PENCITRAAN PUISI
Menurut Waluyo
(2005:1) puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat
dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias
(imajinatif). Kata-kata dalam puisi betul dipilih agar memiliki kekuatan
pengucapan. Walupun singkat atau padat, namun memiliki kekuatan. Karena itu,
salah satu usaha penyair adalah memilih kata-kata yang memiliki persamaan bunyi
(rima). Kata-kata itu mewakili makna yang lebih luas dan lebih banyak. Oleh
karena itu, kata-kata dicarikan konotasi atau makna tambahannya dan dibuat
bergaya dengan bahasa figuratif.
Menurut Pradopo
(2002:7) puisi itu mengekpresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang
merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Semua itu
merupakan suatu yang penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan
menarik dan memberi kesan. Puisi itu merupakan rekaman interpretasi pengalaman
manusia yang penting, digubah dalam bentuk yang paling berkesan.
Menurut Zainuddin
(1992:100) karya sastra puisi merupakan bentuk karya sastra yang mengungkapkan
hal yang pokok dan pengungkapannya dengan cara pengonsentrasian, pemusatan dan
pemadatan. Pengonsentrasian, pemusatan, dan pemadatan dari segi isi maupun dari
segi bahasa.
Dengan demikian,
dalam bentuk puisi, peristiwa tidak langsung diungkapkan, peristiwa tidak
diungkapkan secara panjang lebar dan tidak asal memesukkan kata-kata untuk
mengungkapkan peristiwa, tetapi peristiwa itu perlu pengolahan yang berupa
pengosentrasian, pemusatan, dan pemadatan dengan kata-kata yang dicarikan
konotasi atau makna tambahannya dan dibuat bergaya dengan bahasa
figuratif.
PROSES PENCIPTAAN PUISI
Puisi berawal
dari pengalaman ataupun perasaan seseorang yang dituangkan dalam bentuk tulisan
sesuai dengan pencitraan atau imajinasi yang diinginkan. Karena di dalam puisi
itu terdapat banyak komponen yang menjadi satu-kesatuan sehingga terbentuklah
sebuah puisi.
Djojosuroto
(dalam Priharmanto, 2012:14) menyatakan bahwa puisi baru ada jika tersusun
elemen-elemen yang menjadi komponennya untuk disajikan sebagai karya seni.
Komponen-komponen yang ada dapat diberi nama satu-persatu, bahkan dapat pula
dijelaskan maknanya berdasarkan konteks yang ada dalam paparan puisi yang
berupa bahasa. Proses penciptaan puisi akan terlihat pada pilihan kata, larik,
dan bait yang diciptakan penyair. Langkah-langkah penciptaan puisi sebagai
berikut.
Konsentrasi
Djojosuroto
(dalam Priharmanto, 2012:15) konsentrasi
berarti pemusatan. Seorang penyair akan mengalami proses konsentrasi dalam
menciptakan puisinya. Pada proses konsentrasi, setiap komponen dalam puisi
harus terpusat, tertumpu, dan terfokus pada suatu permasalahan atau satu kesan.
Proses konsentrasi terlihat dalam pemilihan kata, penyusunan larik, dan
pembentukan bait yang diperhitungkan dengan cermat untuk untuk mengungkapkan
satu permasalahan atau satu kesan. Oleh karena itu, pemakaian kata dalam setiap
puisi selalu cermat dan padat, tidak ada satu kata pun yang mubazir. Bahkan,
dengan sengaja penyair melakukan pelanggaran terhadap kaidah bahasa tertentu (lisentia poetica) untuk
mengonsentrasikan puisinya pada satu permasalahan atau satu kesan.
Intensifikasi
Menurut
Djojosuroto (dalam Priharmanto, 2012:15) proses intensifikasi adalah
pengungkapan satu permasalahan secara mendalam, mendasar, dan substansial.
Semua komponen yang ada dalam puisi saling menunjang dalam pengungkapan
tersebut. Semua permasalahan diungkap secara intens dan mendalam sebagai hasil
dari suatu perenungan atau kontemplasi.
Pengimajian
Djojosuroto
(dalam Priharmanto, 2012:15) imaji berarti juga citra. Jadi, pengimajian
disebut juga pencitraan. Pencitraan berarti pembentukan gambaran tentang
sesuatu di dalam pikiran. Sebuah puisi mencerminkan adanya proses pengimajian.
Artinya semua komponen puisi mulai dari rima, ritma, larik, dan pilihan kata
berfungsi untuk membangun suatu imaji atau gambaran tertentu yang terbentuk
dalam pikiran pembaca. Penyair membentuk imaji dengan menggunakan kata konkret
dan khas, majas dan idiom, serta gaya bahasa tertentu.
Pencitraan (Imajinasi) dalam Puisi
Menurut Waluyo
(2005:10) penyair juga menciptakan pencitraan (pengimajinasian) dalam puisinya.
Pencitraan adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat memperjelas atau
memperkonkret apa yang dinyatakan oleh penyair melalui pencitraan, apa yang
digambarkan seolah-olah dapat dilihat (imajin visual), didengar (imaji
auditif), atau dirasa (imaji taktil). Pada imageri yang dimaksudkan adalah
kemampuan kata-kata yang dipakai pengarang dalam mengantarkan pembaca untuk
terlibat atau mampu merasakan apa yang dirasakan oleh penyair.
Menurut Tarigan
(1984:30) dalam karyanya, sang penyair berusaha sekuat daya agar para penikmat
dapat melihat, merasakan, mendengar, menyentuh, bahkan kalau perlu mengalami
segala sesuatu yang terdapat dalam sajaknya, sebab hanya dengan jalan demikian
sajalah dia dapat meyakinkan para penikmat terhadap realitas dari segala
sesuatu yang sedang didengarkannya itu. Hal ini tidak dia lakukan dengan
uraian-uraian yang nyata, yang langsung, bahkan sebaliknya dia mempergunakan
aneka majas atau figure of speech.
Citraan
Penglihatan
Menurut Pradopo
(2002:81) citraan penglihatan adalah jenis yang paling sering dipergunakan oleh
penyair dibandingkan dengan citraan yang lain. Citra penglihatan memberi
rangsangan kepada indera penglihatan, hingga sering hal-hal yang tak terlihat
jadi seolah-olah terlihat.
Menurut Waluyo
(2005:11) imaji visual (penglihatan) menampilkan kata atau kata-kata yang
menyebabkan apa yang digambarkan penyair lebih jelas seperti dapat dilihat oleh
pembaca. Hal itu dapat dihayati dalam bagian puisi Toto Sudarto Bachtiar yang
berjudul “Gadis Peminta-minta” berikut ini.
Setiap kita
bertemu, gadis kecil berkaleng kicil
Senyum terlalu
kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi
hilang, tanpa jiwa.
..........................
Duniamu yang
lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas
di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal.
Dalam puisinya
”doa”, Chairil Anwar juga menciptakan imaji visual seperti berikut ini.
..............
Tuhanku
Aku hilang
bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara
dinegeri asing
Tuhanku
Di pintumu aku
mengetuk
Aku tidak bisa
berpaling.
Melalui kata-kata
tersebut, seolah-olah pembaca dapat melihat kedudukan penyair
dengan lebih
jelas (meskipun pada kenyataan perasaan tidak dapat dilihat).
Citraan
Pendengaran
Menurut Pradopo
(2002:82) citraan pendengaran juga sangat sering dipergunakan oleh penyair.
Citraan itu dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara. Penyair
yang banyak menggunakannya disebut penyair audif, misalnya Toto Sudarto
Bachtiar.
Menurut Waluyo
(2005:11) imaji auditif (pendengaran) adalah penciptaan ungkapan oleh penyair,
sehingga pembaca seolah-olah mendengarkan suara seperti yang digambarkan oleh
penyair. Misalnya pada puisi
”asmaradana” karya Goenawan Mohammad berikut ini memiliki ungkapan yang dapat
dinyatakan sebagai imaji auditif.
Misalnya.
Ia dengan kepak
sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun
Karena angin pada
kemuning. Ia dengar resah kuda
Serta
Langkah pedati. Ketika langit bersih menampakkan
bima sakti
........................
Asmaradana, 1998
Makna di atas
dapat diimajinasikan dengan alat indera pendengaran yaitu telinga, karena ditandai dengan kepak sayap kelelawar,
guyur sisa hujan dari daun, sehingga pembaca seolah-olah mendengar suara yang
ditembangkan.
Citraan Perasaan
Menurut Waluyo
(2005:12) ”imaji taktil (perasaan) adalah penciptaan ungkapan oleh penyair yang
mampu mempengaruhi perasaan sehingga pembaca ikut terpengaruh perasaannya”.
Menurut Nugroho (dalam Priharmanto, 2012:19) ”citra perasaan, yaitu citraan
yang timbul dari perasaan penyair, citraan ini membantu kita dalam menghayati
suatu objek atau kejadian yang melibatkan perasaan”. Menurut Waluyo (2005:80)
imaji taktil dapat kita hayati dalam puisi Chairil Anwar dibawah ini.
Kelam dan angin
lalu mempesiang diriku
Menggigil juga ruang di mana dia yang kuingin,
Malam tambah
merasuk, rimba jadi semati tugu
Di karet, di Karet
(daerahku y.a.d.) sampai juga deru angin
(“Yang
Terhempas dan Yang Terputus)
Bayangan perasaan
ngeri dan mencekam menghadapi maut dapat lebih kuat kita rasakan melalui
kata-kata tersebut diatas. Ditampilkannya kata “menggigil” dalam suasana mencekam
tersebut, seolah membuat tubuh kita turut menggigil karena bayangan kematian.
Apalagi jika kita diajak merenung tentang kuburan Karet yang diucapkan dua kali
dan diberi keterangan “daerahku yang akan datang”. Suasana mencekam itu lebih
menggigit, karena Karet adalah kuburan yang dibayangkan oleh penyair sebagai
tempat istirahatnya yang abadi.
Citraan Perabaan
Menurut Badrun
(1983:54) “citraan perabaan ialah citraan yang dihasilkan oleh perabaan”.
Citraan perabaan merupakan imajinasi rasa kulit, yang menyebabkan kita seperti
merasakan di bagian kulit badan kita rasanya nyeri, rasa dingin, atau rasa
panas oleh tekanan udara atau oleh perubahan suhu udara.
Misalnya.
….
Langit birbinar
dalam pendar dingin kabut
Melantunkan sunyi
hati yang mengapung
….
ah, untuk apa
pula
toh segera
diterbangkan angin selagi hangat
(“Ayat-Ayat Api”,
Sapardi Djoko Damono)
Penyair
menggunakan kata-kata dengan citraan ini untuk menggambarkan bagaimana dingin
pada saat itu. Selain itu juga kata hangat yang seolah-olah pembaca merasakan
itu secara nyata.
Citraan Gerak
Menurut Badrun
(1983:55) “citraan gerak adalah citraan yang dihasilkan dengan
asosiasi-asosiasi intelektual”. Menurut Pradopo (2002:87) citraan gerak (movement imagery atau kinaesthetc imagery)
mengambarkan sesuatu yang sesunggunya tidak bergerak, tetapi dilukiskan sebagai
dapat bergerak, ataupun gambaran gerak pada umumnya. Citraan gerak ini membuat
hidup dan gambaran menjadi lebih dinamis”.
Misalnya.
Pohon-pohon
cemara di kaki gunung
pohon-pohon
cemara
menyerbu kampung-kampung
bulan di atasnya
menceburkan dirinya ke kolam
membasuh luka-lukanya
(Abdulhadi,
Sarangan)
Pada bait ini,
penyair mencoba menyampaikan kepada pembaca mengenai keinginannya. Penyair
mengajak pembaca untuk melakukan sesuatu, dan seolah-olah pembaca melakukan hal
tersebut.
Citraan Penciuman
Menurut Badrun
(1983:55) “citraan penciuman adalah citraan yang ditimbulkan oleh penciuman”.
Citraan penciuman berhubungan erat dengan kesan atau gambaran yang dihasilkan
oleh indera penciuman yang tampak saat kita membaca atau mendengar kata-kata
tertentu, kita seperti mencium sesuatu.
Misalnya.
….
Dalam kerling
gemintang
Kuatangkap wangi
rambutmu
….
Perempuan itu
diam; mungkin ia lebih suka
Menembak-nebak
saja apakah yang nafasnya sengit
Dan keringatnya
anyir itu Arjuna atau Rahwana.
“(Sajak”, Spardi
Djoko Damono)
Penggunaan kata
wangi dan anyir jelas mengaktifkan indera kita yaitu hidung kita, sehingga terkesan membangkitkan imajinasi bahwa rambut
yang wangi, dan keringat yang anyir, sehingga mengasosiasikan angan pembaca
kepada sesuatu yang dicium.
Citra Pencecapan
Menurut Badrun
(1983:55) “citraan pencecapan ialah citraan yang ditimbulkan oleh pencecapan”.
Menurut Nugroho (dalam Priharmanto, 2012:19) ”Citra pencecapan, yaitu citraan
yang timbul oleh pengecapan, pembaca seolah-olah mencicipi sesuatu yang
menimbulkan rasa tertentu, pahit, manis, asin, pedas, enak, dan nikmat”.
Misalnya.
Dan kini ia lari
kerna bini bau melati
Lezat ludahnya air kelapa
(WS Rendra,
Ballada Kasan dan Patima)
Melalui citraan
pada bait ini juga, penyair mencoba menyampaikan kepada pembaca mengenai
tragisnya kehidupannya. Kehidupan yang tersiksa tetapi tetap tegar dan akhirnya
diapun pergi. Pada bait ini pembaca seakan-akan diajak untuk merasaka lezatnya
ludah air kelapa.
Citraan atau
pengimajian adalah gambar-gambar dalam pikiran, atau gambaran angan penyair.
Setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji (image). Gambaran pikiran ini
adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai gambaran yang
dihasilkan oleh penangkapan kita terhadap sebuah objek yang dapat dilihat oleh
mata (indera penglihatan). Citraan tidak membuat kesan baru dalam pikiran.
Sarana Retorika dalam Puisi
Menurut
Altenbernd (dalam Pradopo, 2002 :93)
“Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat
pikiran”. Menurut Pradopo(2002:94) dengan muslihat itu para penyair berusaha
menarik perhatian, pikiran, hingga pembaca berkontemplasi atas apa yang
dikemukakan penyair. Pada umumnya sarana retorika ini menimbulkan ketegangan
puitis karena pembaca harus memikirkan efek apa yang ditimbulkan dan
dimaksudkan oleh penyairnya. Sarana retorika itu bermacam-macam, namun setiap
periode atau angktan sastra itu mempunyai jenis-jenis sarana retorika yang
digemari, bahkan setiap penyair itu mempunyai kekhususan dalam menggunakan
dalam menggunakan dan memilih sarana retorika dalam sajak-sajaknya.
Menurut Badrun
(1989:44) sarana retorika merupakan susuna kata-kata yang artistik untuk
memperoleh tekanan tertentu dan efek-efek yang tetentu juga. Dengan sarana
retorika ini, puisi akan lebih menarik, sehingga penikmat ikut memikirkan efek
yang ditimbulkan puisi, lebih jauh lagi akan muncul ketegangan puitis dalam
diri penikmat.
Menurut Pradopo
(2002:94) sarana retorika pujangga baru sesuai dengan konsepsi estetikanya yang
menghendaki keseimbangan yang simetris dan juga aliran romantik yang penuh
curahan perasaan. Maka sarana retorika yang dominan ialah tautologi, pleonasme,
keseimbangan, retorik retisense, paralelisme, dan penjumlahan (enumerasi). Pada
yang lain ada juga, tetapi tidak banyak dipergunakan. Sarana-sarana retorika
yang tidak banyak dipergunakan dalam puisi-puisi pujangga baru, diantaranya:
paradoks, hiperbola, pertanyaan retorik, klimaks, kiasmus. Angkatan 45, sesuai
dengan aliran realisme dan ekspressionisme, banyak mempergunakan sarana
retorika yang bertujuan intensitas dan ekspresivitas. Di antaranya hiperbola,
litotes, tautologi, dan penjumlahan. Sajak-sajak yang berisi pemikiran atau
filsafat banyak mempergunakan sarana retorika paradoks dan kiamus. Sajak
bergaya mantra banyak mempergunakan sarana retorika repetisi atau ulangan,
misalnya sajak Sutardji.
Tautologi
Menurut Pradopo
(2002:95) tautologi ialah sarana retorika yang menyatakan hal atau keadaan dua
kali, maksudnya supaya arti kata keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca atau
pendengar. Sering kata yang dipergunakan untuk mengulang itu tidak sama, tetapi
artinya sama atau hampir sama.
Misalnya.
DALAM GELOMBANG
….
Kami mengalun di
samud’ra-Mu,
Bersorak gembira
tinggi membukit,
Sedih mengaduh
jatuh ke bawah,
Silih berganti tiada berhenti.
Didalam suka di
dalam,
Waktu bah’gia
waktu merana,
Masa tertawa masa
kecewa,
Kami berbuai
dalam nafasmu,
Tiada kuasa tiada berdaya,
Turun naik dalam
‘rama-Mu.
(St. Takdir
Alisjahban)
Pada puisi tersebut
jelas terlihat sarana retorika tautologi yang menyatakan suatu keadaan dua kali
sehingga arti kata keadaan lebih mendalam kepada pembaca yaitu silih berganti
tiada berhenti, tiada kuasa tiada berdaya.
Pleonasme
Menurut Pradopo
(2002:95) pleonasme (keterangan berulang) ialah sarana retorika yang sepintas
lalu seperti tautology, tetap kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam
kata yang pertama. Dengan cara demikian, sifat atau hal yang dimaksudkan itu
lebih terang bagi pembaca atau pendengar.
Misalnya.
DALAM GELOMBANG
Alun bergulung naik
meninggi,
Turun melembah jauh ke bawah,
lidah ombak
menyerak buih,
surut kembalidi
air gemuruh.
Kami mengalun di
samud’ra-Mu,
Bersorak gembira tinggi
membukit,
Sedih mengaduh jatuh
ke bawah,
Silih berganti
tiada berhenti.
(St. Takdir
Alisjahban)
Pada puisi
tersebut terdapat sarana retorika pleonasme yaitu naik meninggi, turun melembah
jauh kebawah, tinggi membukit, jatuh kebawah. Kata kedua dimaksudkan supaya
sifat atau hal tersebut lebih terang bagi pembaca.
Enumerasi
Menurut
Slametmuljana (dalam Pradopo, 2002:96) ”enumerasi ialah sarana retorika yang
berupa pemecahan suatu hal atau keadaan menjadi beberapa bagian dengan tujuan
agar hal atau keadaan itu lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau pendengar”.
Menurut Pradopo (2002:96) “dengan
demikian, juga menguatkansuatu pernyataan atau keadaan, memberi intensitas.
Misalnya.
Didalam suka
didalam duka
Waktu bahagia
waktu merana
Masa tertawa masa
kecewa
Kami berbuai
dalam nafasmu
Pada puisi tersebut
tampak keadaan seseorang, maksudnya dalam keadaan apa pun orang itu selalu
terbuai dalam nafasnya.
Paralelisme
Menurut
Slametmuljana (dalam Pradopo, 2002:97) ”paralelisme (persejajaran) ialah
mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Kalimat yang hanya dalam
satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang mendahului”.
Misalnya.
Segala kulihat
segala membayang
Segala kupegang
segala mengenang
Pada baris puisi
tersebut tampak maksud dan tujuan yang sama, tetapi dalam bentuk kalimat yang
berbeda sehingga terbentuk nilai estetis yang menyertainya.
Retorik retisense
Menurut Pradopo
(2002:97) ”sarana ini mempergunakan titik-titik banyak untuk mengganti perasaan
yang tak terungkap. Penyair romantik banyak mempergunakan sarana retorika ini,
lebih-lebih sajak romantik remaja banyak menggunakannya”.
Misalnya.
Dipadang rumput
Kulihat daun
bergerak cepat …..
Kupandang baying
melompat-lompat
O, kusuka sebut….
Apalah warta
mainan gerak
Dan bisikan angin
sayup gelak
Tapi sukma masih
ngeram
Dan diam
didalam……
Oh, jangan kau
paksa
Melahirkan rasa!
Biarlah aku
menderita
Menanti ketika….
(J.E. Tatengkeng “Kusuka
Katakan”, 1974:19)
Pada puisi
tersebut terdapat titik-titik yang merupakan perasaan yang tidak diungkapkan.
Oleh karena itu, pembaca dapat mengartikan sendiri perasaan yang seharusnya
diungkapkan.
Hiperbola
Menurut Pradopo
(2002:98) ”hiperbola yaitu sarana yang melebih-melebihkan-lebihkan suatu hal
atau keadaan. Maksudnya di sini menyangatkan, untuk intensitas dan
ekspresivitas”.
Misalnya.
KEPADA
PEMINTA-MINTA
Baik-baik, aku
akan menghadap dia
Menyerahkan diri
dan segala dosa
Tapi jangan
tentang lagi aku
Nanti darahku
jadi beku.
Jangan lagi aku
bercerita
Sudah tercacar
emua di muka
Nanah meleleh
dari muka
Sambil berjalan
kau usap juga.
Bersuara tiap kau
melangkah
Mengerang tiap
kau memandang
Menetes dari
suasana kau datang
Sembarang kau
merebah.
Mengganggu dalam
mimpiku
Menghempas aku di
bumi keras
Di bibirku terasa
pedas
Mengaum di
telingaku
….
Pada puisi
tersebut tampak sarana yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan. Seperti, jangan tentang lagi aku / nanti
darahku jadi beku. Tampak juga dalam bait ke 2, 3, dan 4, di sini hiperbola
dikombinasikan dengan penjumlahan, maksudnya untuk lebih mengintensifkan
pernyataan. Dengan demikian, lukisan menjadi sangat mengerikan, menakutkan, dan
perasaan dosa itu menjadi sangat terasa. Begitu juga ulangan-ulangan bentuk
kata kerja itu member intensitas, seperti mengganggu, menghempas, dan
mengaum.
Paradoks
Menurut Pradopo
(2002:99) paradoks adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara
berlawanan, tetapi sebetulnya tidak bila sungguh-sungguh dipikir dan rasakan.
Misalnya.
PUSAT
Serasa apa hidup
yang terbaring mati
Memandang musim
yang menandung luka
Serasa apa kisah
sebuah dunia terhenti
Padaku, tanpa
bicara
….
(Etsa,
1957:7)
KEPADA ORANG MATI
Kalau aku kau
maafkan, karena maaf baik,
Kau tak pernah
mengerti dirimu
Kalau kau
kumaafkan, karena maaf baik,
Kau tak mengerti
dirimu
….
(Etsa,
1957:32)
Pada puisi
tersebut terdapat sarana retorika paradoks, seperti: hidup yang terbaring mati,
ini sebuah kiasan yang artinya hidup yang tanpa ada pergerakan, tanpa ada
perubahan ke arah yang baik. Paradoks yang mempergunakan penjajaran kata yang
berlawanan seperti, hidup-mati disebut oksimoron. Musim yang mengandung luka,
ini juga sebuah paradoks, maksudnya musim bersuasana menyenangkan (dalam sajak
ini) luka bersuasana menyedihkan. Begitu juga dalam sajak “Kepada Orang Mati”
bait pertama berisi pernyataan yang paradoks seperti, kalau dimaafkan menjadi
tak tahu diri.
Kiasmus
Menurut Pradopo
(2002:100) kiasmus ialah sarana retorika yang menyatakan sesuatu diulang, dan
salah satu bagian kalimatnya dibalik posisinya.
Misalnya.
PUSAT
Serasa apa hidup
yang terbaring mati
Memandang musim
yang menandung luka
Serasa apa kisah
sebuah dunia terhenti
Padaku, tanpa
bicara
Diri mengeras
dalam kehidupan
Kehidupan
mengeras dalam diri
Dataran pandang
meluaskan padang senja
Hidupku dalam
tiupan usia
….
(Etsa,
1957:7)
KEPADA ORANG MATI
Kalau aku kau maafkan,
karena maaf baik,
Kau tak pernah
mengerti dirimu
Kalau kau
kumaafkan, karena maaf baik,
Kau tak mengerti
dirimu
Begitu banyak
maaf, buat begitu banyak dosa
Begitu banyak
dosa, buat begitu banyak maaf
Hanyakah tersedia
buat daerah mati
Tanpa hawa, tanpa
kemauan baik?
(Etsa,
1957:32)
Pada puisi
tersebut terdapat sarana retorika kiasmus yaitu, diri mengeras dalam kehidupan,
kehidupan mengeras dalam diri. Hal ini untuk membuat pernyataan lebih intensif
dan menimbulkan pemikiran. Begitu banyak maaf, buat begitu banyak dosa. Kalimat
itu dibalik menjadi, begitu banyak dosa,buat begitu banyak maaf. Jadi,
berdasarkan pendapat tersebut bahwa dengan bermacam-macam sarana retorika yang
digunakan dalam puisi, maka sarana retorika dapat menambah kepuitisan dalam
puisi dan menimbulkan makna yang konkrit.
Daftar Pustaka
Waluyo,
Herman.J. 1987. Teori dan Apresiasi
Puisi. Jakarta: Erlangga.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zainuddin.
1992. Materi Pokok Bahasa dan Sastra
Indonesia. Jakarta: PT Reneka Cipta.
Priyatni,
Endah Tri. 2012. Membaca Satra dengan
Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Badrun, Ahmad.
1989. Teori Puisi. Jakarta: Depdikbud.
Badrun,
Ahmad. 1983. Pengantar Ilmu Sastra: Teori
Sastra. Surabaya: Usaha Nasional.
No comments:
Post a Comment