Bahasa Indonesia
Bahasa
Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia[1] dan bahasa persatuan bangsa
Indonesia.[2] Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya
konstitusi. Di Timor Leste, bahasa Indonesia berstatus sebagai bahasa kerja.
Dari
sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam
bahasa Melayu.[3] Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau (wilayah
Kepulauan Riau sekarang)[4] dari abad ke-19. Dalam perkembangannya ia mengalami
perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi
kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan
"Bahasa Indonesia" diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28
Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila
nama bahasa Melayu tetap digunakan.[5] Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa
Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun
Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang
hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun
penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.
Meskipun
dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia
bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia
menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa
ibu.[6] Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial)
dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya.
Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di
perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat
resmi, dan berbagai forum publik lainnya,[7] sehingga dapatlah dikatakan bahwa
Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.
Fonologi
dan tata bahasa Bahasa Indonesia dianggap relatif mudah.[8] Dasar-dasar yang
penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu
beberapa minggu.[9]
Sejarah
Masa lalu sebagai bahasa
Melayu
Bahasa Indonesia adalah varian
bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa
Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan
sejak abad-abad awal penanggalan modern.
Aksara pertama dalam bahasa
Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, mengindikasikan
bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah ini,
berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai jalur perdagangan.
Istilah Melayu atau sebutan bagi wilayahnya sebagai Malaya sendiri berasal dari
Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi, dimana diketahui bahasa
Melayu yang digunakan di Jambi menggunakan dialek "o" sedangkan dikemudian
hari bahasa dan dialek Melayu berkembang secara luas dan menjadi beragam.
Istilah Melayu atau Malayu
berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Budha pada abad ke-7 di
hulu sungai Batanghari, Jambi di pulau Sumatera, jadi secara geografis semula
hanya mengacu kepada wilayah kerajaan tersebut yang merupakan sebagian dari
wilayah pulau Sumatera. Dalam perkembangannya pemakaian istilah Melayu mencakup
wilayah geografis yang lebih luas dari wilayah Kerajaan Malayu tersebut,
mencakup negeri-negeri di pulau Sumatera sehingga pulau tersebut disebut juga
Bumi Melayu seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama.
Ibukota Kerajaan Melayu
semakin mundur ke pedalaman karena serangan Sriwijaya dan masyarakatnya
diaspora keluar Bumi Melayu, belakangan masyarakat pendukungnya yang mundur ke
pedalaman berasimilasi ke dalam masyarakat Minangkabau menjadi klan Malayu
(suku Melayu Minangkabau) yang merupakan salah satu marga di Sumatera Barat.
Sriwijaya berpengaruh luas hingga ke Filipina membawa penyebaran Bahasa Melayu
semakin meluas, tampak dalam prasasti Keping Tembaga Laguna.
Bahasa Melayu kuno yang
berkembang di Bumi Melayu tersebut berlogat "o" seperti Melayu Jambi,
Minangkabau, Kerinci, Palembang dan Bengkulu. Semenanjung Malaka dalam
Nagarakretagama disebut Hujung Medini artinya Semenanjung Medini.
Dalam perkembangannya orang
Melayu migrasi ke Semenanjung Malaysia (= Hujung Medini) dan lebih banyak lagi
pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah
Kesultanan Malaka, istilah Melayu bergeser kepada Semenanjung Malaka (=
Semenanjung Malaysia) yang akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Tanah
Melayu. Tetapi nyatalah bahwa istilah Melayu itui berasal dari Indonesia.
Bahasa Melayu yang berkembang di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat
"e".
Kesultanan Malaka dimusnahkan
oleh Portugis tahun 1512 sehingga penduduknya diaspora sampai ke kawasan timur
kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal dari pulau
Kalimantan, jadi diduga pemakai bahasa Melayu ini bukan penduduk asli Sumatera
tetapi dari pulau Kalimantan. Suku Dayak yang diduga memiliki hubungan dengan
suku Melayu kuno di Sumatera misalnya Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan),
dan Dayak Iban yang semuanya berlogat "a" seperti bahasa Melayu Baku.
Penduduk asli Sumatera
sebelumnya kedatangan pemakai bahasa Melayu tersebut adalah nenek moyang suku
Nias dan suku Mentawai. Dalam perkembangannya istilah Melayu kemudian mengalami
perluasan makna, sehingga muncul istilah Kepulauan Melayu untuk menamakan kepulauan
Nusantara.
Secara sudut pandang historis
juga dipakai sebagai nama bangsa yang menjadi nenek moyang penduduk kepulauan
Nusantara, yang dikenal sebagai rumpun Indo-Melayu terdiri Proto Melayu (Melayu
Tua/Melayu Polinesia) dan Deutero Melayu (Melayu Muda). Setelah mengalami kurun
masa yang panjang sampai dengan kedatangan dan perkembangannya agama Islam,
suku Melayu sebagai etnik mengalami penyempitan makna menjadi sebuah
etnoreligius (Muslim) yang sebenarnya didalamnya juga telah mengalami amalgamasi
dari beberapa unsur etnis.
M. Muhar Omtatok, seorang
Seniman, Budayawan dan Sejarahwan menjelaskan sebagai berikut: "Melayu
secara puak (etnis, suku), bukan dilihat dari faktor genekologi seperti
kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku berpuak Melayu walau
moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling dan lainnya. Beberapa
tempat di Sumatera Utara, ada beberapa Komunitas keturunan Batak yang mengaku
Orang Kampong - Puak Melayu
Kerajaan Sriwijaya dari abad
ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna)
sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna yang ditemukan di Sumatera bagian
selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan
kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang
Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena
ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa[10] dan Pulau
Luzon.[11] Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan
kaca masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi.
Pada abad ke-15 berkembang
bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau
medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang
perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya
terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan
Semenanjung Malaya.[rujukan?] Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires,
menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera
dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru
bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah
mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai
akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata
bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta
kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau
masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung
hingga sekarang.
Kedatangan pedagang Portugis,
diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah
kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya
kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja,
sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak
memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam
upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata
seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa
ini.
Bahasa yang dipakai pendatang
dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di
antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat
diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan
keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan
cukong.
Jan Huyghen van Linschoten
pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa
bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di
"dunia timur".[12] Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan
berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu
di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa
Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota
pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon, dan Kupang.
Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa
Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang
terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar
pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19).[13] Varian-varian lokal ini
secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa.
Terobosan penting terjadi
ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor
(pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak
saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama
tinggi dengan bahasa-bahasa internasional di masa itu, karena memiliki kaidah
dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad ke-19 dapat
dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal
masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta
bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa
ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai
bahasa kedua atau ketiga. Kata-kata pinjaman.
Bahasa Indonesia
Pemerintah kolonial
Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu
administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda
para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu
Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda
mulai terlibat dalam standardisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan
di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa
Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia
yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu
Riau-Johor.
Pada awal abad ke-20
perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Di tahun
1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan
pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia)
di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.[12] Ejaan Van Ophuysen diawali
dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu
oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi pemerintah semakin
kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur ("Komisi Bacaan
Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka.
Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program
Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi
dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat,
dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan.[14] Bahasa Indonesia
secara resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah
Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa
nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli
sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin
mengatakan,
"Jika mengacu pada masa
depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua
bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan
Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan
menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."[15]
Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak
dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur
Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan
Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan
kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.[16]
Peristiwa-peristiwa Penting
·
Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan
penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur
(Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai
Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan
Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan,
yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat
luas.
·
Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan
bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya dalam sidang
Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia.[17]
·
Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin
mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia.
·
Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang
menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
·
Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun
Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
·
Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa
Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha
pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh
cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
·
Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah
Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa
Indonesia sebagai bahasa negara.
·
Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan
Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
·
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan
Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad
bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang
diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
·
Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden
Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang
dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
·
Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia
(Wawasan Nusantara).
·
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan
Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka
memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan,
pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha
memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
·
Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres
Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan dalam rangka
memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa
pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga
amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan
kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan
baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
·
Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan
Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira
tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari
negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman,
dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara,
yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
·
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan
Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa
dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei
Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea
Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia,
serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
·
Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres
Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan
dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.
Penyempurnaan Ejaan
Ejaan van Ophuijsen
Ejaan ini merupakan ejaan
bahasa Melayu dengan huruf Latin. Charles Van Ophuijsen yang dibantu oleh
Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim menyusun ejaan baru ini
pada tahun 1896. Pedoman tata bahasa yang kemudian dikenal dengan nama ejaan
van Ophuijsen itu resmi diakui pemerintah kolonial pada tahun 1901. Ciri-ciri
dari ejaan ini yaitu:
·
Huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai
akhiran dan karenanya harus disuarakan tersendiri dengan diftong seperti mulaï
dengan ramai. Juga digunakan untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaïa.
·
Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah,
sajang, dsb.
·
Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer,
dsb.
·
Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema,
untuk menuliskan kata-kata ma’moer, ’akal, ta’, pa’, dsb.
Ejaan Republik
Ejaan ini diresmikan pada
tanggal 19 Maret 1947 menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan ini juga dikenal
dengan nama ejaan Soewandi. Ciri-ciri ejaan ini yaitu:
·
Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata guru, itu,
umur, dsb.
·
Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k pada
kata-kata tak, pak, rakjat, dsb.
·
Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada
kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
·
Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis
serangkai dengan kata yang mendampinginya.
Ejaan Melindo (Melayu
Indonesia)
Konsep ejaan ini dikenal pada
akhir tahun 1959. Karena perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya,
diurungkanlah peresmian ejaan ini.
[sunting]Ejaan Bahasa
Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)
Ejaan ini diresmikan
pemakaiannya pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik Indonesia.
Peresmian itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Dengan EYD,
ejaan dua bahasa serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia, semakin
dibakukan.
Indonesia
(pra-1972) |
Malaysia
(pra-1972) |
Sejak 1972
|
tj
|
ch
|
c
|
dj
|
j
|
j
|
ch
|
kh
|
kh
|
nj
|
ny
|
ny
|
sj
|
sh
|
sy
|
j
|
y
|
y
|
oe*
|
u
|
u
|
Kedudukan resmi
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting seperti yang
tercantum dalam:
·
Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, ”Kami
putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
·
Undang-Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa,
dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa ”Bahasa
Negara ialah Bahasa Indonesia”.
·
Dari Kedua hal tersebut, maka kedudukan bahasa
Indonesia sebagai:
·
Bahasa kebangsaan, kedudukannya berada di atas
bahasa-bahasa daerah.
·
Bahasa negara (bahasa resmi Negara Kesatuan Republik
Indonesia)
Tata bahasa
Dibandingkan dengan
bahasa-bahasa Eropa, bahasa Indonesia tidak menggunakan kata bergender. Sebagai
contoh kata ganti seperti "dia" tidak secara spesifik menunjukkan
apakah orang yang disebut itu lelaki atau perempuan. Hal yang sama juga
ditemukan pada kata seperti "adik" dan "pacar" sebagai
contohnya. Untuk memerinci sebuah jenis kelamin, sebuah kata sifat harus
ditambahkan, "adik laki-laki" sebagai contohnya.
Ada juga kata yang berjenis
kelamin, seperti contohnya "putri" dan "putra". Kata-kata
seperti ini biasanya diserap dari bahasa lain. Pada kasus di atas, kedua kata
itu diserap dari bahasa Sanskerta melalui bahasa Jawa Kuno.
Untuk mengubah sebuah kata
benda menjadi bentuk jamak digunakanlah reduplikasi (perulangan kata), tapi
hanya jika jumlahnya tidak terlibat dalam konteks. Sebagai contoh "seribu
orang" dipakai, bukan "seribu orang-orang". Perulangan kata juga
mempunyai banyak kegunaan lain, tidak terbatas pada kata benda.
Bahasa Indonesia menggunakan
dua jenis kata ganti orang pertama jamak, yaitu "kami" dan
"kita". "Kami" adalah kata ganti eksklusif yang berarti
tidak termasuk sang lawan bicara, sedangkan "kita" adalah kata ganti
inklusif yang berarti kelompok orang yang disebut termasuk lawan bicaranya.
Susunan kata dasar yaitu
Subyek - Predikat - Obyek (SPO), walaupun susunan kata lain juga mungkin. Kata
kerja tidak di bahasa berinfleksikan kepada orang atau jumlah subjek dan objek.
Bahasa Indonesia juga tidak mengenal kala (tense). Waktu dinyatakan dengan menambahkan
kata keterangan waktu (seperti, "kemarin" atau "esok"),
atau petunjuk lain seperti "sudah" atau "belum".
Dengan tata bahasa yang cukup
sederhana bahasa Indonesia mempunyai kerumitannya sendiri, yaitu pada
penggunaan imbuhan yang mungkin akan cukup membingungkan bagi orang yang
pertama kali belajar bahasa Indonesia.
Awalan, akhiran, dan sisipan
Fungsi (pembentuk)
|
Perubahan bentuk
|
Kaitan
|
|
verba
|
be-; bel-
|
per-
|
|
verba; adjektiva
|
te-; tel-
|
ke-
|
|
verba (aktif)
|
me-; men-; mem-; meny-
|
di-; pe-; ku-; kau;
|
|
verba (pasif)
|
meng-
|
||
nomina; numeralia; verba (percakapan)
|
ter-
|
||
verba; nomina
|
pe-; pel-
|
ber-
|
|
nomina
|
pe-; pen-; pem-; peny-
|
meng-
|
|
klitika; adverbia
|
|||
verba (aktif)
|
me-
|
Dialek Dan Ragam Bahasa
Pada keadaannya bahasa
Indonesia menumbuhkan banyak varian yaitu varian menurut pemakai yang disebut
sebagai dialek dan varian menurut pemakaian yang disebut sebagai ragam bahasa.
Dialek dibedakan atas hal ihwal berikut:
·
Dialek regional, yaitu rupa-rupa bahasa yang digunakan
di daerah tertentu sehingga ia membedakan bahasa yang digunakan di suatu daerah
dengan bahasa yang digunakan di daerah yang lain meski mereka berasal dari eka
bahasa. Oleh karena itu, dikenallah bahasa Melayu dialek Ambon, dialek Jakarta
(Betawi), atau bahasa Melayu dialek Medan.
·
Dialek sosial, yaitu dialek yang digunakan oleh
kelompok masyarakat tertentu atau yang menandai tingkat masyarakat tertentu.
Contohnya dialek wanita dan dialek remaja.
·
Dialek temporal, yaitu dialek yang digunakan pada
kurun waktu tertentu. Contohnya dialek Melayu zaman Sriwijaya dan dialek Melayu
zaman Abdullah.
·
Idiolek, yaitu keseluruhan ciri bahasa seseorang.
Sekalipun kita semua berbahasa Indonesia, kita masing-masing memiliki ciri-ciri
khas pribadi dalam pelafalan, tata bahasa, atau pilihan dan kekayaan kata.
Ragam bahasa dalam bahasa
Indonesia berjumlah sangat banyak dan tidak terhad. Maka itu, ia dibagi atas
dasar pokok pembicaraan, perantara pembicaraan, dan hubungan antarpembicara.
Ragam bahasa menurut pokok pembicaraan meliputi:
·
ragam undang-undang
·
ragam jurnalistik
·
ragam ilmiah
·
ragam sastra
Ragam bahasa menurut hubungan antarpembicara dibagi atas:
ragam lisan, terdiri dari:
·
ragam percakapan
·
ragam pidato
·
ragam kuliah
·
ragam panggung
ragam tulis, terdiri dari:
·
ragam teknis
·
ragam undang-undang
·
ragam catatan
·
ragam surat-menyurat
Dalam kenyataannya, bahasa baku tidak dapat digunakan untuk segala
keperluan, tetapi hanya untuk:
·
komunikasi resmi
·
wacana teknis
·
pembicaraan di depan khalayak ramai
·
pembicaraan dengan orang yang dihormati
Selain keempat penggunaan tersebut, dipakailah ragam bukan baku.
No comments:
Post a Comment