Friday, June 3, 2016

Mengenal Sosok Apresiator dan Bekal Apresiasi

SOSOK APRESIATOR

 Jati Diri Pengepresiasi
Jati diri (identitas) menunjukkan pada seperangkat ciri yang melekat pada seseorang atau keadaan khusus seseorang. Ciri-ciri apakah yang harus melekat pada seseorang agar yang bersangkutan bisa disebut pengapresiasi sastra? Terdapat dua ciri pokok yang harus melekat pada diri seseorang agar dapat disebut pengapresiasi sastra. Pertama, seseorang itu sedang (dalam keadaan) menggauli dan menggumuli karya sastra. Ini berarti dia sedang (dalam keadaan) berhadapan dengan karya sastra sehingga dia sedang berinteraksi dengan karya sastra. Berhadapan dengan karya sastra di sini bisa berarti sedang membaca sebuah novel, bisa pula sedang mendengarkan atau menyimak penulisan cerpen dan puisi. Kedua, seseorang itu mengarahkan  dan mencurahkan nurani, rasa dan budinya secara sungguh-sungguh, khusuk, dan total kepada karya sastra, bukan pada yang lainnya. Jika diarahkan dan dicurahkan kepada selain sastra, maka berarti dia tidak dalam keadaan berinteraksi dengan karya sastra dan berakibat tidak terselengaranya proses apresiasi sastra.
            Sejalan dengan itu, semua orang yang memenuhi dua ciri pokok tersebut dapat disebut menjadi pengapresiasi sastra. Karena itu, dapat dikatakan bahwa pengapresiasi sastra adalah semua orang yang sedang menggauli  dan menggumuli guna menserap, menerima, menjiwai, menghayati, dan menikmati karya sastra secara sungguh-sungguh, total, dan khusuk. Hal ini lebih jauh mengimplikasi dua hal. Pertama, pengapresiasi sastra tidak sama, malah berbeda sekali dengan kritikus sastra, ahli sastra, mahasiswa fakultas/jurusan sastra, dan sejenisnya meskipun mereka dapat disebut menjadi pengapresiasi sastra bila memenuhi dua ciri pokok tersebut di atas. Pegawai negeri sebuah departemen, pegawai bank, ahli ekonomi, anak-anak putus sekolah, mahasiswa hukum, dan sebagainya dapat juga disebut menjadi pengapresiasi sastra apabila memenuhi dua ciri pokok tersebut di atas. Sebagai contoh, H.B Jassin yang dikenal sebagai kritikus sastra dan Emil Salim yang dikenal sebagai ahli ekonomi dan lingkungan bisa sama-sama disebut pengapresiasi sastra jika memiliki dua ciri tersebut bukan kritikus sastra dan ahli ekonomi dan lingkungan, melainkan pengapresiasi sastra.  
            Kedua, berkaitan dengan butir pertama, pengapresiasi sastra bukanlah sebuah profesi yang sifatnya permanen seperti guru, manajer, dan pengusaha, melainkan sebuah peran yang fungsional. Karena merupakan sebuah peran fungsional, siapa pun boleh bisa dan bisa mengisi peran itu kritikus sastra, ahli sastra, ahli hukum, ulama, dan sebagainya. Dalam hal ini sudah tentu harus dipegang persyaratan utamanya. Mereka harus memenuhi dua ciri pokok tersebut di atas! Kalau tidak, mereka tidak bisa berperan menjadi pengapresiasi sastra. Sebagai contoh, pada waktu membaca sebuah karya sastra, Emil Salim dapat disebut berperan menjadi pengapresiasi sasta sebab abstansi perannya memang demikian. Tegasnya, Emil Salim seorang pengapresiasi sastra. Pada waktu mengurusi pencemaran lingkungan, Emil Salim bukanlah pengapresiasi sastra karena substansi peran pengapresiasi sastra tidak terdapat dalam dirinya.
            Hal tersebut menunjukan bahwa pengapresiasi sastra bisa berasal dari berbagai profesi. Orang yang menjalankan profesi apa pun bisa menjadi pengapresiasi sastra tanpa dibebani persyaratan formal seperti ijazah, sarjana, mahir komputer, dan sebagainya. Itulah sebabnya, dapat dikatakan bahwa menjadi pengapresiasi sastra bukan suatu hal luar biasa, istimewa, dan eksklusif, melainkan suatu hal biasa, wajar, dan tidak eksklusif (baca: inklusif). Menjadi pengapresiasi sastra sebanding dengan ayah, ibu, penolong kecelakaan, pencangkul, penyapu, dan pengemudi.
            Karena bisa berasal dari beragam profesi, pengapresiasi sastra berarti berlatar belakang beragam pula, baik latar belakang pendidikan, pengalaman, pengetahuan maupun sosial dan budaya. Latar belakang ini tentu akan memengaruhi proses keberlangsungan apresiasi sastra sebagaimana sudah dijelaskan. Selain itu, juga akan menimbulkan keragaman pengapresiasi sastra.

Keragaman Pengapresiasi Sastra
Secara mental psikologis, keragaman pengapresiasi sastra dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu:            Pertama, pengapresiasi sastra yang intuitif-afektif, menekankan dan mengutamakan penggunakan unsur-unsur intuitif-afektif dalam melakukan kegiatan apresiasi sastra. Sebagai contoh, dalam batas-batas tertentu, H.B Jassin dan Sapardi Djoko Damono merupakan seorang pengapresiasi sastra yang condong intuitif-afektif.            Kedua, pengapresiasi sastra yang intelektualistis-kognitif, menekankan dan mengutamakan unsur-unsur intelektualistis-kognitif dalam melakukan kegiatan apresiasi sastra.
Sebagai contoh, Umar Junus dan Faruk HT merupakan seorang pengapresiasi yang condong intelektualistis-kognitif, orang tersebut berlatar belakang pendidikan sastra dan ahli sastra serta dikenal  sebagai kritikus sastra Indonesia papan atas.

Perlu diingat di sisni bahwa kedua ragam pengapresiasi ini semata-mata mencerminkan jenis, bukan merupakan tingkat kemampuan pengapresiasi sastra. Tak ada jaminan pasti bahwa pengapresiasi sastra yang intuitif-afektif tingkat kemampuannya lebih rendah daripada pengapresiasi sastra yang intelektualistis-kognitif. Misalnya, tak ada jaminan bahwa kualitas H.B Jassin lebih rendah atau sebaliknya lebih tinggi daripada Umar Junus. Demikian juga tidak ada bukti bahwa pengapresiasi sastra yang intuitif-afektif lebih mudah dan ringan kerjanya dibandingkan pengapresiasi sastra yang intelektualistis-kognitif. Kalau kita melihat kerja Sapardi Djoko Damono dan Faruk HT akan terlihat bahwa keduanya bekerja dengan sungguh-sungguh dan sama-sama berat meskipun menempuh jalan dan cara berbeda.

 Pengapresiasi Sastra yang Intuitif-Afektif
Pengapresiasi sastra yang intuitif-afektif ialah seseorang yang melakukan kegiatan apresiasi sastra dengan menggunakan unsur-unsur intuitif-afektifnya secara menonjol, tinggi, dan kuat daripada unsur intelektualistis-kognitifnya. Unsur rasa, emosi, kepercayaan, keyakinan, empati, simpati, dan sejenisnya digunakan secara menonjol, dominan, dan kuat  dibandingkan unsur-unsur nalar, pikiran, persepsi, dan logika. Hal ini mengimplikasikan bahwa unsur-unsur intelektualistis-kognitif tetap ada dalam kadar tertentu, hanya perannya kalah menonjol, dominan, dan kuat dibandingkan dengan unsur intuitif-afektif.
Pengapresiasi sastra yang cenderung intuitif-afektif  melakukan kegiatan apresiasi sastra untuk memperoleh kenikmatan-kenikmatan dari sastra, suatu liberary enjoyment. Dia menghanyutkan dan menenggelamkan diri, tanpa menjaga jarak kesadaran, ke dalam karya sastra yang diapresiasinya. Itulah sebabnya, dia akan memperoleh banyak pengalaman dan hiburan, tapi mungkin tidak akan memperoleh pengetahuan dan kesadaran. Dikatakan demikian karena pengetahuan dan kesadaran pada umumnya dapat diperoleh dengan proses pemikiran dan penalaran yag dipandu oleh daya intelektual dan kognisi, sedang pengalaman dan hiburan dapat diperoleh dengan intensitas rasa dan selera yang dipandu oleh emosi dan afeksi.

Pengapresiasi Sastra yang Intelektualistis-Kognitif
            Pengapresiasi sastra yang intelektualistis-kognitif ialah seseorang yang melakukan kegiatan apresiasi sastra dengan menggunakan unsur-unsur intelektualistis-kognitif secara menonjol, dominan, dan kuat dibandingkan dengan unsur-unsur intuitif-afektif. Unsur logika, persepsi, nalar, pikiran, dan sejenisnya digunakan secara menonjol, dominan, dan kuat dibandingkan unsur-unsur rasa, emosi, empati, dan kepercayaan diri. Hal ini mengimplikasi bahwa unsur intuitif-afektif tetap ada, hanya perannya kalah menonjol dan kuat dibandingkan dengan unsur intelektualistis-kognitif.
Pengapresiasi sastra yang condong intelektualistis-kognitif melakukan kegiatan apresiasi sastra bukan untuk literary enjoyment semata-mata, melainkan setingkat lebih tinggi  daripada itu, yaitu sesuatu yang bermakna dan berguna bagi dirinya. Dia menceburkan dan memasrahkan diri, tetapi tidak menghayutkan dan menenggelamkan diri, ke dalam karya sastra. Karena itu, jarak dengan karya sastra dijaga adanya dan kesadaran digunakan sesuai keperluannya. Itulah sebabnya, dia akan banyak memperoleh pengetahuan dan kesadaran, dan juga mungkin pengalaman dan hiburan. Dikatakan demikian karena pengetahuan dan kesadaran dapat diperoleh dengan pemikiran dan penalaran yang di pandu oleh intelektual dan kognisi, sedangkan pengalaman dan hiburan di samping dapat diperoleh dengan intensitas rasa dan selera juga bisa diperoleh melalui proses pemikiran dan penalaran.

Telah disinggung bahwa pengapresiasi sastra yang intuitif-afektif secara menonjol, dominan, dan kuat menggunakan intuisi dan afeksi daripada intelektual dan kognisi; dan pengapresiasi sastra yang intelektualistis-kognitif secara menonjol dan kuat menggunakan intelektual dan kognisi daripada intuisi dan afeksi. Ini menunjukkan bahwa dalam masing-masing ragam pengapresiasi sastra selalu ada unsur-unsur tersebut di atas, hanya kadar penggunaannya tidak sama. Lebih jauh hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pengapresiasi sastra yang semata-mata dan murni intuitif-afektif atau intelektualistis-kognitif; dalam kadar tertentu pengapresiasi sastra yang menggunakan intelektual dan kognisi; sebaliknya, dalam kadar tertentu juga pengapresiasi sastra yang intelektualistis-kognitif menggunakan intuisi dan afeksi.                                                                     Hal tersebut mengimplikasi bahwa keragaman pengapresiasi sastra sebenarnya merupakan suatu kontinum yang bertitik ekstrem pada dua ragam yang telah dijelaskan di atas. Di antara rentangan garis kontinum yang bertitik ekstrem pada ragam pengapresiasi yang intuitif-afektif dan intelektualistis-kognitif terdapat berbagai ragam pengapresiasi sastra yang lain. Di tengah garis kontinum kita bisa menentukan ragam pengapresiasi sastra  yang intuitif-afektif sekaligus  intelektualistis-kognitif, yaitu pengapresiasi sastra yang menggunakan intuisi-afeksinya dan intelektual-kognisinya secara berimbang dan padu dalam melakukan kegiatan apresiasi sastra.                                                                   Pengapresiasi sastra yang intuitif-afektif sekaligus  intelektualistis-kognitif mampu mengatur dirinya sendiri pada saat melakukan kegiatan apresiasi sastra. Dia dapat mengatur kapan harus menggunakan nurani dan rasanya dan kapan menggunakan nurani dan budinya, kapan harus menghanyutkan dan menenggelamkan diri ke dalam karya sastra yang diapresiasi dan kapan harus menjaga jarak agar bisa memahami karya sastra yang diapresiasi, kapan harus menggunakan kesadarannya dan kapan menggunakan ketidaksadaran dan kebawahsadarannya. Dengan kata lain, dia mampu menguasai dan mengendalikan dirinya sendiri, dan bukan hanya dikuasai dan dikendalikan, dalam melakukan kegiatan apresiasi sastra. Karena itu, dia mampu melukiskan sekaligus menjelaskan, menceritakan sekaligus menerangkan apa yang diapresiasinya. Di samping itu, dia mampu memperoleh pengalaman, pengetahuan, kesadaran, dan hiburan sekaligus dalam apresiasi sastra. Pengapresiasi sastra semacam ini merupakan ragam apresiasi yang ideal.









BEKAL APRESIASI SASTRA

 Pengertian Bekal Dasar Pengapresiasi Sastra
          Bekal dasar pengapresiasi sastra ialah bekal minimal yang harus ada dan dimiliki oleh pengapresiasi sastra agar dapat melakukan kegiatan apresiasi sastra secara minimal dan bersifat dasar. Segala sesuatu yang inheren, melekat dalam diri pengapresiasi sastra bisa dijadikan bekal dasar. Jadi, bekal dasar ini bukan hasil pembelajaran yang khusus, melainkan bawaan dan penguasaan secara alamiah. Dalam batas tertentu memang dapat berupa hasil pembelajaran yang umum.
          Bekal dasar apresiator antara lain berikut ini.
A.    Bekal dasar paling utama dan penting, yang harus ada dan dimiliki oleh pengapresiasi sastra ialah kemauan, kesudian, kesediaan, dan ketepatan hati untuk menggumuli dan menggauli karya sastra. Tanpa kemauan, kesudian, dan ketepatan hati ini niscaya kegiatan apresiasi sastra tidak akan bisa berlangsung.      
B.     Bekal dasar selanjutnya yang harus ada dan dimiliki oleh pengapresiasi sastra ialah perasaan, keyakinan, dan pikiran yang positif akan manfaat, nilai guna, dan kaedah karya sastra dalam kehidupan manusia baik kehidupan sehari-hari maupun segi-segi kehidupan tertentu. Bahwa karya sastra memenuhi hajat rohaniah manusia, merupakan tempat mendulang bahan-bahan renungan, dan merupakan kebutuhan rohaniah manusia perlu di rasakan, di yakini dan di akui oleh pengapresiasi sastra agar bisa melakukan kegiatan apresiasi sastra secara khusuk dan kafak.       
C.     Pengalaman hidup sehari-hari juga merupakan bekal dasar. Adanya dan dimilikinya pengalaman hidup sehari-hari, misalnya merasakan bunyi-bunyi yang demikian merdu, keindahan-keindahan ketika mendengarkan sesuatu, kegembiraan dan kesedihan saat menghadapi sesuatu, dan kepekaan menangkap sesuatu yang sesuai dengan cita rasa dan tidak sesuai dengan cita rasa, menompang proses berlangsungnya apresiasi sastra.    
D.    Kemampuan dan kemahiran berbahasa juga merupakan bekal dasar yang perlu ada dan dimiliki oleh pengapre­siasi sastra. Kemampuan menyimak, membaca, berbi­cara, dan menulis secara minimal perlu dimiliki oleh pengapresiasi sastra. Menguasai keempat kemampuan dan kemahiran tersebut tentulah baik sekali. Namun, setidak-tidaknya pengapresiasi sastra menguasai dengan baik salah satu di antara empat kemampuan dan kema­hiran tersebut. Kemampuan membaca dan berbicara seyogianya dikuasai dengan baik karena diperlukan untuk membaca karya-karya sastra tulis dan melisankan karya­ sastra tulis seperti deklamasi, teatrikalisasi, poetry reading, dan story telling.

Keempat bekal dasar tersebut di atas menjadi prasyarat agar seseorang dapat melakukan kegiatan apresiasi sastra. Keempat bekal dasar tersebut menentukan berlangsung tidaknya kegiatan apresiasi sastra sehingga seseorang peng­apresiasi sastra perlu memiliki empat bekal dasar tersebut. Untuk memilikinya seorang pengapresiasi sastra tidak perlu mengikuti pembelajaran secara khusus karena empat bekal dasar tersebut dapat dimiliki selama menjalani hidup dan kehidupan (bermasyarakat). Jadi, pengapresiasi sastra dapat memiliki dan menguasainya dengan sendirinya jika benar-­benar memaknai setiap perjalanan dan pengalaman hidupnya.

Bekal Lanjut Pengapresiasi Sastra
Bekal lanjut pengapresiasi sastra ialah bekal tambahan atau berikutnya yang seyogianya dimiliki oleh pengapresiasi sastra agar dapat melakukan kegiatan apresiasi sastra secara lebih bermakna, meluas, mendalam, kaya, dan tajam. Bekal lanjut ini tidak harus dimiliki, tetapi sebaiknya atau seyogianya dimiliki. Jika tidak dimiliki, seorang pengapresiasi sastra tetap dapat melakukan kegiatan apresiasi sastra. Jika dimiliki, seorang pengapresiasi sastra bukan hanya dapat melakukan kegiatan apresiasi sastra, melainkan juga meluaskan dan mendalamkan perolehan kegiatan apresiasi sastra. Dengan kata lain, kegiatan apresiasi sastranya menjadi luas dan dalam karena yang diperoleh lebih banyak dan beranekaragam serta kaya, misalnya pengalaman, pengetahuan, kesadaran, dan hiburan sekaligus. Terdapat bermacam-macam bekal lanjut yang biasa dimiliki oleh pengapresiasi sastra.
Bekal-bekal lanjut yang seyogianya dimiliki oleh pengapresiasi sastra sebagai berikut.
  1. Pengetahuan ihwal lambang-lambang terutama lambang lambang bahasa, lambang-lambang sastra, dan lambang lambang budaya. Meskipun dalam beberapa hal bisa menggunakan lambang bukan bahasa (misalnya, beberapa judul cerpen Danarto dan puisi Sutardji), karya sastra pada dasarnya terpapar dalam bahasa sehingga bagaimanapun lambang-lambang bahasa perlu dikuasai oleh pengapresiasi. Hal ini meningkatkan dan mencermatkan serta menajamkan penjiwaan, penghayatan, dan penikmatan pengapresiasi sastra dalam melakukan ke¬giatan apresiasi sastra. Demikian juga lambang-lambang sastra dan budaya. Sebagaimana diketahui, karya sastra menyodorkan kemungkinan-kemungkinan khas yang terwadahi atau terwahani dalam lambang-lambang khas pula yang kemudian disebut lambang sastra sehingga ada baiknya lambang-lambang sastra ini dikuasai oleh seorang pengapresiasi sastra. Penguasaan atas lambang-lambang sastra ini akan meningkatkan ketajaman, kecermatan, kedalaman, keluasan, malahan kekayaan kegiatan apresiasi sastra beserta basil-hasilnya. Selain itu, karya sastra pada dasarnya terikat konteks budaya sehingga di dalamnya selalu termuat lambang-lambang budaya. Seorang pengapresiasi sastra ada baiknya juga mengetahui lambang-lambang budaya yang terdapat dalam karya sastra. Pengetahuan lambang-lambang budaya ini bisa meningkatkan dan mengembangkan mutu dan cakrawala penjiwaan, penghayatan, dan penikmatan karya sastra yang diapresiasi.
  2. Pengetahuan tentang manusia dan kemanusiaan dengan segala seginya. Pengetahuan tentang siapakah manusia, bagaimanakah hakikat hidup manusia, apakah makna kebahagiaan, kesengsaraan, kematian, dan hidup sesudah mati bagi manusia, bagaimanakah manusia hidup di dunia bersama-sama dengan makhluk lain, bagaimana¬kah manusia harus hersikap terhadap dunia dan ling-kungannya, dan sejenisnya merupakan pengetahuan tentang manusia dan kemanusiaan yang perlu diketahui oleh manusia. Pengetahuan ini bisa diperoleh manusia melalui agama, filsafat, etika, psikologi, antropologi, dan sejarah. Karena itu, alangkah baiknya jika seorang peng¬apresiasi sastra menyukai dan kalau bisa membaca bacaan-bacaan agama, filsafat, etika, psikologi, antropologi, dan sejarah sebab dengan demikian dia akin memperoleh pengetahuan tentang manusia dan kemanusiaan demikian banyak dan beraneka ragam. Selanjutnya hal ini akan memperkaya, memperluas, dan memperdalam hasil-hasil kegiatan apresiasi sastranya.
  3. Pengetahuan tentang masyarakat dan budaya dengan segala pelik-peliknya. Pengetahuan ini antara lain ber¬sangkutan dengan pandangan dunia, pandangan hidup, cara berpikir, sikap hidup, adat-istiadat, tradisi-tradisi, ritus-ritus, perilaku sosial, stratifikasi sosial, etos sosial, hukum dan atau norma sosial dan perubahan sosial. Keadaan dan situasi sosial (misalnya anomi sosial, kesenjangan sosial, dan persoalan sosial), perkembangan masyarakat dan budaya (misalnya, kontinuitas dan diskontinuitas perkembangan, arah dan orientasi perkembangan, dan konflik dan akulturasi dalam perkem¬bangan), dan transformasi masyarakat dan budaya (misalnya, arah transformasi, tahapan transformasi, kualitas transformasi, dan masalah-masalah transformasi) termasuk pengetahuan tentang masyarakat dan budaya juga. Alangkah baiknya kalau seorang pengapresiasi sastra menguasai pengetahuan ini. Hasil kegiatan apresiasi sastranya niscaya akan kaya, luas, dan dalam. Dia tidak hanya memperoleh literary enjoyment; tetapi daripada itu dia mungkin mendapat pencerahan, kesa¬daran-kesadaran baru, dan bahan-bahan renungan yang bagus tentang berbagai hal yang bersangkutan dengan hidupnya.
  4. Pengetahuan tentang sastra yang mencakupi karya sas¬tra, teori sastra, sejarah sastra, dan kritikan sastra. Pengetahuan tentang karya sastra di sini bisa berupa jenis-¬jenis karya sastra (puisi, prosa, dan drama), judul-judul karya sastra, bentuk dan isi karya sastra, sastrawan dan kehidupannya, dan hubungan karya sastra dengan pengarang dan keadaan sosial. Pengetahuan tentang teori sastra bisa berupa aliran-aliran sastra (romantisme, realisme, naturalisme, absurdisme, dsb.), pertentangan antara mimesis dan kreasi, hakikat sastra menurut berbagai pemikiran dan pandangan (pandangan Plato, Aristoteles, Iqbal, Kristeva, dsb.), paham-paham teori sastra (strukturalisme, formalisme, feminisme, sosiologi sastra, psikologi sastra, semiotika, pascakolonialisme, dsb.), dan cara kerja paham-paham teori sastra. Pengeta¬huan tentang sejarah sastra bisa berupa pengetahuan tentang aliran dan karya sastra seperti apa yang menon¬jol dan kuat dalam berbagai kurun waktu, bagaimana latar belakang sastrawan-sastrawan, bagaimanakah kaitan peristiwa-peristiwa sosial-politis-budaya dengan sastra seperti zaman tahun 1965-an dengan Manikebu dan Lekra, dan bagaimana hubungan antara suatu karya sastra dan karya sastra lain. Pengetahuan tentang kritikan sastra dapat berupa karya-karya sastra apa saja yang telah dikritik oleh pengkritik, bagaimana kritik berbagai pengkritik terhadap suatu karya sastra, bagaimana kecenderungan-kecenderungan kritikan para pengkritik, dan bagaimana wujud-wujud kritikan karya sastra yang ada. Berbagai-bagai pengetahuan tentang sastra ini memang tidak harus dikuasai oleh pengapresiasi sastra. Akan tetapi, tidak ada salahnya jika seorang pengapresiasi sastra ingin menguasainya. Penguasaan atas pengetahuan tentang sastra ini malah menguntungkan pengapresiasi sastra. Misalnya, jika kita mengetahui latar belakang Danarto yang menyukai bacaan-bacaan mistik kejawen dan berteman dengan pelukis penganut mistik kejawen, maka pengetahuan ini bisa dimanfaatkan untuk meng¬hayati dan menikmati cerpen-cerpen Danarto seperti Adam Ma'rifat, Godlob, dan Lahirnya Sebuah Kota Suci.
  5. Pengetahuan linguistik dan stilistik. Kedua pengetahuan ini bersangkatan dengan bunyi-bunyi bahasa, kata-kata, kalimat-kalimat, wacana-wacana, dan gaya-gaya. Pengetahuan tentang hal-hal ini bermanfaat sekali dalam apresiasi sastra karena bagaimanapun karya sastra terpapar dalam bahasa yang mengandung aspek linguistis dan stilistis. Jika seorang pengapresiasi sastra memiliki pengetahuan ini, maka niscaya dia lebih mampu melakukan penjiwaan, penghayatan, dan penikmatan karya sastra ketika melakukan kegiatan apresiasi sastra.
Meskipun tidak wajib atau harus dimiliki atau dikuasai, kelima bekal lanjut tersebut seyogianya dikenali atau diketahui. Tidak perlu semuanya. Mengenali serba sedikit, tidak mendalam, salah satu atau beberapa di antara kelima bekal lanjut tersebut sudah baik karena sudah bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan, menjaga, dan mengembangkan untuk dan cakrawala apresiasi sastra. Untuk mengenali serba sedikit itu tidak perlu pula belajar secara khusus. Kalau pengapresiasi sastra pernah mengenyam pendidikan terutama persekolahan, sekalipun tingkat dasar, sebenarnya dia sudah mengenali kelima bekal lanjut tersebut walaupun mungkin secara tidak sadar atau bawah sadar. Mengapa demikian? Sebabnya, informas-informasi mengenai kelima bekal lanjut tersebut secara tersirat terdapat dalam mata-mata pelajaran di sekolah. Jadi tidak perlu belajar antropologi, filsafat, linguistik, dan lain-lain khusus!




SIKAP DAN PERILAKU PENGAPRESIASI SASTRA

          Sikap pada umumnya dipandang mendasari perilaku, termasuk sikap pengapresiasi sastra akan mendasari perilakunya. Sikapnya terhadap karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra akan mendasari perilakunya terhadap karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku pengapresiasi pada umumnya merupakan pencerminan sikapnya.

Sikap Pengapresiasi Sastra
          Sikap merupakan kecenderungan jiwa atau budi untuk mendekati atau menjauhi suatu objek. Di dalamnya terkandung unsur perseptual, emosional, dan motivasional atau unsur budi dan rasa. Ini menunjukkan bahwa sikap dibentuk oleh unsur-unsur penalaran, pemikiran, dan perasaan atau unsur kognitif dan afektif; bukan semata-mata perasaan atau afektif. Lebih jauh hal ini menunjukkan bahwa sikap merupakan kualitas psikologis dalam berhadapan dengan suatu objek. Harus dipahami, kualitas psikologis ini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan budaya karena objek sikap terikat konteks sosial dan budaya. Karena itu, sikap bukanlah bermatra psikologis semata-mata, melainkan juga bermatra sosial budaya.
          Sejalan dengan itu, dapat dikatakan bahwa sikap pengapresiasi sastra merupakan kecenderungan pengapresiasi sastra untuk mendekati dan menggauli atau menjauhi karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra. Kecenderungan pengapresiasi sastra untuk mendekati dan menggauli karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra dapat disebut sikap positif. Sebaliknya, sikap negatif merupakan kecenderungan pengapresiasi sastra untuk menjauhi karya satra dan kegiatan apresiasi sastra. Sebagaimana sikap pada umumnya, baik sikap negatif maupun sikap positif pengapresiasi sastra juga bermatra psikologis dan sosial budaya. Ini berarti sikap negatif atau positif pengapresiasi sastra ditentukan oleh matra sosial budaya meskipun merupakan matra psikologis.
          Dalam apresiasi sastra, tentulah sikap positif pengapresiasi sastra yang diperlukan. Dengan sikap positif pengapresiasi sastra kegiatan-kegiatan pengapresiasi sastra dapat berlangsung, tumbuh dan berkembang secara baik, dan meningkat secara bermakna. Dikatakan demikian karena sikap positif pengapresiasi dapat membentuk suatu suasana atau atmosfer dan lingkungan yang kondusif yang menunjang  kegiatan-kegiatan apresiasi sastra. Sebaliknya, sikap negatif pengapresiasi sastra akan menghambat, malahan dapat merusak kegiatan apresiasi sastra karena sikap pengapresiasi sastra menciptakan suasana dan lingkungan yang tidak baik untuk kegiatan apresiasi sastra. Jadi yang dibutuhkan dalam apresiasi sastra  supaya dapat tumbuh berkembang, dan meningkatkan serta terpiara dengan baik adalah sikap positif pengapresiasi sastra.
          Sikap negatif pengapresiasi sastra di cirikan oleh hal hal sebagai berikut.
A.    Ketidaksenangan, ketidakgemaran, dan ketidaksudian membaca karya sastra, menyimak orang membaca sastra, mengikuti kegiatan kegiatan apresiasi sastra dan mendorong atau menyemangati diadakannya kegiatan apresiasi sastra. Misalnya, Nurani Rindang Kasih tidak senang , tidak gemar, dan tidak sudi membaca novel-novel, puisi-puisi dan naskah-naskah drama seperti novel Senja di Jakarta (Mochtar Lubis), puisi Daerah Perbatasan (Subagio Sastrowardojo) dan Sumur Tanpa Dasar (Arifin C.Noor) dia juga tidak senang, tidak gemar dan tidak sudi menyimak pembacaan puisi atau cerpen dalam lomba–lomba baca puisi atau cerpen dan mengikuti kegiatan–kegiatan apresiasi sastra seperti lomba puisi atau seresehan sastra. Malah dia menunjukan rasa tidak senang, tidak gemar dan tidak sudi bila berkelompok anak muda (berupaya) menyelenggarakan lomba baca cerpen, sama sekali tidak mendorongnya. Ini semua ciri sikap negatif Nurani Rindang Kasih sebagai pengapresiasi sastra.
B.     Ketidakacuhan, ketidakpedulian, dan keapatisan terhadap karya sastra, orang–orang yang meminati karya sastra, kegiatan–kegiatan apresiasi sastra, dan orang-orang yang melakukan kegiatan apresiasi sastra. Sebagai contoh, Nurani Tifa Suci tidak acuh, tidak peduli, dan apatis (i) atas Terbitnya Burung–Burung Rantau (Y.B.Mangunwijaya), (ii) terhadap jono yang sering membeli buku sastra, (iii) atas diselengarakanya malam Chairil Anwar, dan (iv) terhadap Hening Kusuma Hati yang membaca puisi Nyanyian Angsa (W.S.Rendra). Keempat hal ini merupakan ciri sikap negatif Nurani Tifa Suci dalam apresiasi sastra.
C.     Peremehan, penyepelean, dan pelecehan manfaat dan nilai guna karya sastra dan kegiatan-kegiatan apresiasi sastra. Karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra dianggap remeh dan sepele, malah melecehkan manfaat dan nilai gunanya. Membaca karya sastra dianggap membuang buang waktu, melarikan diri dari kenyataan kenyataan hidup, dan pekerjaan sia-sia. Begitu juga dengan kegiatan–kegiatan mengapresiasi dianggap pekerjaan percuma, sia-sia dan tidak menghasilkan apa-apa. Contohnya sebagai berikut, Nurani Rindang Kasih selalu beranggapan bahwa dewasa ini hanya ekonomi dan teknologi yang layak ditekuni, dipelajari, dan di curahi waktu karena memberikan manfaat dan nilai guna nyata dalam kehidupan manusia. Dia beranggapan karya sastra dan kegiatan–kegiatan apresiasi sastra ditinggalkan saja karena tidak memberikan apa-apa, hanya menghabiskan waktu saja  dan membuat manusia melamun saja. Ini merupakan sikap negatif Nurani Rindang Kasih dalam apresiasi sastra.

          Ketiga hal tersebut merupakan ciri dominan sikap negatif pengapresiasi sastra dalam apresiasi sastra. Ciri-ciri tersebut perlu diubah  ke arah yang positif atau baik demi tumbuhnya, perkembangan  dan meningkatkannya apresiasi sastra. Bagaimanakah ciri-ciri positif sikap pengapresiasi sastra?  Sikap positif pengapreisasi sastra dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut.
A.      Kesenangan, kegemaran, dan keantusiasan membaca karya-karya sastra, menyimak pembacaan-pembacaan karya sastra, mengikuti kegiatan–kegiatan apresiasi sastra, dan memberikan semangat kepada orang lain supaya menyelenggarakan apresiasi sastra. Contoh ciri-ciri ini sebagai berikut, Hening Kusuma Hati  setiap minggu selalu membaca satu karya sastra, pada hari tertentu  mendengarkan acara pembacaan puisi disalah satu radio swasta niaga, selalu berusaha hadir pada berbagai kegiatan lomba baca sastra dan sarasehan sastra, dan selalu mendorong teman-teman dekatnya untuk secara rutin mengadakan dialog sastra dan budaya. Ini semua merupakan sikap positif Hening Kusuma Hati dalam apresiasi sastra.
B.       Keacuhan, kepedulian dan kesimpatikan terhadap karya sastra, kegiatan-kegiatan apresiasi sastra, orang-orang yang meminati karya sastra, dan penyelenggaraan kegiatan apresiasi sastra. Contohnya sebagai berikut, Hening Widodo memerhatikan dan memantau karya karya sastra yang terbit setiap tahun, memberikan sanjungan dan rasa salut kepada orang-orang yang rajin membaca karya sastra, berusaha mendatangi dan menyatakan simpati bila ada sarasehan sastra dan lomba baca cerpen dan merasa tenang dan bahagia bila ada orang menyelenggarakan lomba baca cerpen atau bercerita. Ini dapat disebut sikap positif Hening Widodo dalam apresiasi sastra.
C.       Keyakinan, kepercayaan dan keoptimisan akan manfaat dan nilai guna karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra. Ditengah kehidupan materialitis dan ekonomistis, karya sastra dan kegiatan-kegiatan apresiasi sastra diyakini, dipercayai dan dioptimisi manfaat dan nilai gunanya membaca karya sastra , menyimak pembacaan sastra, mengikuti sarasehan sastra, lomba membaca puisi dan sejenis bermanfaat dan bernlai guna bagi hidup dan kehidupan. Contohnya sebagai berikut, Hening Kusuma Hati setiap minggu membaca satu novel dan sering menyimak pembacaan puisi dan cerpen diberbagai tempat karena yakin, percaya dan optimis apa yang dilakukanya dapat menenangkan dan menekakan batin dan sukmanya. Andaikan tidak demikian, dia yakin dan percaya hidupnya tidak sebermakna sekarang. Ini disebut sikap positif Hening Kusuma Hati dalam apresiasi sastra.
D.      Kesungguhan-kesungguhan, keintensifan dan ketotalan bergumul dan berlibat dengan karya sastra dan kegiatan-kegitan apresiasi sastra. Ini ditandai oleh kepenuhan perhatian, persaan, emosi dan pikiran dalam membaca karya sastra, menyimak pembacaan sastra mengikuti sarasehan sastra, menunjang lomba-lomba membaca cerpen, dan sejenisnya. Contohnya sebagai berikut, Aulia Muhammad selalu tenang-diam, tidak gaduh, setiap menyimak orang membaca puisi, memusatkan segala perasaan dan pikiran dalam sarasehan sastra, dan menyumbangkan  daya dan dana setiap diselenggarakannya acara baca cerpen di kampusnya. Ini disebut sikap positif Herlinawati dalam apresiasi sastra.
E.       Kemauan, kesiapan, kesedihan, kesepontanan dan kesigapan memberikan penjelasan mengenai manfaat dan nilai guna karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra. Contohnya sebagai berikut, ketika mendengar ada orang yang menyepelekan dan meremehkan  manfaat dan nilai  guna karya sastra  dan kegiatan apresiasi sastra dalam hidup sehari hari, secara spontan dan serta merta Aulia Muhammad menyatakan mau, siap dan sedia memberikan penjelasaan kepada orang yang bersangkutan mengenai manfaat dan nilai guna karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra dalam hidup sehari hari. Ini disebut sikap positif Aulia Muhammad dalam apresiasi sastra.
          Kelima hal tersebut diatas merupakan ciri utama sikap positif pengapresiasi sastra dalam apresiasi sastra. Ciri-ciri sikap positif tersebut tentulah perlu dipupuk, dikembangkan dan diperliahara agar apresiasi sastra dapat tumbuh, berkembang dan meningkatkan mutu dan kadarnya.            

 Perilaku Pengapresiasi Sastra
         Tidak mudah mengidentifikasi perilaku pengapresiasi sastra baik perilaku negatif maupun perilaku positif. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa sikap sebagai kualitas psikologis-mentalis yang terikat konteks sosial-budaya sulit di identifikasi. Pada umumnya sikap orang termasuk sikap pengapresiasi sastra di identifikasi melalui pernyataan-pernyataan orang yang bersangkutan. Namun, hal ini sering kurang memuaskan hasilnya. Karena itu, sikap orang kemudian juga sering di identifikasi melalui perilaku meskipun bukan perilaku, sikap tidak sama dengan perilaku, tetapi perilaku dimanfaatkan untuk melihat sikap seseorang.
          Hal ini mengakibatkan identifikasi perilaku pengapresiasi sastra selalu berimpitan, malahan sering rumpang (overlaping) dengan identifakasi sikap pengapresiasi sastra. Hal ini tampaknya tak terelakan sehingga ciri-ciri perilaku pengapresiasi sastra mirip, bahkan mungkin sama, dengan ciri-ciri sikap pengapresiasi sastra. Meskipun demikian, sikap dan perilaku masih tetap bisa dibedakan termasuk sikap dan perilaku pengapresiasi sastra. Sikap harus dipahami sebagai suatu kualitas psikologis yang belum merupakan suatu tindakan, sedang perilaku jelas merupakan suatu tindakan yang sosial-budaya dan sudah terjadi. Jika sikap di identifikasi melalui perilaku harus diartikan bahwa perilaku hanya merupakan sarana untuk melihat  sikap yang merupakan kualitas psikologis. Ini menyangkut penekanan arti perilaku. Jika penekanan sudah terjadinya dan adanya tindakan, berarti perilakulah yang di jadikan tekanan, namun jika menekankan belum menjadi tindakannya dan kecenderungan jiwanya, berarti sikaplah  yang dijadikan tekanan. Contohnya berikut ini, Dara Jingga Wulandari selalu malas dan sering tidak mau bila diajak menonton lomba membaca puisi karena menurutnya hanya membuang waktu saja. Kalau penekanan pemahaman pada kualitas psikologinya yang belum merupakan tindakan (dibalik perilaku malas dan tidak mau), maka hal ini merupakan  pertanda sikap negatif Dara Jingga Wulandari dalam apresiasi satra;sebaliknya, kalau penekanan  pemahaman pada  tindakan yang sudah terjadi (malas dan sering tidak maunya, bukan dibalik itu), maka hal ini merupakan  pertanda perilaku  negatif Dara Jingga Wulandari dalam apresiasi, dengan demikian, sikap pengapresiasi sastra dapat dibedakan dari perilaku pengapresiasi sastra meskipun pertandanya atau ciri bisa sama.         
        Sebagaimana sudah dikemukakan diatas  bahwa sikap pengapresiasi sastra mendasari perilakunya. Ini menunjukan  bahwa perilaku pengapresiasi sastra dan kegiatan-kegiatan apresiasi sastra ditentukan sikapnya dalam apresiasi sastra. Kalau sikapnya negatif, perilakunya pun tentu negatif dalam apresiasi sastra. Sebaliknya, kalau sikapnya positif,  perilakunya pun positif dalam apresiasi sastra. Jadi ada timbal baliknya  dan sejajar, perilaku bisa menjadikan cerminan sikap, sementara sikap negatif  pula dan sikap positif  bisa mejadikan perilaku positif juga. Perilaku positif  pengapresiasi sastra diperluan dalam apresiasi sastra. Dikatakan demikian karena (i) perilaku positif bisa menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan apresiasi sastra seseorang, (ii) perilaku positif  menunjang terbentuknya lingkungan kondusif bagi kegiatan-kegiatan apresiasi sastra, dan (iii) perilaku positif merupakan “tanah subur” untuk memelihara dan merawat perilaku pengapresiasi sastra. Perilaku negatif pengapresiasi sastra tidak diperlukan dalam apresiasi sastra karena hanya menghambat dan merusak pertumbuhan, perkembangan dan peningkatan sikap postif pengapresiasi sastra dan kegiatan-kegiatan apresiasi sastra.
          Apakah pertanda atau ciri-ciri utama perilaku negatif pengapresiasi sastra ? perilaku negatif pengapresiasi sastra ditandai oleh hal-hal seperti berikut.
A.      Jarang membaca, melisankan, menyimak pelisanan karya sastra dan mengikuti atau berperan serta dalam lomba baca sastra, sarasehan sastra, dan dialog sastra. Perbuatan seenaknya, ala kadarnya, mengganggu dan merusak tanpak terjadi bilamana, melisankan, dan menyimak penulisanan karya sastra. Demikian juga perbuatan yang tidak mendukung (berbuat gaduh, menyelutuk seenaknya) tampak terjadi bilamana berperan serta dalam lomba baca sastra,sarasehan sastra dan dalog sastra. Misalnya jika diajak menonton lomba baca cerpen, Dara Jingga Wulandari terus menerus berisik dan mengobrol dengan teman sebelahnya, tidak menyimak pembacaan pembacaan cerpen yang sedang berlangsung. Ini pertanda perilaku negatif Dara Jingga Wulandari dalam apresiasi sastra.
B.       Ketidakmauan, keengganan, dan kemalasan membaca karya sastra, menyemangati orang untuk membaca karya sastra dan menyelenggarakan kegiatan apresiasi sastra  dan mengikuti kegiatan-kegiatan apresiasi sastra. Karya sastra dibaca dengan ”ogah ogahan” dan seenaknya, orang yang membaca karya sastra malahan diledek dan digoda, orang yang menyelenggarakan lomba baca puisi diledek mencari dan membuat kesibukan tak berguna, dan kegiatan pengapresiasi sastra. Misalnya, ketika diundang untuk mengikuti sarasehan membicarakan karya karya Y.B Mangunwijaya, Dara Jingga juga mengikutinya sambil mengobrol dengan teman sebelahnya dan makan makanan kecil. Ini merupakan pertanda perilaku negatif Dara Jingga dalam apresiasi sastra.
C.       Ketidakmaumengertian (dari:tidak mau mengerti) dan ketidakinginmauana (dari:tidak ingin tahu) manfaat dan nilai guna karya sastra  dan kegiatan apresiasi sastra. Manfaat dan nilai guna karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra tidak diberi tempat dan peranan dalam hidup dan kehidupan sehari-hari. Misalnya, Dara Jingga Wulandari memberikan tempat dan peranan demikian besar kepada ekonomi dan teknologi dalam hidup dan kehidupannya sehari-hari karena jelas dan kasat mata manfaat dan nilai gunanya. Manfaat dan nilai guna karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra hanya diberi tempat dan peranan kecil sekali, yaitu sebagai hiburan dan menghapus rasa jenuh setelah seharian menekuni ekonomi dan teknologi. Ini merupakan pertanda perilaku negatif Dara Jingga Wulandari dalam apresiasi sastra.

  Ketiga hal tersebut merupakan pertanda perilaku negatif pengapresiasi sastra yang jelas tidak menguntungkan iklim, lingkungan dan kegiatan apresiasi sastra. Pertanda pertanda tersebut perlu disingkirkan dari diri pengapresiasi sastra. Kemudian dari diri pengapresiasi sastra perlu ditanamkan, dipupuk dan dikembangkan pertanda perilaku positif. Bagaimanakah perilaku apresiasi sastra itu?
            Beberapa pertanda perilaku positif pengapresiasi sastra sebagai berikut ini.
A.      Keseringan, kebersemangatan, keantusiasan, dan kesungguh-sungguhan membaca karya sastra dan berlibat dalam apresiasi sastra. Karya sastra sering dibaca secara semangat, antusias, dan sungguh-sungguh. Dengan semangat, antusias, dan sungguh-sungguh orang lain sering dianjurkan membaca karya sastra dan ikut kegiatan sarasehan sastra dan menyelenggarakan lomba baca cerpen. Misalnya, Baiq Sri Azemi Yuliani sering membaca novel-novel Indonesia dengan penuh semangat, antusias, dan sungguh-sungguh sehingga sering mengulangi pembacaannya. Ia juga sering mengikuti sarasehan sastra lomba-lomba baca puisi dengan penuh semangat dan sungguh-sungguh. Ini merupakan pertanda perilaku positif Baiq Sri Azemi Yuliani dalam apresiasi sastra.
B.       Keajekan, kerutinan, dan keteraturan membaca karya sastra dan mengikuti kegiatan-kegiatan apresiasi sastra. Novel-novel Indonesia terutama
terbitan baru seperti Kemarau (A.A. Navis), Pergolakan                                                       (Wildan Yatim), Burung-burung rantau (Y.B. Mangunwijaya), dan Perang (Putu Wijaya) dibaca secara ajek, rutin, dan teratur. Demikian juga cerpen-cerpen Indonesia seperti Malam Terakhir (Leila S. Chudori), Bulan Bugil Bulat (Ynusa Nugroho), dan Kado Istimewa (kumpulan cerpen kompas 1991); dan puisi-puisi Indonesia seperti Perahu Kertas (Sapardi Djoko Damono), Simfoni Duan (Subagio Sastrowardoyo), dan Seribu Masjid Seribu Jumlahnya (Emha Ainun Najib). Selain itu, sarasehan sastra, dialog sastra, siaran baca puisi di radio, dan lomba baca sastra diikuti, dihadiri, dan dilibati secara ajek, rutin, dan teratur. Senantiasa tersedia waktu atau disediakan waktu untuk melakukan hal-hal tersebut. Jika Baiq Sri Azemi Yuliani, misalnya, setiap minggu selalu menyediakan waktu untuk membaca karya sastra Indonesia baik puisi maupun prosa, selalu menyempatkan diri untuk menonton lomba baca cerpen, dan secara ajek, rutin, dn teratur setiap Rabu mengikuti dialog sastra di Kelompok Studi Sastra, maka dia dapat dikatakan memiliki perilaku positif selaku pengapresiasi sastra.
C.       Kepahaman, kemengertian, dan ketahuan akan manfaat dan nilai guna karya sastra dan kegiatan-kegiatan apresiasi sastra. Manfaat dan nilai guna karya sastra dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai hiburan maupun bukan, dipahami, dimengerti, dan diketahui. Demikian juga sarasehan sastra, dialog sastra, membaca karya sastra, melisankan karya sastra, dan menyimak pelisanan karya sastra dimanfaatkan dan digunakan sesuai dengan manfaat dan nilai gunanya bagi kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, bila ingin mendapatkan hiburan, bahan-bahan renungan, dan kebutuhan rohani, Baiq Sri Azemi Yuliani sering mencari di dalam sastra dan kegiatan apresiasi karena menurut pengalamannya sastra dan kegiatan apresiasi sastra bermanfaat dan bernilai guna untuk itu. Ini dapat disebut perilaku positif Baiq selaku pengapresiasi sastra.
D.      Keikhlasan dan kesediaan menyediakan waktu, daya, dan mungkin dana untuk karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra. Tanpa merasa dibebani, karya sastra baik puisi maupun prosa dibaca, malahan dibeli. Sarasehan sastra, dialog sastra, pelisanan karya sastra, dan penyimakan karya sastra dilakukan atau dikerjakan secara ikhlas tanpa menjadi beban. Misalnya, Baiq Sri Azemi Yuliani selalu menyempatkan diri membaca karya-karya sastra baru, malahan bisa menyisihkan dan untuk membeli karya sastra baru. Diapun menyempatkan diri mengikuti sarasehan sastra, dialog sastra, dan pelisanan karya sastra tanpa ada yang memaksa dan menyuruhnya. Semuanya dikerjakan atas dorongan dan kesadaran diri sendiri. Ini dapat disebut perilaku positif Baiq Sri Azemi Yuliani selaku pengapresiasi sastra.
            Keempat hal tersebut merupakan pertanda-pertanda perilaku positif pengapresiasi sastra. Perilaku positif tersebut perlu dipupuk terus agar mantap dan kuat. Selanjutnya hal ini akan bermanfaat untuk mengembangkan dan menguatkan iklim, lingkungan, dan kegiatan- kegiatan apresiasi sastra.
Penumbuhan Sikap dan Perilaku Positif
            Sebagaimana sudah dikemukakan di atas, sikap dan perilaku positif pengapresiasi diperlukan untuk menciptakan, mengembangkan, dan meningkatkan iklim, lingkungan dan kegiatan apresiasi sastra. Oleh karena itu, sikap dan perilaku negatif pengapresiasi sastra perlu disingkirkan atau dibuang dan kepadanya perlu ditumbuhkan sikap dan perilaku positif. Disamping itu, sikap dan perilaku positif. Di samping itu, sikap dan perilaku positif pengapresiasi sastra yang sudah tumbuh dan ada perlu dipupuk terus agar mantap dan kuat. Mantapnya dan kuatnya sikap dan perilaku positif pengapresiasi sastra akan membuat iklim, lingkungan, dan kegiatan apresiasi sastra semakin baik. Persoalannya bagaimanakah cara menumbuhkan dan memupuk perilaku positif pengapresiasi sastra ini? Penumbuhan sikap dan perilaku positif dalam diri pengapresiasi sastra yang masih bersikap dan berperilaku negatif dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut.
A.    Memberikan pengalaman-pengalaman berkesan, menyenangkan, memikat, dan menyegarkan, dalam apresiasi sastra. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mempersilahkan membaca karya-karya sastra yang diakui berbobot, menceritakan isi atau keindahan-keindahan  karya sastra yang baik, mengajak menonton penyair-penyair yang baik yang sedang membaca puisi, mengajak mendengarkan pembacaan puisi oleh Rendra melalui tip kaset, dan memberikan kesempatan bertemu dan berdialog dengan sastrawan yang sekaligus pembaca atau pelisan sastra yang baik.
B.     Menanamkan keyakinan, kepercayaan, kesimpatikan, dan kesignifikanan akan manfaat dan nilai guna karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra. Hal ini dapat dilakukan dengan meminta pengapresiasi membaca karya sastra tertentu dan kemudian meresapi dan merenungiperolehannya, melisankan karya sastra dan kemudian meresapi dan merasakan perubahan-perubahan apa yang terjadi dalam diri, membandingkan orang-orang yang biasa mengapresiasisastra dengan yang tidak, dan membandingkan tuturan karya dengan tuturan non-sastra dan kemudian meresapi perbedaan-perbedaan dampaknya dalam diri.
C.     Memberikan iklim, suasana, situasi, dan lingkunga apresiasi sastra yang baik  dan positif, dalam arti menyenangkan, menggairahkan, memikat, dan bisa membuat ketagihan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyingkirkan atau mengeliminasi karya yang tidak baik, pelisanan-pelisanan sastra yang tidak baik, sarasehan-sarasehan sastra yang tidak menyenangkan, dan orang-orang yang tidak bersikap simpati pada apresiasi sastra. Selanjutnya menghadirkan atau mempergelarkan karya sastra yang baik, pelisanan sastra yang menarik dan memikat, sarasehan sastra yang bermakna, dan kelompok orang yang bersikap dan bersimpati pada apresiasi sastra.
D.    Menunjukkan dan memberikan teladan atau contoh-contoh manfaat dan nilai guna karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra. Hal ini dapat dikerjakan dengan cara menginformasikan hiburan dan renungan yang terdapat dalam karya sastra yang telah diperoleh berbagai pengapresiasi, mempertemukan dengan orang yang yang telah memperoleh manfaat dan nilai guna karya sastra dan membaca karya sastra, menunjukkan manfaat dan nilai guna karya sastra bagi kehidupan sehari-hari, dan menjelaskan segi-segi positif bila membaca karya sastra, melisankan karya sastra, dan menonton lomba baca karya sastra.

E.     Mengondisikan dan memberikan perlakuan tertentu yang dapat atau memungkinkan menggiring dan mengarahkan pengapresiasi sastra untuk mendekati karya sastra, membaca karya sastra, melisankan karya sastra, menyimak pelisanan karya sastra, dan mengikuti lomba baca karya sastra. Pengkondisian dan pemberian perilaku ini dapat dikerjakan dengan cara member tugas untuk membaca karya sastra atau melisankan karya sastra, memberikan tugas untuk membuat ulasan tentang kegiatan pelisanan sastra, dan mengajak melihat pameran-pameran sastra.


DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New york: Holt, Rinehart and
            Winston
Aminuddin. 1987.Pengantar Apresiasi Karya Sastra.Bandung:Sinar Baru

Dola, Abdullah.2007.Apresiasi Prosa Fiksi dan Drama.Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.

Keraf, Gorys.1981.Diksi dan Gaya Bahasa. Ende Flores: Nusa Indah

Mahayana,  Maman S. 2007. Apresiasi Sastra Indonesia di Sekolah. Online (http://johnherf.wordpress.com). Diakses 23 Februari 2008.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
            University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko.1999.Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius

Santosa, wijaya dan Sri. 2010. Pengantar Apresiasi Sastra. Surakarta: Yuma Pustaka
Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elementara

Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1995. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia

Tang, Muhammad Rapi. 2007. Pengantar Teori Sastra Yang Relevan Makassar: PPs UNM

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Pengantar Ilmu Sastra. Bandung: Pustaka Jaya

Waluyo, Herman. 1987. Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (terjemahan). Jakarta: 
            Gramedia



No comments:

Post a Comment