Sunday, June 12, 2016

Apresiasi Sastra (artikel)

Kenapa Dengan Apresiasi Kita

http://nunostory.net63.net/wp-content/uploads/2012/01/Apresiasi-Sastra.png





Apresiasi sastra di negeri ini agaknya masih menjadi sebuah Indonesia yang tertinggal. Dari sekitar 220-an juta penduduk yang menghuni bumi Indonesia bisa jadi hanya sekitar 10% yang memiliki kadar apresiasi sastra yang memadai. Selebihnya, masih terperangkap dalam pemujaan budaya pop; sebuah budaya yang berkiblat pada penikmatan dunia seni berdasarkan selera massal. Namun, kalau kita mau jujur, harus diakui bahwa sastra di negeri ini masih amat dimarginalkan. Lihat saja teks-teks sastra, seperti cerpen atau puisi yang bertaburan di media massa cetak pada setiap edisi Minggu. (Nyaris) teks-teks tersebut hanya sebatas dibaca beberapa gelintir orang saja. Berita-berita perselingkuhan, kekerasan, politik, hukum, olahraga, atau ekonomi, masih memiliki nilai jual tinggi ketimbang cerpen atau puisi. Tak berlebihan kalau banyak koran yang terpaksa harus menutup rubrik sastra lantaran sepi peminat.
Apresiasi sastra sangat erat kaitannya dengan pengalaman estetik, imajinatif, personal, dan kemampuan menggerakkan syaraf-syaraf intuitif untuk bersentuhan dengan beragam fenomena hidup dan kehidupan. Ia tak bisa disamakan ketika seseorang menyantap hamburger atau menenggak bir yang bisa langsung terasa di kerongkongan atau tenggorokan. Proses apresiasi sastra sangat erat kaitannya dengan ranah emosional dan pengalaman batiniah. Meski demikian, tidak lantas berarti bahwa proses apresiasi sastra menjadi sesuatu elitis dan soliter. Ia bisa digeluti, digauli, dan diakrabi oleh siapa pun tanpa membedakan status, jabatan, dan atribut-atribut sosial yang lain. Apresiasi sastra sah menjadi hak setiap orang. Ia akan sangat ditentukan oleh faktor minat dan kemauan politik untuk menyentuhnya.
Dengan kadar apresiasi sastra yang memadai, kita menjadi lebih toleran, peka, dan tak gampang terperangkap untuk melakukan tindakan-tindakan konyol yang bisa menodai citra keharmonisan hidup. Apresiasi sastra menjadi lorong yang tepat untuk membangun manusia yang lebih berbudaya, utuh, dan manusiawi. Melalui pengalaman-pengalaman hidup yang terungkap dalam teks sastra, pembaca akan mendapatkan asupan gizi batin yang cukup sehingga secara tidak langsung akan terus mengendap ke dalam gendang memori. Jika proses apresiasi sastra terus dilakukan secara intens dan total, kita makin kaya pengalaman hidup dan terus bersemayam ke dalam nurani, sehingga tak gampang menyakiti dan menistakan orang lain.
Perangkap budaya pop dan apresiasi sastra yang merana juga tampak jelas di layar kaca dengan bejibunnya sinetron picisan yang suka menguras air mata dan memuja hantu. Kisah yang disuguhkan makin jauh dari realitas dan tidak membumi. Namun, ironisnya, justru sinetron semacam itu yang disukai penonton. Pengelola stasiun TV agaknya paham benar dengan ledakan budaya massa yang semacam itu, sehingga tak mau melirik kisah-kisah pilihan yang mampu menyuburkan sikap empati penonton. Buat apa susah-susah membuat sinetron yang bagus kalau pada kenyataannya justru sepi penonton dan iklan?
Entah sampai kapan apresiasi sastra di negeri ini terus terpinggirkan. Dunia pendidikan yang diharapkan mampu menjadi benteng untuk menyelamatkan apresiasi sastra di kalangan generasi masa depan pun agaknya makin tak berdaya akibat demikian kuatnya gerusan budaya pop di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Sementara itu, menunggu keteladanan para pejabat dan kaum elite kita untuk mencintai dan mengakrabi sastra agaknya juga sebuah utopia bagaikan menunggu godot.

No comments:

Post a Comment