MENYEMAI
PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS BUDAYA DALAM MENGHADAPI TANTANGAN MODERNITAS
(Disampaikan dalam Seminar Nasional di Institut Hindu
Dharma Negeri, Bali)
I.
Pendidikan Sebagai Basis Kebudayaan,
Sebuah Pendahuluan
Berbicara tentang pendidikan karakter sebetulnya bukanlah hal baru dalam
sistem pendidikan di Indonesia, sejak lama pendidikan karakter ini telah
menjadi bagian penting dalam misi kependidikan nasional walaupun dengan penekanan
dan istilah yang berbeda. Saat ini, wacana urgensi pendidikan karakter kembali
menguat dan menjadi bahan perhatian sebagai respons atas berbagai persoalan bangsa
terutama masalah dekadensi moral seperti korupsi, kekerasan, perkelahian antar pelajar,
bentrok antar etnis dan perilaku seks bebas yang cenderung meningkat. Fenomena
tersebut menurut Tilaar (1999:3) merupakan salah satu ekses dari kondisi
masyarakat yang sedang berada dalam masa transformasi sosial menghadapi era
globalisasi.
Robertson dalam Globalization: Social
Theory and Global Culture, menyatakan era globalisasi ini akan melahirkan global
culture (which) is encompassing the world at the international level. Dengan adanya globalisasi problematika menjadi sangat kompleks. Globalisasi disebabkan perkembangan teknologi, kemajuan ekonomi dan kecanggihan sarana informasi. Kondisi tersebut
diatas telah membawa dampak positif sekaligus dampak negatif bagi bangsa indonesia, Kebudayaan
negara-negara Barat yang cenderung mengedepankan rasionalitas, mempengaruhi
negara-negara Timur termasuk Indonesia yang masih memegang adat dan kebudayaan
leluhur yang menjunjung nilai-nilai tradisi dan spiritualitas keagamaan.
Kenyataan di atas
merupakan tantangan terbesar bagi dunia pendidikan saat ini. Proses pendidikan sebagai upaya mewariskan nilai-nilai luhur suatu bangsa yang
bertujuan
melahirkan generasi unggul
secara intelektual dengan tetap memelihara kepribadian
dan identitasnya sebagai
bangsa. Disinilah letak esensial pendidikan yang memiliki dua misi utama yaitu “transfer
of values” dan juga “transfer of knowledge”. Pendidikan hari ini
dihadapkan pada situasi dimana proses pendidikan sebagai upaya pewarisan
nilai-nilai lokal di satu sisi menghadapi derasnya nilai global. Kondisi
demikian menurut Tilaar (1999:17) membuat
pendidikan
hari ini telah tercabik dari keberadaannya sebagai bagian yang terintegrasi
dengan kebudayaannya. Gejala pemisahan pendidikan dari kebudayaan dapat dilihat
dari gejala-gejala sebagai berikut, yaitu : [1] kebudayaan telah dibatasi pada
hal-hal yang berkenaan dengan kesenian, tarian tradisional, kepurbakalaan
termasuk urusan candi-candi dan bangunan-bangunan kuno, makam-makam dan sastra
tradisional, [2] nilai-nilai kebudayaan dalam pendidikan telah dibatasi pada
nilai-nilai intelektual belaka, [3] hal lain, nilai-nilai agama bukanlah urusan
pendidikan tetapi lebih merupakan urusan lembaga-lembaga agama”.
Gambaran
tersebut menginterupsi kita untuk kembali memperhatikan pentingnya pembangunan
karakater (Character building) manusia indonesia yang berpijak kepada khazanah
nilai-nilai kebudayaan yang kita miliki. Lebih lanjut Koentjaraningrat
memberikan jalan bagaimana agar gejala pemisahan pendidikan dari kebudayaan ini
dapat segera teratasi, ia menyarankan pentingnya kembali merumuskan kembali tujuh unsur universal dari
kebudayaan, antara lain:
sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan,
sistem pengetahuan, bahasa, keseniaan, sistem mata pencaharian hidup dan sistem
teknologi dan peralatan.
Ki Hajar Dewantoro,
mengatakan bahwa “kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, bahkan
kebudayaan merupakan alas atau dasar pendidikan. Rumusan ini menjangkau jauh ke
depan, sebab dikatakan bukan hanya pendidikan itu dialaskan kepada suatu aspek
kebudayaan yaitu aspek intelektual, tetapi kebudayaan sebagai keseluruhan.
Kebudyaan yang menjadi alas pendidikan tersebut haruslah bersifat kebangsaan.
Dengan demikian kebudayaan yang dimaksud adalah kebudyaan yang riil yaitu
budaya yang hidup di dalam masyarakat kebangsaan Indonesia. Sedangkan pendidikan
mempunyai arah untuk mewujudkan
keperluan perikehidupan dari seluruh aspek kehidupan manusia dan arah tujuan
pendidikan untuk mengangkat derajat dan
harkat manusia. (Tilaar, 1999:68).
III. Pendidikan Karakter berbasis budaya;
Devinisi dan Strategi Pengembangannya
Dalam pendidikan karakter berbasis budaya, kebudayaan dimaknai
sebagai sesuatu yang diwariskan atau dipelajari, kemudian meneruskan apa yang
dipelajari serta mengubahnya menjadi sesuatu yang baru, itulah inti dari proses
pendidikan. Apabila demikian adanya, maka tugas pendidikan sebagai misi
kebudayaan harus mampu melakukan proses; pertama pewarisan kebudayaan, kedua
membantu individu memilih peran sosial dan mengajari untuk melakukan peran tersebut,
ketiga memadukan beragam identitas individu ke dalam lingkup kebudayaan
yang lebih luas, keempat harus menjadi sumber inovasi sosial.
Tahapan tersebut diatas,
mencerminkan jalinan hubungan fungsional antara pendidikan dan kebudayaan yang
mengandung dua hal utama, yaitu : Pertama, bersifat reflektif,
pendidikan merupakan gambaran kebudayaan yang sedang berlangsung. Kedua,
bersifat progresif, pendidikan berusaha melakukan pembaharuan, inovasi agar kebudayaan yang ada dapat mencapai kamajuan.
Kedua hal ini,
sejalan dengan tugas dan fungsi pendidikan adalah meneruskan atau mewariskan kebudayaan serta
mengubah dan mengembangkan kebudayaan
tersebut untuk mencapai kemajuan kehidupan manusia. Disinilah letak pendidikan karakter itu dimana proses
pendidikan merupakan ikhtiar pewarisan nilai-nilai yang ada kepada setiap
individu sekaligus upaya inovatif dan dinamik dalam rangka memperbaharui nilai
tersebut ke arah yang lebih maju lagi.
Oleh karena itu, pendidikan karakter merupakan goal ending dari sebuah proses pendidikan. Karakter adalah buah dari budi
nurani. Budi nurani bersumber pada moral. Moral bersumber pada kesadaran hidup
yang berpusat pada alam pikiran. Moral memberikan petunjuk, pertimbangan, dan
tuntunan untuk berbuat dengan tanggung jawab sesuai dengan nilai, norma yang
dipilih. Dengan demikian, mempelajari karakter tidak lepas dari mempelajari
nilai, norma, dan moral.
Menurut
T. Lickona (1991) pendidikan karakter dapat diartikan sebagai upaya untuk
membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan yang hasilnya terlihat dalam
tindakan nyata seseorang berupa tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung
jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya. Dalam hal ini,
Russel Williams mengilustrasikan karakter ibarat “otot” dimana otot-otot
karakter akan menjadi lembek apabila tidak pernah dilatih dan akan kuat dan
kokoh kalau sering digunakan. Karakter ibarat seorang binaragawan (body
builder) yang terus menerus berlatih untuk membentuk otot yang
dikehendakinya yang kemudian praktik demikian menjadi habituasi (Megawangi,
2000). Sejatinya karakter sesuatu yang potensial dalam diri manusia, ia
kemudian akan aktual dikala terus menerus dikembangkan, dilatih melalu proses
pendidikan. Mengingat
banyak nilai-nilai yang harus dikembangkan dalam pendidikan karakter, kita bisa
mengklasifikasikan pendidikan karakter tersebut
ke dalam tiga komponen utama yaitu:
- Keberagamaan; terdiri dari nilai-nilai (a). Kekhusuan hubungan dengan tuhan; (b). Kepatuhan kepada agama; (c). Niat baik dan keikhlasan; (d). Perbuatan baik; (e). Pembalasan atas perbuatan baik dan buruk.
- Kemandirian; terdiri dari nilai-nilai (a). Harga diri; (b). Disiplin; (c). Etos kerja; (d). Rasa tanggung jawab; (e). Keberanian dan semangat; (f). Keterbukaan; (g). Pengendalian diri.
- Kesusilaan terdiri dari nilai-nilai (a). Cinta dan kasih sayang; (b). kebersamaan; (c). kesetiakawanan; (d). Tolong-menolong; (e). Tenggang rasa; (f). Hormat menghormati; (g). Kelayakan/ kepatuhan; (h). Rasa malu; (i). Kejujuran; (j). Pernyataan terima kasih dan permintaan maaf (rasa tahu diri). (Megawangi, 2007)
Selain
hal diatas, Megawangi telah menyusun kurang lebih ada 9 karakter mulia yang
harus diwariskan yang kemudian disebut sebagai 9 pilar pendidikan karakter,
yaitu : a). Cinta tuhan dan kebenaran; b). Tanggung jawab, kedisiplinan dan
kemandirian; c). Amanah; d). Hormat dan santun; e). Kasih sayang, kepedulian
dan kerjasama; f) percaya diri, kreatif dan pantang menyerah; g). Keadilan dan
kepemimpinan; h). Baik dan rendah hati; i). Toleransi dan cinta damai.
(Elmubarok, 2008:111).
Dalam
hal mengajarkan nilai-nilai tersebut diatas, Lickona memberikan penjelasan ada
tiga komponen penting dalam membangun pendidikan karakater yaitu moral
knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan tentang
moral) dan moral action (perbuatan bermoral). Ketiga hal tersebut
dapat dijadikan rujukan implementatif dalam proses dan tahapan pendidikan
karakater.
Selanjutnya, kira-kira
misi atau sasaran apa saja yang harus dibidik dalam pendidikan karakter? Pertama
kognitif, mengisi otak, mengajarinya dari tidak tahu menjadi tahu, dan pada
tahap-tahap berikutnya dapat membudayakan akal pikiran, sehingga dia dapat
memfungsi akalnya menjadi kecerdasan intelegensia. Kedua, afektif, yang berkenaan
dengan perasaan, emosional, pembentukan sikap di dalam diri pribadi seseorang
dengan terbentuknya sikap, simpati, antipati, mencintai, membenci, dan
lain sebagainya. Sikap ini semua dapat digolongkan sebagai kecerdasan emosional.
Ketiga, psikomotorik, adalah berkenaan dengan aktion, perbuatan, prilaku,
dan seterusnya.
Apabila disinkronkan
ketiga ranah tersebut dapat disimpulkan bahwa dari memiliki pengetahuan tentang
sesuatu, kemudian memiliki sikap tentang hal tersebut dan selanjutnya
berprilaku sesuai dengan apa yang diketahuinya dan apa yang disikapinya. Pendidikan
karakter, adalah meliputi ketiga aspek tersebut. Seseorang mesti
mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk. Selanjutnya bagaimana seseorang
memiliki sikap terhadap baik dan buruk, dimana seseorang sampai ketingkat
mencintai kebaikan dan membenci keburukan. pada tingkat berikutnya bertindak,
berprilaku sesuai dengan nilai-nilai kebaikan, sehingga muncullah akhlak dan karakter
mulia.
Pendidikan karakter merupakan
jenis pendidikan yang harapan akhirnya adalah terwujudnya peserta didik yang
memiliki integritas moral yang mampu direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari,
baik dalam berinteraksi dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam
lingkungan. Adapun tujuan Pendidikan Karakter sebagaimana yang diungkapkan oleh
Ki Hajar Dewantoro adalah “ngerti-ngerasa-ngelakoni” (menyadari, menginsyafi
dan melakukan). Hal tersebut mengandung pengertian bahwa Pendidikan Karakter
adalah bentuk pendidikan dan pengajaran yang menitikberatkan pada prilaku dan
tindakan siswa dalam mengapresiasikan dan mengimplementasikan nilai-nilai karakter
ke dalam tingkah laku sehari-hari.
Kalaulah
pendidikan karakter adalah hasil dari tindakan moral, maka pendekatan
pendidikan moral dapat digunakan untuk pendidikan karakter. Untuk memahami
tentang karakter maka pahamilah berbagai hal yang berhubungan dengan konsep
moral. Misalnya Para pakar telah mengemukakan berbagai teori
tentang pendidikan moral.
Menurut
Hersh (1980),
di antara berbagai teori yang
berkembang,
ada enam teori yang
banyak digunakan; yaitu: pendekatan
pengembangan
rasional, pendekatan pertimbangan,
pendekatan klarifikasi nilai,
pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan
klasifikasi tersebut, Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang
menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan
perilaku. Klasifikasi ini menurut Rest (1992) didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa
menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.
Ada Lima pendekatan
tersebut adalah: (1). Pendekatan
penanaman nilai (inculcation approach), (2) Pendekatan perkembangan moral
kognitif (cognitive moral development approach), (3) Pendekatan analisis
nilai (values analysis approach), (4) Pendekatan klarifikasi
nilai (values clarification approach), dan (5). Pendekatan pembelajaran
berbuat (action learning approach).
a.
Pendekatan Penanaman Nilai
Pendekatan
penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu
pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial
dalam diri siswa. Menurut Superka et al. (1976), tujuan pendidikan
nilai menurut pendekatan ini adalah: Pertama, diterimanya nilai-nilai
sosial tertentu oleh siswa; Kedua, berubahnya nilai-nilai siswa yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan. Metoda yang digunakan dalam proses pembelajaran menurut pendekatan ini antara lain: keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain.
pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial
dalam diri siswa. Menurut Superka et al. (1976), tujuan pendidikan
nilai menurut pendekatan ini adalah: Pertama, diterimanya nilai-nilai
sosial tertentu oleh siswa; Kedua, berubahnya nilai-nilai siswa yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan. Metoda yang digunakan dalam proses pembelajaran menurut pendekatan ini antara lain: keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain.
b.
Pendekatan Perkembangan Kognitif
Pendekatan
ini dikatakan pendekatan perkembangan kognitif karena
karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan
perkembangannya. Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif
tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan
moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai
perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari
suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi
(Elias, 1989).
karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan
perkembangannya. Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif
tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan
moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai
perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari
suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi
(Elias, 1989).
Tujuan
yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama.
Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih
kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong
siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan
posisinya dalam suatu masalah moral (Superka, et. al., 1976; Banks,
1985). Proses pengajaran nilai menurut pendekatan ini didasarkan pada dilemma
moral, dengan menggunakan metoda diskusi kelompok.
Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih
kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong
siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan
posisinya dalam suatu masalah moral (Superka, et. al., 1976; Banks,
1985). Proses pengajaran nilai menurut pendekatan ini didasarkan pada dilemma
moral, dengan menggunakan metoda diskusi kelompok.
Pendekatan
perkembangan kognitif mudah digunakan dalam proses
pendidikan di sekolah, karena pendekatan ini memberikan penekanan pada
aspek perkembangan kemampuan berpikir. Oleh karena pendekatan ini
memberikan perhatian sepenuhnya kepada isu moral dan penyelesaian
masalah yang berhubungan dengan pertentangan nilai tertentu dalam
masyarakat, penggunaan pendekatan ini menjadi menarik. Penggunaannya
dapat menghidupkan suasana kelas. Teori Kohlberg dinilai paling
konsisten dengan teori ilmiah, peka untuk membedakan kemampuan dalam
membuat pertimbangan moral, mendukung perkembangan moral, dan melebihi
berbagai teori lain yang berdasarkan kepada hasil penelitian empiris.
pendidikan di sekolah, karena pendekatan ini memberikan penekanan pada
aspek perkembangan kemampuan berpikir. Oleh karena pendekatan ini
memberikan perhatian sepenuhnya kepada isu moral dan penyelesaian
masalah yang berhubungan dengan pertentangan nilai tertentu dalam
masyarakat, penggunaan pendekatan ini menjadi menarik. Penggunaannya
dapat menghidupkan suasana kelas. Teori Kohlberg dinilai paling
konsisten dengan teori ilmiah, peka untuk membedakan kemampuan dalam
membuat pertimbangan moral, mendukung perkembangan moral, dan melebihi
berbagai teori lain yang berdasarkan kepada hasil penelitian empiris.
c.
Pendekatan Analisis Nilai
Pendekatan
analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada
perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara
menganalisis masalah yang
berhubungan dengan nilai-nilai
sosial.
Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan
penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan
pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial.
Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilemma
moral yang bersifat perseorangan. (Superka, 1976).
d.
Pendekatan Klarifikasi Nilai
Pendekatan
klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha membantu siswa
dalam mengkaji perasaan dan
perbuatannya
sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka
sendiri. Tujuan
pendidikan nilai menurut pendekatan ini ada tiga. Pertama, membantu siswa untuk
menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang
lain; Kedua, membantu siswa, supaya mereka mampu
berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan
nilai-nilainya sendiri; Kedua, membantu siswa, supaya mereka mampu
menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran
emosional, untuk memahami perasaan,
nilai-nilai,
dan pola tingkah laku mereka sendiri (Superka, 1976).
e.
Pendekatan pembelajaran berbuat
Pendekatan
pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha
memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik
secara perseorangan maupun
secara
bersama-sama dalam suatu kelompok.
Superka,
et. al. (1976) menyimpulkan ada dua tujuan utama pendidikan moral berdasarkan
kepada pendekatan ini. Pertama, memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan
perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama, berdasarkan
nilai-nilai mereka sendiri; Kedua, mendorong siswa untuk melihat diri mereka
sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam pergaulan dengan sesama, yang
tidak memiliki kebebasan sepenuhnya, melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat,
yang harus mengambil bagian dalam suatu proses demokrasi Metoda-metoda
pengajaran yang digunakan dalam pendekatan analisis nilai dan klarifikasi nilai
digunakan juga dalam pendekatan ini. Metoda-metoda lain yang digunakan juga
adalah projek-projek tertentu
untuk
dilakukan di sekolah atau dalam masyarakat, dan praktek keterampilan dalam
berorganisasi atau berhubungan antara sesama (Superka, 1976).
III. Penutup
Berdasar
uraian di atas, dapat disimpulkan berbagai hal berikut:
1. Pendidikan tidak dapat dipisahkan
dari kebudayaan. Pendidikan merupakan produk dari kebudayaan manusia dan
menjadi bagian dari kebudayaan. Pendidikan berupaya untuk mewariskan, meneruskan,
menggambarkan corak dan arus kebudayaan yang sedang berkembang.
2. Pendidikan berusaha untuk mentransformasikan
nilai-nilai budaya agar
mencapai kemajuan baik individual maupun masyarakat. Kedudukan dan fungsi
pendidikan sebagai pusat pengembangan kebudayaan, pusat kajian, dan
pengembangan ilmu-ilmu untuk mencapai kemajuan peradaban manusia.
3. Pelaksanaan Pendidikan Karakter berbasis budaya menggariskan pentingnya unsur keteladanan.
Selain dari pada itu, perlu disertai pula dengan upaya-upaya untuk mewujudkan
lingkungan sosial yang kondusif bagi para siswa, baik dalam keluarga, di
sekolah, dan dalam masyarakat. Dengan demikian, pelaksanaan Pendidikan Karakter
akan lebih berkesan dalam rangka membentuk kepribadian siswa. Penyusunan Pendidikan
Karakter perlu memberikan penekanan yang berimbang kepada aspek nilai dan proses
pengajarannya. Selain daripada itu, perlu memberikan penekaanan yang berimbang
pula kepada perkembangan aspek
intelektual, emosional dan spiritual siswa.
DAFTAR
PUSTAKA
Budimansyah, Dasim. 2011. Pendidikan
Karakter; Nilai Inti bagi upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa. Bandung:
Widaya Aksara Press.
Elmubarok, Z. 2008. Membumikan
Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
Fraenkel, J.R. 1977. How to
teach about values: an analytic approach. New Jersey:
Prentice-Hall, Inc.
Hersh, R.H., Miller, J.P. &
Fielding, G.D. 1980. Model of moral education: an
appraisal. New York: Longman, Inc.
Kohlberg, L. 1971. Stages of
moral development as a basis of moral education.
Dlm. Beck, C.M.,
Crittenden, B.S. & Sullivan, E.V.(pnyt.). Moral education:
interdisciplinary approaches: 23-92. New York: Newman Press.
Lickona, T. 1987. Character
development in the family. Dlm. Ryan, K. & McLean, G.F. Character development
in schools and beyond: 253-273. New
York:
Praeger.
Megawangi, Ratna. 2007. Character
Parenting Space. Publishing House Bandung: Mizan.
Superka, D.P. 1973. A typology
of valuing theories and values education approaches.
Doctor of Education Dissertation. University of California, Berkeley.
Tilaar, H.A.R., 1999, Pendidikan, Kebudayaan, dan
Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Remaja
Rosdakarya, Bandung.
No comments:
Post a Comment