Monday, June 6, 2016

Prinsip Kerjasama dan Maksimnya



KAJIAN PRINSIP KERJASAMA dan MAKSIMNYA
(Studi Implikatur Percakapan)


 http://sgoldberjangka.com/wp-content/uploads/2014/01/projectcommunityonline.com_.jpg



Setiap masyarakat memiliki bahasa dan dialek yang berbeda, serta cara berbicara yang juga berbeda. Kebudayaan Jepang sering dicirikan dengan penindasan atau tidak percaya dengan kata-kata. Doi Takeo (1988:33) mencatat bahwa tradisi Barat menekankan pentingnya kata-kata. Di Jepang tradisi ini tidak ada. Doi tidak bermaksud ember kesan bahwa budaya Jepang meremehkan kata-kata, tetapi terdapat kesadaran tentang kata-kata yang tidak terungkap.

Menurut Grice dalam Arifin (2000), agar komunikasi berjalan dengan lancar dan baik, para penutur disarankan untuk mematuhi prinsip kerja sama yang ditopang oleh maksim-maksim percakapan. Dengan prinsip tersebut, dalam perujaran, para penutur disarankan untuk menyampaikan ujarannya sesuai dengan konteks terjadinya peristiwa tutur, tujuan tutur, dan giliran tutur yang ada. Namun, dalam kenyataan berbahasa, prinsip kerja sama Grice yang dijabarkan dalam beberapa maksim tidak selalu diikuti. Implikatur percakapan tersebut melanggar prinsip kerja sama Grice, yakni kesepakatan bahwa hal yang dibicarakan oleh partisipan harus saling berkait.

Ketika aturan prinsip kerja sama dilanggar, maka otomatis ada salah satu atau beberapa tujuan percakapan baik dari penutur maupun petutur yang tidak tercapai. Namun ada alasan lain bila terjadi pelanggaran yaitu adanya implikasi tertentu dari penutur atau petutur, sehingga tujuan percakapannya dapat tercapai atau pun juga salah satunya tidak melaksanakan kerja sama atau tidak kooperatif. Di samping itu, implikatur percakapan sering digunakan untuk tujuan tertentu, misalnya untuk memperhalus proposisi yang diujarkan. Dalam hubungan timbal balik dalam konteks budaya, penggunaan implikatur terasa lebih sopan, misalnya untuk tindak tutur memerintah, menolak, meminta, memberi nasihat, menegur, dan lain-lain.

Grice dalam bukunya Logic and Conversation pada Arifin (2000: 154-155) menyatakan istilah implikatur diartikan sebagai makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur). Menggunakan implikatur dalam berkomunikasi berarti menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Implikatur sebuah ujaran dapat dipahami antara lain dengan menganalisis konteks pemakaian ujaran. Pengetahuan dan kemampuan menganalisis konteks pada waktu menggunakan bahasa sangat menentukan ketepatan menangkap implikatur.


 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXpq_Ve9RzOlVSXdNIMQhe50Z0ualvJV1Yhk-25_1aWIOLeVOaQMmj0asKJHkuEy5RrO-NET2VsgR5UALoVCsj_MbV6fcNkpgFSGLSR-6anMaVfws6CXc-Gf1iQE4pOCYIz7jp5wn9/s1600/semut2.jpg

PRINSIP KERJASAMA DAN MAKSIM-MAKSIMNYA
Grice (1991:309) menyatakan bahwa percakapan akan mengarah pada penyamaan unsur-unsur pada transaksi kerjasama yang semula berbeda. Penyamaan tersebut dilakukan dengan jalan: (1) menyamakan jangka tujuan pendek, meskipun tujuan akhirnya berbeda atau bahkan bertentangan, (2) menyatukan sumbangan partisipasi sehingga penutur dan mitra tutur saling membutuhkan, dan (3) mengusahan agar penutur dan mitra tutur mempunyai pengertian bahwa transaksi berlangsung dengan suatu pola tertentu yang cocok, kecuali bila bermaksud hendak mengakhiri kerjasama.
Dalam rangka memenuhi keperluan tersebut, Grice menyatakan teori tentang aturan percakapan atau maksim yang dipandang sebagai prinsip/dasar kerja sama. Prinsip kerjasama tersebut yakni berikanlah sumbangan Anda pada percakapan sebagaimana yang diperlukan sesuai dengan tujuan atau arah pertukaran pembicaraan yang Anda terlibat di dalamnya (Grice 1975:45). Prinsip tersebut mengharapkan para penutur untuk menyampaikan ujarannya sesuai dengan konteks terjadinya peristiwa tutur, tujuan tutur dan giliran tutur yang ada. Prinsip kerja sama tersebut, ditopang oleh maksim-maksim percakapan (maxim of conversation), yaitu : maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, maksim cara.

a.       Maksim Kuantitas
Di dalam maksim kuantitas, seorang penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin sesuai yang dibutuhkan. Informasi demikian itu tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya
dibutuhkan petutur. (Grice, 1991) Memberikan jumlah informasi yang tepat, yaitu: (1) Sumbangan informasi anda harus seinformatif yang dibutuhkan. (2) Sumbangan informasi anda jangan melebihi yang dibutuhkan.
Contoh [1]:
A : “Apa judul tugas analisis wacana kamu? (1)
B : “ Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Wacana Politik di Media Massa”. (2)
B : “ Menggunakan analisis wacana kritis (AWK) siapa?” (3)
A : “ Fairclough.” (4)
Pada wacana [1] B menyampaikan informasi sesuai yang diminta oleh A. Inisiasi A dengan tuturan (1) dan (3) direspon dengan informasi yang memadai oleh B dengan tuturan (2) dan (4). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam wacana [1] para peserta tutur telah menaati maksim kuantitas, yakni submaksim pertama. Para peserta tutur dalam sebuah interaksi menaati maksim kuantitas dengan tujuan agar informasi yang disampaikan dapat dipahami oleh mitra tuturnya dengan jelas agar tidak terjadi salah paham. (Jazeri, 2003).

Dalam sebuah interaksi, para peserta tutur juga menaati maksim kuantitas submaksim kedua, yakni tidak memberikan informasi yang lebih dari yang dibutuhkan. Dalam realisasinya, hal tersebut terjadi apabila penutur merespon inisiasi yang berupa pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa”.
Contoh [2]:
A : Mengapa Anda belajar Bahasa Inggris? (5)
B : Karena jika menguasai Bahasa Inggris, saya akan mampu berkomunikasi
      dengan orang asing, memahami buku-buku berbahasa Inggris, dan lebih
      mudah mendapat pekerjaan. (6)
Pada wacana [2] di atas, inisiasi A dengan tuturan (5) direspon dengan informasi yang memadai dalam tuturan (6). Karena inisiasi berupa pertanyaan “mengapa”, maka respon yang diberikan lebih panjang dibanding respon terhadap inisiasi “apa” atau “siapa”. Dengan demikian dapat dikatan bahwa pada wacana [2], para peserta tutur telah menaati maksim kuantitas, submaksim kedua.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penaatan maksim kuantitas dalam sebuah interaksi berfungsi untuk (1) menyampaikan informasi yang jelas, (2) meminta bantuan, dan (3) menghindari kesalahpahaman. Singkatnya, penaatan maksim kuantitas dilakukan peserta tutur agar interaksi yang diikuti berlangsung dengan lancar dan sampai pada tujuannya.
Tuturan yang tidak mengandung informasi yang sungguh-sungguh dibutuhkan petutur dan tuturan yang mengandung informasi yang berlebihan akan dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas.
            Contoh [3] :
A : Dari mana mas? (7)
B : Dari pasar, membeli makanan lele. Harganya naik lagi, repot jadinya. (8)
Wacana [3] di atas A sebenarnya hanya membutuhkan informasi dari pasar. Namun B memberikan informasi yang lebih dari yang dibutuhkan A. Ditinjau dari Prinsip Kerja Sama, B telah melanggar Maksim kuantitas, khususnya submaksim kedua, yakni jangan memberikan sumbangan informasi yang melebihi dari yang diperlukan. Pelanggaran yang dilakukan B berfungsi memperjelas informasi, yaitu informasi tentang harga pakan lele yang semakin mahal.

b.      Maksim kualitas,
Dengan maksim kualitas peserta tutur diharapkan untuk tidak mengatakan sesuatu yang tidak benar dan tidak mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan. (Grice, 1975)

Contoh [4] :
G : Andi, kamu sudah mengerjakan tugas? (9)
A : Sudah, pak! (10)
G : Apa kamu punya kesulitan? (11)
A : (soal) Nomor 4, pak. (12)
G : Coba, bapak lihat! (13)
A : Ini, pak. (14)
Pada wacana [4] di atas, Andi telah memberikan informasi yang benar kepada gurunya. Kebenaran informasi yang disampaikan Andi dapat dilihat dari koherensi tuturan-tuturannya. Pada tuturan (10) Andi menyatakan bahwa ia telah mengerjakan tugas. Hal ini didukung oleh pengetahuannya tentang soal yang sulit (tuturan 12) dan dibuktikan dengan hasil kerjanya (tuturan 14). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Andi telah menaati maksim kualitas, submaksim pertama. (Jazeri, 2003).

Dalam komunikasi apabila seseorang tidak memberikan informasi yang benar, maka orang tersebut melanggar maksim kualitas baik submaksim pertama (tidak memberikan informasi yang diyakini salah) maupun submaksim kedua (tidak memberikan informasi yang tidak didukung oleh bukti yang cukup).
Contoh [5] :
Aty : Sebenarnya kalau kita mau sungguh-sungguh, kuliah di mana saja sih nggak
          masalah. (15)
Yeni : Kayak mbak Ati gini. (sambil main mata dengan Bibah dan Nisa’). (16)
Bibah : Nggak pernah keluar-keluar, nggak pernah pulang. (17)
Nisa’ : Nggak kenal cowok. (18)
Fungsi untuk mengejek dapat dilihat wacana [5]. Dalam wacana tersebut tuturan Yeni kaya mbak Ati gini, tuturan Bibah Nggak pernah keluar-keluar, nggak
pernah pulang, dan tuturan Nisa Nggak kenal cowok adalah tidak sesuai dengan
kenyataan. Konteks wacana [5] Ati adalah teman satu kos mereka yang suka jalanjalan, nonton TV, dan kenal dengan cowok. Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa Yeni, Bibah, dan Nisa melakukan pelanggaran maksim kualitas, terutama submaksim pertama, dengan sengaja (mempermainkan maksim tutur). Tujuannya jelas, yaitu untuk mengejek Ati yang dianggapnya sok alim.

c.       Maksim relevansi,
Di dalam maksim hubungan atau relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan petutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu (Grice, 1975).

Contoh[6]:
H : Nama? (19)
S : Suparmin. (20)
H : Alamat? (21)
S : Sawojajar, Malang. (22)
H : Pekerjaan? (23)
S : Swasta. (24)
Pada wacana [6] di atas, saksi (S) memberikan informasi yang relevan dengan inisiasi yang diberikan oleh hakim (H). tuturan S (20), (22), dan (24) selalu relevan dengan inisiasi H (19), (21), dan (23).
Bertutur dengan tidak memberikan jawaban atas tuturan yang disampaikan dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama.
            Contoh  7:
            A : Aku lapar sekali, lebih baik kita makan dahulu yuk! (25)
B : Wah, kasihan sekali nenek itu. (26)
B menentang maksim hubungan atau relevansi dengan menjawab pertanyaan yang tidak berhubungan dengan tentang ujaran A.

d.      Maksim cara
Maksim cara memiliki empat submaksim, yaitu: (1). Hindarilah ungkapan yang kabur. (2) Hindarilah kata-kata yang berarti ganda (ambigu). (3) Berbicaralah dengan singkat, dan (4) Berbicaralah dengan teratur.
Dalam realisasinya, peserta tutur dalam sebuah interaksi menaati maksim cara dengan cara menghindari tuturan yang kabur, menghindari tuturan yang berarti ganda, tidak berbelit-belit, dan menyampaikan tuturan secara teratur. Biasanya, tuturan yang menaati maksim kuantitas sekaligus juga menaati maksim cara. (Grice, 1975)
Contoh [8]
A : Berapa (hasil akhir) Chelsea lawan Liverpool? (27)
B : Tiga, satu. (28)
A : Di final, kamu pegang mana? (29)
B : MU (Manchester United). (30)
Pada wacana [8] di atas, B memberikan informasi yang dibutuhkan oleh A. Wacana di atas memiliki konteks semifinal liga Champion antara Chelsea melawan Liverpool. Tuturan (28) memberikan informasi skor akhir pertandingan semi final antara Chelsea melawan Liverpool, sedangkan tuturan (30) memberikan informasi tentang tim favorit juaran, karena sebelumnya MU telah menang melawan Barcelona 1-0. Karena itu dapat dikatakan bahwa B telah menaati maksim cara.
Secara umum, penaatan maksim cara dalam sebuah interaksi memiliki fungsi
untuk menyampaikan informasi secara jelas, tidak ambigu, singkat dan teratu dalam
rangka menunjang tercapainya tujuan interaksi yang sedang diikuti. Secara khusus, penaatan maksim cara berfungsi untuk (1) menyampaikan informasi yang singkat dan jelas, dan (2) menghindari kesalahpahaman.

Pelanggaran maksim cara juga sering terjadi dalam sebuah interaksi, baik submaksim pertama (menghindari ungkapan yang kabur), submaksim kedua (menghindari kata-kata yang berarti ganda), submaksim ketiga (berbicara singkat), dan submaksim keempat (berbicara yang teratur). Umumnya, peserta tutu melanggar maksim cara dengan cara memberikan informasi yang berbelit-belit, tidak singkat, sehingga mitra tutur tidak mendapatkan informasi sebagaimana diinginkan.
Contoh [9]
N : Kamu ngasih apa sama mereka? (31)
Y : Pertama, kita awalnya itu ngumpul di rayon. Gitu ya sama anak-anak
      diajakin. Sampai di sana ternyata anaknya pemulung di sana itu ada yang
     disunat. Ya ngak ngasih apa-apa. (32)
Pelanggaran yang dilakukan Y dalam wacana [9] dapat dikatagorikan sebagai pengabaian maksim tutur. Dikatakan demikian karena Y tampaknya sengaj menyampaikan tuturan yang berbelit-belit dan tidak langsung agar informasi yang disampaikan tidak dipahami dengan baik oleh N. Y enggan memberikan informasi secara singkat karena dimotivasi oleh rasa malu jika diketahui oleh N bahwa dia berkunjung ke tempat pemulung tanpa memberi apa pun kepada mereka.

 http://bestpft.com/wp-content/uploads/2014/02/Article-77.jpg


IMPLIKATUR PERCAKAPAN
Dalam sebuah interaksi, pelanggaran maksim tutur baik yang disengaja maupun tidak, sering tak terelakkan. Bila dalam suatu percakapan terjadi penyimpangan, ada implikasi-implikasi tertentu yang hendak dicapai oleh penuturnya. Dari penyimpangan atau pelanggaran Prinsip Kerjasama tersebutlah muncul implikatur percakapan.
Grice mengemukakan bahwa pembicara selalu bermaksud untuk bekerja sama ketika berbicara. Salah satu cara untuk bekerja sama adalah dengan menyampaikan informasi yang diperlukan Grice berdasarkan penelitiannya menyebutkan bahwa dalam sebuah percakapan, antara si pembicara dan si penerima terdapat sebuah prinsip yang mengatur percakapan yang terdapat di dalam peristiwa komunikasi yang disebut dengan Prinsip Kerja sama. Prinsip Kerja Sama seringkali diartikan sebagai panduan umum yang melingkupi interaksi percakapan. Prinsip kerja sama membuat kontribusi kita menjadi tepat dalam sebuah percakapan.
Grice dalam bukunya Logic and Conversation pada Arifin (2000: 154-155) menyatakan istilah implikatur diartikan sebagai makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur). Menggunakan implikatur dalam berkomunikasi berarti menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Implikatur sebuah ujaran dapat dipahami antara lain dengan menganalisis konteks pemakaian ujaran. Pengetahuan dan kemampuan menganalisis konteks pada waktu menggunakan bahasa sangat menentukan ketepatan menangkap implikatur.



DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Bustanul dan Rani, A. 2000. Prinsip-prinsip Analisis Wacana. Jakarta:
               Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat.

Grice, H.P. 1991. Logic and Conversation. Dalam Davis, S. (Ed.), Pragmatics: A
               Reader . New York: Oxford University Press.

Jazeri. 2003. Realisasi Prinsip Kerjasama dalam Interaksi Antarmahasiswa. Tesis
              tidak diterbitkan. Malang: PPS UNISMA Malang.

Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik (edisi terjemahan oleh M. D. D.
              Oka). Jakarta: UI Press.

Levinson, Stephen. C. 1983. Pragmatics. Great Britain: Cambridge University Press.

Susanti. 2007. “Conversational Implicature in the Oprah Winfrey Show Edition’ Will
            Smith’s Love Makeover’”. Skripsi. Semarang: Fakultas Bahasa dan Sastra.
              Universitas Dian Nuswantoro

No comments:

Post a Comment