Sunday, June 5, 2016

Contoh Cerpen "Surau Emak"



Surau Emak


 http://img14.deviantart.net/9458/i/2010/056/e/9/surau_at_night_by_dahareare.jpg



Perkuburan desa Tirtoasri lengang. Tinggal aku, Mbak Dian dan suaminya yang masih terpekur di dekat makam ibu. Beberapa orang yang tengah berziarah tampak akan pulang. Hari memang sudah mulai gelap. Sebentar lagi malam turun.
“Sudahlah, Ma. Ayo pulang! Nggak ada gunanya kamu menyesal,” suara kakak iparku sedang membujuk istrinya untuk pulang.
“Tunggu! Sebentar saja.”
Angin sore berhembus agak kencang. Menjatuhkan beberapa daun kamboja di atas makam ibu. Suara burung pekuburan memenuhi telingaku. Aroma kembang kamboja menusuk hidung.
“Ibu sudah bilang, tidak akan menjual surau itu apapun alasannya. Kalian ini bagaimana? Surau itu kan peninggalan mbah buyutmu, tanahnya tanah wakaf. Ibu gak mau kualat,” suara Ibu terdengar gusar.
“Tapi, Bu. Kita akan untung besar kalau mau menjualnya. Lihat, hampir semua tanah di sini sudah laku. Tinggal surau itu saja, Bu. Ayolah!” sergah Mas Rega.
“Tidak! Ibu harus bilang berapa kali sih? Surau itu amanah, setelah bapak kalian wafat tugas ibu adalah merawatnya. Begitupun kalian nanti jika ibu sudah mati.”
“Buk, Dian bukannya nggak takut kualat atau apapun, Dian cuma mau ibu jual tanahnya. Ibu ikut kami ke kota. Di sana ibu bisa hidup enak. Ngapain sih susah-susah jagain benda mati?”
Malam itu Mas Rega, Mbak Dian dan Ibu mempermasalahkan surau di sebelah rumah kami. Surau itu didirikan oleh mbah buyut kami. Tanahnya merupakan wakaf dari keluarga Haji Faisal yang kini bermukim di kota. Sudah turun-temurun surau itu dirawat oleh keluargaku. Sejak bapak meninggal, ibulah yang menghidupkan surau tersebut. Ibu mengajar ngaji pada anak-anak tetangga. Bahkan ibu sama sekali tidak pernah shalat di rumah demi menghidupkan surau tersebut.
Aku menghela napas. Mengingat ibu rasanya selalu sesak. Akan kebagi sebuah cerita yang sampai saat ini tidak berani kuceritakan pada sesiapapun.
*
Musim kemarau 10 tahun lalu. Malam itu luar biasa dingin. Aku sedang pulang ke rumah ibu. Entah kenapa malam itu aku susah tidur. Rasanya seakan mataku dipaksa terjaga. Padahal tubuhku luar biasa lelah. Untuk membuang penat, aku memutuskan untuk keluar rumah. Kebetulan, hari itu Mbak Dian dan suaminya sedang berlibur di rumah ibu.
Seluruh lampu mati. Suasana gelap pekat. Aku mendengar seperti ada yang tengah berbicara. Arah suaranya berasal dari kamar Mbakku.
“Tenang saja, Pak! Biar saya dan suami saya yang urus. Tua bangka itu memang keras kepala sekali. Dua hari lagi, saya pastikan Anda dengar kabar kematiannya.”
Aku segera menjauh dari pintu. Entah apa yang akan terjadi, perasaanku mulai tidak karuan. Aku bergegas ke kamar. Menutupi tubuhku dengan selimut. Kemudian bergegas tidur.
Esok harinya, aku mendapati Mbakku menangis di ruang tengah. Sementara Mas Rega tampak berdiri di dekat pintu. Wajahnya panik. Gestur tubuhnya menjelaskan bahwa ia sedang menunggu seseorang.
“Kenapa, Mbak?” tanyaku seraya memegang pundaknya.
“Ibu, Han. Ibu. Huhuhu...,”
Aku menangkap firasat tidak enak. Perasaanku mendadak tidak karuan.
“Ibu kenapa, Mbak?”
“Ibu meninggal,” sahut Mas Rega dingin. Aku tertawa.
“Mas jangan bercanda!” aku menyentak.
“Mana mungkin ibu meninggal. Orang semalam masih bercanda sama aku,” lanjutku.
Tiba-tiba beberapa orang lelaki berpakain putih muncul dari ruang tamu. Mereka membawa tandu dan langsung menerobos ke kamar ibu. Tak lama berselang tubuh kaku ibu terbujur kaku di atas tandu yang mereka bopong. Aku hanya diam.
Sejak saat itu, aku yakin, Mbak Dian dan suaminyalah yang membunuh ibu. Mereka ingin tanah surau itu dijual. Memang, surau kami terletak di pinggir jalan besar. Dan sejak proyek pengembangan desa dan pembangun komplek perumahan mulai digalakkan, banyak penduduk desaku yang menjual tanahnya. Dan mereka mengincar surau ibu untuk dijadikan pertokoan.
*
“Han, tolong kau bantu mbakmu. Biar aku mencari minum dahulu,” suara parau kakak iparku membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk, dan menghampiri Mbak Dian yang masih bersimpuh di dekat makam.
“Ayo, Mbak!” ajakku seraya membantunya berdiri.
Sesampainya di mobil, masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Aku tidak tahu, entah Mbak Dian menyesal sungguhan atau pura-pura. Karena malam setelah kematian ibu, aku melaporkan Mbak Dian bahwa ia yang membunuh ibu. Menurut pengakuannya, dia sengaja mencapur kopi yang diminum ibu dengan racun sianida. Bubuknya berwarna putih dan tidak berasa. Ia melalukannya karena sebal pada ibu yang sama keras kepala tidak mau menjual tanah suraunya. Ia melakukannya tanpa sepengetahuan Mas Rega. Sebenarnya, pagi itu saat Mbak Dian mendapati ibu dalam keadaan tak bernyawa, ia menyesal. Tapi terlambat. Kini ibu sudah tenang di sana.
“Han, Mbak menyesal,” Mbak Dian angkat suara.
“Menyesal karena sudah membunuh ibu?” sahutku ketus. Entah kenapa mendadak emosiku meletup.
“Iya, Han. Mbak khilap. Mbak gelap mata. Mbak, Mbak nggak tau harus bagaimana. Hu..hu..hu,” Mbak Dian mulai menangis lagi.
“Aku benci Mbak Dian. Karena Mbak Dian aku kehilangan ibu. Coba Mbak Dian pikir, kurang apa ibu sama kamu, Mbak?” aku menarik napas. Berusaha mengurangi emosiku.
“Maafin Mbak, Han,” Mbak Dian memelukku. Sesaat sebelum ia merengkuhku, mataku sempat menangkap kilatan sebuah benda di tangan Mbak Dian. Sebelum sempat aku sadar, benda tersebut sudah menusuk perutku. Mbak Dian menyeringai. Wajahnya semakin mengabur. Dan semuanya gelap

No comments:

Post a Comment