Surau Emak
Perkuburan desa
Tirtoasri lengang. Tinggal aku, Mbak Dian dan suaminya yang masih terpekur di
dekat makam ibu. Beberapa orang yang tengah berziarah tampak akan pulang. Hari
memang sudah mulai gelap. Sebentar lagi malam turun.
“Sudahlah, Ma. Ayo
pulang! Nggak ada gunanya kamu menyesal,” suara kakak iparku sedang membujuk
istrinya untuk pulang.
“Tunggu! Sebentar
saja.”
Angin sore berhembus
agak kencang. Menjatuhkan beberapa daun kamboja di atas makam ibu. Suara burung
pekuburan memenuhi telingaku. Aroma kembang kamboja menusuk hidung.
“Ibu sudah bilang,
tidak akan menjual surau itu apapun alasannya. Kalian ini bagaimana? Surau itu
kan peninggalan mbah buyutmu, tanahnya tanah wakaf. Ibu gak mau kualat,” suara
Ibu terdengar gusar.
“Tapi, Bu. Kita akan
untung besar kalau mau menjualnya. Lihat, hampir semua tanah di sini sudah
laku. Tinggal surau itu saja, Bu. Ayolah!” sergah Mas Rega.
“Tidak! Ibu harus
bilang berapa kali sih? Surau itu amanah, setelah bapak kalian wafat tugas ibu
adalah merawatnya. Begitupun kalian nanti jika ibu sudah mati.”
“Buk, Dian bukannya
nggak takut kualat atau apapun, Dian cuma mau ibu jual tanahnya. Ibu ikut kami
ke kota. Di sana ibu bisa hidup enak. Ngapain sih susah-susah jagain benda
mati?”
Malam itu Mas Rega,
Mbak Dian dan Ibu mempermasalahkan surau di sebelah rumah kami. Surau itu
didirikan oleh mbah buyut kami. Tanahnya merupakan wakaf dari keluarga Haji
Faisal yang kini bermukim di kota. Sudah turun-temurun surau itu dirawat oleh
keluargaku. Sejak bapak meninggal, ibulah yang menghidupkan surau tersebut. Ibu
mengajar ngaji pada anak-anak tetangga. Bahkan ibu sama sekali tidak pernah
shalat di rumah demi menghidupkan surau tersebut.
Aku menghela napas.
Mengingat ibu rasanya selalu sesak. Akan kebagi sebuah cerita yang sampai saat
ini tidak berani kuceritakan pada sesiapapun.
*
Musim kemarau 10 tahun
lalu. Malam itu luar biasa dingin. Aku sedang pulang ke rumah ibu. Entah kenapa
malam itu aku susah tidur. Rasanya seakan mataku dipaksa terjaga. Padahal
tubuhku luar biasa lelah. Untuk membuang penat, aku memutuskan untuk keluar
rumah. Kebetulan, hari itu Mbak Dian dan suaminya sedang berlibur di rumah ibu.
Seluruh lampu mati.
Suasana gelap pekat. Aku mendengar seperti ada yang tengah berbicara. Arah
suaranya berasal dari kamar Mbakku.
“Tenang saja, Pak! Biar
saya dan suami saya yang urus. Tua bangka itu memang keras kepala sekali. Dua
hari lagi, saya pastikan Anda dengar kabar kematiannya.”
Aku segera menjauh dari
pintu. Entah apa yang akan terjadi, perasaanku mulai tidak karuan. Aku bergegas
ke kamar. Menutupi tubuhku dengan selimut. Kemudian bergegas tidur.
Esok harinya, aku
mendapati Mbakku menangis di ruang tengah. Sementara Mas Rega tampak berdiri di
dekat pintu. Wajahnya panik. Gestur tubuhnya menjelaskan bahwa ia sedang
menunggu seseorang.
“Kenapa, Mbak?” tanyaku
seraya memegang pundaknya.
“Ibu, Han. Ibu.
Huhuhu...,”
Aku menangkap firasat
tidak enak. Perasaanku mendadak tidak karuan.
“Ibu kenapa, Mbak?”
“Ibu meninggal,” sahut
Mas Rega dingin. Aku tertawa.
“Mas jangan bercanda!”
aku menyentak.
“Mana mungkin ibu
meninggal. Orang semalam masih bercanda sama aku,” lanjutku.
Tiba-tiba beberapa
orang lelaki berpakain putih muncul dari ruang tamu. Mereka membawa tandu dan
langsung menerobos ke kamar ibu. Tak lama berselang tubuh kaku ibu terbujur
kaku di atas tandu yang mereka bopong. Aku hanya diam.
Sejak saat itu, aku
yakin, Mbak Dian dan suaminyalah yang membunuh ibu. Mereka ingin tanah surau
itu dijual. Memang, surau kami terletak di pinggir jalan besar. Dan sejak
proyek pengembangan desa dan pembangun komplek perumahan mulai digalakkan,
banyak penduduk desaku yang menjual tanahnya. Dan mereka mengincar surau ibu
untuk dijadikan pertokoan.
*
“Han, tolong kau bantu
mbakmu. Biar aku mencari minum dahulu,” suara parau kakak iparku membuyarkan
lamunanku. Aku mengangguk, dan menghampiri Mbak Dian yang masih bersimpuh di
dekat makam.
“Ayo, Mbak!” ajakku
seraya membantunya berdiri.
Sesampainya di mobil,
masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Aku tidak tahu, entah Mbak Dian
menyesal sungguhan atau pura-pura. Karena malam setelah kematian ibu, aku
melaporkan Mbak Dian bahwa ia yang membunuh ibu. Menurut pengakuannya, dia
sengaja mencapur kopi yang diminum ibu dengan racun sianida. Bubuknya berwarna
putih dan tidak berasa. Ia melalukannya karena sebal pada ibu yang sama keras
kepala tidak mau menjual tanah suraunya. Ia melakukannya tanpa sepengetahuan
Mas Rega. Sebenarnya, pagi itu saat Mbak Dian mendapati ibu dalam keadaan tak
bernyawa, ia menyesal. Tapi terlambat. Kini ibu sudah tenang di sana.
“Han, Mbak menyesal,”
Mbak Dian angkat suara.
“Menyesal karena sudah
membunuh ibu?” sahutku ketus. Entah kenapa mendadak emosiku meletup.
“Iya, Han. Mbak khilap.
Mbak gelap mata. Mbak, Mbak nggak tau harus bagaimana. Hu..hu..hu,” Mbak Dian
mulai menangis lagi.
“Aku benci Mbak Dian.
Karena Mbak Dian aku kehilangan ibu. Coba Mbak Dian pikir, kurang apa ibu sama
kamu, Mbak?” aku menarik napas. Berusaha mengurangi emosiku.
“Maafin Mbak, Han,” Mbak
Dian memelukku. Sesaat sebelum ia merengkuhku, mataku sempat menangkap kilatan
sebuah benda di tangan Mbak Dian. Sebelum sempat aku sadar, benda tersebut
sudah menusuk perutku. Mbak Dian menyeringai. Wajahnya semakin mengabur. Dan
semuanya gelap
No comments:
Post a Comment