Kenapa Dengan Apresiasi Kita
Apresiasi sastra di negeri ini agaknya
masih menjadi sebuah Indonesia yang tertinggal. Dari sekitar 220-an juta
penduduk yang menghuni bumi Indonesia bisa jadi hanya sekitar 10% yang memiliki
kadar apresiasi sastra yang memadai. Selebihnya, masih terperangkap dalam
pemujaan budaya pop; sebuah budaya yang berkiblat pada penikmatan dunia seni
berdasarkan selera massal. Namun, kalau kita mau jujur, harus diakui bahwa
sastra di negeri ini masih amat dimarginalkan. Lihat saja teks-teks sastra,
seperti cerpen atau puisi yang bertaburan di media massa cetak pada setiap
edisi Minggu. (Nyaris) teks-teks tersebut hanya sebatas dibaca beberapa
gelintir orang saja. Berita-berita perselingkuhan, kekerasan, politik, hukum,
olahraga, atau ekonomi, masih memiliki nilai jual tinggi ketimbang cerpen atau
puisi. Tak berlebihan kalau banyak koran yang terpaksa harus menutup rubrik
sastra lantaran sepi peminat.
Apresiasi sastra sangat erat kaitannya
dengan pengalaman estetik, imajinatif, personal, dan kemampuan menggerakkan
syaraf-syaraf intuitif untuk bersentuhan dengan beragam fenomena hidup dan
kehidupan. Ia tak bisa disamakan ketika seseorang menyantap hamburger atau
menenggak bir yang bisa langsung terasa di kerongkongan atau tenggorokan.
Proses apresiasi sastra sangat erat kaitannya dengan ranah emosional dan
pengalaman batiniah. Meski demikian, tidak lantas berarti bahwa proses
apresiasi sastra menjadi sesuatu elitis dan soliter. Ia bisa digeluti, digauli,
dan diakrabi oleh siapa pun tanpa membedakan status, jabatan, dan atribut-atribut
sosial yang lain. Apresiasi sastra sah menjadi hak setiap orang. Ia akan sangat
ditentukan oleh faktor minat dan kemauan politik untuk menyentuhnya.
Dengan kadar apresiasi sastra yang
memadai, kita menjadi lebih toleran, peka, dan tak gampang terperangkap untuk
melakukan tindakan-tindakan konyol yang bisa menodai citra keharmonisan hidup.
Apresiasi sastra menjadi lorong yang tepat untuk membangun manusia yang lebih
berbudaya, utuh, dan manusiawi. Melalui pengalaman-pengalaman hidup yang terungkap
dalam teks sastra, pembaca akan mendapatkan asupan gizi batin yang cukup
sehingga secara tidak langsung akan terus mengendap ke dalam gendang memori.
Jika proses apresiasi sastra terus dilakukan secara intens dan total, kita
makin kaya pengalaman hidup dan terus bersemayam ke dalam nurani, sehingga tak
gampang menyakiti dan menistakan orang lain.
Perangkap budaya pop dan apresiasi
sastra yang merana juga tampak jelas di layar kaca dengan bejibunnya sinetron
picisan yang suka menguras air mata dan memuja hantu. Kisah yang disuguhkan
makin jauh dari realitas dan tidak membumi. Namun, ironisnya, justru sinetron
semacam itu yang disukai penonton. Pengelola stasiun TV agaknya paham benar
dengan ledakan budaya massa yang semacam itu, sehingga tak mau melirik kisah-kisah
pilihan yang mampu menyuburkan sikap empati penonton. Buat apa susah-susah
membuat sinetron yang bagus kalau pada kenyataannya justru sepi penonton dan
iklan?
Entah sampai kapan apresiasi sastra di
negeri ini terus terpinggirkan. Dunia pendidikan yang diharapkan mampu menjadi
benteng untuk menyelamatkan apresiasi sastra di kalangan generasi masa depan
pun agaknya makin tak berdaya akibat demikian kuatnya gerusan budaya pop di
tengah-tengah kehidupan masyarakat. Sementara itu, menunggu keteladanan para
pejabat dan kaum elite kita untuk mencintai dan mengakrabi sastra agaknya juga
sebuah utopia bagaikan menunggu godot.
No comments:
Post a Comment