenai apa yang
kemungkinan akan diterima oleh pendengar tanpa tantangan (Givon 1979 a:50 dalam
Rustono 1999:105). Praanggapan berupa andaian penutur bahwa mitra tutur dapat
mengenai pasti orang atau benda yang diperkatakan (dalam Rustono 1999:105).
Pendapat itu tidaklah bertentangan dengan pendapat Stalnaker di atas.
Pendapat-pendapat itu mengakui adanya kesamaan pemahaman antara penutur dan
mitra tuturnya tentang suatu hal yang menjadi pangkal tolak komunikasi. Petutur
memahami atau mengenal sesuatu yang dikomunikasi penutur. Dan dengan itu,
komunikasi antarpeserta tutur dapat berjalan tanpa hambatan.
Sebuah tuturan dapat mempraanggapkan tuturan yang
lain. Sebuah tuturan dikatakan mempraanggapkan tuturan yang lain jika
ketidakbenaran tuturan kedua atau yang dipraanggapkan mengakibatkan tuturan
yang pertama atau yang mempraanggapkan tidak dapat dikatakan benar atau salah
(dalam Rustono 1999:106). Misalnya pada contoh tuturan berikut.
Adik
membaca Suara Merdeka
Praanggapan yang terdapat dalam tuturan di atas
bahwa ada surat kabar Suara Merdeka. Penalaran yang diajukan berkenaan dengan
pendapat itu adalah bahwa jika memang ada surat kabar Suara Merdeka, tuturam
tersebut dapat dinilai benar salahnya. Sebaliknya jika tidak surat kabar Suara
Merdeka. tuturan tersebut tidak dapat dinilai benar salahnya. Sementara itu,
kenyataan menunjukkan bahwa memang ada surat kabar Suara Merdeka. Dengan
demikian, tuturan tersebut merupakan tuturan yang benar.
Nababan (dalam Mulyana 2005:14) menyatakan istilah
presuposisi adalah tuturan dari bahasa Inggris Presupposition, yang berarti
“Perkiraan, prasangka“. Konsep ini muncul bermula dari perdebatan panjang
tentang “Hakikat Rujukan“ (yaitu apa-apa, sesuatu, benda, keadaan, dan
sebagainya) yang ditunjuk oleh kata, frasa, kalimat, atau ungkapan lainnya. Menurut
Gottlob Frege (dalam Mulyana 2005:14) semua pernyataan memiliki praanggapan,
yaitu rujukan atau referensi dasar. Rujukan inilah yang menyebabkan suatu
ungkapan wacana dapat diterima atau dimengerti oleh pasangan bicara, yang pada
gilirannya komunikasi tersebut akan dapat berlangsung dengan lancar. “Rujukan“
inilah yang dimaksud sebagai “praanggapan“, yaitu anggapan dasar atau
penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa yang membuat bentuk
bahasa menjadi bermakna bagi pendengar atau pembaca. Praanggapan membantu
pembicara menentukan bentukbentuk bahasa (kalimat) untuk mengungkapkan makna
atau pesan yang ingin dimaksudkan. Jadi, semua pernyataan atau ungkapan
kalimat, baik yang bersifat positif maupun negatif, tetap mengandung anggapan
dasar sebagai isi dan substansi dari kalimat tersebut.
Givon (dalam Brown dan Yule 1996:29) berpendapat
pengertian praanggapan yang diperlukan dalam analisis wacana adalah praanggapan
pragmatis, yaitu yang ditentukan batas-batasnya berdasarkan anggapan-anggapan pembicara
mengenai apa yang kemungkinan akan diterima oleh pendengar tanpa tantangan.
Pendapat lain, menurut Stalnaker dalam Brown dan Yule (1996:29) praanggapan
adalah apa yang digunakan penutur sebagai dasar bersama bagi para peserta
percakapan.
Dari beberapa batasan pengertian presuposisi di
atas. Peneliti dapat menyimpulkan batasan pengertian presuposisi. Presuposisi
adalah anggapan dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi
berbahasa yang ditentukan batas-batasnya berdasarkan pengetahuan kita tentang
dunia.
Jenis-Jenis Praanggapan
Penelitian mengenai praanggapan tidak banyak
ditemukan, terutama penelitian mengenai praanggapan di dalam bahasa iklan.
Beberapa peneliti pragmatik seperti Cummings, Levinson, Nababan, Gadzar,
Rustono, dan masih banyak peneliti yang lain tidak banyak menyinggung mengenai
penggolongan praanggapan. Selain itu, penelitian mengenai praanggapan juga
jarang membahas mengenai jenis-jenis praanggapan. Yule merupakan satu-satunya
yang menggolongkan praanggapan menjadi 6 jenis.
Yule (2006:46) mengungkapkan dalam analisis
tentang bagaimana asumsi-asumsi penutur diungkapkan secara khusus, Presuposisi
sudah diasosiasikan dengan pemakaian sejumlah besar kata, frasa, dan struktur.
Yule menganggap bentuk-bentuk linguistik ini sebagai petunjuk-petunjuk
presuposisi potensial, yang hanya akan menjadi presuposisi yang sebenarnya
dalam konteks dengan penutur.
Presuposisi potensial (potential presupposition)
adalah suatu asumsi yangvsecara khusus dikaitkan dengan penggunaan
bentuk-bentuk kebahasaan, misalnya penggunaan kata „menyesal‟ dalam kalimat
„Dia menyesal telah melakukan itu‟ yang mengandung asumsi bahwa dia sebenarnya
„melakukan itu‟. Presuposisi potensial terbagi menjadi enam tipe, yaitu: (1)
presuposisi eksistensial, (2) presuposisi faktual, (3) presuposisi non-faktual,
(4) presuposisi leksikal, (5) presuposisi struktural, dan (6) presuposisi
konterfaktual.
Praanggapan Eksistensial
Istilah eksistensial berasal dari akar kata ex-sistere,
yang secara literal berarti bergerak atau tumbuh ke luar. Dengan istilah ini
hendak dikatakan oleh para eksistensialis bahwa eksistensi manusia seharusnya
dipahami bukan sebagaikumpulan substansi-substansi, mekanisme-mekanisme, atau
pola-pola statis, melainkan sebagai “gerak” atau “menjadi”, sebagai sesuatu
yang “mengada”. Yule (2006:46) menyebutkan presuposisi eksistensial
(existential presupposition) merupakan presupposisi yang ada tidak hanya diasumsikan
terdapat dalam susunan possesif, tetapi juga lebih umum atau lebih luas lagi ke
dalam frasa nomina tertentu. Praanggapan ini menunjukkan kepemilikan, tetapi lebih
luas lagi keberadaan atau eksistensi dari pernyataan dalam tuturan tersebut.
Praanggapan eksistensial menunjukkan bagaimana
keberadaan atas suatu hal
dapat disampaikan lewat praanggapan. Misalnya pada contoh tuturam berikut.
Ayah saya
memiliki mobil sedan keluaran terbaru.
Praanggapan dalam tuturan tersebut menyatakan
kepemilikan, yaitu Ayah saya memiliki mobil. Apabila ayah saya memang benar
memiliki mobil sedan keluaran terbaru, maka tuturan tersebut dapat dinyatakan
keberadaannya.
Praanggapan Faktual
Yule (2006:46) menyebutkan presuposisi faktual
dengan presuposisi faktif. Menurut Yule, presuposisi faktif adalah informasi
yang dipraanggapkan yang mengikuti kata kerja dapat dianggap sebagai kenyataan.
Mengingat tuturan tersebut belum tentu kata kerja, bisa juga menggunakan kata
sifat. Menurut Kridalaksana (1993:54), faktif berarti verba yang mempunyai
komplemen kalimat dan yang menyimpulkan kebenaran komplemen itu. Presuposisi
faktual (factive presupposition) muncul dari informasi yang ingin disampaikan
dinyatakan dengan kata-kata yang menunjukkan suatu fakta atau berita yang
diyakini kebenarannya. Kata-kata yang bisa menyatakan fakta dalam tuturan
adalah kata sifat yang dapat memberikan makna pasti dalam tuturan tersebut.
Misalnya pada contoh tuturam berikut.
Tina tidak
menyadari bahwa dirinya sakit demam.
Dalam tuturan di atas, praanggapannya adalah Tina sedang sakit. Pernyataan
itu menjadi faktual karena telah disebutkan dalam tuturan. Penggunaan kata “sakit”
dari tuturan “Tina tidak menyadari bahwa dirinya sakit demam” merupakan „kata
sifat‟ yang dapat diyakini kebenarannya.
Praanggapan Nonfaktual
Non berarti sesuatu yang bersifat negatif atau
bertentangan. Nonfaktual berarti tidak faktual. Berarti nonfaktual ialah sesuatu
yang tidak sesuai kenyataan, atau sesuatu yang tidak mengandung kebenaran. Presuposisi
nonfaktual (non-factive presupposition) menurut Yule
(2006:50) merupakan suatu pressuposisi yang diasumsikan tidak benar. Praanggapan
ini masih memungkinkan adanya pemahaman yang salah karena penggunaan kata-kata
yang tidak pasti dan masih ambigu. Misalnya pada contoh tuturam berikut.
Dia
bermimpi bahwa dirinya menang kuis.
Praanggapan yang muncul dari tuturan tersebut
adalah dia tidak menang kuis. Penggunaan tuturan “Dia bermimpi bahwa dirinya
menang kuis” bisa memunculkan praanggapan nonfaktual, karena kalimat tersebut
memunculkan praanggapan mengenai keadaan yang tidak sesuai dengan kenyataannya
yaitu memenangkan kuis. Tuturan tersebut jika dibuat kalimat lain bisa menjadi
“andai saja dia menang kuis” dan kata “andai” merupakan bentuk dari
pressupusisi nonfaktual. Selain itu, praanggapan nonfaktual bisa diasumsikan
melalui tuturan yang kebenarannya masih diragukan dengan fakta yang
disampaikan.
Praanggapan Leksikal
Makna leksikal merupakan makna dasar sebuah kata yang sesuai dengan kamus.
Makna dasar ini melekat pada kata dasar sebuah kata. Yule (2006:47)
menjelaskan, pada umumnya di dalam presuposisi leksikal (lexical
presupposition), pemakaian suatu bentuk dengan makna yang dinyatakan secara
konvensional ditafsirkan dengan pressuposisi bahwa suatu makna lain (yang tidak
dinyatakan) dipahami. Praanggapan ini merupakan praanggapan yang didapat
melalui tuturan yang diinterpretasikan melalui penegasan dalam tuturan.
Bedanya dengan presuposisi faktual, tuturan yang
merupakan presuposisi leksikal
dinyatakan dengan cara tersirat sehingga penegasan atas praanggapan tuturan
tersebut bisa didapat setelah pernyataan dari tuturan tersebut. Misalnya pada contoh
tuturam berikut.
Andi
berhenti kerja.
Praanggapan dari tuturan di atas adalah dulu Andi pernah bekerja. Praanggapan
tersebut muncul dengan adanya penggunaan kata “berhenti” dari tuturan “Andi
berhenti kerja” yang menyatakan bahwa dulu Andi pernah bekerja, namun sekarang
sudah tidak lagi.
Praanggapan Struktural
Presuposisi struktural (struktural presupposition)
merupakan struktur kalimat-kalimat tertentu yang telah dianalisis sebagai
pressuposisi secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah
diasumsikan kebenarannya (Yule, 2006:49). Praanggapan struktural merupakan
praanggapan yang dinyatakan melalui tuturan yang strukturnya jelas dan langsung
dipahami tanpa melihat katakata yang digunakan.
Dalam bahasa Inggris, penggunaan struktur terlihat dalam „wh-questions‟ yang
langsung dapat diketahui maknanya, sedangkan dalam bahasa Indonesia kalimat-kalimat
tanya juga dapat ditandai melalui penggunaan kata tanya dalam tuturan. kata
tanya seperti apa, siapa, dimana, mengapa, dan bagaimana menunjukkan
praanggapan yang muncul dari tuturan tersebut. Misalnya pada contoh tuturam
berikut.
Silakan
mencoba produk kecantikan tersebut!
Tuturan di atas menunjukkan praanggapan, yaitu ada
produk kecantikan. Praanggapan yang menyatakan „produk kecantikan‟ sebagai
obyek yang dibicarakan dapat dipahami oleh penutur melalui struktur kalimat
bertanda seru (di akhir tuturan) yang menyatakan „ajakan‟. Selain itu terdapat
makna „mengapa‟ dalam tuturan “Silakan mencoba produk kecantikan tersebut” yang
bisa saja mengandung makna bahwa jika mencoba produk kecantikan tersebut kulit
akan menjadi cantik, putih, dan lain sebagainya.
Praanggapan Konterfaktual
Kata konter memiliki makna menantang atau melawan.
Presuposisi konterfaktual (counterfactual presupposition) menurut Yule (2006:51)
bahwa apa yang dipraanggapkan tidak hanya tidak benar, tapi kebalikan
(lawannya) dari benar, atau „bertolak belakang dengan kenyataan‟. Praanggapan
ini adalah praanggapan yang menghasilkan pemahaman yang berkebalikan dari pernyataannya
atau kontradiktif. Misalnya pada contoh tuturam berikut.
Andaikan
aku kaya, pasti akan membeli rumah yang besar.
Dari contoh tuturan di atas, dapat dilihat
praanggapan yang muncul adalah sekarang saya miskin. Praanggapan tersebut
muncul dari kontradiksi kalimat dengan adanya penggunaan tuturan “Andaikan aku
kaya”. Penggunaan kata „andaikan‟ membuat praanggapan yang kontradiktif dari
tuturan yang disampaikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Arono. 2012.
“Praanggapan dan Implikatur Wacana Dialog dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia”. http://unib.ac.id/blog/dank_aron/2011/02/17/
(diunduh 27 Oktober 2014).
Asri, Ulfa Muthia.2010.
“Analysis Of Presupposition As Found In „Harry Potter
And The Goblet Of
Fire‟ Movie”. Tesis. Padang: Universitas Andalas.
Brown, Gilian and
George Yule. 1996. Analisis Wacana (terj. Soetikno, I).
Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Djajasudarma, T
Fatimah. 1993. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian
dan
Kajian. Bandung: Reitika Aditama.
Hersetiyanto, Yanris
Tri. 2010. “Presuposisi (Praanggapan): Pengertian, Ciri, dan
Jenisnya”.
http://id.shvoong.com/tags/praanggapan(diunduh 21 Desember 2014).
Indriani, Dian. 2012.
“Pragmatic Presupposition on Television Commercial
Indrowaty, Sri Aju.2014.
“Presupposition And Entailments Between English And
Leech, Geoffrey.
1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: UI Press.
Nababan, P.W.J..
1987. Ilmu Pragmatik: Teori dan Penerapannya. Jakarta:
Depdikbud.
Poerwadarminta,
W.J.S. 1985. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Rustono. 1999. Pokok-pokok
Pragmatik. Semarang: CV. IKIP Semarang Press.
No comments:
Post a Comment