Perencanaan
Bahasa Indonesia
1.
Latar
Belakang
Istilah
perencanaan bahasa seringkali diidentikkan dengan konteks dunia ketiga sebagai
alat untuk menciptakan bahasa nasional standar yang merupakan bagian dari proses
modernisasi dan nation building. Padahal sebenarnya perencanaan bahasa tidak hanya
terjadi pada dunia ketiga dan bukan semata-mata hanya merupakan alat untuk menciptakan
bahasa nasional standar. Perencanaan bahasa mencakup sesuatu yang lebih luas
daripada hanya sekadar menciptakan bahasa nasional standar. Perencanaan bahasa
tidak hanya dapat dikerjakan dalam suatu level nasional. Hal ini juga dapat
dilakukan oleh suatu etnik, agama, atau kelompok yang terdiri dari orang-orang yang
memiliki suatu profesi tertentu. Perencanaan bahasa ini juga bisa dilakukan dengan
melibatkan lebih dari satu negara (dalam tingkat pemerintahan maupun
nonpemerintahan) atau dalam suatu organisasi atau konferensi internasional
maupun regional.
Dalam
tingkat pemerintahan, perencanaan bahasa akan mengambil bentuk sebagai suatu kebijakan
bahasa. Dalam tingkat non-pemerintahan, perencanaan bahasa akan dilakukanoleh
suatu organisasi, seperti SIL International yang melakukan aktivitas untuk
beberapa perencanaan bahasa di beberapa tempat di dunia, khususnya untuk daerah
yang belummengenal bahasa tulis. Isitlah perencanaan bahasa atau language
planning pertama kali diperkenalkan oleh Haugen (1959). Dalam artikelnya,
Haugen mengemukakan bahwa perencanaan bahasa adalah suatu usaha untuk
membimbing perkembangan bahasa ke arah yang diinginkan oleh para perencana.
Usaha-usaha tersebut misalnya menyiapkan ortografi,
penyusunan tatabahasa
dan kamus yang normatif sebagai panduan untuk penulis dan pembicara dalam suatu
komunitas bahasa yang tidak homogen (Cooper, 1989:29, Moeliono, 1981:5).
Perencanaan
bahasa tersebut sangat diperlukan untuk memecahkan berbagai masalah kebahasaan.
Neustupny (1970) (dalam Moeliono 1981:6) mengungkapkan masalah bahasa timbul
akibat adanya ketakpadanan atau ketakadakekuatan dalam bahasa. Ketakpadanan
yang pertama menyangkut ragam bahasa tertentu di dalam masyarakat, sedangkan
ketakpadanan kedua bertalian dengan penggunaan bahasa orang seorang. Untuk
menangani kedua macam masalah kebahasaan tersebut diusulkan dengan dua cara, yaitu:
(1) Ancangan garis
haluan (policy approach)
Hal ini menangani
masalah seperti pemilihan bahasa kebangsaan, pembakuan bahasa, keberaksaan
(literacy), tata ejaan, dan pelapisan bahasa yang beragam.
(2) Ancangan pembinaan
(cultivation approach).
Ancangan ini dicirikan
oleh perhatian utama pada masalah ketepatan dan keefisienan dalam pemakaian
bahasa, langgam bahasa (style), dan kendala (constraint) dalam berkomunikasi.
Neustupny (1968) (dalam
Moeliono 1981: 6-7) mengingatkan bahwa ada tiga hal yang perlu diperhatikan
jika kita akan melakukan perencanaan suatu bahasa, yaitu:
(1) tata hubungan
antara kode bahasa dan ujaran;
(2) tata hubungan
antara kode bahasa dan pola perilaku kemasyarakatan yang lain;
(3) hubungan antara
komunikasi verbal dan yang bukan verbal.
Selain
itu, perencanaan bahasa juga harus dilakukan dari berbagai sudut pandang sosiolinguistik,
sosiologi, sosial psikologi, ilmu politik, dan ekonomi karena perencanaan
bahasa tidak dapat
dilakukan terpisah dari perencanaan sosial (Rubin & Jernudd, 1975).
2.
Bidang-bidang
Kajian Perencanaan Bahasa
Selanjutnya
perencanaan bahasa dapat dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu corpus planning dan
status planning, dan acquisition planning. Penjelasan mengenai ketiga dimensi
tersebut adalah sebagai berikut.
2.1
Corpus Planning
Corpus
planning mengacu pada intervensi terhadap suatu bahasa. Hal ini mungkin
diperoleh dengan cara menciptakan kosakata baru, memodifikasi yang lama, atau
menyeleksi bentuk-bentuk alternatif. Corpus planning bertujuan untuk mengembangkan
sumber-sumber suatu bahasa, sehingga bahasa tersebut dapat menjadi media yang
tepat untuk suatu komunikasi untuk suatu bentuk dan topik wacana yang baru, dengan
dilengkapi dengan istilah-istilah yang diperlukan untuk suatu urusan
adminsitrasi, pendidikan, dan lain-lain.
Corpus
planning seringkali berhubungan dengan standardisasi sebuah bahasa yang
meliputi persiapan untuk sebuah ortografi, tatabahasa, dan kamus yang normative
sebagai panduan bagi penulis dan pembicara dalam suatu komunitas bahasa. Usaha
dalam pemurnian bahasa dan penghilangan kosakata asing dalam suatu bahasa juga
termasuk dalam corpus planning, seperti juga pembaruan pelafalan dan pengenalan
sistem tulisan yang baru. Untuk bahasa-bahasa yang sebelumnya tidak memiliki
bahasa tulis, langkah pertama yang harus diambil dalam corpus planning adalah
pengembangan system penulisan.
2.2
Status Planning
Status planning mengacu
pada usaha-usaha untuk mempengaruhi pengalokasian fungsi-fungsi suatu bahasa di
dalam suatu komunitas bahasa. Biasanya pengalokasian fungsi-fungsi bahasa
tersebut terjadi secara spontan, tetapi tentu saja ada beberapa yang terjadi
sebagai hasil dari sebuah perencanaan. Beberapa usaha yang termasuk ke dalam status
planning, misalnya pemilihan status, pembuatan sebuah bahasa yang khusus, menentukan
berbagai bahasa resmi, bahasa nasional, dan lain-lain. Seringkali usaha ini akan
menaikkan derajat sebuah bahasa atau dialek menjadi suatu ragam yang bergengsi
dalam suatu persaingan antardialek.
Penentuan status bahasa
dalam status planning disesuaikan dengan fungsi-fungsi yang dimiliki oleh
bahasa tersebut, misalnya sebagai alat komunikasi masyarakat, sebagai bahasa
nasional, dan lain-lain. Daftar fungsi-fungsi bahasa yang cukup terkenal adalah
daftar yang dibuat oleh Stewart (1968) dalam diskusinya mengenai multibahasa
nasional yang meliputi official, provincial, wider communication,
international, capital, group, educational, school subject, literary, dan
religious (dalam Cooper, 1989: 99-118).
Menurut
Cooper (1989), suatu bahasa dapat dikatakan berfungsi sebagai bahasa resmi
(official) jika bahasa tersebut (1) ditetapkan secara hukum oleh pemerintah
sebagai bahasa resmi, (2) dipergunakan oleh suatu pemerintahan untuk aktivitas
sehari-harinya, dan (3) dipergunakan oleh pemerintah untuk tujuan simbolis.
Secara singkat ketiga hal tersebut secara berurutan dapat dikatakan sebagai
bahasa resmi dengan tipe statutory, working, simbolyc. Suatu bahasa bisa jadi
berfungsi secara resmi dalam semua atau beberapa tipe ini.
3.
Perencanaan Bahasa di Indonesia
Menurut
Chaer dan Agustina (1995) di Indonesia kegiatan yang serupa dengan language
planning ini sebenarnya sudah berlangsung sebelum nama itu diperkenalkan oleh
Haugen, yakni sejak zaman pendudukan Jepang ketika ada Komisi Bahasa Indonesia
sampai ketika Alisjahbana menerbitkan majalah Pembinaa Bahasa Indonesia tahun
1948. Malah kalau dilihat lebih jauh, language planning di Indonesia sudah
dimulai sejak Van Ophuijsen menyusun ejaan bahasa Melayu (Indonesia) pada
tahuan 1901, disusul dengan berdirinya Commisie voor de Volkslectuur tahun 1908,
yang pada tahun 1917 menjadi Balai Pustaka; lalu disambung dengan Sumpah Pemuda
tahun 1928, dan kemudian Kongres Bahasa I tahun 1937 di Kota Solo.
Perencanaan bahasa
berlangsung dalam suatu proses yang terencana memakan waktu lama dan secara
maraton. Dalam hubungan dengan hal tersebut, Alwasilah (1990) mengungkapkan
bahwa bahasa Indonesia yang sekarang kita miliki ini pun memiliki bentuk yang
demikian setelah menjalani tahapan historis yang tidak sebentar. Kalaulah Sumpah
Pemuda 1928 melambangkan kebahasaan nasional yang akan diperjuangkan, maka perjuangan
itu dijabarkan dalam beberapa kejadian di antaranya sebagai berikut.
a. Kongres Bahasa
Indonesia, I di Solo, 1937;
b. Penerbitan Balai
Pustaka, 1938;
c. Penyerahan Belanda
kepada Jepang yang membuat bahasa Indonesia menjadi
bahasa pengantar di
seluruh Indonesia;
d. Pembentukan Komisi
Istilah 1943;
e. UUD 1945 yang
meresmikan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara;
f. Perubahan Ejaan
Suwandi, 1947;
g. Ejaan yang
Disempurnakan, 1972.
Ditambahkan pula bahwa
kontak budaya dengan bangsa-bangsa Eropa telah memberi motivasi akan
perencanaan ini, di samping faktor-faktor lainnya. Dari sejarah nasional, kita
mempelajari bahwa sejak konferensi Meja Bundar, banyak kerja sama (khususnya
dalam bidang kebudayaan) dilakukan antara Indonesia dan Belanda. Beberapa ahli
dari Belanda memberi kuliah dengan pengantar bahasa Belanda, dan ada beberapa
pihak yang menganjurkan bahasa Belanda untuk diajarkan kembali di
sekolahsekolah. Tapi pemerintah lewat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
menentang gagasan ini. Ini pun satu contoh tindakan dalam proses perencanaan
bahasa. Ini diikuti dengan terbitnya beberapa jurnal (1953) seperti Pembina
Bahasa Indonesia, Medan Bahasa, dan Bahasa dan Budaya. Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa (sekarang Pusat Bahasa) di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(sekarang Departemen Pendidikan Nasional), merupakan lembaga tertinggi yang
bertugas dalam perencanaan bahasa ini. Kegiatan-kegiatan perencanaan bahasa di
Indonesia tidak disebut ‘perencanaan’ tetapi Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Indonesia, yang bisa diberi tugas-tugas sebagai berikut:
a. Perencanaan
dan pengembangan kurikulum dan silabus.
b. Perencanaan
dan pengembangan buku pelajaran, buku pegangan guru, buku bacaan, alat bantu pelajaran
audiovisual, dan lain-lain.
c. Koordinasi
pelaksanaan dan pengawasan.
d. Peningkatan
pengetahuan dan keterampilan guru dalam materi dan metode serta teknik
mengajar.
e. Evaluasi
perencanaan dan pelaksanaan.
f. Perencanaan
dan pengembangan pusat pengujian bahasa.
g. Mengadakan
penyelidikan terus-menerus terhadap bahasa dalam rangka meningkatkan hasil dan
mutu.
h. Penerbitan
berkala profesi dan penerbitan lain sehubungan dengan bidang-bidang tugas di
atas.
i.
Dan lain-lain yang bertalian dengan
pengajaran bahasa ini.
4.
Proses Pembakuan Bahasa
Pembakuan
atau standardization adalah satu proses yang berlangsung secara bertahap; tidak
sekali jadi. Pembakuan adalah juga sikap (attitude) masyarakat terhadap satu
ragam bahasa, dan dari psikologi sosial kita mengetahui bahwa sikap masyarakat akan
selalu berproses tidak sebentar.
Pada pokoknya proses
standardisasi itu mengalami tahap-tahap: (1) Pemilihan (selection), (2)
Kodifikasi (codification), (3) Penjabaran fungsi (elaboration of function), (4)
Persetujuan (acceptance)(Alwasilah, 1990).
4.1
Pemilihan
Satu
variasi atau dialek tertentu akan dipilih untuk kemudian dikembangkan menjadi
bahasa baku. Ragam atau variasi tersebut bisa berupa satu ragam yang telah ada,
misalnya yang dipakai dalam kegiatan-kegiatan politik, sosial atau perdagangan;
dan bisa merupakan campuran dari berbagai ragam yang ada. Bisa saja yang
dipilih itu adalah ragam yang belum merupakan bahasa pertama bagi masyarakat
ujaran di negeri itu. Israel memilih bahasa klasik (clasical Hebrew), seperti
halnya Indonesia memilih satu variasi pidgin bahasa Melayu.
Sebagaimana
kita maklumi bahwa bahasa Indonesia dan bahasa Melayu di Malaysia sekarang
berasal dari bahasa yang sama, yang sebelum tahun 1928 disebut Malay (Melayu). Kedua
bahasa di atas dipengaruhi Hindu dan Arab. Penjajahan Inggris di Malaysia dan
Belanda di Indonesia membawa warna tersendiri dan memperlebar perbedaan
keduanya dan perkembangan intern keduanya telah membawa perbedaan dalam
ortografi kedua bahasa tersebut. Dengan lahirnya Sumpah Pemuda (1928) maka bahasa
Melayu tadi secara resmi dipilih menjadi bahasa nasional Indonesia yang sekarang
menjadi bahasa pertama dari kurang lebih 15 juta penutur, padahal bahasa Jawa dipakai
oleh 40.000.000 penutur dan Sunda oleh lebih dari 20.000.000 penutur (Alisyahbana
1967:181). Di sini kita melihat bahwa jumlah penutur satu bahasa tidak jadi alasan
untuk memilih bahasa tersebut sebagai bahasa nasional.
Ini
adalah satu bukti bahwa jumlah besar pemakai bahasa tidak merupakan faktor yang
menentukan dalam pemilihan bahasa nasional. Bahasa yang telah mempunyai sastra yang
bermutu tinggi dan sudah serba lengkap seperti bahasa Jawa, dikalahkan oleh bahasa
yang masih serba sederhana. (Slametmuljana 1959:12,13).
4.2 Kodifikasi
Asal katanya code, kata kerjanya to codify, kata bendanya
codification, yaitu hal memberlakukan suatu kode atau aturan kebahasaan untuk
dijadikan norma dalam berbahasa oleh masyarakat. Kodifikasi ini meliputi (1)
ortografi (ortography), (2) pengucapan atau lafal (pronunciation), (3) tata
bahasa (grammar) dan.(4) peristilahan (terminology). Badan atau lembaga
tertentu biasanya ditunjuk untuk terlaksananya kodifikasi ini. Lembaga ini
menyusun kamus, buku tata bahasa dengan berpedoman pada kode atau variasi yang
akan dimasyarakatkan; sehingga setiap orang mempunyai acuan aturan bahasa yang
'benar'. Setelah kodifikasi ini dibentuk, maka warga negara yang berpendidikan
akan mempelajari atau ingin mempelajari bentuk bahasa yang benar dan menghindari
yang tidak benar, walaupun yang tidak benar kadang-kadang ragam bahasanya
sendiri. Tentu saja pemerolehan/penguasaan (= acquisition) ini berlangsung lama,
yaitu memakan waktu karir pendidikan atau sekolahnya.
4.3
Penyebaran Fungsi
Apa
yang dikodifikasikan itu tidak akan memasyarakat tanpa adanya penjabaran (elaboration)
fungsi ragam yang sudah standar itu. Peran pemerintah sangat luar biasa dalam
penjabaran fungsi ini. Pemakaian bahasa di parlemen, pengadilan, lembagalembaga
pemerintah, dokumen-dokumen pemerintah, pendidikan dan berbagai literature lainnya
sangat menunjang proses dimaksud. Demikian pula para pawang, guru, pengarang,
wartawan, penyiar dan sebangsanya mempunyai andil penting dalam pemasyarakatan
bahasa baku. Pada kenyataannya proses elaborasi fungsi ini akan melibatkan
pemasyarakatan hal-hal ekstralinguistik seperti pembiasan format atau bentuk surat,
atau dalam penyusunan tes dan lain sebangsanya.
4.4
Persetujuan
Ini adalah tahap akhir
dalam proses pembakuan bahasa. Pada akhirnya ragam bahasa ini mesti disetujui
oleh anggota masyarakat ujaran –sebagai bahasa nasional mereka. Kalau sudah
sampai pada tahap ini, maka bahasa standar itu mempunyai kekuatan untuk
mempersatukan bangsa dan menjadi simbol kemerdekaan negara dan menjadi ciri
pembeda dari negara-negara lain. Di Indonesia dengan lahirnya Sumpah Pemuda
pada tanggal 28 Oktober 1928 dan ditetapkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa
Negara pada Pasal 36 UUD 1945 yang berbunyi: Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia,
maka semakin kuatlah kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa
yang terdiri dari berbagai suku bangsa –sebagai lingua franca yang menjembatani
berbagai vernacular di tanah air ini.
Sebagai
bahasa nasional, maka bahasa Indonesia kini memiliki empat fungsi penting dalam
negara Indonesia, yaitu sebagai:
1. Lambang
kebanggaan kebangsaan,
2. Lambang
idenstitas nasional,
3. Alat
pemersatu berbagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan
bahasanya masing-masing ke dalam kesatuan kebangsaan Indonesia, dan
4. Alat
perhubungan antardaerah dan antarbudaya.
Perspektif Analogi dan Anomali Kata
Serapan dalam Bahasa Indonesia
1.
Latar
Belakang
Perdebatan mengenai analogi dan anomali bahasa telah
berlangsung sejak zaman Yunani kuno, dan sampai sekarang masih ada
pendukung-pendukungnya. Pendapat masing-masing pendukung didasarkan pada
kenyataan realita bahasa yang sama-sama akuratnya dan dengan argumen yang sama
kuatnya. Perdebatan ini nampaknya seperti rel kereta api yang tidak memiliki
ujung temu, masing-masing berpijak pada kutub yang berbeda.
Kalaupun perdebatan analogi dan anomali ini sudah
berkembang sejak sekian waktu yang lama namun dalam kenyataan realita bahasa
hal ini masih saja merupakan issu yang relevan dan aktual dengan perkembangan
zaman. Issu analogi dan anomali memang merupakan issu yang menyangkut tentang
perkembangan bahasa. Selagi bahasa masih berkembang, maka issu analogi and
anomali masih selalu menyertainya.
Salah satu bentuk perkembangan bahasa Indonesia
adalah berupa penyerapan kata ke dalam bahasa Indonesia yang berasal dari
bahasa-bahasa asing pemberi pengaruh. Penyerapan kata-kata asing ke dalam
bahasa Indonesia ini melahirkan permasalahan-permasalahan kebahasaan yang dapat
disoroti dari perspektif analogi dan anomali bahasa. Untuk tujuan inilah karya
tulis ini dilakukan.
2.
Terminologi
Analogi dan Anomali
Analogi dan anomali sebagai suatu terminologi telah
dikenal sejak zaman Plato dan Aristoteles. Kemunculan terminologi ini
disebabkan karena populemya teori analogi dan anomali pada waktu itu yang
masing-masing memiliki pendukung.
Golongan pendukung analogi mengatakan bahwa alam ini
memiliki keteraturan, manusia juga memiliki keteraturan, demikian juga halnya
dengan bahasa. Kelompok analogii mengatakan bahwa bahasa itu teratur. Sebagai
bukti dalam bahasa Inggris bentuk jamak dari boy menjadi boys, table menjadi
tables, flower menjadi flowers.
Keteraturan bahasa membawa konsekwensi dapat
disusunnya suatu tata bahasa. Analogi ini dianut oleh Plato dan Aristoteles.
Prinsip analogi ini sebenarnya merupakan tranforrnasi dari keteraturan logika
dan matematika di dalam bahasa (Kaelan, 1998 :36).
Sebaliknya kaum anomalis berpendapat bahwa bahasa
itu berada. dalam bentuk tidak teratur (irregular). Sebagai bukti mereka
menunjukkan bentuk jamak bahasa Inggris child menjadi children, man menjadi
men. Dalam kenyataan sehari-hari mengapa ada senonimi dan homonimi. Dalam
pengertian ini bahasa itu pada hakekatnya bersifat alamiah. Pendapat kaum
anomali ini masih digunakan sebagai salah satu ciri bahasa bahwa bahasa itu
pada hakikatnya orbitur (Porera, 1986:46).
3.
Kata
Serapan Sebagai Bagian Perkembangan Bahasa Indonesia
Soal kata serapan dalam bahasa atau lebih tepatnya
antar bahasa adalah merupakan suatu hal yang lumrah. Setiap kali ada kontak
bahasa lewat pemakainya pasti akan terjadi serap menyerap kata. Unit bahasa dan
struktur bahasa itu ada yang bersifat tertutup dan terbuka bagi pengaruh bahasa
lain. Tertutup berarti sulit menerima pengaruh, terbuka berarti mudah menerima
pengaruh.
Bunyi bahasa dan kosa kata pada umumnya merupakan
unsur bahasa yang bersifat terbuka, dengan sendirinya dalam kontak bahasa akan
terjadi saling pengaruh, saling meminjarn atau menyerap unsur asing. Peminjaman
ini dilatar belakangi oleh berbagai hal antara lain kebutuhan, prestise kurang
faham terhadap bahasa sendiri atau berbagai latar belakang yang lain.
Tidak ada dua bahasa yang sama persis apalagi bahasa
yang berlainan rumpun. Dalam proses penyerapan dari bahasa pemebri pengaruh
kepada bahasa penerima pengaruh akan terjadi perubahan-perubahan. Ada proses
penyerapan yang terjadi secara utuh, ada proses penyerapan yang terjadi dengan
beberapa penyesuaian baik yang terjadi dalarn bahasa lisan maupun bahasa tulis.
Dalam penyesuaian itu akan terjadi, pergeseran baik dalam ucapan maupun ejaan
antar bahasa pemberi dan penerima pengaruh maupun pergeseran semantis.
Bahasa Indonesia dari awal pertumbuhannya sampai
sekarang telah banyak menyerap unsur-unsur asing terutarna dalam hal kosa kata.
Bahasa asing yang memberi pengaruh kosa kata dalam bahasa Indonesia antara lain
: bahasa Sansekerta, bahasa Belanda, bahasa Arab dan bahasa Inggris. Masuknya
unsur-unsur asing ini secara historis juga sejalan dengan kontak budaya antara
bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa pemberi pengaruh. Mula-mula bahasa
Sansekerta sejalan dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia sejak sebelum
bahasa Indonesia memunculkan identitas dirinya sebagai bahasa Indonesia,
kemudian bahasa Arab karena eratnya hubungan keagamaan dan perdagangan antara
masyarakat timur tengah dengan bangsa Indonesia, lalu bahasa Belanda sejalan
dengan masuknya penjajahan Belanda ke Indonesia, kemudian bahasa Inggris yang
berjalan hingga sekarang, salah satu faktor penyebabnya adalah semakin
intensifnya hubungan ilmu pengetahuan dan teknologi antara bangsa Indonesia
dengan masyarakat pengguna bahasa Inggris.
Unsur-unsur asing ini telah menambah sejumlah besar
kata ke dalam bahasa Indonesia sehingga bahasa Indonesia mengalami perkembangan
sesuai dengan tuntutan zaman. Dan sejalan dengan perkembangan itu muncullah
masalah-masalah kebahasaan. Ada kosa kata yang diserap secara utuh tanpa mengalami
perubahan dan penyesuaian. Dan ada kosa kata yang diserap dengan mengalami
penyesuaian-penyesuaian. Kata-kata serapan ini ternyata tidak lepas dari
permasalahan analogi dan anomali bahasa yang secara khusus akan diuraikan dalam
bab berikut.
Proses Penyerapan Istilah dalam
Bahasa Indonesia
Perbendaharaan
bahasa Indonesia diperkaya oleh kata serapan dari berbagai bahasa asing,
misalnya dari bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Prancis, dan Arab. Kata-kata
serapan itu masuk ke dalam bahasa Indonesia melalui empat cara yang lazim
ditempuh, yaitu adopsi, adaptasi, penerjemahan, dan kreasi.
1. Cara
adopsi terjadi apabila pemakai bahasa mengambil bentuk dan makna kata asing
yang diserap secara keseluruhan. Kata supermarket, plaza, mall, hotdog
merupakan contoh cara penyerapan adopsi.
2. Cara
adaptasi terjadi apabila pemakai bahasa hanya mengambil makna kata asing yang
diserap dan ejaan atau cara penulisannya disesuaikan ejaan bahasa Indonesia.
Kata-kata seperti pluralisasi, akseptabilitas, maksimal, dan kado merupakan
contoh kata serapan adaptasi. Kata-kata tersebut mengalami perubahan ejaan dari
bahasa asalnya (pluralization dan acceptability dari bahasa Inggris, maximaal
dari bahasa Belanda, serta cadeu dari bahasa Prancis). Pedoman
pengadaptasiannya adalah Pedoman Penulisan Istilah dan Ejaan Bahasa Indonesia
yang Disempurnakan yang dikeluarkan oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan
Nasional.
Cara Penerjemahan terjadi apabila pemakai bahasa
mengambil konsep yang terkandung dalam kata bahasa asing kemudian mencari padanannya
dalam bahasa Indonesia. Kata-kata seperti tumpang-tindih, percepatan, proyek
rintisan, dan uji coba adalah kata-kata yang lahir karena proses penerjemahan
dari bahasa Inggris overlap, acceleration, pilot project, dan try out.
Penerjemahan istilah asing memiliki beberapa keuntungan. Selain memperkaya
kosakata bahasa Indonesia dengan sinonim, istilah hasil terjemahan juga
meningkatkan daya ungkap bahasa Indonesia.
No comments:
Post a Comment