Thursday, June 9, 2016

Teori Fonologi Generatif






FONOLOGI GENERATIF

http://cdn.shopify.com/s/files/1/0669/6227/products/Scan_20150529_9_1024x1024.jpg?v=1433133122

A. Sejarah Singkat Fonologi Generatif
Dalam Samsuri (1988: 99-109) dijelaskan bahwa Tata Bahasa Generatif lahir karena ketidakpuasan terhadap model tata bahasa struktural yang dikembangkan oleh Bloomfield dan Zelling Harris. Tokoh lain yang patut diperhatikan dalam sejarah kelahiran Tata Bahasa Generatif adalah linguis asal Rusia, yaitu Roman Jakobson (Newmeyer, 1996: 11-16).
Fonologi generatif merupakan subsistem dari tata bahasa generatif tranformasi yang diperkenalkan pada tahun 1957 oleh Avram Noam Chomsky lewat bukunya Syntactic Structure (Kentstowitcz & Kisserbert, 1979: 2). Gagasan Chomsky tersebut, yang lazim disebut sebagai Tata Bahasa Transformasi Tahap Pertama (TGT-1), berisi penolakannya terhadap asumsi utama strukturalisme yang beranggapan bahwa kelayakan kajian kebahasaan yang ditentukan oleh deskkripsi data kebahasaan secara induktif.
Dalam TGT I, kajian linguistik yang dilakukan Chomsky hanya mencakup dua komponen, yakni komponen sintaktik dan komponen fonologis. Pada tahapan ini meskipun Chomsky tidak mengingkari peranan semantik dalam kajian linguistik, tetapi menurut Chomsky semantik harus diletakkan di luar kajian tata bahasa, dan menjadi bagian dari linguistik umum.
TGT terus dikembangkan hingga pada fase TGT-4. Selama perjalanannya, TGT yang dikembangkan Chomsky dengan sejumlah koleganya tidak lepas dari kritik, baik itu yang bersifat kecaman yang berbau subjektif maupun kritikan yang didasari usaha untuk menyempurnakan dan memperbaiki tata bahasa generative transformasi Chomsky.
Perkembangan TGT mengalami kemajuan sangat pesat pada akhir tahun 60-an dan permulaan tahun 70-an. Dalam masa itulah Chomsky dan pendukungnya menyempurnakan TGT menjadi Teori Standar yang kemudian terkenal dengan Teori Standar yang Diperluas (Extemded Standard Theory).


Beberapa tokoh yang mengkaji Fonologi generatif diantaranya adalah
1.      Moris Halle, seorang profesor fonologi di MIT-Boston. Dia menemani Chomsky dalam menyusun buku The Sound Pattern of English (SPE) dan dianggap sebagai salah satu peletak dasar fonologi generatif.
2.      Bruce Hayes, pegiat fonologi generatif yang berasal dari Amerika yang mengkaji fenomena fonologi secara luas termasuk di dalamnya struktur metrik dari fonologi.
3.      Larry Hyman, ahli fonologi dari Amerika yang mengkaji fonologi generatif dalam bahasa Afrika.
4.      Michael Kenstowicz,  pengkaji fonologi generatif dalam berbagai kajian bahasa yang berbeda. Dia menggantikan Moris Halle sebagai profesor fonologi di MIT University-Boston.  Bersama Charles Kisseberth dia menyusun sebuah buku yang berjudul Generative Phonolgy: Description and Theory.
5.      Paul Kisparsky, ahli fonologi yang mengkaji sejarah fonologi. Dia juga merupakan pendiri fonologi generatif yang lebih spesifik di bidak fonologi leksikal dalam bahasa Inggris.
6.      John McCarthy, pakar linguis dari Amerika yang mengkaji tradisi fonologi generatif.
Selain tokoh di atas masih ada John Ohala, Alan Prince, J. Durant, F. Dell, dan beberapa tokoh lainnya yang mengkaji seputar fonologi generatif baik kritik maupun pengembangannya.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZQaPIqPHa6OaExmwAMKLju2bc9yvTW7SfIKD3PV1GLOve62_jSA1WLU5Z5Q4SRkrj7GZg04FuCAVWHCnJBqTFur2CS8dRxSrigEvMnyo4b24kfcPxa_-q1VGyAX39GV8POMPKvWW1maiS/s1600/linguistic_levels13721.jpg

B. Prosedur Kerja Fonologi Generatif
Wahab (2005) menjelaskan langkah-langkah atau prosedur kerja fonologi generatif sebagai berikut:
1.      Menurut fonologi generatif, data rekaman suatu bahasa dapat dianalisa sebagai berikut: fase pertama, ditentukan dulu hipotesis representasi dasar dari representasi fonetik yang ada. Hal ini ditempuh, karena fonologi generatif percaya bahwa beberapa aspek realisasi fonetik suatu morfem merupakan ciri idiosinkratik dari morfem itu, sedang aspek realisasi yang lain mengikuti prinsip keteraturan yang sistemik (Wahab, 17: 2005; bdk. Kentstowichz & Kisserbert, 1979: 29).
2.      Sesudah hipotesis mengenai representasi dasar ditentukan, dicari aturan-aturan yang dapat mengubah representasi dasar menjadi fonetik. Aturan-aturan yang disusun itu harus diaplikasikan kepada data yang tersedia. Hipotesis-hipotesis diversifikasi untuk mem peroleh hipotesis yang paling bisa diterima. Setelah itu dapat disimpulkan sistem fonologi bahasa itu.
3.      Postulasi aturan-aturan di atas dilakukan dalam rangka membedakan ciri ucapan yang kontrastif (pemberian konteks akan membuat apa yang muncul tidak dapat diperkirakan) dan nonkontrastif (pemberian konteks membuat apa yang muncul dapat diperkirakan). Pembedaan konstrastif dan nonkontrastif ini bertujuan alternasi (adanya dua varian atau lebih, baik distingtif maupun tidak dalam suatu hubungan paradigmatik)
Wahab (2005: 17) mencontohkan cara kerja fonolog generatif dengan menganalisis bahasa Zoque, suatu bahasa yang dipakai oleh satu suku bangsa di Meksiko .
pata
‘tikar’
gyunu
‘anda jatuh’
tatah
‘ayah’
sis
‘daging’
ty ity iy
‘kecil’
sohsahu
‘mereka memasaknya’
cCima
‘buah’
kama
‘ladang jagung’
cehcu
‘dia luka’
nas
‘bumi’
kunu
‘dia jatuh’
nanah
‘ibunya’
kenba
‘dia melihat’
ka
‘jaguar’

Menurut Wahab data di atas menunjukkan keteraturan pola distribusi konsonan stop dan affricates. Voiced plosive muncul hanya sesudah bunyi nasal, sedangkan voiceless plosive tidak pernah muncul dalam posisi itu. Voicing plosive bahasa Zoque ini bisa diramalkan.
Data di atas menunjukkan keteraturan pola distribusi konsonan stop dan affricates (suatu kelas bunyi yang dalam fonologi disebut plosive dan diwarnai oleh hambatan arus udara).
Jadi, tidak seperti bahasa Inggris, yang bunyi-bunyi voicingnya merupakan ciri idiosinkratik dari stop dan affricate. Maka voicing plosive bahasa Zoque itu bisa diramalkan. Kesimpulannya, paling tidak ada dua hipotesis dari data di atas. Pertama, Voiceless plosive berubah menjadi voiced plosive, dan kedua, voiced plosive yang berubah menjadi voiceless.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjhoWI2iQyUItud9PDJOtFNzOtVNm9aYqBqWyl8ANyJMP2CATbFhzMyTbS4dVvfRv_7_5ycL3hyphenhyphenDW4x2TQL1Dp-xZPryPCjnMEPpsj-UYsC2MkYDD1N4lqkwBEa12vigYTJo4uXRAo0KSK2/s1600/fonologi1.png




C. Contoh Penerapan: Ko-Artikulasi Bahasa Manggarai
Pada pembahasan berikut ini akan dianalisis bunyi bahasa dalam bahasa Manggarai dengan menggunakan kajian fonologi generatif. Sebelum melakukan analisis, berikut ini akan disampaikan tentang pembedaan bunyi-bunyi bahasa. Hal ini dilakukan sebagai demi memperjelas materi analisis yang berkaitan dengan jenis bunyi ko-artikulasi dalam bahasa Manggarai, yaitu labialisasi dan palatalisasi. Dalam Chaer (2009: 32-37) dijelaskan tentang jenis bunyi bunyi utama dan bunyi sertaan.
Bunyi Utama dan Bunyi Sertaan
Bunyi-bunyi bahasa dalam pertuturan tidak berdiri sendiri, melainkan saling mempengaruhi baik dari bunyi yang ada sebelumnya maupun dari bunyi sesudahnya. Fakta tersebut berarti bahwa ketika sebuah bunyi diartikulasikan akan mengakibatkan munculnya artikulasi sertaan atau ko-artikulasi. Berikut ini akan disampaikan dua jenis bunyi ko-artikulasi atau bunyi sertaan.
a.       Labialisasi: bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara kedua bibir dibulatkan dan disempitkan segera atau ketika bunyi utama diucapkan, sehingga terdengar bunyi sertaan [w] pada bunyi utama.
b.      Palatalisasi: bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara tengah lidah dinaikkan mendekati langit-langit keras (palatum) segera atau ketika bunyi utam diucapkan sehingga terdengar bunyi sertaan[y]

Perhatikan data bahasa Manggarai (Flores, NTT) berikut ini.
Ortografis
Fonetis
Arti
nai
nayi
‘hati’
mai
mayi
‘mari’
cai
cayi
‘sampai’
hia
hiya
‘dua’
nia
niya
‘dimana’
dea
deya
‘beras’
tea
teya
‘menerangi’
lea
leya
‘belah’
sua
suwa
‘dua’
rua
ruwa
‘mendidih’
loa
Lowa
Terlepas
pua
puwa
‘petik’
duat
duwat
‘bekerja di kebun’
cau
cawu
‘pegang’

Dari data di atas diperoleh keteraturan sistematik sebagai berikut:
a.       Ko-artikulasi terjadi pada suku kata yang terbuka yang berakhir dengan vokal dan diikuti suku kata yang dimulai dengan atau terdiri dari vokal.
b.      Palatalisasi terjadi pada suku kata terbuka yang berakhir dengan vokal depan ([a],[i], atau [a] yang diikuti oleh suku kata yang juga dimulai dengan vokal depan.
c.       Labialisasi terjadi pada suku kata terbuka yang berakhir dengan vokal, baik vokal depan maupun vokal belakang, dan diikuti oleh suku kata terbuka yang dimulai dengan vokal, baik vokal depan maupun belakang. Vokal belakang adalah [u] dan [o].

Akan tetapi, keteraturan sistematis yang telah dirumus di atas masih bisa digugurkan bila memperhatikan data berikut:
Ortografis
Fonetis
Arti
la’at
la?at
mengunjungi
da’at
da?at
buruk
ta’a
ta?a
mentah
co’o
co?o
mengapa, kenapa
di’a
di?a
baik
tu’a
tu?a
tua
ma’it
ma?it
ngidam



Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa prinsip keteraturan sistematis yang telah diungkapkan sebelumnya juga berlaku untuk glotalisasi (bunyi [?]). Dengan demikian, sebelum keteraturan sistematis ditemukan, penetapan keteraturan sistematis perlu ditinjau kembali. Setelah keteraturan sistematis ditetapkan baru kemudian representasi dasar dan representasi fonetik bisa ditentukan.


DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Kenstowicz, Michael & Kissenbert, Charles. 1979. Generative Phonology. Orlando: Academic Press. Inc.
Newmeyer, Frederick J. 1996. Generative Linguistics: A Historical Perspective. London: Routledge 11 New Fetter Lane.
Richards, Jack. C., Platt, John., & Platt, Heidi. Longman Dictionary of Languange Teaching and Applied Linguistics. 1992. England: Longman Group UK Limited.
Samsuri. 1988. Aliran-Aliran Linguistik Abad XX. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wahab, Abdul. 2005. Butir-Butir Linguistik. Surabaya: Air Langga University Press.

No comments:

Post a Comment