SOSOK APRESIATOR
Jati Diri Pengepresiasi
Jati
diri (identitas) menunjukkan pada seperangkat ciri yang melekat pada seseorang
atau keadaan khusus seseorang. Ciri-ciri apakah yang harus melekat pada
seseorang agar yang bersangkutan bisa disebut pengapresiasi sastra? Terdapat
dua ciri pokok yang harus melekat pada diri seseorang agar dapat disebut
pengapresiasi sastra. Pertama,
seseorang itu sedang (dalam keadaan) menggauli dan menggumuli karya sastra. Ini
berarti dia sedang (dalam keadaan) berhadapan dengan karya sastra sehingga dia
sedang berinteraksi dengan karya sastra. Berhadapan dengan karya sastra di sini
bisa berarti sedang membaca sebuah novel, bisa pula sedang mendengarkan atau
menyimak penulisan cerpen dan puisi. Kedua,
seseorang itu mengarahkan dan
mencurahkan nurani, rasa dan budinya secara sungguh-sungguh, khusuk, dan total
kepada karya sastra, bukan pada yang lainnya. Jika diarahkan dan dicurahkan
kepada selain sastra, maka berarti dia tidak dalam keadaan berinteraksi dengan
karya sastra dan berakibat tidak terselengaranya proses apresiasi sastra.
Sejalan dengan itu, semua orang yang
memenuhi dua ciri pokok tersebut dapat disebut menjadi pengapresiasi sastra.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa pengapresiasi sastra adalah semua orang yang
sedang menggauli dan menggumuli guna
menserap, menerima, menjiwai, menghayati, dan menikmati karya sastra secara
sungguh-sungguh, total, dan khusuk. Hal ini lebih jauh mengimplikasi dua hal. Pertama, pengapresiasi sastra tidak
sama, malah berbeda sekali dengan kritikus sastra, ahli sastra, mahasiswa
fakultas/jurusan sastra, dan sejenisnya meskipun mereka dapat disebut menjadi
pengapresiasi sastra bila memenuhi dua ciri pokok tersebut di atas. Pegawai
negeri sebuah departemen, pegawai bank, ahli ekonomi, anak-anak putus sekolah,
mahasiswa hukum, dan sebagainya dapat juga disebut menjadi pengapresiasi sastra
apabila memenuhi dua ciri pokok tersebut di atas. Sebagai contoh, H.B Jassin
yang dikenal sebagai kritikus sastra dan Emil Salim yang dikenal sebagai ahli
ekonomi dan lingkungan bisa sama-sama disebut pengapresiasi sastra jika
memiliki dua ciri tersebut bukan kritikus sastra dan ahli ekonomi dan
lingkungan, melainkan pengapresiasi sastra.
Kedua,
berkaitan dengan butir pertama, pengapresiasi sastra bukanlah sebuah profesi
yang sifatnya permanen seperti guru, manajer, dan pengusaha, melainkan sebuah
peran yang fungsional. Karena merupakan sebuah peran fungsional, siapa pun
boleh bisa dan bisa mengisi peran itu kritikus sastra, ahli sastra, ahli hukum,
ulama, dan sebagainya. Dalam hal ini sudah tentu harus dipegang persyaratan
utamanya. Mereka harus memenuhi dua ciri pokok tersebut di atas! Kalau tidak,
mereka tidak bisa berperan menjadi pengapresiasi sastra. Sebagai contoh, pada
waktu membaca sebuah karya sastra, Emil Salim dapat disebut berperan menjadi
pengapresiasi sasta sebab abstansi perannya memang demikian. Tegasnya, Emil
Salim seorang pengapresiasi sastra. Pada waktu mengurusi pencemaran lingkungan,
Emil Salim bukanlah pengapresiasi sastra karena substansi peran pengapresiasi
sastra tidak terdapat dalam dirinya.
Hal tersebut menunjukan bahwa
pengapresiasi sastra bisa berasal dari berbagai profesi. Orang yang menjalankan
profesi apa pun bisa menjadi pengapresiasi sastra tanpa dibebani persyaratan
formal seperti ijazah, sarjana, mahir komputer, dan sebagainya. Itulah
sebabnya, dapat dikatakan bahwa menjadi pengapresiasi sastra bukan suatu hal
luar biasa, istimewa, dan eksklusif, melainkan suatu hal biasa, wajar, dan
tidak eksklusif (baca: inklusif). Menjadi pengapresiasi sastra sebanding dengan
ayah, ibu, penolong kecelakaan, pencangkul, penyapu, dan pengemudi.
Karena bisa berasal dari beragam
profesi, pengapresiasi sastra berarti berlatar belakang beragam pula, baik
latar belakang pendidikan, pengalaman, pengetahuan maupun sosial dan budaya.
Latar belakang ini tentu akan memengaruhi proses keberlangsungan apresiasi
sastra sebagaimana sudah dijelaskan. Selain itu, juga akan menimbulkan
keragaman pengapresiasi sastra.
Keragaman Pengapresiasi Sastra
Secara
mental psikologis, keragaman pengapresiasi sastra dapat digolongkan menjadi dua
macam, yaitu: Pertama, pengapresiasi sastra yang
intuitif-afektif, menekankan dan mengutamakan penggunakan unsur-unsur
intuitif-afektif dalam melakukan kegiatan apresiasi sastra. Sebagai contoh,
dalam batas-batas tertentu, H.B Jassin dan Sapardi Djoko Damono merupakan
seorang pengapresiasi sastra yang condong intuitif-afektif. Kedua,
pengapresiasi sastra yang intelektualistis-kognitif, menekankan dan
mengutamakan unsur-unsur intelektualistis-kognitif dalam melakukan kegiatan
apresiasi sastra.
Sebagai contoh, Umar Junus dan Faruk HT merupakan seorang
pengapresiasi yang condong intelektualistis-kognitif, orang tersebut berlatar
belakang pendidikan sastra dan ahli sastra serta dikenal sebagai kritikus sastra Indonesia papan atas.
Perlu
diingat di sisni bahwa kedua ragam pengapresiasi ini semata-mata mencerminkan
jenis, bukan merupakan tingkat kemampuan pengapresiasi sastra. Tak ada jaminan
pasti bahwa pengapresiasi sastra yang intuitif-afektif tingkat kemampuannya
lebih rendah daripada pengapresiasi sastra yang intelektualistis-kognitif.
Misalnya, tak ada jaminan bahwa kualitas H.B Jassin lebih rendah atau
sebaliknya lebih tinggi daripada Umar Junus. Demikian juga tidak ada bukti
bahwa pengapresiasi sastra yang intuitif-afektif lebih mudah dan ringan
kerjanya dibandingkan pengapresiasi sastra yang intelektualistis-kognitif.
Kalau kita melihat kerja Sapardi Djoko Damono dan Faruk HT akan terlihat bahwa
keduanya bekerja dengan sungguh-sungguh dan sama-sama berat meskipun menempuh
jalan dan cara berbeda.
Pengapresiasi
Sastra yang Intuitif-Afektif
Pengapresiasi
sastra yang intuitif-afektif ialah seseorang yang melakukan kegiatan apresiasi
sastra dengan menggunakan unsur-unsur intuitif-afektifnya secara menonjol,
tinggi, dan kuat daripada unsur intelektualistis-kognitifnya. Unsur rasa,
emosi, kepercayaan, keyakinan, empati, simpati, dan sejenisnya digunakan secara
menonjol, dominan, dan kuat dibandingkan
unsur-unsur nalar, pikiran, persepsi, dan logika. Hal ini mengimplikasikan
bahwa unsur-unsur intelektualistis-kognitif tetap ada dalam kadar tertentu,
hanya perannya kalah menonjol, dominan, dan kuat dibandingkan dengan unsur
intuitif-afektif.
Pengapresiasi
sastra yang cenderung intuitif-afektif
melakukan kegiatan apresiasi sastra untuk memperoleh
kenikmatan-kenikmatan dari sastra, suatu liberary
enjoyment. Dia menghanyutkan dan menenggelamkan diri, tanpa menjaga jarak
kesadaran, ke dalam karya sastra yang diapresiasinya. Itulah sebabnya, dia akan
memperoleh banyak pengalaman dan hiburan, tapi mungkin tidak akan memperoleh
pengetahuan dan kesadaran. Dikatakan demikian karena pengetahuan dan kesadaran
pada umumnya dapat diperoleh dengan proses pemikiran dan penalaran yag dipandu
oleh daya intelektual dan kognisi, sedang pengalaman dan hiburan dapat
diperoleh dengan intensitas rasa dan selera yang dipandu oleh emosi dan afeksi.
Pengapresiasi
Sastra yang Intelektualistis-Kognitif
Pengapresiasi
sastra yang intelektualistis-kognitif ialah seseorang yang melakukan kegiatan
apresiasi sastra dengan menggunakan unsur-unsur intelektualistis-kognitif
secara menonjol, dominan, dan kuat dibandingkan dengan unsur-unsur
intuitif-afektif. Unsur logika, persepsi, nalar, pikiran, dan sejenisnya
digunakan secara menonjol, dominan, dan kuat dibandingkan unsur-unsur rasa,
emosi, empati, dan kepercayaan diri. Hal ini mengimplikasi bahwa unsur
intuitif-afektif tetap ada, hanya perannya kalah menonjol dan kuat dibandingkan
dengan unsur intelektualistis-kognitif.
Pengapresiasi
sastra yang condong intelektualistis-kognitif melakukan kegiatan apresiasi
sastra bukan untuk literary enjoyment semata-mata,
melainkan setingkat lebih tinggi
daripada itu, yaitu sesuatu yang bermakna dan berguna bagi dirinya. Dia
menceburkan dan memasrahkan diri, tetapi tidak menghayutkan dan menenggelamkan
diri, ke dalam karya sastra. Karena itu, jarak dengan karya sastra dijaga
adanya dan kesadaran digunakan sesuai keperluannya. Itulah sebabnya, dia akan
banyak memperoleh pengetahuan dan kesadaran, dan juga mungkin pengalaman dan
hiburan. Dikatakan demikian karena pengetahuan dan kesadaran dapat diperoleh
dengan pemikiran dan penalaran yang di pandu oleh intelektual dan kognisi,
sedangkan pengalaman dan hiburan di samping dapat diperoleh dengan intensitas
rasa dan selera juga bisa diperoleh melalui proses pemikiran dan penalaran.
Telah disinggung
bahwa pengapresiasi sastra yang intuitif-afektif secara menonjol, dominan, dan
kuat menggunakan intuisi dan afeksi daripada intelektual dan kognisi; dan
pengapresiasi sastra yang intelektualistis-kognitif secara menonjol dan kuat
menggunakan intelektual dan kognisi daripada intuisi dan afeksi. Ini
menunjukkan bahwa dalam masing-masing ragam pengapresiasi sastra selalu ada unsur-unsur
tersebut di atas, hanya kadar penggunaannya tidak sama. Lebih jauh hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada pengapresiasi sastra yang semata-mata dan murni
intuitif-afektif atau intelektualistis-kognitif; dalam kadar tertentu
pengapresiasi sastra yang menggunakan intelektual dan kognisi; sebaliknya,
dalam kadar tertentu juga pengapresiasi sastra yang intelektualistis-kognitif
menggunakan intuisi dan afeksi. Hal
tersebut mengimplikasi bahwa keragaman pengapresiasi sastra sebenarnya
merupakan suatu kontinum yang bertitik ekstrem pada dua ragam yang telah
dijelaskan di atas. Di antara rentangan garis kontinum yang bertitik ekstrem
pada ragam pengapresiasi yang intuitif-afektif dan intelektualistis-kognitif
terdapat berbagai ragam pengapresiasi sastra yang lain. Di tengah garis
kontinum kita bisa menentukan ragam pengapresiasi sastra yang intuitif-afektif sekaligus intelektualistis-kognitif, yaitu
pengapresiasi sastra yang menggunakan intuisi-afeksinya dan
intelektual-kognisinya secara berimbang dan padu dalam melakukan kegiatan
apresiasi sastra. Pengapresiasi
sastra yang intuitif-afektif sekaligus
intelektualistis-kognitif mampu mengatur dirinya sendiri pada saat
melakukan kegiatan apresiasi sastra. Dia dapat mengatur kapan harus menggunakan
nurani dan rasanya dan kapan menggunakan nurani dan budinya, kapan harus
menghanyutkan dan menenggelamkan diri ke dalam karya sastra yang diapresiasi
dan kapan harus menjaga jarak agar bisa memahami karya sastra yang diapresiasi,
kapan harus menggunakan kesadarannya dan kapan menggunakan ketidaksadaran dan
kebawahsadarannya. Dengan kata lain, dia mampu menguasai dan mengendalikan
dirinya sendiri, dan bukan hanya dikuasai dan dikendalikan, dalam melakukan
kegiatan apresiasi sastra. Karena itu, dia mampu melukiskan sekaligus
menjelaskan, menceritakan sekaligus menerangkan apa yang diapresiasinya. Di
samping itu, dia mampu memperoleh pengalaman, pengetahuan, kesadaran, dan
hiburan sekaligus dalam apresiasi sastra. Pengapresiasi sastra semacam ini
merupakan ragam apresiasi yang ideal.
BEKAL APRESIASI SASTRA
Pengertian Bekal Dasar Pengapresiasi Sastra
Bekal
dasar pengapresiasi sastra ialah bekal minimal yang harus ada dan dimiliki oleh
pengapresiasi sastra agar dapat melakukan kegiatan apresiasi sastra secara
minimal dan bersifat dasar. Segala sesuatu yang inheren, melekat dalam diri pengapresiasi sastra bisa dijadikan
bekal dasar. Jadi, bekal dasar ini bukan hasil pembelajaran yang khusus,
melainkan bawaan dan penguasaan secara alamiah. Dalam batas tertentu memang
dapat berupa hasil pembelajaran yang umum.
Bekal dasar apresiator antara lain
berikut ini.
A.
Bekal dasar paling
utama dan penting, yang harus ada dan dimiliki oleh pengapresiasi sastra ialah
kemauan, kesudian, kesediaan, dan ketepatan hati untuk menggumuli dan menggauli
karya sastra. Tanpa kemauan, kesudian, dan ketepatan hati ini niscaya kegiatan
apresiasi sastra tidak akan bisa berlangsung.
B.
Bekal dasar selanjutnya
yang harus ada dan dimiliki oleh pengapresiasi sastra ialah perasaan, keyakinan,
dan pikiran yang positif akan manfaat, nilai guna, dan kaedah karya sastra
dalam kehidupan manusia baik kehidupan sehari-hari maupun segi-segi kehidupan
tertentu. Bahwa karya sastra memenuhi hajat rohaniah manusia, merupakan tempat
mendulang bahan-bahan renungan, dan merupakan kebutuhan rohaniah manusia perlu
di rasakan, di yakini dan di akui oleh pengapresiasi sastra agar bisa melakukan
kegiatan apresiasi sastra secara khusuk dan kafak.
C.
Pengalaman hidup
sehari-hari juga merupakan bekal dasar. Adanya dan dimilikinya pengalaman hidup
sehari-hari, misalnya merasakan bunyi-bunyi yang demikian merdu,
keindahan-keindahan ketika mendengarkan sesuatu, kegembiraan dan kesedihan saat
menghadapi sesuatu, dan kepekaan menangkap sesuatu yang sesuai dengan cita rasa
dan tidak sesuai dengan cita rasa, menompang proses berlangsungnya apresiasi
sastra.
D.
Kemampuan
dan kemahiran berbahasa juga merupakan bekal dasar yang perlu ada dan dimiliki
oleh pengapresiasi sastra. Kemampuan menyimak, membaca, berbicara, dan menulis secara minimal perlu dimiliki
oleh pengapresiasi sastra. Menguasai
keempat kemampuan dan kemahiran tersebut tentulah baik sekali. Namun,
setidak-tidaknya pengapresiasi sastra menguasai dengan baik salah satu di
antara empat kemampuan dan kemahiran
tersebut. Kemampuan membaca dan berbicara seyogianya dikuasai dengan baik karena diperlukan untuk membaca karya-karya sastra tulis dan melisankan
karya sastra tulis seperti
deklamasi, teatrikalisasi, poetry reading, dan story
telling.
Keempat bekal
dasar tersebut di atas menjadi prasyarat agar seseorang dapat melakukan
kegiatan apresiasi sastra. Keempat bekal
dasar tersebut menentukan berlangsung tidaknya
kegiatan apresiasi sastra sehingga seseorang pengapresiasi sastra perlu
memiliki empat bekal dasar tersebut. Untuk
memilikinya seorang pengapresiasi sastra tidak perlu mengikuti
pembelajaran secara khusus karena empat bekal dasar tersebut dapat dimiliki
selama menjalani hidup dan kehidupan
(bermasyarakat). Jadi, pengapresiasi sastra dapat memiliki dan menguasainya
dengan sendirinya jika benar-benar memaknai setiap perjalanan dan pengalaman
hidupnya.
Bekal Lanjut Pengapresiasi Sastra
Bekal
lanjut pengapresiasi sastra ialah bekal tambahan atau berikutnya yang
seyogianya dimiliki oleh pengapresiasi sastra agar dapat melakukan kegiatan
apresiasi sastra secara lebih bermakna, meluas, mendalam, kaya, dan tajam.
Bekal lanjut ini tidak harus dimiliki, tetapi sebaiknya atau seyogianya
dimiliki. Jika tidak dimiliki, seorang pengapresiasi sastra tetap dapat melakukan
kegiatan apresiasi sastra. Jika dimiliki, seorang pengapresiasi sastra bukan
hanya dapat melakukan kegiatan apresiasi sastra, melainkan juga meluaskan dan
mendalamkan perolehan kegiatan apresiasi sastra. Dengan kata lain, kegiatan
apresiasi sastranya menjadi luas dan dalam karena yang diperoleh lebih banyak
dan beranekaragam serta kaya, misalnya pengalaman, pengetahuan, kesadaran, dan
hiburan sekaligus. Terdapat bermacam-macam bekal lanjut yang biasa dimiliki
oleh pengapresiasi sastra.
Bekal-bekal
lanjut yang seyogianya dimiliki oleh pengapresiasi sastra sebagai berikut.
- Pengetahuan ihwal lambang-lambang terutama lambang lambang bahasa,
lambang-lambang sastra, dan lambang lambang budaya. Meskipun dalam
beberapa hal bisa menggunakan lambang bukan bahasa (misalnya, beberapa
judul cerpen Danarto dan puisi Sutardji), karya sastra pada dasarnya
terpapar dalam bahasa sehingga bagaimanapun lambang-lambang bahasa perlu
dikuasai oleh pengapresiasi. Hal ini meningkatkan dan mencermatkan serta
menajamkan penjiwaan, penghayatan, dan penikmatan pengapresiasi sastra
dalam melakukan ke¬giatan apresiasi sastra. Demikian juga lambang-lambang
sastra dan budaya. Sebagaimana diketahui, karya sastra menyodorkan
kemungkinan-kemungkinan khas yang terwadahi atau terwahani dalam lambang-lambang
khas pula yang kemudian disebut lambang sastra sehingga ada baiknya
lambang-lambang sastra ini dikuasai oleh seorang pengapresiasi sastra.
Penguasaan atas lambang-lambang sastra ini akan meningkatkan ketajaman,
kecermatan, kedalaman, keluasan, malahan kekayaan kegiatan apresiasi
sastra beserta basil-hasilnya. Selain itu, karya sastra pada dasarnya
terikat konteks budaya sehingga di dalamnya selalu termuat lambang-lambang
budaya. Seorang pengapresiasi sastra ada baiknya juga mengetahui lambang-lambang
budaya yang terdapat dalam karya sastra. Pengetahuan lambang-lambang
budaya ini bisa meningkatkan dan mengembangkan mutu dan cakrawala
penjiwaan, penghayatan, dan penikmatan karya sastra yang diapresiasi.
- Pengetahuan tentang manusia dan kemanusiaan dengan segala seginya.
Pengetahuan tentang siapakah manusia, bagaimanakah hakikat hidup manusia,
apakah makna kebahagiaan, kesengsaraan, kematian, dan hidup sesudah mati
bagi manusia, bagaimanakah manusia hidup di dunia bersama-sama dengan
makhluk lain, bagaimana¬kah manusia harus hersikap terhadap dunia dan
ling-kungannya, dan sejenisnya merupakan pengetahuan tentang manusia dan
kemanusiaan yang perlu diketahui oleh manusia. Pengetahuan ini bisa
diperoleh manusia melalui agama, filsafat, etika, psikologi, antropologi,
dan sejarah. Karena itu, alangkah baiknya jika seorang peng¬apresiasi
sastra menyukai dan kalau bisa membaca bacaan-bacaan agama, filsafat,
etika, psikologi, antropologi, dan sejarah sebab dengan demikian dia akin
memperoleh pengetahuan tentang manusia dan kemanusiaan demikian banyak dan
beraneka ragam. Selanjutnya hal ini akan memperkaya, memperluas, dan
memperdalam hasil-hasil kegiatan apresiasi sastranya.
- Pengetahuan tentang masyarakat dan budaya dengan segala
pelik-peliknya. Pengetahuan ini antara lain ber¬sangkutan dengan pandangan
dunia, pandangan hidup, cara berpikir, sikap hidup, adat-istiadat,
tradisi-tradisi, ritus-ritus, perilaku sosial, stratifikasi sosial, etos
sosial, hukum dan atau norma sosial dan perubahan sosial. Keadaan dan situasi
sosial (misalnya anomi sosial, kesenjangan sosial, dan persoalan sosial),
perkembangan masyarakat dan budaya (misalnya, kontinuitas dan
diskontinuitas perkembangan, arah dan orientasi perkembangan, dan konflik
dan akulturasi dalam perkem¬bangan), dan transformasi masyarakat dan
budaya (misalnya, arah transformasi, tahapan transformasi, kualitas
transformasi, dan masalah-masalah transformasi) termasuk pengetahuan
tentang masyarakat dan budaya juga. Alangkah baiknya kalau seorang
pengapresiasi sastra menguasai pengetahuan ini. Hasil kegiatan apresiasi
sastranya niscaya akan kaya, luas, dan dalam. Dia tidak hanya memperoleh
literary enjoyment; tetapi daripada itu dia mungkin mendapat pencerahan,
kesa¬daran-kesadaran baru, dan bahan-bahan renungan yang bagus tentang
berbagai hal yang bersangkutan dengan hidupnya.
- Pengetahuan tentang sastra yang mencakupi karya sas¬tra, teori sastra,
sejarah sastra, dan kritikan sastra. Pengetahuan tentang karya sastra di
sini bisa berupa jenis-¬jenis karya sastra (puisi, prosa, dan drama),
judul-judul karya sastra, bentuk dan isi karya sastra, sastrawan dan
kehidupannya, dan hubungan karya sastra dengan pengarang dan keadaan
sosial. Pengetahuan tentang teori sastra bisa berupa aliran-aliran sastra
(romantisme, realisme, naturalisme, absurdisme, dsb.), pertentangan antara
mimesis dan kreasi, hakikat sastra menurut berbagai pemikiran dan
pandangan (pandangan Plato, Aristoteles, Iqbal, Kristeva, dsb.),
paham-paham teori sastra (strukturalisme, formalisme, feminisme, sosiologi
sastra, psikologi sastra, semiotika, pascakolonialisme, dsb.), dan cara
kerja paham-paham teori sastra. Pengeta¬huan tentang sejarah sastra bisa
berupa pengetahuan tentang aliran dan karya sastra seperti apa yang
menon¬jol dan kuat dalam berbagai kurun waktu, bagaimana latar belakang
sastrawan-sastrawan, bagaimanakah kaitan peristiwa-peristiwa
sosial-politis-budaya dengan sastra seperti zaman tahun 1965-an dengan
Manikebu dan Lekra, dan bagaimana hubungan antara suatu karya sastra dan
karya sastra lain. Pengetahuan tentang kritikan sastra dapat berupa
karya-karya sastra apa saja yang telah dikritik oleh pengkritik, bagaimana
kritik berbagai pengkritik terhadap suatu karya sastra, bagaimana kecenderungan-kecenderungan
kritikan para pengkritik, dan bagaimana wujud-wujud kritikan karya sastra
yang ada. Berbagai-bagai pengetahuan tentang sastra ini memang tidak harus
dikuasai oleh pengapresiasi sastra. Akan tetapi, tidak ada salahnya jika
seorang pengapresiasi sastra ingin menguasainya. Penguasaan atas
pengetahuan tentang sastra ini malah menguntungkan pengapresiasi sastra.
Misalnya, jika kita mengetahui latar belakang Danarto yang menyukai
bacaan-bacaan mistik kejawen dan berteman dengan pelukis penganut mistik
kejawen, maka pengetahuan ini bisa dimanfaatkan untuk meng¬hayati dan
menikmati cerpen-cerpen Danarto seperti Adam Ma'rifat, Godlob, dan Lahirnya Sebuah Kota Suci.
- Pengetahuan linguistik dan stilistik. Kedua pengetahuan ini
bersangkatan dengan bunyi-bunyi bahasa, kata-kata, kalimat-kalimat,
wacana-wacana, dan gaya-gaya. Pengetahuan tentang hal-hal ini bermanfaat
sekali dalam apresiasi sastra karena bagaimanapun karya sastra terpapar
dalam bahasa yang mengandung aspek linguistis dan stilistis. Jika seorang
pengapresiasi sastra memiliki pengetahuan ini, maka niscaya dia lebih
mampu melakukan penjiwaan, penghayatan, dan penikmatan karya sastra ketika
melakukan kegiatan apresiasi sastra.
Meskipun
tidak wajib atau harus dimiliki atau dikuasai, kelima bekal lanjut tersebut
seyogianya dikenali atau diketahui. Tidak perlu semuanya. Mengenali serba
sedikit, tidak mendalam, salah satu atau beberapa di antara kelima bekal lanjut
tersebut sudah baik karena sudah bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan, menjaga,
dan mengembangkan untuk dan cakrawala apresiasi sastra. Untuk mengenali serba
sedikit itu tidak perlu pula belajar secara khusus. Kalau pengapresiasi sastra
pernah mengenyam pendidikan terutama persekolahan, sekalipun tingkat dasar,
sebenarnya dia sudah mengenali kelima bekal lanjut tersebut walaupun mungkin
secara tidak sadar atau bawah sadar. Mengapa demikian? Sebabnya,
informas-informasi mengenai kelima bekal lanjut tersebut secara tersirat
terdapat dalam mata-mata pelajaran di sekolah. Jadi tidak perlu belajar
antropologi, filsafat, linguistik, dan lain-lain khusus!
SIKAP DAN PERILAKU PENGAPRESIASI SASTRA
Sikap pada umumnya dipandang mendasari
perilaku, termasuk sikap pengapresiasi sastra akan mendasari perilakunya.
Sikapnya terhadap karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra akan mendasari perilakunya
terhadap karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra. Hal ini menunjukkan bahwa
perilaku pengapresiasi pada umumnya merupakan pencerminan sikapnya.
Sikap Pengapresiasi Sastra
Sikap merupakan kecenderungan jiwa
atau budi untuk mendekati atau menjauhi suatu objek. Di dalamnya terkandung
unsur perseptual, emosional, dan motivasional atau unsur budi dan rasa. Ini
menunjukkan bahwa sikap dibentuk oleh unsur-unsur penalaran, pemikiran, dan
perasaan atau unsur kognitif dan afektif; bukan semata-mata perasaan atau
afektif. Lebih jauh hal ini menunjukkan bahwa sikap merupakan kualitas
psikologis dalam berhadapan dengan suatu objek. Harus dipahami, kualitas
psikologis ini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan budaya karena
objek sikap terikat konteks sosial dan budaya. Karena itu, sikap bukanlah
bermatra psikologis semata-mata, melainkan juga bermatra sosial budaya.
Sejalan dengan itu, dapat dikatakan
bahwa sikap pengapresiasi sastra merupakan kecenderungan pengapresiasi sastra
untuk mendekati dan menggauli atau menjauhi karya sastra dan kegiatan apresiasi
sastra. Kecenderungan pengapresiasi sastra untuk mendekati dan menggauli karya
sastra dan kegiatan apresiasi sastra dapat disebut sikap positif. Sebaliknya,
sikap negatif merupakan kecenderungan pengapresiasi sastra untuk menjauhi karya
satra dan kegiatan apresiasi sastra. Sebagaimana sikap pada umumnya, baik sikap
negatif maupun sikap positif pengapresiasi sastra juga bermatra psikologis dan
sosial budaya. Ini berarti sikap negatif atau positif pengapresiasi sastra
ditentukan oleh matra sosial budaya meskipun merupakan matra psikologis.
Dalam apresiasi sastra, tentulah sikap
positif pengapresiasi sastra yang diperlukan. Dengan sikap positif
pengapresiasi sastra kegiatan-kegiatan pengapresiasi sastra dapat berlangsung,
tumbuh dan berkembang secara baik, dan meningkat secara bermakna. Dikatakan
demikian karena sikap positif pengapresiasi dapat membentuk suatu suasana atau
atmosfer dan lingkungan yang kondusif yang menunjang kegiatan-kegiatan apresiasi sastra.
Sebaliknya, sikap negatif pengapresiasi sastra akan menghambat, malahan dapat
merusak kegiatan apresiasi sastra karena sikap pengapresiasi sastra menciptakan
suasana dan lingkungan yang tidak baik untuk kegiatan apresiasi sastra. Jadi
yang dibutuhkan dalam apresiasi sastra
supaya dapat tumbuh berkembang, dan meningkatkan serta terpiara dengan
baik adalah sikap positif pengapresiasi sastra.
Sikap negatif pengapresiasi sastra di
cirikan oleh hal hal sebagai berikut.
A.
Ketidaksenangan,
ketidakgemaran, dan ketidaksudian membaca karya sastra, menyimak orang membaca
sastra, mengikuti kegiatan kegiatan apresiasi sastra dan mendorong atau
menyemangati diadakannya kegiatan apresiasi sastra. Misalnya, Nurani Rindang
Kasih tidak senang , tidak gemar, dan tidak sudi membaca novel-novel,
puisi-puisi dan naskah-naskah drama seperti novel Senja di Jakarta (Mochtar Lubis), puisi Daerah Perbatasan (Subagio Sastrowardojo) dan Sumur Tanpa Dasar (Arifin C.Noor) dia juga tidak senang, tidak
gemar dan tidak sudi menyimak pembacaan puisi atau cerpen dalam lomba–lomba
baca puisi atau cerpen dan mengikuti kegiatan–kegiatan apresiasi sastra seperti
lomba puisi atau seresehan sastra. Malah dia menunjukan rasa tidak senang,
tidak gemar dan tidak sudi bila berkelompok anak muda (berupaya)
menyelenggarakan lomba baca cerpen, sama sekali tidak mendorongnya. Ini semua
ciri sikap negatif Nurani Rindang Kasih sebagai pengapresiasi sastra.
B.
Ketidakacuhan,
ketidakpedulian, dan keapatisan terhadap karya sastra, orang–orang yang meminati
karya sastra, kegiatan–kegiatan apresiasi sastra, dan orang-orang yang
melakukan kegiatan apresiasi sastra. Sebagai contoh, Nurani Tifa Suci tidak
acuh, tidak peduli, dan apatis (i) atas Terbitnya
Burung–Burung Rantau (Y.B.Mangunwijaya), (ii) terhadap jono yang sering
membeli buku sastra, (iii) atas diselengarakanya malam Chairil Anwar, dan (iv)
terhadap Hening Kusuma Hati yang membaca puisi Nyanyian Angsa (W.S.Rendra). Keempat hal ini merupakan ciri sikap
negatif Nurani Tifa Suci dalam apresiasi sastra.
C.
Peremehan,
penyepelean, dan pelecehan manfaat dan nilai guna karya sastra dan
kegiatan-kegiatan apresiasi sastra. Karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra
dianggap remeh dan sepele, malah melecehkan manfaat dan nilai gunanya. Membaca
karya sastra dianggap membuang buang waktu, melarikan diri dari kenyataan
kenyataan hidup, dan pekerjaan sia-sia. Begitu juga dengan kegiatan–kegiatan
mengapresiasi dianggap pekerjaan percuma, sia-sia dan tidak menghasilkan
apa-apa. Contohnya sebagai berikut, Nurani Rindang Kasih selalu beranggapan
bahwa dewasa ini hanya ekonomi dan teknologi yang layak ditekuni, dipelajari,
dan di curahi waktu karena memberikan manfaat dan nilai guna nyata dalam
kehidupan manusia. Dia beranggapan karya sastra dan kegiatan–kegiatan apresiasi
sastra ditinggalkan saja karena tidak memberikan apa-apa, hanya menghabiskan
waktu saja dan membuat manusia melamun
saja. Ini merupakan sikap negatif Nurani Rindang Kasih dalam apresiasi sastra.
Ketiga
hal tersebut merupakan ciri dominan sikap negatif pengapresiasi sastra dalam
apresiasi sastra. Ciri-ciri tersebut perlu diubah ke arah yang positif atau baik demi
tumbuhnya, perkembangan dan
meningkatkannya apresiasi sastra. Bagaimanakah ciri-ciri positif sikap
pengapresiasi sastra? Sikap positif pengapreisasi
sastra dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut.
A. Kesenangan,
kegemaran, dan keantusiasan membaca karya-karya sastra, menyimak
pembacaan-pembacaan karya sastra, mengikuti kegiatan–kegiatan apresiasi sastra,
dan memberikan semangat kepada orang lain supaya menyelenggarakan apresiasi
sastra. Contoh ciri-ciri ini sebagai berikut, Hening Kusuma Hati setiap minggu selalu membaca satu karya
sastra, pada hari tertentu mendengarkan
acara pembacaan puisi disalah satu radio swasta niaga, selalu berusaha hadir
pada berbagai kegiatan lomba baca sastra dan sarasehan sastra, dan selalu
mendorong teman-teman dekatnya untuk secara rutin mengadakan dialog sastra dan
budaya. Ini semua merupakan sikap positif Hening Kusuma Hati dalam apresiasi
sastra.
B. Keacuhan,
kepedulian dan kesimpatikan terhadap karya sastra, kegiatan-kegiatan apresiasi
sastra, orang-orang yang meminati karya sastra, dan penyelenggaraan kegiatan
apresiasi sastra. Contohnya sebagai berikut, Hening Widodo memerhatikan dan
memantau karya karya sastra yang terbit setiap tahun, memberikan sanjungan dan
rasa salut kepada orang-orang yang rajin membaca karya sastra, berusaha
mendatangi dan menyatakan simpati bila ada sarasehan sastra dan lomba baca
cerpen dan merasa tenang dan bahagia bila ada orang menyelenggarakan lomba baca
cerpen atau bercerita. Ini dapat disebut sikap positif Hening Widodo dalam
apresiasi sastra.
C. Keyakinan,
kepercayaan dan keoptimisan akan manfaat dan nilai guna karya sastra dan
kegiatan apresiasi sastra. Ditengah kehidupan materialitis dan ekonomistis,
karya sastra dan kegiatan-kegiatan apresiasi sastra diyakini, dipercayai dan
dioptimisi manfaat dan nilai gunanya membaca karya sastra , menyimak pembacaan
sastra, mengikuti sarasehan sastra, lomba membaca puisi dan sejenis bermanfaat
dan bernlai guna bagi hidup dan kehidupan. Contohnya sebagai berikut, Hening
Kusuma Hati setiap minggu membaca satu novel dan sering menyimak pembacaan
puisi dan cerpen diberbagai tempat karena yakin, percaya dan optimis apa yang
dilakukanya dapat menenangkan dan menekakan batin dan sukmanya. Andaikan tidak
demikian, dia yakin dan percaya hidupnya tidak sebermakna sekarang. Ini disebut
sikap positif Hening Kusuma Hati dalam apresiasi sastra.
D. Kesungguhan-kesungguhan,
keintensifan dan ketotalan bergumul dan berlibat dengan karya sastra dan
kegiatan-kegitan apresiasi sastra. Ini ditandai oleh kepenuhan perhatian,
persaan, emosi dan pikiran dalam membaca karya sastra, menyimak pembacaan
sastra mengikuti sarasehan sastra, menunjang lomba-lomba membaca cerpen, dan sejenisnya.
Contohnya sebagai berikut, Aulia Muhammad selalu tenang-diam, tidak gaduh,
setiap menyimak orang membaca puisi, memusatkan segala perasaan dan pikiran
dalam sarasehan sastra, dan menyumbangkan
daya dan dana setiap diselenggarakannya acara baca cerpen di kampusnya.
Ini disebut sikap positif Herlinawati dalam apresiasi sastra.
E. Kemauan,
kesiapan, kesedihan, kesepontanan dan kesigapan memberikan penjelasan mengenai
manfaat dan nilai guna karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra. Contohnya
sebagai berikut, ketika mendengar ada orang yang menyepelekan dan
meremehkan manfaat dan nilai guna karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra dalam hidup
sehari hari, secara spontan dan serta merta Aulia Muhammad menyatakan mau, siap
dan sedia memberikan penjelasaan kepada orang yang bersangkutan mengenai
manfaat dan nilai guna karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra dalam hidup
sehari hari. Ini disebut sikap positif Aulia Muhammad dalam apresiasi sastra.
Kelima
hal tersebut diatas merupakan ciri utama sikap positif pengapresiasi sastra
dalam apresiasi sastra. Ciri-ciri sikap positif tersebut tentulah perlu
dipupuk, dikembangkan dan diperliahara agar apresiasi sastra dapat tumbuh, berkembang
dan meningkatkan mutu dan kadarnya.
Perilaku Pengapresiasi Sastra
Tidak mudah mengidentifikasi perilaku
pengapresiasi sastra baik perilaku negatif maupun perilaku positif. Hal ini
disebabkan oleh kenyataan bahwa sikap sebagai kualitas psikologis-mentalis yang
terikat konteks sosial-budaya sulit di identifikasi. Pada umumnya sikap orang
termasuk sikap pengapresiasi sastra di identifikasi melalui
pernyataan-pernyataan orang yang bersangkutan. Namun, hal ini sering kurang
memuaskan hasilnya. Karena itu, sikap orang kemudian juga sering di
identifikasi melalui perilaku meskipun bukan perilaku, sikap tidak sama dengan
perilaku, tetapi perilaku dimanfaatkan untuk melihat sikap seseorang.
Hal ini mengakibatkan identifikasi perilaku pengapresiasi sastra selalu berimpitan, malahan sering rumpang (overlaping) dengan identifakasi sikap pengapresiasi sastra. Hal ini tampaknya tak terelakan sehingga ciri-ciri perilaku pengapresiasi sastra mirip, bahkan mungkin sama, dengan ciri-ciri sikap pengapresiasi sastra. Meskipun demikian, sikap dan perilaku masih tetap bisa dibedakan termasuk sikap dan perilaku pengapresiasi sastra. Sikap harus dipahami sebagai suatu kualitas psikologis yang belum merupakan suatu tindakan, sedang perilaku jelas merupakan suatu tindakan yang sosial-budaya dan sudah terjadi. Jika sikap di identifikasi melalui perilaku harus diartikan bahwa perilaku hanya merupakan sarana untuk melihat sikap yang merupakan kualitas psikologis. Ini menyangkut penekanan arti perilaku. Jika penekanan sudah terjadinya dan adanya tindakan, berarti perilakulah yang di jadikan tekanan, namun jika menekankan belum menjadi tindakannya dan kecenderungan jiwanya, berarti sikaplah yang dijadikan tekanan. Contohnya berikut ini, Dara Jingga Wulandari selalu malas dan sering tidak mau bila diajak menonton lomba membaca puisi karena menurutnya hanya membuang waktu saja. Kalau penekanan pemahaman pada kualitas psikologinya yang belum merupakan tindakan (dibalik perilaku malas dan tidak mau), maka hal ini merupakan pertanda sikap negatif Dara Jingga Wulandari dalam apresiasi satra;sebaliknya, kalau penekanan pemahaman pada tindakan yang sudah terjadi (malas dan sering tidak maunya, bukan dibalik itu), maka hal ini merupakan pertanda perilaku negatif Dara Jingga Wulandari dalam apresiasi, dengan demikian, sikap pengapresiasi sastra dapat dibedakan dari perilaku pengapresiasi sastra meskipun pertandanya atau ciri bisa sama.
Sebagaimana sudah dikemukakan diatas bahwa sikap pengapresiasi sastra mendasari perilakunya. Ini menunjukan bahwa perilaku pengapresiasi sastra dan kegiatan-kegiatan apresiasi sastra ditentukan sikapnya dalam apresiasi sastra. Kalau sikapnya negatif, perilakunya pun tentu negatif dalam apresiasi sastra. Sebaliknya, kalau sikapnya positif, perilakunya pun positif dalam apresiasi sastra. Jadi ada timbal baliknya dan sejajar, perilaku bisa menjadikan cerminan sikap, sementara sikap negatif pula dan sikap positif bisa mejadikan perilaku positif juga. Perilaku positif pengapresiasi sastra diperluan dalam apresiasi sastra. Dikatakan demikian karena (i) perilaku positif bisa menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan apresiasi sastra seseorang, (ii) perilaku positif menunjang terbentuknya lingkungan kondusif bagi kegiatan-kegiatan apresiasi sastra, dan (iii) perilaku positif merupakan “tanah subur” untuk memelihara dan merawat perilaku pengapresiasi sastra. Perilaku negatif pengapresiasi sastra tidak diperlukan dalam apresiasi sastra karena hanya menghambat dan merusak pertumbuhan, perkembangan dan peningkatan sikap postif pengapresiasi sastra dan kegiatan-kegiatan apresiasi sastra.
Hal ini mengakibatkan identifikasi perilaku pengapresiasi sastra selalu berimpitan, malahan sering rumpang (overlaping) dengan identifakasi sikap pengapresiasi sastra. Hal ini tampaknya tak terelakan sehingga ciri-ciri perilaku pengapresiasi sastra mirip, bahkan mungkin sama, dengan ciri-ciri sikap pengapresiasi sastra. Meskipun demikian, sikap dan perilaku masih tetap bisa dibedakan termasuk sikap dan perilaku pengapresiasi sastra. Sikap harus dipahami sebagai suatu kualitas psikologis yang belum merupakan suatu tindakan, sedang perilaku jelas merupakan suatu tindakan yang sosial-budaya dan sudah terjadi. Jika sikap di identifikasi melalui perilaku harus diartikan bahwa perilaku hanya merupakan sarana untuk melihat sikap yang merupakan kualitas psikologis. Ini menyangkut penekanan arti perilaku. Jika penekanan sudah terjadinya dan adanya tindakan, berarti perilakulah yang di jadikan tekanan, namun jika menekankan belum menjadi tindakannya dan kecenderungan jiwanya, berarti sikaplah yang dijadikan tekanan. Contohnya berikut ini, Dara Jingga Wulandari selalu malas dan sering tidak mau bila diajak menonton lomba membaca puisi karena menurutnya hanya membuang waktu saja. Kalau penekanan pemahaman pada kualitas psikologinya yang belum merupakan tindakan (dibalik perilaku malas dan tidak mau), maka hal ini merupakan pertanda sikap negatif Dara Jingga Wulandari dalam apresiasi satra;sebaliknya, kalau penekanan pemahaman pada tindakan yang sudah terjadi (malas dan sering tidak maunya, bukan dibalik itu), maka hal ini merupakan pertanda perilaku negatif Dara Jingga Wulandari dalam apresiasi, dengan demikian, sikap pengapresiasi sastra dapat dibedakan dari perilaku pengapresiasi sastra meskipun pertandanya atau ciri bisa sama.
Sebagaimana sudah dikemukakan diatas bahwa sikap pengapresiasi sastra mendasari perilakunya. Ini menunjukan bahwa perilaku pengapresiasi sastra dan kegiatan-kegiatan apresiasi sastra ditentukan sikapnya dalam apresiasi sastra. Kalau sikapnya negatif, perilakunya pun tentu negatif dalam apresiasi sastra. Sebaliknya, kalau sikapnya positif, perilakunya pun positif dalam apresiasi sastra. Jadi ada timbal baliknya dan sejajar, perilaku bisa menjadikan cerminan sikap, sementara sikap negatif pula dan sikap positif bisa mejadikan perilaku positif juga. Perilaku positif pengapresiasi sastra diperluan dalam apresiasi sastra. Dikatakan demikian karena (i) perilaku positif bisa menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan apresiasi sastra seseorang, (ii) perilaku positif menunjang terbentuknya lingkungan kondusif bagi kegiatan-kegiatan apresiasi sastra, dan (iii) perilaku positif merupakan “tanah subur” untuk memelihara dan merawat perilaku pengapresiasi sastra. Perilaku negatif pengapresiasi sastra tidak diperlukan dalam apresiasi sastra karena hanya menghambat dan merusak pertumbuhan, perkembangan dan peningkatan sikap postif pengapresiasi sastra dan kegiatan-kegiatan apresiasi sastra.
Apakah
pertanda atau ciri-ciri utama perilaku negatif pengapresiasi sastra ? perilaku
negatif pengapresiasi sastra ditandai oleh hal-hal seperti berikut.
A. Jarang
membaca, melisankan, menyimak pelisanan karya sastra dan mengikuti atau
berperan serta dalam lomba baca sastra, sarasehan sastra, dan dialog sastra.
Perbuatan seenaknya, ala kadarnya, mengganggu dan merusak tanpak terjadi
bilamana, melisankan, dan menyimak penulisanan karya sastra. Demikian juga
perbuatan yang tidak mendukung (berbuat gaduh, menyelutuk seenaknya) tampak
terjadi bilamana berperan serta dalam lomba baca sastra,sarasehan sastra dan
dalog sastra. Misalnya jika diajak menonton lomba baca cerpen, Dara Jingga
Wulandari terus menerus berisik dan mengobrol dengan teman sebelahnya, tidak
menyimak pembacaan pembacaan cerpen yang sedang berlangsung. Ini pertanda
perilaku negatif Dara Jingga Wulandari dalam apresiasi sastra.
B. Ketidakmauan,
keengganan, dan kemalasan membaca karya sastra, menyemangati orang untuk membaca
karya sastra dan menyelenggarakan kegiatan apresiasi sastra dan mengikuti kegiatan-kegiatan apresiasi
sastra. Karya sastra dibaca dengan ”ogah ogahan” dan seenaknya, orang yang
membaca karya sastra malahan diledek dan digoda, orang yang menyelenggarakan
lomba baca puisi diledek mencari dan membuat kesibukan tak berguna, dan
kegiatan pengapresiasi sastra. Misalnya, ketika diundang untuk mengikuti
sarasehan membicarakan karya karya Y.B Mangunwijaya, Dara Jingga juga
mengikutinya sambil mengobrol dengan teman sebelahnya dan makan makanan kecil.
Ini merupakan pertanda perilaku negatif Dara Jingga dalam apresiasi sastra.
C. Ketidakmaumengertian
(dari:tidak mau mengerti) dan ketidakinginmauana (dari:tidak ingin tahu)
manfaat dan nilai guna karya sastra dan
kegiatan apresiasi sastra. Manfaat dan nilai guna karya sastra dan kegiatan
apresiasi sastra tidak diberi tempat dan peranan dalam hidup dan kehidupan
sehari-hari. Misalnya, Dara Jingga Wulandari memberikan tempat dan peranan
demikian besar kepada ekonomi dan teknologi dalam hidup dan kehidupannya
sehari-hari karena jelas dan kasat mata manfaat dan nilai gunanya. Manfaat dan
nilai guna karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra hanya diberi tempat dan
peranan kecil sekali, yaitu sebagai hiburan dan menghapus rasa jenuh setelah
seharian menekuni ekonomi dan teknologi. Ini merupakan pertanda perilaku
negatif Dara Jingga Wulandari dalam apresiasi sastra.
Ketiga hal tersebut merupakan pertanda
perilaku negatif pengapresiasi sastra yang jelas tidak menguntungkan iklim,
lingkungan dan kegiatan apresiasi sastra. Pertanda pertanda tersebut perlu
disingkirkan dari diri pengapresiasi sastra. Kemudian dari diri pengapresiasi
sastra perlu ditanamkan, dipupuk dan dikembangkan pertanda perilaku positif. Bagaimanakah
perilaku apresiasi sastra itu?
Beberapa
pertanda perilaku positif pengapresiasi sastra sebagai berikut ini.
A. Keseringan,
kebersemangatan, keantusiasan, dan kesungguh-sungguhan membaca karya sastra dan
berlibat dalam apresiasi sastra. Karya sastra sering dibaca secara semangat,
antusias, dan sungguh-sungguh. Dengan semangat, antusias, dan sungguh-sungguh
orang lain sering dianjurkan membaca karya sastra dan ikut kegiatan sarasehan
sastra dan menyelenggarakan lomba baca cerpen. Misalnya, Baiq Sri Azemi Yuliani
sering membaca novel-novel Indonesia dengan penuh semangat, antusias, dan
sungguh-sungguh sehingga sering mengulangi pembacaannya. Ia juga sering
mengikuti sarasehan sastra lomba-lomba baca puisi dengan penuh semangat dan
sungguh-sungguh. Ini merupakan pertanda perilaku positif Baiq Sri Azemi Yuliani
dalam apresiasi sastra.
B. Keajekan,
kerutinan, dan keteraturan membaca karya sastra dan mengikuti kegiatan-kegiatan
apresiasi sastra. Novel-novel Indonesia terutama
terbitan baru
seperti Kemarau (A.A. Navis), Pergolakan
(Wildan Yatim), Burung-burung
rantau (Y.B. Mangunwijaya), dan Perang
(Putu Wijaya) dibaca secara ajek, rutin, dan teratur. Demikian juga
cerpen-cerpen Indonesia seperti Malam
Terakhir (Leila S. Chudori), Bulan
Bugil Bulat (Ynusa Nugroho), dan Kado
Istimewa (kumpulan cerpen kompas 1991); dan puisi-puisi Indonesia seperti Perahu Kertas (Sapardi Djoko Damono), Simfoni Duan (Subagio Sastrowardoyo),
dan Seribu Masjid Seribu Jumlahnya
(Emha Ainun Najib). Selain itu, sarasehan sastra, dialog sastra, siaran baca
puisi di radio, dan lomba baca sastra diikuti, dihadiri, dan dilibati secara
ajek, rutin, dan teratur. Senantiasa tersedia waktu atau disediakan waktu untuk
melakukan hal-hal tersebut. Jika Baiq Sri Azemi Yuliani, misalnya, setiap
minggu selalu menyediakan waktu untuk membaca karya sastra Indonesia baik puisi
maupun prosa, selalu menyempatkan diri untuk menonton lomba baca cerpen, dan
secara ajek, rutin, dn teratur setiap Rabu mengikuti dialog sastra di Kelompok
Studi Sastra, maka dia dapat dikatakan memiliki perilaku positif selaku
pengapresiasi sastra.
C. Kepahaman,
kemengertian, dan ketahuan akan manfaat dan nilai guna karya sastra dan
kegiatan-kegiatan apresiasi sastra. Manfaat dan nilai guna karya sastra dalam
kehidupan sehari-hari, baik sebagai hiburan maupun bukan, dipahami, dimengerti,
dan diketahui. Demikian juga sarasehan sastra, dialog sastra, membaca karya
sastra, melisankan karya sastra, dan menyimak pelisanan karya sastra
dimanfaatkan dan digunakan sesuai dengan manfaat dan nilai gunanya bagi
kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, bila ingin mendapatkan hiburan,
bahan-bahan renungan, dan kebutuhan rohani, Baiq Sri Azemi Yuliani sering
mencari di dalam sastra dan kegiatan apresiasi karena menurut pengalamannya
sastra dan kegiatan apresiasi sastra bermanfaat dan bernilai guna untuk itu.
Ini dapat disebut perilaku positif Baiq selaku pengapresiasi sastra.
D. Keikhlasan
dan kesediaan menyediakan waktu, daya, dan mungkin dana untuk karya sastra dan
kegiatan apresiasi sastra. Tanpa merasa dibebani, karya sastra baik puisi
maupun prosa dibaca, malahan dibeli. Sarasehan sastra, dialog sastra, pelisanan
karya sastra, dan penyimakan karya sastra dilakukan atau dikerjakan secara
ikhlas tanpa menjadi beban. Misalnya, Baiq Sri Azemi Yuliani selalu
menyempatkan diri membaca karya-karya sastra baru, malahan bisa menyisihkan dan
untuk membeli karya sastra baru. Diapun menyempatkan diri mengikuti sarasehan
sastra, dialog sastra, dan pelisanan karya sastra tanpa ada yang memaksa dan
menyuruhnya. Semuanya dikerjakan atas dorongan dan kesadaran diri sendiri. Ini
dapat disebut perilaku positif Baiq Sri Azemi Yuliani selaku pengapresiasi
sastra.
Keempat hal tersebut merupakan
pertanda-pertanda perilaku positif pengapresiasi sastra. Perilaku positif
tersebut perlu dipupuk terus agar mantap dan kuat. Selanjutnya hal ini akan
bermanfaat untuk mengembangkan dan menguatkan iklim, lingkungan, dan kegiatan-
kegiatan apresiasi sastra.
Penumbuhan Sikap dan Perilaku Positif
Sebagaimana
sudah dikemukakan di atas, sikap dan perilaku positif pengapresiasi diperlukan
untuk menciptakan, mengembangkan, dan meningkatkan iklim, lingkungan dan
kegiatan apresiasi sastra. Oleh karena itu, sikap dan perilaku negatif
pengapresiasi sastra perlu disingkirkan atau dibuang dan kepadanya perlu
ditumbuhkan sikap dan perilaku positif. Disamping itu, sikap dan perilaku
positif. Di samping itu, sikap dan perilaku positif pengapresiasi sastra yang
sudah tumbuh dan ada perlu dipupuk terus agar mantap dan kuat. Mantapnya dan
kuatnya sikap dan perilaku positif pengapresiasi sastra akan membuat iklim,
lingkungan, dan kegiatan apresiasi sastra semakin baik. Persoalannya
bagaimanakah cara menumbuhkan dan memupuk perilaku positif pengapresiasi sastra
ini? Penumbuhan sikap dan perilaku positif dalam diri pengapresiasi sastra yang
masih bersikap dan berperilaku negatif dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai
berikut.
A.
Memberikan
pengalaman-pengalaman berkesan, menyenangkan, memikat, dan menyegarkan, dalam
apresiasi sastra. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mempersilahkan membaca
karya-karya sastra yang diakui berbobot, menceritakan isi atau
keindahan-keindahan karya sastra yang
baik, mengajak menonton penyair-penyair yang baik yang sedang membaca puisi,
mengajak mendengarkan pembacaan puisi oleh Rendra melalui tip kaset, dan
memberikan kesempatan bertemu dan berdialog dengan sastrawan yang sekaligus
pembaca atau pelisan sastra yang baik.
B.
Menanamkan keyakinan,
kepercayaan, kesimpatikan, dan kesignifikanan akan manfaat dan nilai guna karya
sastra dan kegiatan apresiasi sastra. Hal ini dapat dilakukan dengan meminta
pengapresiasi membaca karya sastra tertentu dan kemudian meresapi dan
merenungiperolehannya, melisankan karya sastra dan kemudian meresapi dan
merasakan perubahan-perubahan apa yang terjadi dalam diri, membandingkan
orang-orang yang biasa mengapresiasisastra dengan yang tidak, dan membandingkan
tuturan karya dengan tuturan non-sastra dan kemudian meresapi
perbedaan-perbedaan dampaknya dalam diri.
C.
Memberikan iklim,
suasana, situasi, dan lingkunga apresiasi sastra yang baik dan positif, dalam arti menyenangkan,
menggairahkan, memikat, dan bisa membuat ketagihan. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara menyingkirkan atau mengeliminasi karya yang tidak baik, pelisanan-pelisanan
sastra yang tidak baik, sarasehan-sarasehan sastra yang tidak menyenangkan, dan
orang-orang yang tidak bersikap simpati pada apresiasi sastra. Selanjutnya
menghadirkan atau mempergelarkan karya sastra yang baik, pelisanan sastra yang
menarik dan memikat, sarasehan sastra yang bermakna, dan kelompok orang yang
bersikap dan bersimpati pada apresiasi sastra.
D.
Menunjukkan dan
memberikan teladan atau contoh-contoh manfaat dan nilai guna karya sastra dan
kegiatan apresiasi sastra. Hal ini dapat dikerjakan dengan cara
menginformasikan hiburan dan renungan yang terdapat dalam karya sastra yang
telah diperoleh berbagai pengapresiasi, mempertemukan dengan orang yang yang
telah memperoleh manfaat dan nilai guna karya sastra dan membaca karya sastra,
menunjukkan manfaat dan nilai guna karya sastra bagi kehidupan sehari-hari, dan
menjelaskan segi-segi positif bila membaca karya sastra, melisankan karya
sastra, dan menonton lomba baca karya sastra.
E.
Mengondisikan dan
memberikan perlakuan tertentu yang dapat atau memungkinkan menggiring dan
mengarahkan pengapresiasi sastra untuk mendekati karya sastra, membaca karya
sastra, melisankan karya sastra, menyimak pelisanan karya sastra, dan mengikuti
lomba baca karya sastra. Pengkondisian dan pemberian perilaku ini dapat
dikerjakan dengan cara member tugas untuk membaca karya sastra atau melisankan
karya sastra, memberikan tugas untuk membuat ulasan tentang kegiatan pelisanan
sastra, dan mengajak melihat pameran-pameran sastra.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. 1981. A Glossary of
Literary Terms. New york: Holt, Rinehart and
Winston
Aminuddin. 1987.Pengantar Apresiasi
Karya Sastra.Bandung:Sinar Baru
Dola, Abdullah.2007.Apresiasi Prosa Fiksi dan Drama.Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.
Keraf, Gorys.1981.Diksi dan Gaya
Bahasa. Ende Flores: Nusa Indah
Mahayana, Maman S. 2007. Apresiasi Sastra Indonesia di Sekolah.
Online (http://johnherf.wordpress.com). Diakses 23 Februari 2008.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori
Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University
Press.
Pradopo, Rachmat Djoko.1999.Beberapa
Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Rahmanto, B.
1988. Metode
Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius
Santosa, wijaya dan Sri. 2010. Pengantar
Apresiasi Sastra. Surakarta: Yuma Pustaka
Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi
Sastra. Yogyakarta: Elementara
Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1995. Apresiasi
Kesusastraan. Jakarta: Gramedia
Tang, Muhammad Rapi. 2007. Pengantar
Teori Sastra Yang Relevan Makassar: PPs UNM
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu
Sastra. Pengantar Ilmu Sastra. Bandung: Pustaka Jaya
Waluyo, Herman. 1987. Apresiasi Puisi.
Jakarta: Erlangga.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori
Kesusastraan (terjemahan). Jakarta:
Gramedia
No comments:
Post a Comment