KAJIAN PRINSIP KERJASAMA dan MAKSIMNYA
(Studi Implikatur Percakapan)
Setiap masyarakat
memiliki bahasa dan dialek yang berbeda, serta cara berbicara yang juga berbeda. Kebudayaan
Jepang sering dicirikan dengan penindasan atau
tidak percaya dengan kata-kata. Doi Takeo (1988:33) mencatat bahwa tradisi Barat menekankan pentingnya kata-kata. Di Jepang tradisi
ini tidak ada. Doi tidak bermaksud
ember kesan bahwa budaya Jepang meremehkan kata-kata, tetapi terdapat kesadaran tentang kata-kata yang
tidak terungkap.
Menurut Grice dalam
Arifin (2000), agar komunikasi berjalan dengan lancar dan baik, para penutur
disarankan untuk mematuhi prinsip kerja sama yang ditopang oleh maksim-maksim
percakapan. Dengan prinsip tersebut, dalam perujaran, para penutur disarankan
untuk menyampaikan ujarannya sesuai dengan konteks terjadinya peristiwa tutur,
tujuan tutur, dan giliran tutur yang ada. Namun, dalam kenyataan berbahasa,
prinsip kerja sama Grice yang dijabarkan dalam beberapa maksim tidak selalu
diikuti. Implikatur percakapan tersebut melanggar prinsip kerja sama Grice, yakni
kesepakatan bahwa hal yang dibicarakan oleh partisipan harus saling berkait.
Ketika aturan prinsip kerja sama dilanggar, maka otomatis ada salah satu
atau beberapa tujuan percakapan baik dari penutur maupun petutur yang tidak
tercapai. Namun ada alasan lain bila terjadi pelanggaran yaitu adanya implikasi
tertentu dari penutur atau petutur, sehingga tujuan percakapannya dapat
tercapai atau pun juga salah satunya tidak melaksanakan kerja sama atau tidak
kooperatif. Di samping itu, implikatur percakapan sering digunakan untuk tujuan
tertentu, misalnya untuk memperhalus proposisi yang diujarkan. Dalam hubungan
timbal balik dalam konteks budaya, penggunaan implikatur terasa lebih sopan,
misalnya untuk tindak tutur memerintah, menolak, meminta, memberi nasihat,
menegur, dan lain-lain.
Grice dalam bukunya Logic and Conversation pada Arifin (2000: 154-155) menyatakan
istilah implikatur diartikan sebagai makna tidak langsung atau makna tersirat
yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur). Menggunakan implikatur
dalam berkomunikasi berarti menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Implikatur
sebuah ujaran dapat dipahami antara lain dengan menganalisis konteks pemakaian
ujaran. Pengetahuan dan kemampuan menganalisis konteks pada waktu menggunakan
bahasa sangat menentukan ketepatan menangkap implikatur.
PRINSIP KERJASAMA DAN MAKSIM-MAKSIMNYA
Grice (1991:309) menyatakan bahwa percakapan akan mengarah pada penyamaan
unsur-unsur pada transaksi kerjasama yang semula berbeda. Penyamaan tersebut
dilakukan dengan jalan: (1) menyamakan jangka tujuan pendek, meskipun tujuan
akhirnya berbeda atau bahkan bertentangan, (2) menyatukan sumbangan partisipasi
sehingga penutur dan mitra tutur saling membutuhkan, dan (3) mengusahan agar
penutur dan mitra tutur mempunyai pengertian bahwa transaksi berlangsung dengan
suatu pola tertentu yang cocok, kecuali bila bermaksud hendak mengakhiri
kerjasama.
Dalam rangka memenuhi keperluan tersebut, Grice menyatakan teori tentang aturan
percakapan atau maksim yang dipandang sebagai prinsip/dasar kerja sama. Prinsip
kerjasama tersebut yakni berikanlah sumbangan Anda pada percakapan sebagaimana
yang diperlukan sesuai dengan tujuan atau arah pertukaran pembicaraan yang Anda
terlibat di dalamnya (Grice 1975:45). Prinsip tersebut mengharapkan para penutur
untuk menyampaikan ujarannya sesuai dengan konteks terjadinya peristiwa tutur,
tujuan tutur dan giliran tutur yang ada. Prinsip kerja sama tersebut, ditopang
oleh maksim-maksim percakapan (maxim of
conversation), yaitu : maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi,
maksim cara.
a.
Maksim
Kuantitas
Di dalam maksim kuantitas, seorang penutur diharapkan
dapat memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif
mungkin sesuai yang dibutuhkan. Informasi demikian itu tidak boleh melebihi
informasi yang sebenarnya
dibutuhkan petutur. (Grice, 1991) Memberikan jumlah
informasi yang tepat, yaitu: (1) Sumbangan informasi anda harus seinformatif
yang dibutuhkan. (2) Sumbangan informasi anda jangan melebihi yang dibutuhkan.
Contoh
[1]:
A
: “Apa judul tugas analisis wacana kamu? (1)
B
: “ Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Wacana Politik di Media Massa”. (2)
B
: “ Menggunakan analisis wacana kritis (AWK) siapa?” (3)
A
: “ Fairclough.” (4)
Pada wacana [1] B
menyampaikan informasi sesuai yang diminta oleh A. Inisiasi A dengan tuturan
(1) dan (3) direspon dengan informasi yang memadai oleh B dengan tuturan (2)
dan (4). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam wacana [1] para peserta tutur
telah menaati maksim kuantitas, yakni submaksim pertama. Para peserta tutur
dalam sebuah interaksi menaati maksim kuantitas dengan tujuan agar informasi
yang disampaikan dapat dipahami oleh mitra tuturnya dengan jelas agar tidak
terjadi salah paham. (Jazeri, 2003).
Dalam sebuah interaksi, para peserta tutur juga menaati
maksim kuantitas submaksim kedua, yakni tidak memberikan informasi yang lebih
dari yang dibutuhkan. Dalam realisasinya, hal tersebut terjadi apabila penutur
merespon inisiasi yang berupa pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa”.
Contoh
[2]:
A
: Mengapa Anda belajar Bahasa Inggris? (5)
B
: Karena jika menguasai Bahasa Inggris, saya akan mampu berkomunikasi
dengan orang asing, memahami buku-buku
berbahasa Inggris, dan lebih
mudah mendapat pekerjaan. (6)
Pada wacana [2] di
atas, inisiasi A dengan tuturan (5) direspon dengan informasi yang memadai
dalam tuturan (6). Karena inisiasi berupa pertanyaan “mengapa”, maka respon
yang diberikan lebih panjang dibanding respon terhadap inisiasi “apa” atau
“siapa”. Dengan demikian dapat dikatan bahwa pada wacana [2], para peserta
tutur telah menaati maksim kuantitas, submaksim kedua.
Dari uraian di atas,
dapat disimpulkan bahwa penaatan maksim kuantitas dalam sebuah interaksi
berfungsi untuk (1) menyampaikan informasi yang jelas, (2) meminta bantuan, dan
(3) menghindari kesalahpahaman. Singkatnya, penaatan maksim kuantitas dilakukan
peserta tutur agar interaksi yang diikuti berlangsung dengan lancar dan sampai
pada tujuannya.
Tuturan yang tidak
mengandung informasi yang sungguh-sungguh dibutuhkan petutur dan tuturan yang
mengandung informasi yang berlebihan akan dapat dikatakan melanggar maksim
kuantitas.
Contoh
[3] :
A
: Dari mana mas? (7)
B
: Dari pasar, membeli makanan lele. Harganya naik lagi, repot jadinya. (8)
Wacana [3] di atas A
sebenarnya hanya membutuhkan informasi dari pasar. Namun B memberikan informasi
yang lebih dari yang dibutuhkan A. Ditinjau dari Prinsip Kerja Sama, B telah
melanggar Maksim kuantitas, khususnya submaksim kedua, yakni jangan memberikan
sumbangan informasi yang melebihi dari yang diperlukan. Pelanggaran yang
dilakukan B berfungsi memperjelas informasi, yaitu informasi tentang harga
pakan lele yang semakin mahal.
b.
Maksim
kualitas,
Dengan maksim kualitas peserta tutur diharapkan untuk
tidak mengatakan sesuatu yang tidak benar dan tidak mengatakan sesuatu yang
bukti kebenarannya kurang meyakinkan. (Grice, 1975)
Contoh
[4] :
G
: Andi, kamu sudah mengerjakan tugas? (9)
A
: Sudah, pak! (10)
G
: Apa kamu punya kesulitan? (11)
A
: (soal) Nomor 4, pak. (12)
G
: Coba, bapak lihat! (13)
A
: Ini, pak. (14)
Pada wacana [4] di atas,
Andi telah memberikan informasi yang benar kepada gurunya. Kebenaran informasi
yang disampaikan Andi dapat dilihat dari koherensi tuturan-tuturannya. Pada
tuturan (10) Andi menyatakan bahwa ia telah mengerjakan tugas. Hal ini didukung
oleh pengetahuannya tentang soal yang sulit (tuturan 12) dan dibuktikan dengan
hasil kerjanya (tuturan 14). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Andi telah
menaati maksim kualitas, submaksim pertama. (Jazeri, 2003).
Dalam komunikasi apabila seseorang tidak memberikan
informasi yang benar, maka orang tersebut melanggar maksim kualitas baik
submaksim pertama (tidak memberikan informasi yang diyakini salah) maupun
submaksim kedua (tidak memberikan informasi yang tidak didukung oleh bukti yang
cukup).
Contoh
[5] :
Aty
: Sebenarnya kalau kita mau sungguh-sungguh, kuliah di mana saja sih nggak
masalah. (15)
Yeni
: Kayak mbak Ati gini. (sambil main mata dengan Bibah dan Nisa’). (16)
Bibah
: Nggak pernah keluar-keluar, nggak pernah pulang. (17)
Nisa’
: Nggak kenal cowok. (18)
Fungsi untuk
mengejek dapat dilihat wacana [5]. Dalam wacana tersebut tuturan Yeni kaya mbak
Ati gini, tuturan Bibah Nggak pernah keluar-keluar, nggak
pernah pulang, dan tuturan Nisa Nggak kenal cowok adalah
tidak sesuai dengan
kenyataan. Konteks wacana [5] Ati adalah teman satu kos
mereka yang suka jalanjalan, nonton TV, dan kenal dengan cowok. Berdasarkan hal
tersebut dapat dipahami bahwa Yeni, Bibah, dan Nisa melakukan pelanggaran
maksim kualitas, terutama submaksim pertama, dengan sengaja (mempermainkan
maksim tutur). Tujuannya jelas, yaitu untuk mengejek Ati yang dianggapnya sok
alim.
c.
Maksim
relevansi,
Di dalam maksim hubungan atau relevansi, dinyatakan bahwa
agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan petutur, masing-masing
hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang
dipertuturkan itu (Grice, 1975).
Contoh[6]:
H
: Nama? (19)
S
: Suparmin. (20)
H
: Alamat? (21)
S
: Sawojajar, Malang. (22)
H
: Pekerjaan? (23)
S
: Swasta. (24)
Pada wacana [6] di atas,
saksi (S) memberikan informasi yang relevan dengan inisiasi yang diberikan oleh
hakim (H). tuturan S (20), (22), dan (24) selalu relevan dengan inisiasi H (19),
(21), dan (23).
Bertutur dengan tidak memberikan jawaban atas tuturan
yang disampaikan dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama.
Contoh 7:
A : Aku
lapar sekali, lebih baik kita makan dahulu yuk! (25)
B : Wah, kasihan sekali
nenek itu. (26)
B menentang maksim
hubungan atau relevansi dengan menjawab pertanyaan yang tidak berhubungan
dengan tentang ujaran A.
d.
Maksim
cara
Maksim cara memiliki empat submaksim, yaitu: (1).
Hindarilah ungkapan yang kabur. (2) Hindarilah kata-kata yang berarti ganda
(ambigu). (3) Berbicaralah dengan singkat, dan (4) Berbicaralah dengan teratur.
Dalam realisasinya, peserta tutur dalam sebuah interaksi
menaati maksim cara dengan cara menghindari tuturan yang kabur, menghindari
tuturan yang berarti ganda, tidak berbelit-belit, dan menyampaikan tuturan
secara teratur. Biasanya, tuturan yang menaati maksim kuantitas sekaligus juga
menaati maksim cara. (Grice, 1975)
Contoh
[8]
A
: Berapa (hasil akhir) Chelsea lawan Liverpool? (27)
B
: Tiga, satu. (28)
A
: Di final, kamu pegang mana? (29)
B
: MU (Manchester United). (30)
Pada wacana [8] di atas, B
memberikan informasi yang dibutuhkan oleh A. Wacana di atas memiliki konteks
semifinal liga Champion antara Chelsea melawan Liverpool. Tuturan (28)
memberikan informasi skor akhir pertandingan semi final antara Chelsea melawan
Liverpool, sedangkan tuturan (30) memberikan informasi tentang tim favorit
juaran, karena sebelumnya MU telah menang melawan Barcelona 1-0. Karena itu
dapat dikatakan bahwa B telah menaati maksim cara.
Secara umum, penaatan
maksim cara dalam sebuah interaksi memiliki fungsi
untuk menyampaikan informasi secara jelas, tidak ambigu,
singkat dan teratu dalam
rangka menunjang tercapainya tujuan interaksi yang sedang
diikuti. Secara khusus, penaatan maksim cara berfungsi untuk (1) menyampaikan
informasi yang singkat dan jelas, dan (2) menghindari kesalahpahaman.
Pelanggaran maksim cara
juga sering terjadi dalam sebuah interaksi, baik submaksim pertama (menghindari
ungkapan yang kabur), submaksim kedua (menghindari kata-kata yang berarti
ganda), submaksim ketiga (berbicara singkat), dan submaksim keempat (berbicara
yang teratur). Umumnya, peserta tutu melanggar maksim cara dengan cara
memberikan informasi yang berbelit-belit, tidak singkat, sehingga mitra tutur
tidak mendapatkan informasi sebagaimana diinginkan.
Contoh
[9]
N
: Kamu ngasih apa sama mereka? (31)
Y
: Pertama, kita awalnya itu ngumpul di rayon. Gitu ya sama anak-anak
diajakin. Sampai di sana ternyata anaknya
pemulung di sana itu ada yang
disunat.
Ya ngak ngasih apa-apa. (32)
Pelanggaran yang dilakukan Y dalam wacana [9] dapat
dikatagorikan sebagai pengabaian maksim tutur. Dikatakan demikian karena Y
tampaknya sengaj menyampaikan tuturan yang berbelit-belit dan tidak langsung
agar informasi yang disampaikan tidak dipahami dengan baik oleh N. Y enggan
memberikan informasi secara singkat karena dimotivasi oleh rasa malu jika
diketahui oleh N bahwa dia berkunjung ke tempat pemulung tanpa memberi apa pun
kepada mereka.
IMPLIKATUR PERCAKAPAN
Dalam sebuah interaksi, pelanggaran maksim tutur baik yang disengaja maupun
tidak, sering tak terelakkan. Bila dalam suatu percakapan terjadi penyimpangan,
ada implikasi-implikasi tertentu yang hendak dicapai oleh penuturnya. Dari
penyimpangan atau pelanggaran Prinsip Kerjasama tersebutlah muncul implikatur
percakapan.
Grice mengemukakan bahwa pembicara selalu bermaksud untuk bekerja sama ketika
berbicara. Salah satu cara untuk bekerja sama adalah dengan menyampaikan informasi
yang diperlukan Grice berdasarkan penelitiannya menyebutkan bahwa dalam sebuah
percakapan, antara si pembicara dan si penerima terdapat sebuah prinsip yang
mengatur percakapan yang terdapat di dalam peristiwa komunikasi yang disebut
dengan Prinsip Kerja sama. Prinsip Kerja Sama seringkali diartikan sebagai panduan
umum yang melingkupi interaksi percakapan. Prinsip kerja sama membuat kontribusi
kita menjadi tepat dalam sebuah percakapan.
Grice dalam bukunya Logic and Conversation pada Arifin (2000: 154-155) menyatakan
istilah implikatur diartikan sebagai makna tidak langsung atau makna tersirat
yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur). Menggunakan implikatur
dalam berkomunikasi berarti menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Implikatur
sebuah ujaran dapat dipahami antara lain dengan menganalisis konteks pemakaian
ujaran. Pengetahuan dan kemampuan menganalisis konteks pada waktu menggunakan
bahasa sangat menentukan ketepatan menangkap implikatur.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin, Bustanul dan Rani, A. 2000.
Prinsip-prinsip Analisis Wacana. Jakarta:
Direktorat Pembinaan Penelitian
dan Pengabdian pada Masyarakat.
Grice, H.P. 1991. Logic and
Conversation. Dalam Davis, S. (Ed.), Pragmatics: A
Reader . New York:
Oxford University Press.
Jazeri. 2003. Realisasi Prinsip
Kerjasama dalam Interaksi Antarmahasiswa. Tesis
tidak diterbitkan. Malang: PPS
UNISMA Malang.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip
Pragmatik (edisi terjemahan oleh M. D. D.
Oka). Jakarta: UI Press.
Levinson, Stephen. C. 1983. Pragmatics.
Great Britain: Cambridge University Press.
Susanti. 2007. “Conversational Implicature in the Oprah
Winfrey Show Edition’
Will
Smith’s Love Makeover’”. Skripsi.
Semarang: Fakultas Bahasa dan Sastra.
Universitas Dian Nuswantoro
No comments:
Post a Comment