DASAR-DASAR
APRESIASI SASTRA
Karya
sastra merupakan cerminan, gambaran atau refleksi kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra,
pengarang berusaha mengungkapkan suka duka kehidupan
masyarakat yang mereka rasakan atau mereka alami. Selain itu, karya sastra
menyuguhkan potret kehidupan dengan menyangkut persoalan sosial dalam masyarakat,
setelah mengalami pengendapan secara intensif dalam imajinasi pengarang, maka lahirlah
pengalaman kehidupan sosial
tersebut dalam bentuk karya sastra.
Dengan
hadirnya karya satra yang membicarakan persoalan manusia, antara karya sastra
dengan manusia memiliki hubungan yang tidak terpisahkan.Sastra dengan segala
ekspresinya merupakan pencerminan dari kehidupan manusia. Adapun permasalahan
manusia merupakan ilham bagi pengarang untuk mengungkapkan dirinya dengan media karya sastra.
Hal
ini dapat dikatakan bahwa tanpa kehadiran manusia, baik manusia sebagai
sastrawan maupun sebagai penikmat sastra kehadiran apresiasi sastra sangat
dibutuhkan karena dengan adanya kehadiran apresiasi sastra masyarakat akan
mengalami pengalaman kehidupan sosial
tersebut dalam bentuk karya sastra. Selain kehadiran apresiasi sastra timbullah
gejala-gejala yang menandai kehadirannya serta pendorong kehadiran apresiasi
sastra. Mencermati
hal tersebut, jelaslah manusia berperan sebagai pendukung yang sangat menentukan
dalam kehidupan sastra.Karya sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah
seni.Sastra merupakan segala sesuatu yang ditulis dan tercetak. Selain itu ,
karya sastra juga merupakan karya imajinatif yang dipandang lebih luas
pengertiannya.
Kehadiran
Apresiasi Sastra
Kehadiran
(eksistensi) apresiasi sastra masih sering dipertanyakan oleh orang banyak. Sebagian orang
berpendapat bahwa yang bernama apresiasi sastra itu ada. Sebagian orang yang
lain berpendapat sebaliknya. Pendapat masing-masing didasarkan pada
alasan-alasan tertentu atau argumen-argumen tertentu. Hal ini membuat
kehadiran apresiasi sastra belum mantap dan tegar. Karena itu, dalam bab ini di
paparkan ihwal kehadiran apresiasi sastra agar bisa di ketahui kemantapan dan
ketegaran apresiasi sastra. Untuk itu, dalam bab ini di paparkan ihwal
gejala-gejala yang menandai kehadiran apresiasi sastra dan ihwal factor-faktor
pendorong yang menyebabkan kehadiran apresiasi sastra.
Gejala
Kehadiran Apresiasi Sastra
Apresiasi
sastra memang benar-benar hadir secara subtansial dan mandiri dalam dunia (penghadapan) sastra dan memiliki jati diri
yang khas yang berbeda dengan yang lainnya, misalnya kritik sastra dan
penelitian sastra. Kehadirannya ini ditandai oleh berbagai gejala. Gejala kehadiran apresiasi sastra sebagai berikut.
Gejala
umum-awam
Gejala
umum-awam disini adalah gejala kehadiran apresiasi sastra yang tampak dalam
masyarakat sastra secara alamiah, wajar, dan tak tersadari oleh masyarakat
sastra. Gejala
ini sebenarnya merupakan penceburan dan penghanyutan serta penyatuan diri
(masyarakat sastra) ke dalam
makna
karya sastra,
suasana, dan sebagainya yang terdapat dalam
atau dipancarkan oleh karya sastra yang di hadapinya. Jadi, dalam gejala ini
masyarakat sastra melakukan penghadapan terhadap karya sastra secara penuh,
melebur, tanpa dibebani dan dibayangi oleh soal-soal teknis kesastraan. Malahan
masyarakat sastra tidak tahu-menahu akan soal-soal teknis kesastraan, misalnya
soal alur, penokohan, latar, perwatakan, dan tema.
Terdapat
beberapa gejala yang dapat digolongkan ke dalam gejala umum-awam ini.
Pertama,
gejala kepedulian dan pengindahan karya sastra oleh masyarakat sastra pada
umumnya. Gejala
kepedulian dan pengindahan karya sastra ini dapat disimak dan disaksikan dalam
kehidupan sehari-hari. Peristiwa sehari-hari, kita bisa menyimak dan
menyaksikan cukup banyak orang mengunjungi toko buku, mendatangi stand buku-buku sastra (puisi, prosa,
drama, dan ulasan-ulasan) dan kemudian memperhatikannya, membolak-baliknya,
membacanya secara sepintas, bahkan selanjutnya membelinya.
Kedua,
gejala pelisanan karya sastra dan penikmatan pelisanan karya sastra. Gejala pelisanan karya
sastra oleh orang kebanyakan dapat dilihat dan disaksikan diberbagai tempat,
wahana, dan pariwisata. Radio-radio
swasta niaga di Indonesia sekarang banyak yang menyelenggarakan paket acara
pelisanan karya sastra yang labelnya-sudah barang tentu-berbeda-beda, misalnya
Puisi dan Nada, Pelangi Sastra dan Mimbar Sastra. Paket acara semacam ini diudarakan pembacaan lisan atau
pelisanan berbagai ragam karya sastra yang bisa berupa puisi, prosa atau
lainnya yang ditulis oleh penikmatnya sendiri, bisa berupa puisi, drama atau
yang lainnya yang ditulis oleh sastrawan-sastrawan terkemuka, misalnya Sutardji
Calzoum Bachri, Taufik Ismail, dan Sapardi Djoko Damono. Gejala-gejala
penikmatan pelisanan karya sastra tersebut cukup intens oleh orang kebanyakan.
Pembacaan puisi oleh W.S. Rendra selalu ditonton dan di nikmati oleh banyak
orang dari berbagai lapisan masyarakat meskipun mereka harus membayar
Ketiga,
gejala omong-omong tentang karya sastra. Gejala ini dapat di temui di berbagai
tempat dan situasi kondisi,terutama tempat dan sikon santai dan tak resmi. Di
sela-sela kuliah, di sepanjang lorong
ruang kuliah, kita bisa menemuui mahasiswa-mahasiswa sedang berbincang-bincang
santai tentang karya sastra. Meskipun tak sekuat dan tak sevokal perbincangan
tentang ekonomi dan politik, dapat di pastikan tiada hari tanpa omongan tentang
karya sastra.Hari-hari yang berlalu yang di lintasi oleh manusia tampaknya
memang selalu diisi omongan tentang
sastra meskipun gema atau amplitudonya lemah.
Keempat, gejala
pengadaan lomba-lomba pembacaan karya sastra di berbagai tempat di Indonesia.
Frekuensi pengadaan lomba-lomba ini dapat di perkirakan semakin tinggi meskipun
tidak ada statistik
yang menopangnya. Berbagai
lembaga, kelompok, dan/atau instansi seolah-olah bersaing mengadakan lomba
semacam ini. Peserta
lomba-lomba inipun sangat beraneka ragam, mulai ibu-ibu rumah tangga sampai
dengan kaum pelajar, terutama pecinta karya sastra.Semua ini menandakan bahwa
karya sastra mendapat perhatian, penikmatan dan pencernaan dari kalangan luas
dan beraneka ragam.
Gejala
khusus-teknis
Gejala
khusus teknis di sini ialah gejala kehadiran apresiasi sastra yang tampak dalam
kenyataan-kenyataan dan peristiwa-peristiwa yang unsur ilmiahnya kuat, tersadari, dan dipandu oleh akal
budi. Gejala-gejala ini lebih merupakan usaha-usaha pembahasan dan pengajian
serta penggalian sosok apresiasi
sastra oleh elite masyarakat sastra terdapat beberapa gejala yang dapat di
golongkan kedalam gejala teknik khusus ini.
Pertama, gejala
di tulisnya buku-buku yang bertopik dan atau bertajuk apresiasi sastra oleh
orang-orang yang relatif
berkemampuan (ber-competence). Hingga
sekarang sudah berpuluh-puluh buku dan tulisan lain (artikel, makalah, diktat, dan sebagainya)
tentang apresiasi sastra yang di tulis oleh orang.
Kedua,
gejala adanya rubrik-rubrik di majalah dan Koran yang bertajuk apresiasi sastra.
Rubrik ini di bicarakan dan di dedah berbagai hal-ihwal mengenai sastra
terutama puisi dan prosa, antara lain mengenai maksud puisi, puisi yang
berkisah, napas dalam puisi, hambatan menghayati puisi dan lirik yang dramatis.
Hal tersebut mengisyaratkan bahwa kita meyakini adanya sesuatu yang di namakan apresiasi sastra. Paling tidak, secara
bawah sadar dan sadar kita telah sering menyebut nama apresiasi sastra.
Ketiga,
gejala pemformalan dan pencantuman istilah apresiasi
sastra beserta wujud dan isinya dalam kurikulum berbagai lembaga pendidikan
formal. Pemformalan dan pencantuman apresiasi sastra dalam kurikulum tersebut
di atas mengakibatkan semua buku pelajaran bahasa Indonesia menyuguhkan pokok
bahasan apresiasi sastra meskipun wujud dan isi suguhannya antara buku yang
satu dan buku yang lain berbeda-beda.
Keempat, gejala
adanya penelitian-penelitian taraf kemampuan apresiasi sastra yang di kerjakan
oleh pakar-pakar, ahli-ahli, dan akademisi-akademisi, bahkan
mahasiswa-mahasiswa bidang pendidikan bahasa dan sastra yang sedang mengerjakan
skripsi.
Kelima, gejala
pertemuan-pertemuan ilmiah yang membahas ikhwal apresiasi sastra. Banyak sekali pertemuan
ilmiah, baik berbentuk seminar, panel diskusi maupun lainnya yang membahas
ihwal sosok konsepsional dan konseptual apresiasi sastra.hal ini menandakan
bahwa sosok dan jati diri kehadiran apresiasi sastra menjadi perbincangan
ilmiah.Maksudnya, secara ilmiah kehadiran apresiasi sastra di perhatikan dan di
perbincangkan.
Pendorong
Kehadiran Apresiasi Sastra
Berdasarkan beberapa gejala
baik gejala umum-awam maupun khusus-teknis yang telah di paparkan di atas, kita
dapat menyimpulkan bahwa sebagai berikut.
A. Pada
umumnya kita merasa yakin bahwa sesuatu yang di namakan apresiasi sastra itu
hadir secara substansial dan mandiri walaupun kita belum mengetahui sosok dan
jati dirinya secara tegas
B. Pada
umumnya kita merasa yakin bahwa apresiasi sastra berbeda dan dapat di bedakan
dengan, misalnya,kritik sastra dan penelitian sastra dan
C. Apresiasi
sastra merupakan sosok tersendiri dalam dunia (penghadapan) sastra atau dunia
penggaulan sastra yang harus di akui dan diabsahkan.
Dengan
demikian, secara umum dapat di simpulkan bahwa apresiasi sastra hadir secara
substansial dan mandiri dalam dunia (penghadapan) sastra. Hal ini membawa risiko
bahwa kehadiran apresiasi sastra harus diterima sebagai fakta walaupun secara
oprasional kita masih sukar menemukan sosok jati dirinya. Secara dikotomis faktor-faktor pendorong
kehadiran apresiasi sastra dapat di golongkan ke dua golongan yaitu pendorong
internal dan pendorong eksternal.
Faktor
pendorong internal
Faktor pendorong internal
ialah faktor-faktor pendorong
kehadiran apresiasi sastra yang berasal dari karya sastra sendiri. Dalam hubungan ini
karya sastra di perlakukan sebagai sosok hidup yang memiliki daya diri untuk
mengatur dirinya sendiri dan” memikat” orang yang menggauli dan menggumulinya,
bukan sekadar barang mati (artefak) yang hampar daya yang dilecehkan oleh orang banyak. Sebagai
sosok yang hidup, dengan daya dirinya sastra mampu mengembangkan dirinya
sendiri. Dengan daya dirinya pula sastra mampu membangun, mendirikan, dan
menegakkan dunia tersendiri berbeda dengan dunia social, dunia ekonomi, dunia
politik, dan dunia empiris lain. Dunia seperti ini memberikan kenyamanan
psikologis dan batiniah kepada manusia.
Manusia
dibebaskan dan dilepaskan dari kekerasan, kecurigaan,
kemunafikan, kebohongan, kepura-puraan, kedengkian kecemburuan, ketamakan, dan
kesombongan, serta kecongkakan. Itulah sebabnya sastra mampu hidup terus
menerus sepanjang sejarah manusia. Hal ini kemudian menjadi pendorong bagi
hadirnya apresiasi sastra dalam dunia (penghadapan) sastra.
Faktor
pendorong eksternal
Faktor pendorong eksternal
disini ialah factor-faktor pendorong kehadiran apresiasi sastra yang ada di luar
karya sastra.
Pertama, bahwa
manusia memerlukan sastra karena sastra dapat memenuhi keperluan hidupnya.
Kedua, manusia
menciptakan institusi-institusi tertentu untuk mewadahi keperluannya akan
sastra. Institusi-institusi tertentu ini kemudian menjadi pendorong bagi
hadirnya sesuatu yang bersangkutan dengan sastra. Dengan demikian faktor pendorong eksternal
kehadiran apresiasi sastra dapat berasal dari diri manusia dan institusi yang
di ciptakannya.
HAKIKAT APRESIASI SASTRA
Apresiasi
sastra sebagai peristiwa atau fenomena kesenian, bukan peristiwa atau fenomena
keilmuan, keamanan, politis, sosial, ekonomis, bisnis, dan lain-lain. Keseniaan
sastra lebih banyak bersangkutan dengan jiwa, nurani, budi, rasa, emosi, dan
afeksi daripada keterampilan tangan dan kemahiran fisikal (bersangkutan dengan
dimensi nonfisikal daripada dimensi fisikal) bergantung pada waktu, suasana,
dan konteks peristiwa daripada tempat, cara-cara baku, dan teori-teori mapan.
Sampai saat ini sastra menjadi peristiwa kerohanian atau kekalbuan dan
kewaktuan.
Andaikata
keterampilan tangan dan kemahiran fisikal (techne)
diperlukan hendaklah keterampilan tangan dan kemahiran fisikal itu disikapi dan
dipandang sabagai pembayangan,pembadanan,atau penyosokan peristiwa kerohanian
atau kekalbuan tersebut. Selain itu,andaikata tempat,cara-cara baku,dan
teori-teori mapan diperlukan,hendaklah hal itu disikapi dan dipandang sebagai
penghentian atau pemotretan peristiwa kewaktuan tersebut. Dengan
demikian,pembadanan atau penyosokan dan penghentian atau pemotretan sekadar
sebagai sarana dan wahana perwujudan dan penampakan (manifestasi) peristiwa
saja,bukan peristiwanya sendiri.
Sejalan
dengan itu, apresiasi sastra sesungguhnya dan pertama-tama tidak bekerja dengan
rumus-rumus,pola-pola,kaidah-kaidah,dan perangkat-perangkat hokum( kesenian
khususnya kesastraan) yang relatif baku,umum ,dan selalu berulang bagi siapa
saja. Tanpa semua itu apresiasi sastra sudah dapat bekerja. Meskipun
demikian,memang patut diakui bahwa rumus-rumus,pola-pola,kaidah-kaidan,dan
perangkat-perangkat hukum itu dapat membantu berlangsungnya apresiasi sastra.
Tentu saja harus diberi catatan bahwa semua itu tidak primer,tetapi sekunder
berkala. Dikatakan demikian karena yang primer dalam apresiasi sastra adalah kesiapan
dan keterbukaan kalbu,keadaan cita rasa,kualitas emosi,kebeningan
nurani,kebersihan ketulusan kejujuran jiwa daya dan ketajaman budi, dan
sejenisnya.
Hal tersebut mengimplikasikan bahwa
apresiasi sastra bekerja pada tingkat subjektif dan eksistensial, bukan
objektif dan diskursif sebagaimana ilmu bekerja. Pengertian subjektif dan
ekstensial disini bukanlah subjektif yang manipulatif, eskapsis, kamuflastis,
penuh kepura-puraan, penuh kemunafikan, penuh kebohongan, penuh kelicikan,
penuh tipu daya, dan penuh kesombongan, melainkan subjektif dan eksistensial
yang jujur, luhur, mulia, dan penuh kearifan, penuh pengorbanan, penuh
keberanian, dan penuh tanggung jawab.
Dengan kesubjektifan dan
keeksistensialan kerja tersebut diatas niscaya seseorang mampu membedah, kemudian
menyelusup kedalam” tulang sumsum” fenomena sastra bias merenangi, kemudian
menyelami dan mengarungi”samudra” kedalaman dan keluasan fenomena sastra. Dia
pun niscaya mampu mengindahkan ,menikmati, menjiwai, menghayati sastra secara
khusuk dan khafah, lebih-lebih lagi apabila dia sudi menceburkan diri
,memasrahkan diri,kemudian membaktikan diri sepenuhnya kedalam sastra, dia akan
memperoleh sesuatu daripadanya (baik pengalaman, pengetahuan, maupun penyadaran
dan penghiburan). Selanjutnya dalam dirinya akan tumbuh,berkembang dan terpiara
kepedulian , kepekaan, ketajaman, kecintaan dan keterlibatan terhadap karya
sastra. Demikian juga karya sastra juga dapat tumbuh,dan terpiara dengan baik.
Di sini terjadilah hubungan dialektis antara karya sastra dan manusia selaku
pengapresiasi sastra. Terjadilah hubungan dialektis ini lebih jauh akan
memperkukuh kehadiran apresiasi sastra.
Pengertian Apresiasi Sastra
Pengertian
apresiasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penilaian penghargaan,
misalnya terhadap karya-karya sastra ataupun karya seni. Apresiasi berasal dari
bahasa Inggris, appreciation yang
berarti penghargaan yang positif. Sedangkan pengertian apresiasi adalah
kegiatan mengenali, menilai, dan menghargai bobot seni atau nilai seni.
Biasanya apresiasi berupa hal yang positif tetapi juga bisa yang negatif.
Sasaran utama dalam kegiatan apresiasi adalah nilai suatu karya seni. Secara
umum kritik berarti mengamati, membandingkan, dan mempertimbangkan. Tetapi
dalam memberikan apresiasi, tidak boleh mendasarkan pada suatu ikatan teman
atau pemaksaan. Pemberian apresiasi harus dengan setulus hati dan menurut
penilaian aspek umum.
Hingga
sekarang apresiasi sastra masih sering kacau dan rumpang (overlaping) dengan
pengertian kritik sastra dan penelitian sastra. Malahan pengertian ketiga sosok
tersebut kabur atau dikaburkan. Kekacauan, kerumpangan,atau kekaburan itu
antara lain terlihat pada adanya unsur rasionalisasi dan evaluasi pada ketiga
sosok tersebut. Kenyataan seperti ini pada umumnya sudah disadari oleh para
pakar dan ahli sastra. Meskipun demikian, para pakar dan ahli sastra belum juga
memberikan batas-batas perbedaan pengertian antara apresiasi sastra,kritik
sastra,dan penelitian sastra secara jelas dan tegas sehingga kekacauan, kerumpangan,dan
atau kekaburan pengertian terus berlangsung hingga kini.
Di samping itu, pengertian apresiasi
sastra yang ada hingga sekarang sangat beraneka ragam. Keanekaragaman ini
disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,
apresiasi sastra memang merupakan fenomena yang unik dan rumit. Keunikan dan
kerumitan ini setidak-tidaknya dapat disimak pada penjelasan diatas. Kedua, terjadinya perubahan dan
perkembangan pemikiran tentang apresiasi sastra. Dari waktu ke waktu dan orang
satu dan orang lain pemikiran tentang apresiasi sastra selalu berubah-ubah dan
berkembang sehingga tak pernah ada satu pengertian apresiasi sastra yang
berwibawa dan diikuti oleh banyak kalangan. Ketiga,
adanya perbedaan penyikapan pendekatan terhadap hakikat apresiasi sastra. Hal
ini menyebabkan munculnya beraneka ragam pengertian apresiasi sastra. Keempat,
adanya perbedaan kepentingan diantara orang yang satu dengan orang yang lain.
Hal ini menyebabkan mereka merumuskan pengertian apresiasi sastra menurut
kepentingan masing-masing tanpa menghiraukan dan mengindahkan hakikat apresiasi
sastra secara utuh dan lengkap.
Pengertian
apresiasi sastra dari beberapa ahli sebagai berikut.
A. Panuti
Sudjiman (1990: 9) menyatakan
bahwa apresiasi sastra adalah penghargaan terhadap karya sastra yang didasarkan
atas pemahaman.
B. T.Suparman
Natawidaja (1981: 1) menyatakan Apresiasi sastra adalah pemahaman dan
penghargaan atas suatu hasil seni atau budaya.
C. Tarigan (1984: 41) menyatakan bahwa Apresiasi sastra
adalah penaksiran kualitas karya sastra serta pemberian nilai yang wajar
kepadanya berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang sadar dan kritis.
D. Effendi (1982: 7) menyatakan bahwa apresiasi sastra
adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga timbul
pengertian,penghargaan,kepekaan pikiran kritis dan kepekaan perasaan yang baik
terhadap cipta sastra.
E. Zakaria (1981: 6) menyatakan bahwa apresiasi sastra ialah
kegiatan memahami cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga menimbulkan
pengertian dan penghargaan yang baik terhadapnya.
Pengertian
apresiasi sastra secara umum adalah proses (kegiatan) pengindahan,
penikmatan,penjiwaan, dan penghayatan dan penghayatan karya sastra secara
individual dan momentan, subjektif dan eksistensial, rohaniah dan budiah,
khusus dan kafah, dan intensif dan total supaya memperoleh sesuatu daripadanya
sehingga tumbuh, berkembang, dan terpiarah kepedulian,kepekaan,
ketajaman,kecintaan dan keterlibatan terhadap karya sastra.
Berdasarkan
beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa apresiasi sastra
mengandung lima pokok garis besar, sebagai berikut.
A.
Proses(kegiatan)
pengindahan,penikmatan,penjiwaan, dan penghayatan karya sastra.
B.
Secara individual
dan momental,subjektif dan eksistensial, khusuk dan kafah, intensif dan total.
C.
Supaya memperoleh
sesuatu daripadanya.
D.
Sehingga tumbuh,
berkembang dan terpiara.
E.
Kepedulian,kepekaan,ketajaman,
kecintaan, dan keterlibatan terhadap karya sastra.
Wilayah Garapan Apresiasi Sastra
Wilayah
garap apresiasi sastra, kritik sastra, dan penelitian sastra sering rumpang dan
berbenturan. Sering ditemui tulisan-tulisan yang disebut apresiasi sastra
ternyata menggarap wilayah kritik sastra. Demikian juga sering kita lihat
tulisan-tulisan yang disebut kritik sastra ternyata menggarap wilayah apresiasi
sastra. Penelitian sastra pun sering menggarap wilayah kritik sastra dan
apresiasi sastra. Bahkan kadang-kadang kita kesulitan membedakan apakah suatu
tulisan itu penelitian sastra, kritik sastra, apresiasi sastra atau esai
sastra.
Perbedaan wilayah garap apresiasi
sastra, kritik sastra, dan penelitian sastra agaknya akan sulit diidentifikasi
jika kita berhenti pada karya sastra. Dikatakan demikian karena baik apresiasi
sastra, kritik sastra maupun penelitian sastra absah menjelajahi seluruh
fenomena karya sastra. Perbedaan wilayah garap ketiganya baru jelas
diidentifikasi jika kita memerhatikan cirri-ciri perilaku yang harus ada dalam
ketiga kegiatan tersebut. Jadi, untuk melihat gambaran wilayah garap apresiasi
sastra kita harus mengidentifikasi cirri-ciri perilaku yang harus ada dalam
apresiasi sastra.
Sejalan dengan hakikat, pengertian,
dan pokok persoalan yang sudah dikemukakan tersebut di atas, kita memahami
bahwa apresiasi sastra merupakan kegiatan internalisasi sastra, sementarakritik
sastra dan paresiasi sastra merupakan kegiatan rasionalisasi sastra. Dalam
internalisasi sastra, jarak harus dileburkan dan jarang harus ditimbun antara
manusia-pembacanya dan karya sastra, sementara dalam rasioanalisasis sastra,
jarak justru harus diciptakan–direntangkan
dan jurang mesti digali antara manusia-pengeritik dan karya sastra. Hal
ini berarti bahwa kegiatan apresiasi sastra lebih merupakan suatu seni (kiat),
sedangkan kritik sastra dan penelitian sastra lebih merupakan kegiatan
keilmuan.
Sebagai suatu seni (kiat), apresiasi
sastra menekankan perilaku pengindahan, penikmatan, dan penghargaan sastra.
Dalam pada itu, sebagai kegiatan keilmuan, kritik sastra dan penelitian sastra
menekankan hal lain. Kritik sastra menekankan perilaku pencarian, penilaian,
dan penghakiman kebenaran nilai-nilai atau segala sesuatu yang ada dalam
sastra. Penelitian sastra menekankan perilaku pengamatan (observasi), pemerian
(deskripsi), dan penjelasan (eksplanasi) segala sesuatu yang ada dalam sastra.
Hal ini mengimplikasikan, dalam apresiasi sastra berlangsung penerimaan
sepenuhnya karya sastra, sedangkan dalam kritik sastra da penelitian
berlangsung pencurigaan atau penyangsian karya sastra. Dengan demikian,
apresiasi sastra lebih meminta keakraban antara pembaca dan karya sastra,
sedangkan kritik sastradan penelitian sastra justru meminta keformalan antara
pengkritik dan peneliti dan karya sastra. Hal ini dapat diibaratkan bahwa dalam
apresiasi sastra, hubungan antara pengapresiasi dan karya sastra merupakan
hubungan dua kekasih (bukan orang lain); sementara dalam kritik sastra dan
penelitian sastra, hubungan pengkritik da peneliti dengan karya sastra
merupakan hubungan orang lain.
Kita
bisa menyimpulkan bahwa yang digarap oleh apresiasi sastra, kritik sastra, dan
penelitian sastra adalah sastra; ketiganya sama-sama menggarap sastra. Namun
ketiganya menggarap sastra secara berbeda-beda. Apresiasi sastra lebih
merupakan internalisasi, subjektif, komunikatif, dan tak dapat selalu dipandu
oleh teori tertentu, sedangkan kritik sastra dan penelitian sastra llebih merupakan
rasinalisasi, objektif, dan dipandu oleh teori tertentu serta evaluative.
Dengan demikian, jelaslah wilayah garap apresiasi sastra, yaitu wilayah yang
menuntut internalisasi, subjektivitas yang jujur dan luhur serta mulia, dan
individual bergantung pada pengapresiasinya.
Status Kehadiran Apresiasi Sastra
Penjelasan
sebelumnya telah dikemukaan bahwa apresiasi sastra bekerja secara subjektif,
individual, internalistis, momentum, tanpa perlu dipandu oleh oleh teori
tertentu, dan tak evaluative. Hal ini berarti bahwa kehadiran apresiasi
ditengah-tengah dunia (penghadapan) sastra bukan sebagai ilmu. Dikatakan
demikian karena ilmu justru menuntut objektivitas, kolektivitas (sebab mesti
bisa diuji oleh orang lain!), rasionalitas dipergunakannya teori tertentu, dan
evaluatif atau eksplanatif. Padahal semua ini tak bisa dipenuhi oleh apresiasi
sastra. Meskipun demikian, kehadiran apresiasi sastra juga tidak dapat
dikatakan sebagai keterampilan karena keterampilan selalu mekanistik, penuh
keberulangan, dan cara-carnya tergolong baku. Padahal semua ini juga tak
terdapat dalam apresiasi sastra. Hal ini menunjukkan bahwa apresiasi sastra
bukanlah suatu ilmu dan bukan pula suatu keterampilan.
Beberapa alasan dapat dikemukakan
status apresiasi sastra sebagai berikut.
A. Secara primer apresiasi sastra dapat berlangsung tanpa
harus disangga oleh teori tertentu. Asalkan ada kemauan, kesungguhan, dan
iktikad baik pengapresiasi (bisa dibaca: apresiator), maka apresiasi sastra
sudah dapat berlangsung. Hal ini menunjukkan bahwa seorang pengapresiasi tidak
harus menguasai suatu teori sastra dan atau teori apresiasi sastra lebih dahulu
sebelum dia berhak mengapresiasi sastra.
B. Secara sekunder
apresiasi sastra dapat berlangsung dengan ditopang oleh teori tertentu baik
teori apresiasi sastra maupun teori sastra. Meskipun bukan condition sinquanon,
teori linguistik, stilistik, estetika resepsi, formalisme, dekonstruksionisme,
feminism, dan sebagainya bisa membantu berlangsungnya apresiasi sastra yang
ditopang oleh teori tertentu ini sesungguhnya merupakan kelanjutan apresiasi
sastra taraf literary enjoyment.
C. Meskipun apresiasi sastra berlangsung secara individual,
subjektif, dan momentan, percobaan secara berulang-ulang dan terus-menerus
dapat memantapkan keberlangsuangan apresiasi sastra. Jika kita melisankan
(poetry reading) Jante Arkidam (Ajip Rosidi), kita bisa berlatih melisankan
secara berulang-ulang dan terus-menerus sambil mencari kemungkinan-kemungkinan
terbaik pelisanan Jante Arkidam itu.
D. Perwujudan kegiatan apresiasi sastra bermacam-macam dari
satu saat ke saat lain dan dari satu orang ke orang lain walupun sastra yang
diapresiasi sama dan dengan latihan-latihan yang sama pula. Meskipun B. Sri
Azemi dan D. Saryono, misalnya, terus berlatih melisankan puisi Suto Mencari
Bapa (W.S. Rendra) dengan cara yang sama, pelisanan atau pembacaan keduanya
dapat dipastikan berbeda; bahkan pelisanan B. Sri Azemi atas puisi Suto Mencari
Bapa pada kemarin dan hari ini berbeda meskipun orangnya sama.
Keempat
alasan di atas, sekali lagi, kita dapat menegaskan bahwa status kehadiran
apresiasi sastra adalah sebagai kiat atau seni, bukan ilmu atau keterampilan;
dapat dikatakan merupakan pemanduan dan pengkristalan unsur ilmu dan
keterampilan. Ini mengimplikasikan bahwa dalam apresiasi sastra dan unsur-unsur
yang bisa dipelajari dan unsur-unsur yang harus dilatih. Unsur-unsur yang bisa
dipelajari dikuasai dengan membaca berbagai brbagai buku yang berkenaan dan
berhubungan dengan apresiasi sastra. Sedang unsur-unsur yang harus dilatih
hanya bisa dikuasai dengan jalan tergelut dan bergumul dengan berbagai hal yang
berkenaan dan berhubungan dengan apresiasi sastra. Hal ini berarti bahwa
terdapat aspek keberencanaan pada unsur yang bisa dipelajari dan aspek
kespontanan-kepekaan pada unsur yang harus dipelajari.
Manfaat Apresiasi
Dalam
sebuah pertemuan sastra, seorang yang biasa bergelut di bidang eksak menyatakan bahwa orang yang membaca karya
prosa sedang melakukan pekerjaan yang sia-sia dan tak ada artinya karena
menghabiskan waktu hanya untuk membaca khayalan.
Imajinasi sangat bermanfaat dalam
kehidupan, termasuk imajinasi yang ada dalam cerita rekaan (karya fiksi).
Cerita rekaan, karena mengandung imajinasi, dapat memperkaya imajinasi
pembacanya. Kekayaan imajinasi ini akan membantu manusia lebih cerdas dan
kreatif dalam membangun kehidupan. Di samping itu, sudah menjadi
naluri/kebutuhan manusia menyukai cerita. Dalam berbagai masyarakat
tradisional, muncul cerita-cerita mythe, legenda, dan lain-lain. Orang pun bisa
tahan berjam-jam (bahkan semalam suntuk) untuk menonton pertunjukan wayang.
Lalu mengapa, orang bisa tahan membaca novel seharian sementara membaca
buku-buku ilmu pengetahuan cepat merasa jenuh?
Hal itu terjadi karena dari cerita
rekaan/prosa-fiksi orang mendapat hiburan. Tetapi, manfaat cerita prosa lebih
dari itu. Ia tidak hanya menghibur, tetapi juga berguna, atau yang diistilahkan
filsuf Horace, dulce et utile.
Cerita
prosa bukan hanya berfungsi sebagai sarana hiburan. Cerita prosa adalah sarana
kita untuk bercermin tentang kehidupan. Benar bahwa yang disajikan dalam cerita
prosa adalah hasil imajinasi pengarang. Akan tetapi, imajinasi tersebut adalah
hasil olahan pengarang dari apa yang dihayatinya dari realitas (kenyataan).
Dalam karya prosa, sesungguhnya pengarang menyuguhkan kembali hasil pengamatan
dan pengalamannya kepada pembaca. Pengalaman yang disuguhkannya itu adalah
pengalaman yang sudah melalui proses perenungan dan pemahaman yang lebih tajam
dan dalam. Dengan demikian, tatkala pembaca mambaca karya prosanya, ia mendapatkan
suatu pandangan baru tentang kehidupan yang memperkaya amatannya terhadap
kehidupan yang ia kenal sehari-hari. Dalam kaitan ini, karya prosa sesungguhnya
membantu pembaca untuk lebih memahami kehidupan dan memperkaya
pandangan-pandangan tentang kehidupan.
Media
pengungkapan karya prosa adalah bahasa. Dalam menyajikan cerita dalam karyanya,
pengarang berupaya menyuguhkannya dalam bahasa yang dapat menyentuh jiwa
pembacanya. Untuk mencapai hal itu, para pengarang berupaya mengolah bahasa
dengan sabaik-baiknya dan sedalam-dalamnya agar apa yang disampaikannya kuat
mengena di hati pembaca. Mereka mencari kosakata-kosakata yang tepat yang dapat
mewakili apa yang mereka inginkan, menciptakan ungkapanungkapan baru,
menvariasikan struktur kalimat, memberi penggambaranpenggambaran yang hidup
dengan bahasa, dan seterusnya. Dengan membaca karya yang telah mengandung
bahasa yang terolah tersebut, pembaca diperkaya bahasanya, diperkaya rasa
bahasanya, dan sebagainya.
Tentulah
masih banyak manfaat-manfaat dari membaca (mengapresiasi) karya prosa.
Intensitas kita membaca karya prosa, pada gilirannya akan mempertajam kepekaan
kita; kepekaan sosial, kepekaan religi, kepekaan budaya, dan lain-lain.
Tujuan Apresiasi Sastra
Proses
apresiasi merupakan bertemua antara sastra dan manusia. Terjadinya proses
tersebut berarti terdapat perjumpaan antara pengapresiasi dan yang diapresiasi.
Perjumpaan ini menimbulkan apresiasi sastra.
Kehadiran apresiasi sastra
sesungguhnya mempunyai satu tujuan yaitu membangun dunia perjumpaan antara
manusia dan sastra. Dunia yang tercipta itulah yang mengakibatkan manusia
memperoleh manfaat dari sastra yang diapresiasi. Manusia menerima pengalaman,
pengetahuan , kesadaran dan hiburan.
1)
Pengalaman
Segala
sesuatu yang dapat, boleh dan mungkin di alami oleh manusia selam hidup didunia
fana ini dapat disebut pengalaman manusia. Pengalaman yang dimaksud disini
bukan pengalaman empiris, fisikal dan kasat mata yang memperlukan tindakan
jasmani melainkan pengalaman non empiris, non fisikal atau metafisikal, dan
tidak kasat mata yang sesungguhnya hanya berkelebatan dalam rohani kita.
Misalnya, ketika menonton pemain sepak bola, maka menonton sepak bola ini dapat
disebut pengalaman manusia empiris, fisikal, dan kasat mata. Akan tetapi,
ketika duduk mencangkup merenungkan sesuatu sehingga seakan-akan dalam suatu
tempat penuh pergolakan, maka ini dapat disebut pengalaman manusia yang non
empiris, non fisikal dan tak kasat mata. Pengalaman terakhir ini merupakan
pengalaman dalam kegiatan apresiasi satra. Jadi pengalaman dalam apresiasi
sastra merupakan pengalaman rohaniah-batiniah manusia, bukan pengalaman
jasmaniah.
2)
Pengetahuan
Pengetahuan berbeda dengan pengalaman meskipun sesudah
melawati proses mengedapan dan pengonseptualan pengalaman bisa menjadi pengetahuan.
Pengetahuan lebih konsepyual, koknitif (baik tak sadar maupun sadar), dan
diskursif di bandingkan dengan pengalaman yang naratof,ekspresif, dan subjektif
sekali. Dengan kata lain, pengetahuan merupakan hasil tahu manusia sedang
pengalaman merupakan hasil mengalami manusia; disini terlihat bahwa pengetahuan
melalui penyimpulan, sedangkan pengalaman melalui pencerapan.
Di samping menghidangkan pengalaman-pengalaman, apresiasi
sastra juga menghidangkan pengetahuan-pengetahuan. Pengetahuan yang terhidang
selama apresiasi sastra berlngsung merupakan penangkapan kognitif, konseptual,
dan penyimpulan atas fenomena-fenomena karya sastra tang kita apresiasi. Selama
dan sesudah aoresiasi astra berlangsung, setelah melakukan penyimpulan dan
pengonseptualan apa yang kita apresiasi, kita bisa mendulang bermacam-macam
pengetahuan. Naruni, rasa, dan budi kita bisa menjiwai, menghayati, dan
menikmati bermacam-macam pengetahuan yang terangsangkan kepada kita.
3)
Kesadaran
Di samping menghidangkan penegtahuan-pengetahuan dan
pengalaman-pengalaman , apresiasi sastra juga menghidangkan dan memberikan
kesadaran kepada pengapresiasinya. Radar-radar penjiwaan, penghayatan, dan
penikmatan pengapresiasi diharapkan bias mengirimkan sinyal-simyal kesadaran
kepada nurani, rasa, dan budi si pengapresiasi. Pada waktu pengapresiai satra,
kita juga bisa memperoleh kesadaran betapa kejamnya dan begisnya penjajahan dan
bentuk-bentuk penindasan lain. Kebobrokan dan kerapuhan institusi sosial dan
pribadi-pribadi manusia pun dapat kita sadari adanya pada waktu mengapresiasi
satra. Karya sastra banyak menghidangkan, dalam arti merekan dan menanggapi,
kebobrokan dan kerapuhan
Hakikat manusia dan hidup manusia bisa juga disadari
melalui apresiasi sastra. Satra yang baik selalu menhidangkan permenungan
tentang hakikat manusia dan hidup manusia di dunia. Andaikata diapresiasi
puisi-puisi Emha Ainun Hajib (misalnya Seribu Masjid, satu Jumlahnya) dan
cerpen-cerpen Danarto (misalnya dalam kumpulan Adam Ma’rifat) kita disdarkan
bahwa manusia merupakan khalifah Allah di bumidan karena itu hidup manusia
harus diarahkan untuk beribadah kepada Allah semata-mata. Denagn kebebasan itu
hidup manusia diabdikan unuk mencari jatidiri, kepenuhan makna,dan sebagainya.
Pencarian itu bisa berupa pengembraan, ziarah terus-menerus, dam menggelandang
pada berbagai situasi tragis, absurd,irasional, dan kamatian tak terpahami.
Sewaktu mengapresiasi satra, kita sering pula disadarkan
bahwa tradisi budaya sering tidak mengakomodasi garak dan daya hidup manusia,
tetepi justru membelenggunya. Sebaliknya, tradisi-tradisi baru sering mencabut
manusia dari akar tradisinyasehingga mengalami dilematik hidup yang tragis.
Sering juga kesadran kita akan cairnya sistem sosial muncul pada waktu
mengapresiasi satra. Dalam bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa mungkin kita
hanya berbicara saja yang tidaka ada maknanya. Kesadaran-kesadaran lain
sebenarnya selalu terhidang dalam apresiasi sastra. Kesadaran apa saja yang
terhidang dan dimungkikan kepada kita sebenarnya terpulang kepada diri kita
sendiri. andaikata radar-radar nurani, rasa, dan budi kita yang melandasi
penjiwaan, penghayatan, dan penikmat begitu peka dan tajam, niscaya kita bisa
mecicipi bermacam-macam kesadaran. Jika tidak, tentu saja tak diperoleh
kesadarn. Karena itu, kadar penjiwaan, penghayatan dan penikmatan menetukan
sekali dalam memperoleh berbagai kesadaran.
4)
Hiburan
Apresiasi sastra tidak hanya menghidangkan pengalaman,
pengetahuan, dan kesadaran, tetapi juga hiburan karena sastra apa pun
(puisi,fiksi,dan sastra-dramatik) yang digubah secara jujur dan sungguh-sungguh
selalu menghibur; memancarkan sinyal-sinyal permainan yang menyenangkan dan
menghibur. Sebuah dalil lama menyatakan bahwa seseorang yang membaca karya
sastra mendapat kegunaan dan kesenangan karena sastra memiliki dulce et utile
(kegunaan dan kesenangan). Jadi setiap sastra senantiasa menghidangkan hiburan
dan kegiatan-kegiatan menggumulinya termasuk di dalamnya apresiasi sastra juga
menghidangkan suatu hiburan bagi jiwa kita,batin kita.
Sudah tentu hiburan yang dihidangkan oleh apresiasi
sastra berbeda dengan hiburan-hiburan modern yang dikemas dalam bisnis
pertunjukan dan teknologi canggih. Pertunjukan seperti ini yang dihidangkan
oleh apresiasi sastra. Apresiasi sastra menghidangkan hiburan mentalistis yang
bermain-main dalam jiwa kita, batin kita. Dalam apresiasi sastra, sesungguhnya
terdapat bermaca-macam hiburan. Apa sasja macam hiburan dalam apresiasi sastra
sebenarnya sulit diidentifikasi karena sifatnya subjektif, sanmgat bergantung
pada kepekaan dan ketajaman nurani, rasa, dan budi pengapresiasinya. Meskipun
demikian, kita bisa menduga beberapa gejala yang bisa menjadi hiburan atau
menyuguhkan hiburan sewaktu apresiasi sastra berlangsung.
Gejala-gejala yang bisa menghidangkan hiburan dalam
apresiasi sastra yang dimaksud sebagai berikut. Pertama, kita bisa memperoleh
hiburan ketika menghadapi atau menemui suatu fenomena yang parodis dan
melecehkan. Kedua, sewaktu mengapresiasi sastra, kita bisa memperoleh hiburan
karena sastra yang diapresiasi mempunyai kemerduan bunyi yang demikian tinggi
atau begitu tinggi sehingga kita terarah pada sesuatu yang lucu dan
menggelikan. Ketiga, pada waktu mengapresiasi sastra, kita bisa memperoleh
hiburan karena dihidangi oleh peristiwa-peristiwa tak masuk akal atau irasional,
dan yang kabur antara kenyataan dan imajinasi. Keempat, sewaktu mengapresiasi
sastra, kita bisa memperoleh hiburan karena sastra yang diapresiasi memiliki
tema menggelikan, gaya ungkapannya polos sekaligus mbeling (nakal), dan
melecehkan norma-norma yang mapan. Kelima, kita tampaknya juga sering
seakan-akan memperoleh nikmat hiburan sewaktu membaca karya sastra tertentu
yang bisa mewakili suasana batin kita atau pikar-pikiran kita sendiri yang
tidak mungkin kita sampaikan sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. 1981. A Glossary of
Literary Terms. New york: Holt, Rinehart and
Winston
Aminuddin. 1987.Pengantar Apresiasi
Karya Sastra.Bandung:Sinar Baru
Dola, Abdullah.2007.Apresiasi Prosa Fiksi dan Drama.Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.
Keraf, Gorys.1981.Diksi dan Gaya
Bahasa. Ende Flores: Nusa Indah
Mahayana, Maman S. 2007. Apresiasi Sastra Indonesia di Sekolah.
Online (http://johnherf.wordpress.com). Diakses 23 Februari 2008.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori
Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University
Press.
Pradopo, Rachmat Djoko.1999.Beberapa
Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Rahmanto, B.
1988. Metode
Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius
Santosa, wijaya dan Sri. 2010. Pengantar
Apresiasi Sastra. Surakarta: Yuma Pustaka
Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi
Sastra. Yogyakarta: Elementara
Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1995. Apresiasi
Kesusastraan. Jakarta: Gramedia
Tang, Muhammad Rapi. 2007. Pengantar
Teori Sastra Yang Relevan Makassar: PPs UNM
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu
Sastra. Pengantar Ilmu Sastra. Bandung: Pustaka Jaya
Waluyo, Herman. 1987. Apresiasi Puisi.
Jakarta: Erlangga.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori
Kesusastraan (terjemahan). Jakarta:
Gramedia
No comments:
Post a Comment