Friday, June 3, 2016

Dasar-Dasar Apresiasi Sastra dan Hakikat Apresiasi Sastra

DASAR-DASAR APRESIASI SASTRA

Karya sastra merupakan cerminan, gambaran atau refleksi kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra, pengarang berusaha mengungkapkan suka duka kehidupan masyarakat yang mereka rasakan atau mereka alami. Selain itu, karya sastra menyuguhkan potret kehidupan dengan menyangkut persoalan sosial dalam masyarakat, setelah mengalami pengendapan secara intensif dalam imajinasi pengarang, maka lahirlah pengalaman kehidupan sosial tersebut dalam bentuk karya sastra.
Dengan hadirnya karya satra yang membicarakan persoalan manusia, antara karya sastra dengan manusia memiliki hubungan yang tidak terpisahkan.Sastra dengan segala ekspresinya merupakan pencerminan dari kehidupan manusia. Adapun permasalahan manusia merupakan ilham bagi pengarang untuk mengungkapkan dirinya dengan media  karya sastra.
Hal ini dapat dikatakan bahwa tanpa kehadiran manusia, baik manusia sebagai sastrawan maupun sebagai penikmat sastra kehadiran apresiasi sastra sangat dibutuhkan karena dengan adanya kehadiran apresiasi sastra masyarakat akan mengalami pengalaman kehidupan sosial tersebut dalam bentuk karya sastra. Selain kehadiran apresiasi sastra timbullah gejala-gejala yang menandai kehadirannya serta pendorong kehadiran apresiasi sastra. Mencermati hal tersebut, jelaslah manusia berperan sebagai pendukung yang sangat menentukan dalam kehidupan sastra.Karya sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah seni.Sastra merupakan segala sesuatu yang ditulis dan tercetak. Selain itu , karya sastra juga merupakan karya imajinatif yang dipandang lebih luas pengertiannya.

Kehadiran Apresiasi Sastra
Kehadiran (eksistensi) apresiasi sastra masih sering dipertanyakan oleh orang banyak. Sebagian orang berpendapat bahwa yang bernama apresiasi sastra itu ada. Sebagian orang yang lain berpendapat sebaliknya. Pendapat masing-masing didasarkan pada alasan-alasan tertentu atau argumen-argumen tertentu. Hal ini membuat kehadiran apresiasi sastra belum mantap dan tegar. Karena itu, dalam bab ini di paparkan ihwal kehadiran apresiasi sastra agar bisa di ketahui kemantapan dan ketegaran apresiasi sastra. Untuk itu, dalam bab ini di paparkan ihwal gejala-gejala yang menandai kehadiran apresiasi sastra dan ihwal factor-faktor pendorong yang menyebabkan kehadiran apresiasi sastra.

Gejala Kehadiran Apresiasi Sastra
Apresiasi sastra memang benar-benar hadir secara subtansial dan mandiri dalam dunia  (penghadapan) sastra dan memiliki jati diri yang khas yang berbeda dengan yang lainnya, misalnya kritik sastra dan penelitian sastra. Kehadirannya ini ditandai oleh berbagai gejala. Gejala kehadiran apresiasi sastra sebagai berikut.

Gejala umum-awam
Gejala umum-awam disini adalah gejala kehadiran apresiasi sastra yang tampak dalam masyarakat sastra secara alamiah, wajar, dan tak tersadari oleh masyarakat sastra. Gejala ini sebenarnya merupakan penceburan dan penghanyutan serta penyatuan diri (masyarakat sastra) ke dalam makna karya sastra, suasana, dan sebagainya yang terdapat dalam atau dipancarkan oleh karya sastra yang di hadapinya. Jadi, dalam gejala ini masyarakat sastra melakukan penghadapan terhadap karya sastra secara penuh, melebur, tanpa dibebani dan dibayangi oleh soal-soal teknis kesastraan. Malahan masyarakat sastra tidak tahu-menahu akan soal-soal teknis kesastraan, misalnya soal alur, penokohan, latar, perwatakan, dan tema.
Terdapat beberapa gejala yang dapat digolongkan ke dalam gejala umum-awam ini.
Pertama, gejala kepedulian dan pengindahan karya sastra oleh masyarakat sastra pada umumnya. Gejala kepedulian dan pengindahan karya sastra ini dapat disimak dan disaksikan dalam kehidupan sehari-hari. Peristiwa sehari-hari, kita bisa menyimak dan menyaksikan cukup banyak orang mengunjungi toko buku, mendatangi stand buku-buku sastra (puisi, prosa, drama, dan ulasan-ulasan) dan kemudian memperhatikannya, membolak-baliknya, membacanya secara sepintas, bahkan selanjutnya membelinya.
Kedua, gejala pelisanan karya sastra dan penikmatan pelisanan karya sastra. Gejala pelisanan karya sastra oleh orang kebanyakan dapat dilihat dan disaksikan diberbagai tempat, wahana, dan pariwisata. Radio-radio swasta niaga di Indonesia sekarang banyak yang menyelenggarakan paket acara pelisanan karya sastra yang labelnya-sudah barang tentu-berbeda-beda, misalnya Puisi dan Nada, Pelangi Sastra dan Mimbar Sastra. Paket acara semacam ini diudarakan pembacaan lisan atau pelisanan berbagai ragam karya sastra yang bisa berupa puisi, prosa atau lainnya yang ditulis oleh penikmatnya sendiri, bisa berupa puisi, drama atau yang lainnya yang ditulis oleh sastrawan-sastrawan terkemuka, misalnya Sutardji Calzoum Bachri, Taufik Ismail, dan Sapardi Djoko Damono. Gejala-gejala penikmatan pelisanan karya sastra tersebut cukup intens oleh orang kebanyakan. Pembacaan puisi oleh W.S. Rendra selalu ditonton dan di nikmati oleh banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat meskipun mereka harus membayar
Ketiga, gejala omong-omong tentang karya sastra. Gejala ini dapat di temui di berbagai tempat dan situasi kondisi,terutama tempat dan sikon santai dan tak resmi. Di sela-sela kuliah, di sepanjang  lorong ruang kuliah, kita bisa menemuui mahasiswa-mahasiswa sedang berbincang-bincang santai tentang karya sastra. Meskipun tak sekuat dan tak sevokal perbincangan tentang ekonomi dan politik, dapat di pastikan tiada hari tanpa omongan tentang karya sastra.Hari-hari yang berlalu yang di lintasi oleh manusia tampaknya memang selalu diisi omongan tentang sastra meskipun gema atau amplitudonya lemah.
Keempat, gejala pengadaan lomba-lomba pembacaan karya sastra di berbagai tempat di Indonesia. Frekuensi pengadaan lomba-lomba ini dapat di perkirakan semakin tinggi meskipun tidak ada statistik yang menopangnya. Berbagai lembaga, kelompok, dan/atau instansi seolah-olah bersaing mengadakan lomba semacam ini. Peserta lomba-lomba inipun sangat beraneka ragam, mulai ibu-ibu rumah tangga sampai dengan kaum pelajar, terutama pecinta karya sastra.Semua ini menandakan bahwa karya sastra mendapat perhatian, penikmatan dan pencernaan dari kalangan luas dan beraneka ragam.


 Gejala khusus-teknis
Gejala khusus teknis di sini ialah gejala kehadiran apresiasi sastra yang tampak dalam kenyataan-kenyataan dan peristiwa-peristiwa yang unsur ilmiahnya kuat, tersadari, dan dipandu oleh akal budi. Gejala-gejala ini lebih merupakan usaha-usaha pembahasan dan pengajian serta penggalian sosok apresiasi sastra oleh elite masyarakat sastra terdapat beberapa gejala yang dapat di golongkan kedalam gejala teknik khusus ini.
Pertama, gejala di tulisnya buku-buku yang bertopik dan atau bertajuk apresiasi sastra oleh orang-orang yang relatif berkemampuan (ber-competence). Hingga sekarang sudah berpuluh-puluh buku dan tulisan lain (artikel, makalah, diktat, dan sebagainya) tentang apresiasi sastra yang di tulis oleh orang.
Kedua, gejala adanya rubrik-rubrik di majalah dan Koran yang bertajuk apresiasi sastra. Rubrik ini di bicarakan dan di dedah berbagai hal-ihwal mengenai sastra terutama puisi dan prosa, antara lain mengenai maksud puisi, puisi yang berkisah, napas dalam puisi, hambatan menghayati puisi dan lirik yang dramatis. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa kita meyakini adanya sesuatu yang di namakan apresiasi sastra. Paling tidak, secara bawah sadar dan sadar kita telah sering menyebut nama apresiasi sastra.
Ketiga, gejala pemformalan dan pencantuman istilah apresiasi sastra beserta wujud dan isinya dalam kurikulum berbagai lembaga pendidikan formal. Pemformalan dan pencantuman apresiasi sastra dalam kurikulum tersebut di atas mengakibatkan semua buku pelajaran bahasa Indonesia menyuguhkan pokok bahasan apresiasi sastra meskipun wujud dan isi suguhannya antara buku yang satu dan buku yang lain berbeda-beda.
Keempat, gejala adanya penelitian-penelitian taraf kemampuan apresiasi sastra yang di kerjakan oleh pakar-pakar, ahli-ahli, dan akademisi-akademisi, bahkan mahasiswa-mahasiswa bidang pendidikan bahasa dan sastra yang sedang mengerjakan skripsi.
Kelima, gejala pertemuan-pertemuan ilmiah yang membahas ikhwal apresiasi sastra. Banyak sekali pertemuan ilmiah, baik berbentuk seminar, panel diskusi maupun lainnya yang membahas ihwal sosok konsepsional dan konseptual apresiasi sastra.hal ini menandakan bahwa sosok dan jati diri kehadiran apresiasi sastra menjadi perbincangan ilmiah.Maksudnya, secara ilmiah kehadiran apresiasi sastra di perhatikan dan di perbincangkan.

 Pendorong Kehadiran Apresiasi Sastra
Berdasarkan beberapa gejala baik gejala umum-awam maupun khusus-teknis yang telah di paparkan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sebagai berikut.
A.    Pada umumnya kita merasa yakin bahwa sesuatu yang di namakan apresiasi sastra itu hadir secara substansial dan mandiri walaupun kita belum mengetahui sosok dan jati dirinya secara tegas
B.     Pada umumnya kita merasa yakin bahwa apresiasi sastra berbeda dan dapat di bedakan dengan, misalnya,kritik sastra dan penelitian sastra dan
C.     Apresiasi sastra merupakan sosok tersendiri dalam dunia (penghadapan) sastra atau dunia penggaulan sastra yang harus di akui dan diabsahkan.

Dengan demikian, secara umum dapat di simpulkan bahwa apresiasi sastra hadir secara substansial dan mandiri dalam dunia (penghadapan) sastra. Hal ini membawa risiko bahwa kehadiran apresiasi sastra harus diterima sebagai fakta walaupun secara oprasional kita masih sukar menemukan sosok jati dirinya. Secara dikotomis faktor-faktor pendorong kehadiran apresiasi sastra dapat di golongkan ke dua golongan yaitu pendorong internal dan pendorong eksternal.

Faktor pendorong internal
Faktor pendorong internal ialah faktor-faktor pendorong kehadiran apresiasi sastra yang berasal dari karya sastra sendiri. Dalam hubungan ini karya sastra di perlakukan sebagai sosok hidup yang memiliki daya diri untuk mengatur dirinya sendiri dan” memikat” orang yang menggauli dan menggumulinya, bukan sekadar barang mati (artefak) yang hampar daya  yang dilecehkan oleh orang banyak. Sebagai sosok yang hidup, dengan daya dirinya sastra mampu mengembangkan dirinya sendiri. Dengan daya dirinya pula sastra mampu membangun, mendirikan, dan menegakkan dunia tersendiri berbeda dengan dunia social, dunia ekonomi, dunia politik, dan dunia empiris lain. Dunia seperti ini memberikan kenyamanan psikologis dan batiniah kepada manusia.
Manusia dibebaskan dan dilepaskan dari kekerasan, kecurigaan, kemunafikan, kebohongan, kepura-puraan, kedengkian kecemburuan, ketamakan, dan kesombongan, serta kecongkakan. Itulah sebabnya sastra mampu hidup terus menerus sepanjang sejarah manusia. Hal ini kemudian menjadi pendorong bagi hadirnya apresiasi sastra dalam dunia (penghadapan) sastra.

 Faktor pendorong eksternal
Faktor pendorong eksternal disini ialah factor-faktor pendorong kehadiran apresiasi sastra yang ada di luar karya sastra.
Pertama, bahwa manusia memerlukan sastra karena sastra dapat memenuhi keperluan hidupnya.

Kedua, manusia menciptakan institusi-institusi tertentu untuk mewadahi keperluannya akan sastra. Institusi-institusi tertentu ini kemudian menjadi pendorong bagi hadirnya sesuatu yang bersangkutan dengan sastra. Dengan demikian faktor pendorong eksternal kehadiran apresiasi sastra dapat berasal dari diri manusia dan institusi yang di ciptakannya.





HAKIKAT APRESIASI SASTRA

Apresiasi sastra sebagai peristiwa atau fenomena kesenian, bukan peristiwa atau fenomena keilmuan, keamanan, politis, sosial, ekonomis, bisnis, dan lain-lain. Keseniaan sastra lebih banyak bersangkutan dengan jiwa, nurani, budi, rasa, emosi, dan afeksi daripada keterampilan tangan dan kemahiran fisikal (bersangkutan dengan dimensi nonfisikal daripada dimensi fisikal) bergantung pada waktu, suasana, dan konteks peristiwa daripada tempat, cara-cara baku, dan teori-teori mapan. Sampai saat ini sastra menjadi peristiwa kerohanian atau kekalbuan dan kewaktuan.
Andaikata keterampilan tangan dan kemahiran fisikal (techne) diperlukan hendaklah keterampilan tangan dan kemahiran fisikal itu disikapi dan dipandang sabagai pembayangan,pembadanan,atau penyosokan peristiwa kerohanian atau kekalbuan tersebut. Selain itu,andaikata tempat,cara-cara baku,dan teori-teori mapan diperlukan,hendaklah hal itu disikapi dan dipandang sebagai penghentian atau pemotretan peristiwa kewaktuan tersebut. Dengan demikian,pembadanan atau penyosokan dan penghentian atau pemotretan sekadar sebagai sarana dan wahana perwujudan dan penampakan (manifestasi) peristiwa saja,bukan peristiwanya sendiri.
Sejalan dengan itu, apresiasi sastra sesungguhnya dan pertama-tama tidak bekerja dengan rumus-rumus,pola-pola,kaidah-kaidah,dan perangkat-perangkat hokum( kesenian khususnya kesastraan) yang relatif baku,umum ,dan selalu berulang bagi siapa saja. Tanpa semua itu apresiasi sastra sudah dapat bekerja. Meskipun demikian,memang patut diakui bahwa rumus-rumus,pola-pola,kaidah-kaidan,dan perangkat-perangkat hukum itu dapat membantu berlangsungnya apresiasi sastra. Tentu saja harus diberi catatan bahwa semua itu tidak primer,tetapi sekunder berkala. Dikatakan demikian karena yang primer dalam apresiasi sastra adalah kesiapan dan keterbukaan kalbu,keadaan cita rasa,kualitas emosi,kebeningan nurani,kebersihan ketulusan kejujuran jiwa daya dan ketajaman budi, dan sejenisnya.
            Hal tersebut mengimplikasikan bahwa apresiasi sastra bekerja pada tingkat subjektif dan eksistensial, bukan objektif dan diskursif sebagaimana ilmu bekerja. Pengertian subjektif dan ekstensial disini bukanlah subjektif yang manipulatif, eskapsis, kamuflastis, penuh kepura-puraan, penuh kemunafikan, penuh kebohongan, penuh kelicikan, penuh tipu daya, dan penuh kesombongan, melainkan subjektif dan eksistensial yang jujur, luhur, mulia, dan penuh kearifan, penuh pengorbanan, penuh keberanian, dan penuh tanggung jawab.
            Dengan kesubjektifan dan keeksistensialan kerja tersebut diatas niscaya seseorang mampu membedah, kemudian menyelusup kedalam” tulang sumsum” fenomena sastra bias merenangi, kemudian menyelami dan mengarungi”samudra” kedalaman dan keluasan fenomena sastra. Dia pun niscaya mampu mengindahkan ,menikmati, menjiwai, menghayati sastra secara khusuk dan khafah, lebih-lebih lagi apabila dia sudi menceburkan diri ,memasrahkan diri,kemudian membaktikan diri sepenuhnya kedalam sastra, dia akan memperoleh sesuatu daripadanya (baik pengalaman, pengetahuan, maupun penyadaran dan penghiburan). Selanjutnya dalam dirinya akan tumbuh,berkembang dan terpiara kepedulian , kepekaan, ketajaman, kecintaan dan keterlibatan terhadap karya sastra. Demikian juga karya sastra juga dapat tumbuh,dan terpiara dengan baik. Di sini terjadilah hubungan dialektis antara karya sastra dan manusia selaku pengapresiasi sastra. Terjadilah hubungan dialektis ini lebih jauh akan memperkukuh kehadiran apresiasi sastra.

Pengertian Apresiasi Sastra
Pengertian apresiasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penilaian penghargaan, misalnya terhadap karya-karya sastra ataupun karya seni. Apresiasi berasal dari bahasa Inggris, appreciation yang berarti penghargaan yang positif. Sedangkan pengertian apresiasi adalah kegiatan mengenali, menilai, dan menghargai bobot seni atau nilai seni. Biasanya apresiasi berupa hal yang positif tetapi juga bisa yang negatif. Sasaran utama dalam kegiatan apresiasi adalah nilai suatu karya seni. Secara umum kritik berarti mengamati, membandingkan, dan mempertimbangkan. Tetapi dalam memberikan apresiasi, tidak boleh mendasarkan pada suatu ikatan teman atau pemaksaan. Pemberian apresiasi harus dengan setulus hati dan menurut penilaian aspek umum.
Hingga sekarang apresiasi sastra masih sering kacau dan rumpang (overlaping) dengan pengertian kritik sastra dan penelitian sastra. Malahan pengertian ketiga sosok tersebut kabur atau dikaburkan. Kekacauan, kerumpangan,atau kekaburan itu antara lain terlihat pada adanya unsur rasionalisasi dan evaluasi pada ketiga sosok tersebut. Kenyataan seperti ini pada umumnya sudah disadari oleh para pakar dan ahli sastra. Meskipun demikian, para pakar dan ahli sastra belum juga memberikan batas-batas perbedaan pengertian antara apresiasi sastra,kritik sastra,dan penelitian sastra secara jelas dan tegas sehingga kekacauan, kerumpangan,dan atau kekaburan pengertian terus berlangsung hingga kini.
            Di samping itu, pengertian apresiasi sastra yang ada hingga sekarang sangat beraneka ragam. Keanekaragaman ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, apresiasi sastra memang merupakan fenomena yang unik dan rumit. Keunikan dan kerumitan ini setidak-tidaknya dapat disimak pada penjelasan diatas. Kedua, terjadinya perubahan dan perkembangan pemikiran tentang apresiasi sastra. Dari waktu ke waktu dan orang satu dan orang lain pemikiran tentang apresiasi sastra selalu berubah-ubah dan berkembang sehingga tak pernah ada satu pengertian apresiasi sastra yang berwibawa dan diikuti oleh banyak kalangan. Ketiga, adanya perbedaan penyikapan pendekatan terhadap hakikat apresiasi sastra. Hal ini menyebabkan munculnya beraneka ragam pengertian apresiasi sastra. Keempat, adanya perbedaan kepentingan diantara orang yang satu dengan orang yang lain. Hal ini menyebabkan mereka merumuskan pengertian apresiasi sastra menurut kepentingan masing-masing tanpa menghiraukan dan mengindahkan hakikat apresiasi sastra secara utuh dan lengkap.           
Pengertian apresiasi sastra dari beberapa ahli sebagai berikut.
A.    Panuti Sudjiman (1990: 9) menyatakan bahwa apresiasi sastra adalah penghargaan terhadap karya sastra yang didasarkan atas pemahaman.
B.     T.Suparman Natawidaja (1981: 1) menyatakan  Apresiasi sastra adalah pemahaman dan penghargaan atas suatu hasil seni atau budaya.
C.     Tarigan (1984: 41) menyatakan bahwa Apresiasi sastra adalah penaksiran kualitas karya sastra serta pemberian nilai yang wajar kepadanya berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang sadar dan kritis.
D.    Effendi (1982: 7) menyatakan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga timbul pengertian,penghargaan,kepekaan pikiran kritis dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra.
E.     Zakaria (1981: 6) menyatakan bahwa apresiasi sastra ialah kegiatan memahami cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga menimbulkan pengertian dan penghargaan yang baik terhadapnya.

Pengertian apresiasi sastra secara umum adalah proses (kegiatan) pengindahan, penikmatan,penjiwaan, dan penghayatan dan penghayatan karya sastra secara individual dan momentan, subjektif dan eksistensial, rohaniah dan budiah, khusus dan kafah, dan intensif dan total supaya memperoleh sesuatu daripadanya sehingga tumbuh, berkembang, dan terpiarah kepedulian,kepekaan, ketajaman,kecintaan dan keterlibatan terhadap karya sastra.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa apresiasi sastra mengandung lima pokok garis besar, sebagai berikut.
A.    Proses(kegiatan) pengindahan,penikmatan,penjiwaan, dan penghayatan karya sastra.
B.     Secara individual dan momental,subjektif dan eksistensial, khusuk dan kafah, intensif dan total.
C.     Supaya memperoleh sesuatu daripadanya.
D.    Sehingga tumbuh, berkembang dan terpiara.
E.     Kepedulian,kepekaan,ketajaman, kecintaan, dan keterlibatan terhadap karya sastra.

Wilayah Garapan Apresiasi Sastra
Wilayah garap apresiasi sastra, kritik sastra, dan penelitian sastra sering rumpang dan berbenturan. Sering ditemui tulisan-tulisan yang disebut apresiasi sastra ternyata menggarap wilayah kritik sastra. Demikian juga sering kita lihat tulisan-tulisan yang disebut kritik sastra ternyata menggarap wilayah apresiasi sastra. Penelitian sastra pun sering menggarap wilayah kritik sastra dan apresiasi sastra. Bahkan kadang-kadang kita kesulitan membedakan apakah suatu tulisan itu penelitian sastra, kritik sastra, apresiasi sastra atau esai sastra.
            Perbedaan wilayah garap apresiasi sastra, kritik sastra, dan penelitian sastra agaknya akan sulit diidentifikasi jika kita berhenti pada karya sastra. Dikatakan demikian karena baik apresiasi sastra, kritik sastra maupun penelitian sastra absah menjelajahi seluruh fenomena karya sastra. Perbedaan wilayah garap ketiganya baru jelas diidentifikasi jika kita memerhatikan cirri-ciri perilaku yang harus ada dalam ketiga kegiatan tersebut. Jadi, untuk melihat gambaran wilayah garap apresiasi sastra kita harus mengidentifikasi cirri-ciri perilaku yang harus ada dalam apresiasi sastra.
            Sejalan dengan hakikat, pengertian, dan pokok persoalan yang sudah dikemukakan tersebut di atas, kita memahami bahwa apresiasi sastra merupakan kegiatan internalisasi sastra, sementarakritik sastra dan paresiasi sastra merupakan kegiatan rasionalisasi sastra. Dalam internalisasi sastra, jarak harus dileburkan dan jarang harus ditimbun antara manusia-pembacanya dan karya sastra, sementara dalam rasioanalisasis sastra, jarak justru harus diciptakan–direntangkan  dan jurang mesti digali antara manusia-pengeritik dan karya sastra. Hal ini berarti bahwa kegiatan apresiasi sastra lebih merupakan suatu seni (kiat), sedangkan kritik sastra dan penelitian sastra lebih merupakan kegiatan keilmuan.
            Sebagai suatu seni (kiat), apresiasi sastra menekankan perilaku pengindahan, penikmatan, dan penghargaan sastra. Dalam pada itu, sebagai kegiatan keilmuan, kritik sastra dan penelitian sastra menekankan hal lain. Kritik sastra menekankan perilaku pencarian, penilaian, dan penghakiman kebenaran nilai-nilai atau segala sesuatu yang ada dalam sastra. Penelitian sastra menekankan perilaku pengamatan (observasi), pemerian (deskripsi), dan penjelasan (eksplanasi) segala sesuatu yang ada dalam sastra. Hal ini mengimplikasikan, dalam apresiasi sastra berlangsung penerimaan sepenuhnya karya sastra, sedangkan dalam kritik sastra da penelitian berlangsung pencurigaan atau penyangsian karya sastra. Dengan demikian, apresiasi sastra lebih meminta keakraban antara pembaca dan karya sastra, sedangkan kritik sastradan penelitian sastra justru meminta keformalan antara pengkritik dan peneliti dan karya sastra. Hal ini dapat diibaratkan bahwa dalam apresiasi sastra, hubungan antara pengapresiasi dan karya sastra merupakan hubungan dua kekasih (bukan orang lain); sementara dalam kritik sastra dan penelitian sastra, hubungan pengkritik da peneliti dengan karya sastra merupakan hubungan orang lain.
Kita bisa menyimpulkan bahwa yang digarap oleh apresiasi sastra, kritik sastra, dan penelitian sastra adalah sastra; ketiganya sama-sama menggarap sastra. Namun ketiganya menggarap sastra secara berbeda-beda. Apresiasi sastra lebih merupakan internalisasi, subjektif, komunikatif, dan tak dapat selalu dipandu oleh teori tertentu, sedangkan kritik sastra dan penelitian sastra llebih merupakan rasinalisasi, objektif, dan dipandu oleh teori tertentu serta evaluative. Dengan demikian, jelaslah wilayah garap apresiasi sastra, yaitu wilayah yang menuntut internalisasi, subjektivitas yang jujur dan luhur serta mulia, dan individual bergantung pada pengapresiasinya.

Status Kehadiran Apresiasi Sastra
Penjelasan sebelumnya telah dikemukaan bahwa apresiasi sastra bekerja secara subjektif, individual, internalistis, momentum, tanpa perlu dipandu oleh oleh teori tertentu, dan tak evaluative. Hal ini berarti bahwa kehadiran apresiasi ditengah-tengah dunia (penghadapan) sastra bukan sebagai ilmu. Dikatakan demikian karena ilmu justru menuntut objektivitas, kolektivitas (sebab mesti bisa diuji oleh orang lain!), rasionalitas dipergunakannya teori tertentu, dan evaluatif atau eksplanatif. Padahal semua ini tak bisa dipenuhi oleh apresiasi sastra. Meskipun demikian, kehadiran apresiasi sastra juga tidak dapat dikatakan sebagai keterampilan karena keterampilan selalu mekanistik, penuh keberulangan, dan cara-carnya tergolong baku. Padahal semua ini juga tak terdapat dalam apresiasi sastra. Hal ini menunjukkan bahwa apresiasi sastra bukanlah suatu ilmu dan bukan pula suatu keterampilan.
            Beberapa alasan dapat dikemukakan status apresiasi sastra sebagai berikut.
A.    Secara primer apresiasi sastra dapat berlangsung tanpa harus disangga oleh teori tertentu. Asalkan ada kemauan, kesungguhan, dan iktikad baik pengapresiasi (bisa dibaca: apresiator), maka apresiasi sastra sudah dapat berlangsung. Hal ini menunjukkan bahwa seorang pengapresiasi tidak harus menguasai suatu teori sastra dan atau teori apresiasi sastra lebih dahulu sebelum dia berhak mengapresiasi sastra.
B.     Secara  sekunder apresiasi sastra dapat berlangsung dengan ditopang oleh teori tertentu baik teori apresiasi sastra maupun teori sastra. Meskipun bukan condition sinquanon, teori linguistik, stilistik, estetika resepsi, formalisme, dekonstruksionisme, feminism, dan sebagainya bisa membantu berlangsungnya apresiasi sastra yang ditopang oleh teori tertentu ini sesungguhnya merupakan kelanjutan apresiasi sastra taraf literary enjoyment.
C.     Meskipun apresiasi sastra berlangsung secara individual, subjektif, dan momentan, percobaan secara berulang-ulang dan terus-menerus dapat memantapkan keberlangsuangan apresiasi sastra. Jika kita melisankan (poetry reading) Jante Arkidam (Ajip Rosidi), kita bisa berlatih melisankan secara berulang-ulang dan terus-menerus sambil mencari kemungkinan-kemungkinan terbaik pelisanan Jante Arkidam itu.
D.    Perwujudan kegiatan apresiasi sastra bermacam-macam dari satu saat ke saat lain dan dari satu orang ke orang lain walupun sastra yang diapresiasi sama dan dengan latihan-latihan yang sama pula. Meskipun B. Sri Azemi dan D. Saryono, misalnya, terus berlatih melisankan puisi Suto Mencari Bapa (W.S. Rendra) dengan cara yang sama, pelisanan atau pembacaan keduanya dapat dipastikan berbeda; bahkan pelisanan B. Sri Azemi atas puisi Suto Mencari Bapa pada kemarin dan hari ini berbeda meskipun orangnya sama.

Keempat alasan di atas, sekali lagi, kita dapat menegaskan bahwa status kehadiran apresiasi sastra adalah sebagai kiat atau seni, bukan ilmu atau keterampilan; dapat dikatakan merupakan pemanduan dan pengkristalan unsur ilmu dan keterampilan. Ini mengimplikasikan bahwa dalam apresiasi sastra dan unsur-unsur yang bisa dipelajari dan unsur-unsur yang harus dilatih. Unsur-unsur yang bisa dipelajari dikuasai dengan membaca berbagai brbagai buku yang berkenaan dan berhubungan dengan apresiasi sastra. Sedang unsur-unsur yang harus dilatih hanya bisa dikuasai dengan jalan tergelut dan bergumul dengan berbagai hal yang berkenaan dan berhubungan dengan apresiasi sastra. Hal ini berarti bahwa terdapat aspek keberencanaan pada unsur yang bisa dipelajari dan aspek kespontanan-kepekaan pada unsur yang harus dipelajari.

Manfaat Apresiasi
Dalam sebuah pertemuan sastra, seorang yang biasa bergelut di bidang eksak  menyatakan bahwa orang yang membaca karya prosa sedang melakukan pekerjaan yang sia-sia dan tak ada artinya karena menghabiskan waktu hanya untuk membaca khayalan.
            Imajinasi sangat bermanfaat dalam kehidupan, termasuk imajinasi yang ada dalam cerita rekaan (karya fiksi). Cerita rekaan, karena mengandung imajinasi, dapat memperkaya imajinasi pembacanya. Kekayaan imajinasi ini akan membantu manusia lebih cerdas dan kreatif dalam membangun kehidupan. Di samping itu, sudah menjadi naluri/kebutuhan manusia menyukai cerita. Dalam berbagai masyarakat tradisional, muncul cerita-cerita mythe, legenda, dan lain-lain. Orang pun bisa tahan berjam-jam (bahkan semalam suntuk) untuk menonton pertunjukan wayang. Lalu mengapa, orang bisa tahan membaca novel seharian sementara membaca buku-buku ilmu pengetahuan cepat merasa jenuh?
            Hal itu terjadi karena dari cerita rekaan/prosa-fiksi orang mendapat hiburan. Tetapi, manfaat cerita prosa lebih dari itu. Ia tidak hanya menghibur, tetapi juga berguna, atau yang diistilahkan filsuf Horace, dulce et utile.
Cerita prosa bukan hanya berfungsi sebagai sarana hiburan. Cerita prosa adalah sarana kita untuk bercermin tentang kehidupan. Benar bahwa yang disajikan dalam cerita prosa adalah hasil imajinasi pengarang. Akan tetapi, imajinasi tersebut adalah hasil olahan pengarang dari apa yang dihayatinya dari realitas (kenyataan). Dalam karya prosa, sesungguhnya pengarang menyuguhkan kembali hasil pengamatan dan pengalamannya kepada pembaca. Pengalaman yang disuguhkannya itu adalah pengalaman yang sudah melalui proses perenungan dan pemahaman yang lebih tajam dan dalam. Dengan demikian, tatkala pembaca mambaca karya prosanya, ia mendapatkan suatu pandangan baru tentang kehidupan yang memperkaya amatannya terhadap kehidupan yang ia kenal sehari-hari. Dalam kaitan ini, karya prosa sesungguhnya membantu pembaca untuk lebih memahami kehidupan dan memperkaya pandangan-pandangan tentang kehidupan.
Media pengungkapan karya prosa adalah bahasa. Dalam menyajikan cerita dalam karyanya, pengarang berupaya menyuguhkannya dalam bahasa yang dapat menyentuh jiwa pembacanya. Untuk mencapai hal itu, para pengarang berupaya mengolah bahasa dengan sabaik-baiknya dan sedalam-dalamnya agar apa yang disampaikannya kuat mengena di hati pembaca. Mereka mencari kosakata-kosakata yang tepat yang dapat mewakili apa yang mereka inginkan, menciptakan ungkapanungkapan baru, menvariasikan struktur kalimat, memberi penggambaranpenggambaran yang hidup dengan bahasa, dan seterusnya. Dengan membaca karya yang telah mengandung bahasa yang terolah tersebut, pembaca diperkaya bahasanya, diperkaya rasa bahasanya, dan sebagainya.
Tentulah masih banyak manfaat-manfaat dari membaca (mengapresiasi) karya prosa. Intensitas kita membaca karya prosa, pada gilirannya akan mempertajam kepekaan kita; kepekaan sosial, kepekaan religi, kepekaan budaya, dan lain-lain.

Tujuan Apresiasi Sastra
Proses apresiasi merupakan bertemua antara sastra dan manusia. Terjadinya proses tersebut berarti terdapat perjumpaan antara pengapresiasi dan yang diapresiasi. Perjumpaan ini menimbulkan apresiasi sastra.
            Kehadiran apresiasi sastra sesungguhnya mempunyai satu tujuan yaitu membangun dunia perjumpaan antara manusia dan sastra. Dunia yang tercipta itulah yang mengakibatkan manusia memperoleh manfaat dari sastra yang diapresiasi. Manusia menerima pengalaman, pengetahuan , kesadaran dan hiburan.
1)      Pengalaman
Segala sesuatu yang dapat, boleh dan mungkin di alami oleh manusia selam hidup didunia fana ini dapat disebut pengalaman manusia. Pengalaman yang dimaksud disini bukan pengalaman empiris, fisikal dan kasat mata yang memperlukan tindakan jasmani melainkan pengalaman non empiris, non fisikal atau metafisikal, dan tidak kasat mata yang sesungguhnya hanya berkelebatan dalam rohani kita. Misalnya, ketika menonton pemain sepak bola, maka menonton sepak bola ini dapat disebut pengalaman manusia empiris, fisikal, dan kasat mata. Akan tetapi, ketika duduk mencangkup merenungkan sesuatu sehingga seakan-akan dalam suatu tempat penuh pergolakan, maka ini dapat disebut pengalaman manusia yang non empiris, non fisikal dan tak kasat mata. Pengalaman terakhir ini merupakan pengalaman dalam kegiatan apresiasi satra. Jadi pengalaman dalam apresiasi sastra merupakan pengalaman rohaniah-batiniah manusia, bukan pengalaman jasmaniah.
2)      Pengetahuan
Pengetahuan berbeda dengan pengalaman meskipun sesudah melawati proses mengedapan dan pengonseptualan pengalaman bisa menjadi pengetahuan. Pengetahuan lebih konsepyual, koknitif (baik tak sadar maupun sadar), dan diskursif di bandingkan dengan pengalaman yang naratof,ekspresif, dan subjektif sekali. Dengan kata lain, pengetahuan merupakan hasil tahu manusia sedang pengalaman merupakan hasil mengalami manusia; disini terlihat bahwa pengetahuan melalui penyimpulan, sedangkan pengalaman melalui pencerapan.
Di samping menghidangkan pengalaman-pengalaman, apresiasi sastra juga menghidangkan pengetahuan-pengetahuan. Pengetahuan yang terhidang selama apresiasi sastra berlngsung merupakan penangkapan kognitif, konseptual, dan penyimpulan atas fenomena-fenomena karya sastra tang kita apresiasi. Selama dan sesudah aoresiasi astra berlangsung, setelah melakukan penyimpulan dan pengonseptualan apa yang kita apresiasi, kita bisa mendulang bermacam-macam pengetahuan. Naruni, rasa, dan budi kita bisa menjiwai, menghayati, dan menikmati bermacam-macam pengetahuan yang terangsangkan kepada kita.
3)      Kesadaran
Di samping menghidangkan penegtahuan-pengetahuan dan pengalaman-pengalaman , apresiasi sastra juga menghidangkan dan memberikan kesadaran kepada pengapresiasinya. Radar-radar penjiwaan, penghayatan, dan penikmatan pengapresiasi diharapkan bias mengirimkan sinyal-simyal kesadaran kepada nurani, rasa, dan budi si pengapresiasi. Pada waktu pengapresiai satra, kita juga bisa memperoleh kesadaran betapa kejamnya dan begisnya penjajahan dan bentuk-bentuk penindasan lain. Kebobrokan dan kerapuhan institusi sosial dan pribadi-pribadi manusia pun dapat kita sadari adanya pada waktu mengapresiasi satra. Karya sastra banyak menghidangkan, dalam arti merekan dan menanggapi, kebobrokan dan kerapuhan
Hakikat manusia dan hidup manusia bisa juga disadari melalui apresiasi sastra. Satra yang baik selalu menhidangkan permenungan tentang hakikat manusia dan hidup manusia di dunia. Andaikata diapresiasi puisi-puisi Emha Ainun Hajib (misalnya Seribu Masjid, satu Jumlahnya) dan cerpen-cerpen Danarto (misalnya dalam kumpulan Adam Ma’rifat) kita disdarkan bahwa manusia merupakan khalifah Allah di bumidan karena itu hidup manusia harus diarahkan untuk beribadah kepada Allah semata-mata. Denagn kebebasan itu hidup manusia diabdikan unuk mencari jatidiri, kepenuhan makna,dan sebagainya. Pencarian itu bisa berupa pengembraan, ziarah terus-menerus, dam menggelandang pada berbagai situasi tragis, absurd,irasional, dan kamatian tak terpahami.
Sewaktu mengapresiasi satra, kita sering pula disadarkan bahwa tradisi budaya sering tidak mengakomodasi garak dan daya hidup manusia, tetepi justru membelenggunya. Sebaliknya, tradisi-tradisi baru sering mencabut manusia dari akar tradisinyasehingga mengalami dilematik hidup yang tragis. Sering juga kesadran kita akan cairnya sistem sosial muncul pada waktu mengapresiasi satra. Dalam bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa mungkin kita hanya berbicara saja yang tidaka ada maknanya. Kesadaran-kesadaran lain sebenarnya selalu terhidang dalam apresiasi sastra. Kesadaran apa saja yang terhidang dan dimungkikan kepada kita sebenarnya terpulang kepada diri kita sendiri. andaikata radar-radar nurani, rasa, dan budi kita yang melandasi penjiwaan, penghayatan, dan penikmat begitu peka dan tajam, niscaya kita bisa mecicipi bermacam-macam kesadaran. Jika tidak, tentu saja tak diperoleh kesadarn. Karena itu, kadar penjiwaan, penghayatan dan penikmatan menetukan sekali dalam memperoleh berbagai kesadaran.
4)      Hiburan
Apresiasi sastra tidak hanya menghidangkan pengalaman, pengetahuan, dan kesadaran, tetapi juga hiburan karena sastra apa pun (puisi,fiksi,dan sastra-dramatik) yang digubah secara jujur dan sungguh-sungguh selalu menghibur; memancarkan sinyal-sinyal permainan yang menyenangkan dan menghibur. Sebuah dalil lama menyatakan bahwa seseorang yang membaca karya sastra mendapat kegunaan dan kesenangan karena sastra memiliki dulce et utile (kegunaan dan kesenangan). Jadi setiap sastra senantiasa menghidangkan hiburan dan kegiatan-kegiatan menggumulinya termasuk di dalamnya apresiasi sastra juga menghidangkan suatu hiburan bagi jiwa kita,batin kita.
Sudah tentu hiburan yang dihidangkan oleh apresiasi sastra berbeda dengan hiburan-hiburan modern yang dikemas dalam bisnis pertunjukan dan teknologi canggih. Pertunjukan seperti ini yang dihidangkan oleh apresiasi sastra. Apresiasi sastra menghidangkan hiburan mentalistis yang bermain-main dalam jiwa kita, batin kita. Dalam apresiasi sastra, sesungguhnya terdapat bermaca-macam hiburan. Apa sasja macam hiburan dalam apresiasi sastra sebenarnya sulit diidentifikasi karena sifatnya subjektif, sanmgat bergantung pada kepekaan dan ketajaman nurani, rasa, dan budi pengapresiasinya. Meskipun demikian, kita bisa menduga beberapa gejala yang bisa menjadi hiburan atau menyuguhkan hiburan sewaktu apresiasi sastra berlangsung.
Gejala-gejala yang bisa menghidangkan hiburan dalam apresiasi sastra yang dimaksud sebagai berikut. Pertama, kita bisa memperoleh hiburan ketika menghadapi atau menemui suatu fenomena yang parodis dan melecehkan. Kedua, sewaktu mengapresiasi sastra, kita bisa memperoleh hiburan karena sastra yang diapresiasi mempunyai kemerduan bunyi yang demikian tinggi atau begitu tinggi sehingga kita terarah pada sesuatu yang lucu dan menggelikan. Ketiga, pada waktu mengapresiasi sastra, kita bisa memperoleh hiburan karena dihidangi oleh peristiwa-peristiwa tak masuk akal atau irasional, dan yang kabur antara kenyataan dan imajinasi. Keempat, sewaktu mengapresiasi sastra, kita bisa memperoleh hiburan karena sastra yang diapresiasi memiliki tema menggelikan, gaya ungkapannya polos sekaligus mbeling (nakal), dan melecehkan norma-norma yang mapan. Kelima, kita tampaknya juga sering seakan-akan memperoleh nikmat hiburan sewaktu membaca karya sastra tertentu yang bisa mewakili suasana batin kita atau pikar-pikiran kita sendiri yang tidak mungkin kita sampaikan sendiri.




DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New york: Holt, Rinehart and
            Winston
Aminuddin. 1987.Pengantar Apresiasi Karya Sastra.Bandung:Sinar Baru

Dola, Abdullah.2007.Apresiasi Prosa Fiksi dan Drama.Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.

Keraf, Gorys.1981.Diksi dan Gaya Bahasa. Ende Flores: Nusa Indah

Mahayana,  Maman S. 2007. Apresiasi Sastra Indonesia di Sekolah. Online (http://johnherf.wordpress.com). Diakses 23 Februari 2008.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
            University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko.1999.Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius

Santosa, wijaya dan Sri. 2010. Pengantar Apresiasi Sastra. Surakarta: Yuma Pustaka
Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elementara

Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1995. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia

Tang, Muhammad Rapi. 2007. Pengantar Teori Sastra Yang Relevan Makassar: PPs UNM

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Pengantar Ilmu Sastra. Bandung: Pustaka Jaya

Waluyo, Herman. 1987. Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (terjemahan). Jakarta: 
            Gramedia


































No comments:

Post a Comment