FONOLOGI GENERATIF
A. Sejarah Singkat Fonologi Generatif
Dalam Samsuri (1988: 99-109)
dijelaskan bahwa Tata Bahasa Generatif lahir
karena ketidakpuasan terhadap model tata bahasa struktural yang dikembangkan
oleh Bloomfield dan Zelling Harris. Tokoh lain yang patut diperhatikan dalam sejarah
kelahiran Tata Bahasa Generatif adalah linguis asal Rusia, yaitu Roman Jakobson
(Newmeyer, 1996: 11-16).
Fonologi generatif merupakan subsistem dari tata bahasa
generatif tranformasi yang diperkenalkan pada tahun 1957 oleh Avram Noam Chomsky lewat bukunya Syntactic Structure (Kentstowitcz & Kisserbert, 1979: 2). Gagasan Chomsky tersebut, yang lazim disebut sebagai Tata
Bahasa Transformasi Tahap Pertama (TGT-1), berisi penolakannya terhadap asumsi
utama strukturalisme yang beranggapan bahwa kelayakan kajian kebahasaan yang
ditentukan oleh deskkripsi data kebahasaan secara induktif.
Dalam TGT I, kajian linguistik yang dilakukan Chomsky hanya
mencakup dua komponen, yakni komponen sintaktik dan komponen fonologis. Pada
tahapan ini meskipun Chomsky tidak mengingkari peranan semantik dalam kajian
linguistik, tetapi menurut Chomsky semantik harus diletakkan di luar kajian
tata bahasa, dan menjadi bagian dari linguistik umum.
TGT terus dikembangkan hingga pada fase TGT-4. Selama
perjalanannya, TGT yang dikembangkan Chomsky dengan sejumlah koleganya tidak
lepas dari kritik, baik itu yang bersifat kecaman yang berbau subjektif maupun
kritikan yang didasari usaha untuk menyempurnakan dan memperbaiki tata bahasa
generative transformasi Chomsky.
Perkembangan TGT mengalami kemajuan sangat pesat pada akhir
tahun 60-an dan permulaan tahun 70-an. Dalam masa itulah Chomsky dan
pendukungnya menyempurnakan TGT menjadi Teori Standar yang kemudian terkenal
dengan Teori Standar yang Diperluas (Extemded
Standard Theory).
Beberapa tokoh yang mengkaji Fonologi generatif diantaranya
adalah
1.
Moris Halle, seorang
profesor fonologi di MIT-Boston. Dia menemani Chomsky dalam menyusun buku The Sound Pattern of English (SPE) dan
dianggap sebagai salah satu peletak dasar fonologi generatif.
2.
Bruce Hayes, pegiat
fonologi generatif yang berasal dari Amerika yang mengkaji fenomena fonologi
secara luas termasuk di dalamnya struktur metrik dari fonologi.
3.
Larry Hyman, ahli
fonologi dari Amerika yang mengkaji fonologi generatif dalam bahasa Afrika.
4.
Michael Kenstowicz, pengkaji fonologi generatif dalam berbagai
kajian bahasa yang berbeda. Dia menggantikan Moris Halle sebagai profesor
fonologi di MIT University-Boston.
Bersama Charles Kisseberth dia menyusun sebuah buku yang berjudul Generative
Phonolgy: Description and Theory.
5.
Paul Kisparsky, ahli
fonologi yang mengkaji sejarah fonologi. Dia juga merupakan pendiri fonologi
generatif yang lebih spesifik di bidak fonologi leksikal dalam bahasa Inggris.
6.
John McCarthy, pakar
linguis dari Amerika yang mengkaji tradisi fonologi generatif.
Selain
tokoh di atas masih ada John Ohala, Alan Prince, J. Durant, F. Dell, dan
beberapa tokoh lainnya yang mengkaji seputar fonologi generatif baik kritik
maupun pengembangannya.
B. Prosedur Kerja Fonologi Generatif
Wahab (2005) menjelaskan langkah-langkah atau prosedur kerja
fonologi generatif sebagai berikut:
1.
Menurut fonologi
generatif, data rekaman suatu bahasa dapat dianalisa sebagai berikut: fase
pertama, ditentukan dulu hipotesis representasi dasar dari representasi fonetik
yang ada. Hal ini ditempuh, karena fonologi generatif percaya bahwa beberapa
aspek realisasi fonetik suatu morfem merupakan ciri idiosinkratik dari morfem
itu, sedang aspek realisasi yang lain mengikuti prinsip keteraturan yang
sistemik (Wahab, 17: 2005; bdk. Kentstowichz & Kisserbert, 1979: 29).
2.
Sesudah hipotesis
mengenai representasi dasar ditentukan, dicari aturan-aturan yang dapat
mengubah representasi dasar menjadi fonetik. Aturan-aturan yang disusun itu
harus diaplikasikan kepada data yang tersedia. Hipotesis-hipotesis
diversifikasi untuk mem peroleh hipotesis yang paling bisa diterima. Setelah
itu dapat disimpulkan sistem fonologi bahasa itu.
3.
Postulasi aturan-aturan di atas dilakukan dalam rangka membedakan
ciri ucapan yang kontrastif (pemberian konteks akan membuat apa yang muncul
tidak dapat diperkirakan) dan nonkontrastif (pemberian konteks membuat apa yang
muncul dapat diperkirakan). Pembedaan konstrastif dan nonkontrastif ini
bertujuan alternasi (adanya dua varian atau lebih, baik distingtif maupun tidak
dalam suatu hubungan paradigmatik)
Wahab (2005: 17) mencontohkan cara kerja fonolog generatif dengan menganalisis
bahasa Zoque, suatu bahasa yang dipakai oleh satu suku bangsa
di Meksiko .
pata
|
‘tikar’
|
gyunu
|
‘anda jatuh’
|
tatah
|
‘ayah’
|
sis
|
‘daging’
|
ty ity
iy
|
‘kecil’
|
sohsahu
|
‘mereka memasaknya’
|
cCima
|
‘buah’
|
kama
|
‘ladang jagung’
|
cehcu
|
‘dia luka’
|
nas
|
‘bumi’
|
kunu
|
‘dia jatuh’
|
nanah
|
‘ibunya’
|
kenba
|
‘dia melihat’
|
ka
|
‘jaguar’
|
Menurut Wahab data di atas
menunjukkan keteraturan pola distribusi konsonan stop dan affricates. Voiced
plosive muncul hanya sesudah bunyi nasal, sedangkan voiceless plosive tidak
pernah muncul dalam posisi itu. Voicing plosive bahasa Zoque ini bisa
diramalkan.
Data di atas menunjukkan keteraturan
pola distribusi konsonan stop dan affricates (suatu kelas bunyi yang dalam
fonologi disebut plosive dan diwarnai oleh hambatan arus udara).
Jadi, tidak seperti bahasa Inggris,
yang bunyi-bunyi voicingnya merupakan ciri idiosinkratik dari stop dan
affricate. Maka voicing plosive bahasa Zoque itu bisa diramalkan.
Kesimpulannya, paling tidak ada dua hipotesis dari data di atas. Pertama, Voiceless plosive berubah
menjadi voiced plosive, dan kedua,
voiced plosive yang berubah menjadi voiceless.
C. Contoh Penerapan: Ko-Artikulasi Bahasa Manggarai
Pada pembahasan berikut ini akan dianalisis bunyi bahasa
dalam bahasa Manggarai dengan menggunakan kajian fonologi generatif. Sebelum
melakukan analisis, berikut ini akan disampaikan tentang pembedaan bunyi-bunyi
bahasa. Hal ini dilakukan sebagai demi memperjelas materi analisis yang
berkaitan dengan jenis bunyi ko-artikulasi dalam bahasa Manggarai, yaitu
labialisasi dan palatalisasi. Dalam Chaer (2009:
32-37) dijelaskan tentang jenis bunyi bunyi utama
dan bunyi sertaan.
Bunyi Utama dan Bunyi Sertaan
Bunyi-bunyi bahasa dalam
pertuturan tidak berdiri sendiri, melainkan saling mempengaruhi baik dari bunyi
yang ada sebelumnya maupun dari bunyi sesudahnya. Fakta tersebut berarti bahwa
ketika sebuah bunyi diartikulasikan akan mengakibatkan munculnya artikulasi
sertaan atau ko-artikulasi. Berikut ini akan disampaikan dua jenis bunyi
ko-artikulasi atau bunyi sertaan.
a.
Labialisasi: bunyi
sertaan yang dihasilkan dengan cara kedua bibir dibulatkan dan disempitkan segera
atau ketika bunyi utama diucapkan, sehingga terdengar bunyi sertaan [w]
pada bunyi utama.
b.
Palatalisasi: bunyi
sertaan yang dihasilkan dengan cara tengah lidah dinaikkan mendekati
langit-langit keras (palatum) segera atau ketika bunyi utam diucapkan sehingga
terdengar bunyi sertaan[y]
Perhatikan data bahasa Manggarai
(Flores, NTT) berikut ini.
Ortografis
|
Fonetis
|
Arti
|
nai
|
nayi
|
‘hati’
|
mai
|
mayi
|
‘mari’
|
cai
|
cayi
|
‘sampai’
|
hia
|
hiya
|
‘dua’
|
nia
|
niya
|
‘dimana’
|
dea
|
deya
|
‘beras’
|
tea
|
teya
|
‘menerangi’
|
lea
|
leya
|
‘belah’
|
sua
|
suwa
|
‘dua’
|
rua
|
ruwa
|
‘mendidih’
|
loa
|
Lowa
|
Terlepas
|
pua
|
puwa
|
‘petik’
|
duat
|
duwat
|
‘bekerja
di kebun’
|
cau
|
cawu
|
‘pegang’
|
Dari data di atas diperoleh keteraturan sistematik sebagai
berikut:
a.
Ko-artikulasi terjadi
pada suku kata yang terbuka yang berakhir dengan vokal dan diikuti suku kata
yang dimulai dengan atau terdiri dari vokal.
b.
Palatalisasi terjadi
pada suku kata terbuka yang berakhir dengan vokal depan ([a],[i], atau [a] yang diikuti oleh suku kata yang juga dimulai dengan
vokal depan.
c.
Labialisasi terjadi
pada suku kata terbuka yang berakhir dengan vokal, baik vokal depan maupun
vokal belakang, dan diikuti oleh suku kata terbuka yang dimulai dengan vokal,
baik vokal depan maupun belakang. Vokal belakang adalah [u] dan [o].
Akan tetapi, keteraturan sistematis
yang telah dirumus di atas masih bisa digugurkan bila memperhatikan data
berikut:
Ortografis
|
Fonetis
|
Arti
|
la’at
|
la?at
|
mengunjungi
|
da’at
|
da?at
|
buruk
|
ta’a
|
ta?a
|
mentah
|
co’o
|
co?o
|
mengapa, kenapa
|
di’a
|
di?a
|
baik
|
tu’a
|
tu?a
|
tua
|
ma’it
|
ma?it
|
ngidam
|
Berdasarkan data di atas dapat
diketahui bahwa prinsip keteraturan sistematis yang telah diungkapkan
sebelumnya juga berlaku untuk glotalisasi (bunyi [?]). Dengan demikian, sebelum
keteraturan sistematis ditemukan, penetapan keteraturan sistematis perlu
ditinjau kembali. Setelah keteraturan sistematis ditetapkan baru kemudian
representasi dasar dan representasi fonetik bisa ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta:
Rineka Cipta.
Kenstowicz, Michael & Kissenbert,
Charles. 1979. Generative Phonology.
Orlando: Academic Press. Inc.
Newmeyer, Frederick J. 1996.
Generative Linguistics: A Historical Perspective. London: Routledge 11 New
Fetter Lane.
Richards, Jack. C., Platt, John.,
& Platt, Heidi. Longman Dictionary of
Languange Teaching and Applied Linguistics. 1992. England: Longman Group UK
Limited.
Samsuri. 1988. Aliran-Aliran
Linguistik Abad XX. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wahab, Abdul. 2005. Butir-Butir Linguistik. Surabaya: Air
Langga University Press.
No comments:
Post a Comment