KAJIAN TINDAK TUTUR dan JENISNYA
Salah satu bidang
pragmatik yang menonjol adalah tindak tutur. Pragmatik dan tindak tutur
mempunyai hubungan yang erat. Hal itu terlihat pada bidang kajiannya. Secara
garis besar antara tindak tutur dengan pragmatik membahas tentang makna tuturan
yang sesuai konteksnya. Hal itu sesuai dengan, David R dan Dowty (dalam
Rahardi, 2003:12), secara singkat menjelaskan bahwa sesungguhnya ilmu bahasa
pragmatik adalah telaah terhadap pertuturan langsung maupun tidak langsung,
presuposisi, implikatur, entailment, dan percakapan atau kegiatan
konversasional antara penutur dan mitra tutur.
Istilah dan teori
yang mengenai tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J.L Austin, seorang
guru besar di Universitas Harvard pada tahun 1959. Menurutn Chaer dan Leoni
(2010:50) teori ini merupakan catatan kuliah yang kemudian dibukukan oleh J.O
Urmson (1965) dengan judul “How to do thing with word?” Teori itu baru terkenal
dalam studi linguistik setelah Searle (1969) menerbitkan judul Speech Act and
Essay in The Philosophy of Language.
Leech (1993:5-6)
menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran, yaitu untuk apa ujaran
itu dilakukan; menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak
tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di mana, dan
bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di dalam
pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di bidang ini
seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerjasama dan
prinsip kesantunan. Retorika tekstual, pragmatik membutuhkan prinsip kerjasama.
Menurut Wijana
(1996:46) untuk melaksanakan prinsip kerjasama, penutur harus mematuhi empat
maksim percakapan, yaitu maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan
pelaksanaan. Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan
kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya.
Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang
sebenarnya. Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara
secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan, serta
runtut.
Sementara itu,
Austin (dalam Leech, 1993:280) menyatakan bahwa semua tuturan adalah sebuah
bentuk tindakan dan tidak sekedar sesuatu tentang dunia tindak ujar atau tutur
(Speech act) adalah fungsi bahasa sebagai sarana penindak. Semua kalimat atau
ujaran diucapkan oleh penutur sebenarnya mengandung fungsi komunikatif
tertentu. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa mengujarkan
sesuatu dapat disebut sebagai aktivias atau tindakan. Hal tersebut dimungkinkan
karena dalam setiap tuturan memiliki maksud tertentu yang berpengaruh pada
orang lain.
Menurut Chaer dan
Leonie (2010:50) tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis
dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam
menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau
arti tindakan dalam tuturannya. Tindakan dalam tuturan akan terlihat dari makna
tuturan.
Berdasarkan
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah aktivitas dengan
menuturkan sesuatu. Tindak tutur yang memiliki maksud tertentu tersebut tidak
dapat dipisahkan dari konsep situasi tutur. Konsep tersebut memperjelas
pengertian tindak tutur sebagai suatu tindakan yang menghasilkan tuturan
sebagai produk tindak tutur.
Jenis Tindak Tutur
Wijana (1996: 17)
mengemukakan konsep tindak tutur ujar dalam suatu tuturan yang dikemukakan oleh
Searle di dalam bukunya yang berjudul Speech Acts: An Essay in The Philosophy of language. Secara pragmatis
setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang
penutur, yakni tindak lokusi (locutionary
act), tindak ilokusi (ilocutionary
act), dan tindak perlokusi (perlocutonary
act).
a.
Tindak Lokusi
Chaer dan Leonie (2010:53) menyatakan bahwa tindak lokusi adalah tindak
tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk
kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Searle (dalam Rahardi, 2005: 35)
menyatakan tindak lokusioner adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat
sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Menurut
Wijana (1996:17) tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu.
Uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tindak tutur
lokusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk menyatakan atau
menginformasikan sesuatu, yaitu mengucapkan sesuatu dengan makna kata dan makna
kalimat sesuai dengan makna kata itu sendiri kepada mitra tutur.
Contoh: Iki
Bulik Rum, bakal garwane Paklik Heru!
‘Ini Bulik Rum,
calon istrinya Paklik Heru!’ (Bulik Rum/ 227)
Tuturan di atas diutarakan oleh penuturnya semata-mata
untuk menginformasikan bahwa Bulik Rum sebagai calon istri Paklik Heru. Tuturan
tersebut tanpa bermaksud untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan
tuturnya.
b. Tindak ilokusi
Wijana (1996:18-19) berpendapat bahwa tindak ilokusi adalah tindak tindak
tutur yang mengandung maksud dan fungsi daya ujar. Tindak tersebut diidentifikasikan
sebagai tindak tutur yang bersifat untuk menginformasikan sesuatu dan melakukan
sesuatu, serta mengandung maksud dan daya tuturan. Tindak ilokusi tidak mudah
diidentifikasi, karena tindak ilokusi berkaitan dengan siapa petutur, kepada
siapa, kapan dan di mana tindak tutur itu dilakukan dan sebagainya. Tindak
ilokusi ini merupakan bagian yang penting dalam memahami
tindak tutur.
Sementara Chaer dan Leonie (2010:53) menyatakan bahwa
tindak ilokusi adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan
kalimat performatif yan eksplisit. Tindak ilokusi ini biasanya berkenaan dengan
pemberian izin, mengucapkan terimakasih, menyuruh, menawarkan dan menjanjikan.
Uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur
yang berfungsi menyampaikan sesuatu dengan maksud untuk melakukan tindakan yang
ingin dicapai oleh penuturnya pada waktu menuturkan sesuatu kepada mitra tutur.
Contoh: Maem,
Pak!
‘Makan, Pak!’
(Slendang Bangbangan/43)
Tuturan di atas tidak hanya digunakan untuk menginformasikan sesuatu saja
akan tetapi juga melakukan sesuatu. Tuturan tersebut dituturkan oleh seorang anak
kepada bapaknya dengan maksud untuk meminta makan. Searle (dalam Rahardi,
2003:72) menggolongkan tindak tutur ilokusi dalam aktivitas bertutur itu ke
dalam lima macam bentuk tuturan yang masingmasing memiliki fungsi
komunikatifnya sendiri-sendiri. Kelima macam bentuk tuturan yang menunjukkan
fungsi-fungsi komunikatif tersendiri tersebut dapat dirangkum dan disebutkan
satu demi satu sebagai berikut.
1) Asertif yakni bentuk tutur yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi
yang diungkapkan, misalnya saja: menyatakan (stating), menyarankan
(suggesting), membuang (boasting), mengeluh (complaining), dan mengklaim
(claiming).
2) Direktif yakni bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat
pengaruh agar sang mitra tutur melakukan tindakan tertentu, misalnya saja
memesan (ordering), memerintah (commanding), memohon (requesting), menasihati
(advising), merekomendasi (recommending).
3) Ekspresif yakni bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau
menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya saja
berterima kasih (thanking), memberi selamat (congratulating).
4) Komisif yakni bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan janji atau
penawaran, misalnya saja berjanji (promising), bersumpah (vowing), dan
menawarkan sesuatu (offering).
5) Deklarasi yakni bentuk tutur yang menghubungkan isi tuturan dengan
kenyataannya, misalnya berpasrah (resigning), memecat (dismissing), membaptis
(christening), memberi nama (naming), mengangkat (appointing), mengucilkan
(excommunicating), dan menghukum (sentencing).
c. Tindak perlokusi
Chaer dan Leonie (2010:53) menjelaskan tindak perlokusi adalah tindak tutur
yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan
perilaku non linguistik dari orang lain. Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang
seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force), atau efek bagi yang
mendengarkannya. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak
sengaja dikreasikan oleh penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan
untuk mempengaruhi lawan tutur disebut dengan tindak perlokusi. Menurut Wijana
(1996:19-20) tindak ini disebut The Act of Affecting Someone.
ASPEK ASPEK SITUASI TUTUR
Leech (dalam
Wijana, 1996:10-12) membagi aspek situasi tutur atas lima bagian yaitu: a.
Penutur dan mitra tutur b. Konteks tutur c. Tindak tutur sebaga bentuk tindaka atau
kegiatan d. Tujuan tuturan e. Tuturan. Sebagai produk tinda verbal. Aspek-aspek
situasi tutur tersebut antara lain:
a. Penutur dan mitra tutur
Konsep penutur dan mitra
tuutr ini juga mencakup penulis dan pembaca bila tuturan bersangkutan
dikomunikasikan dengan media tulisan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur
dan lawan tutur ini adalah usia, latar belakang,sosial ekonomi, jenis kelamin,
tingkat keakraban dsb.
b. Konteks Tuturan
Konteks tuturan
penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau setting
sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks yang bersifat fisik
lazim disebut koteks (cotext), sedangkan konteks setting sosial disebut
konteks. Konteks dalam pragmatik itu pada hakikatnya adalah semua latar belakang
pengetahuan (back ground knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan
lawan tutur.
c. Tujuan tuturan
Bentuk-bentuk tuturan
yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu.
Tuturan yang bermacam-macam ini dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang
sama. Begitu juga sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan
tuturan yang sama. Pragmatik merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan
(goal oriented activities).
d. Tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau kegiatan
Gramatika tutur sebagai
bentuk tindakan atau kegiatan. Gramatika menangani unsur-unsur kebahasaan
sebagai editor yang abstrak, seperti kalimat dalam studi sintaksis, proposisi
dalam studi semantik dsb. Pragmatik berhubungan dengan tindak verbal yang
terjadinya dalam situasi tertentu. Dalam hubungan ini pragmatik menangani
bahasa dalam tingkatannya yang lebih kongkret dibanding dengan tata bahasa.
Tuturan sebagai entitas yang kongkret jelas penutur dan lawan tuturnya, serta
waktu dan tempat pengutaraannya.
e. Tuturan sebagai produk tindak verbal
Tuturan yang digunakan
di dalam rangka pragmatik seperti yang dikemukakan dalam kriteria keempat
merupakan bentuk dari tindak tutur. Oleh karenanya, tuturan yang dihasilkan
merupakan bentuk dari tindak verbal. Sebagai contoh kalimat Apakah rambutmu
tidak terlalu panjang? Dapat ditafsirkan sebagai pertanyaan atau perintah.
Dalam hubungan ini dapat ditegaskan ada perbedaan mendasar antara kalimat
(sentence) dengan tuturan (utturance). Kalimat adalah entitas gramatikal
sebagai hasil kebahasaan yang diidentifikasikan lewat penggunaannya dalam
situasi tertentu.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin, Bustanul dan Rani, A. 2000.
Prinsip-prinsip Analisis Wacana. Jakarta:
Direktorat Pembinaan Penelitian
dan Pengabdian pada Masyarakat.
Grice, H.P. 1991. Logic and
Conversation. Dalam Davis, S. (Ed.), Pragmatics: A
Reader . New York:
Oxford University Press.
Jazeri. 2003. Realisasi Prinsip
Kerjasama dalam Interaksi Antarmahasiswa. Tesis
tidak diterbitkan. Malang: PPS
UNISMA Malang.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip
Pragmatik (edisi terjemahan oleh M. D. D.
Oka). Jakarta: UI Press.
Levinson, Stephen. C. 1983. Pragmatics.
Great Britain: Cambridge University Press.
Susanti. 2007. “Conversational Implicature in the Oprah
Winfrey Show Edition’
Will
Smith’s Love Makeover’”. Skripsi.
Semarang: Fakultas Bahasa dan Sastra.
Universitas Dian Nuswantoro
No comments:
Post a Comment