Thursday, May 26, 2016

Apa itu Pencitraan dan Sarana Retorikan dalam Puisi

 

PENCITRAAN PUISI
        Menurut Waluyo (2005:1) puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Kata-kata dalam puisi betul dipilih agar memiliki kekuatan pengucapan. Walupun singkat atau padat, namun memiliki kekuatan. Karena itu, salah satu usaha penyair adalah memilih kata-kata yang memiliki persamaan bunyi (rima). Kata-kata itu mewakili makna yang lebih luas dan lebih banyak. Oleh karena itu, kata-kata dicarikan konotasi atau makna tambahannya dan dibuat bergaya dengan bahasa figuratif.
       Menurut Pradopo (2002:7) puisi itu mengekpresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan suatu yang penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan. Puisi itu merupakan rekaman interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam bentuk yang paling berkesan.
Menurut Zainuddin (1992:100) karya sastra puisi merupakan bentuk karya sastra yang mengungkapkan hal yang pokok dan pengungkapannya dengan cara pengonsentrasian, pemusatan dan pemadatan. Pengonsentrasian, pemusatan, dan pemadatan dari segi isi maupun dari segi bahasa.
         Dengan demikian, dalam bentuk puisi, peristiwa tidak langsung diungkapkan, peristiwa tidak diungkapkan secara panjang lebar dan tidak asal memesukkan kata-kata untuk mengungkapkan peristiwa, tetapi peristiwa itu perlu pengolahan yang berupa pengosentrasian, pemusatan, dan pemadatan dengan kata-kata yang dicarikan konotasi atau makna tambahannya dan dibuat bergaya dengan bahasa figuratif.  

PROSES PENCIPTAAN PUISI
         Puisi berawal dari pengalaman ataupun perasaan seseorang yang dituangkan dalam bentuk tulisan sesuai dengan pencitraan atau imajinasi yang diinginkan. Karena di dalam puisi itu terdapat banyak komponen yang menjadi satu-kesatuan sehingga terbentuklah sebuah puisi.
        Djojosuroto (dalam Priharmanto, 2012:14) menyatakan bahwa puisi baru ada jika tersusun elemen-elemen yang menjadi komponennya untuk disajikan sebagai karya seni. Komponen-komponen yang ada dapat diberi nama satu-persatu, bahkan dapat pula dijelaskan maknanya berdasarkan konteks yang ada dalam paparan puisi yang berupa bahasa. Proses penciptaan puisi akan terlihat pada pilihan kata, larik, dan bait yang diciptakan penyair. Langkah-langkah penciptaan puisi sebagai berikut.

Konsentrasi
Djojosuroto (dalam Priharmanto, 2012:15)  konsentrasi berarti pemusatan. Seorang penyair akan mengalami proses konsentrasi dalam menciptakan puisinya. Pada proses konsentrasi, setiap komponen dalam puisi harus terpusat, tertumpu, dan terfokus pada suatu permasalahan atau satu kesan. Proses konsentrasi terlihat dalam pemilihan kata, penyusunan larik, dan pembentukan bait yang diperhitungkan dengan cermat untuk untuk mengungkapkan satu permasalahan atau satu kesan. Oleh karena itu, pemakaian kata dalam setiap puisi selalu cermat dan padat, tidak ada satu kata pun yang mubazir. Bahkan, dengan sengaja penyair melakukan pelanggaran terhadap kaidah bahasa tertentu (lisentia poetica) untuk mengonsentrasikan puisinya pada satu permasalahan atau satu kesan.

Intensifikasi
Menurut Djojosuroto (dalam Priharmanto, 2012:15) proses intensifikasi adalah pengungkapan satu permasalahan secara mendalam, mendasar, dan substansial. Semua komponen yang ada dalam puisi saling menunjang dalam pengungkapan tersebut. Semua permasalahan diungkap secara intens dan mendalam sebagai hasil dari suatu perenungan atau kontemplasi.

Pengimajian
Djojosuroto (dalam Priharmanto, 2012:15) imaji berarti juga citra. Jadi, pengimajian disebut juga pencitraan. Pencitraan berarti pembentukan gambaran tentang sesuatu di dalam pikiran. Sebuah puisi mencerminkan adanya proses pengimajian. Artinya semua komponen puisi mulai dari rima, ritma, larik, dan pilihan kata berfungsi untuk membangun suatu imaji atau gambaran tertentu yang terbentuk dalam pikiran pembaca. Penyair membentuk imaji dengan menggunakan kata konkret dan khas, majas dan idiom, serta gaya bahasa tertentu.

Pencitraan (Imajinasi) dalam Puisi
       Menurut Waluyo (2005:10) penyair juga menciptakan pencitraan (pengimajinasian) dalam puisinya. Pencitraan adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat memperjelas atau memperkonkret apa yang dinyatakan oleh penyair melalui pencitraan, apa yang digambarkan seolah-olah dapat dilihat (imajin visual), didengar (imaji auditif), atau dirasa (imaji taktil). Pada imageri yang dimaksudkan adalah kemampuan kata-kata yang dipakai pengarang dalam mengantarkan pembaca untuk terlibat atau mampu merasakan apa yang dirasakan oleh penyair.
        Menurut Tarigan (1984:30) dalam karyanya, sang penyair berusaha sekuat daya agar para penikmat dapat melihat, merasakan, mendengar, menyentuh, bahkan kalau perlu mengalami segala sesuatu yang terdapat dalam sajaknya, sebab hanya dengan jalan demikian sajalah dia dapat meyakinkan para penikmat terhadap realitas dari segala sesuatu yang sedang didengarkannya itu. Hal ini tidak dia lakukan dengan uraian-uraian yang nyata, yang langsung, bahkan sebaliknya dia mempergunakan aneka majas atau figure of speech.

Citraan Penglihatan
Menurut Pradopo (2002:81) citraan penglihatan adalah jenis yang paling sering dipergunakan oleh penyair dibandingkan dengan citraan yang lain. Citra penglihatan memberi rangsangan kepada indera penglihatan, hingga sering hal-hal yang tak terlihat jadi seolah-olah terlihat.
Menurut Waluyo (2005:11) imaji visual (penglihatan) menampilkan kata atau kata-kata yang menyebabkan apa yang digambarkan penyair lebih jelas seperti dapat dilihat oleh pembaca. Hal itu dapat dihayati dalam bagian puisi Toto Sudarto Bachtiar yang berjudul “Gadis Peminta-minta” berikut ini.   

Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kicil
Senyum terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa.
..........................
Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal. 

Dalam puisinya ”doa”, Chairil Anwar juga menciptakan imaji visual seperti berikut ini.
..............
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk

Tuhanku
Aku mengembara dinegeri asing

Tuhanku
Di pintumu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling.

Melalui kata-kata tersebut, seolah-olah pembaca dapat melihat kedudukan penyair
dengan lebih jelas (meskipun pada kenyataan perasaan tidak dapat dilihat).

Citraan Pendengaran
Menurut Pradopo (2002:82) citraan pendengaran juga sangat sering dipergunakan oleh penyair. Citraan itu dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara. Penyair yang banyak menggunakannya disebut penyair audif, misalnya Toto Sudarto Bachtiar. 
Menurut Waluyo (2005:11) imaji auditif (pendengaran) adalah penciptaan ungkapan oleh penyair, sehingga pembaca seolah-olah mendengarkan suara seperti yang digambarkan oleh penyair. Misalnya  pada puisi ”asmaradana” karya Goenawan Mohammad berikut ini memiliki ungkapan yang dapat dinyatakan sebagai imaji auditif.
Misalnya.

Ia dengan kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun
Karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda
Serta
Langkah pedati. Ketika langit bersih menampakkan bima sakti
........................
Asmaradana, 1998
Makna di atas dapat diimajinasikan dengan alat indera pendengaran yaitu telinga,  karena ditandai dengan kepak sayap kelelawar, guyur sisa hujan dari daun, sehingga pembaca seolah-olah mendengar suara yang ditembangkan.

Citraan Perasaan
Menurut Waluyo (2005:12) ”imaji taktil (perasaan) adalah penciptaan ungkapan oleh penyair yang mampu mempengaruhi perasaan sehingga pembaca ikut terpengaruh perasaannya”. Menurut Nugroho (dalam Priharmanto, 2012:19) ”citra perasaan, yaitu citraan yang timbul dari perasaan penyair, citraan ini membantu kita dalam menghayati suatu objek atau kejadian yang melibatkan perasaan”. Menurut Waluyo (2005:80) imaji taktil dapat kita hayati dalam puisi Chairil Anwar dibawah ini. 

Kelam dan angin lalu mempesiang diriku
Menggigil juga ruang di mana dia yang kuingin,
Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
Di karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru angin
                                                            (“Yang Terhempas dan Yang Terputus)

Bayangan perasaan ngeri dan mencekam menghadapi maut dapat lebih kuat kita rasakan melalui kata-kata tersebut diatas. Ditampilkannya kata “menggigil” dalam suasana mencekam tersebut, seolah membuat tubuh kita turut menggigil karena bayangan kematian. Apalagi jika kita diajak merenung tentang kuburan Karet yang diucapkan dua kali dan diberi keterangan “daerahku yang akan datang”. Suasana mencekam itu lebih menggigit, karena Karet adalah kuburan yang dibayangkan oleh penyair sebagai tempat istirahatnya yang abadi.

Citraan Perabaan
Menurut Badrun (1983:54) “citraan perabaan ialah citraan yang dihasilkan oleh perabaan”. Citraan perabaan merupakan imajinasi rasa kulit, yang menyebabkan kita seperti merasakan di bagian kulit badan kita rasanya nyeri, rasa dingin, atau rasa panas oleh tekanan udara atau oleh perubahan suhu udara.

Misalnya.
….
Langit birbinar dalam pendar dingin kabut
Melantunkan sunyi hati yang mengapung
….
ah, untuk apa pula
toh segera diterbangkan angin selagi hangat
(“Ayat-Ayat Api”, Sapardi Djoko Damono)

Penyair menggunakan kata-kata dengan citraan ini untuk menggambarkan bagaimana dingin pada saat itu. Selain itu juga kata hangat yang seolah-olah pembaca merasakan itu secara nyata.


Citraan Gerak
Menurut Badrun (1983:55) “citraan gerak adalah citraan yang dihasilkan dengan asosiasi-asosiasi intelektual”. Menurut Pradopo (2002:87) citraan gerak (movement imagery atau kinaesthetc imagery) mengambarkan sesuatu yang sesunggunya tidak bergerak, tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak, ataupun gambaran gerak pada umumnya. Citraan gerak ini membuat hidup dan gambaran menjadi lebih dinamis”.

Misalnya.
Pohon-pohon cemara di kaki gunung
pohon-pohon cemara
menyerbu kampung-kampung
bulan di atasnya
menceburkan dirinya ke kolam
membasuh luka-lukanya
(Abdulhadi, Sarangan)

Pada bait ini, penyair mencoba menyampaikan kepada pembaca mengenai keinginannya. Penyair mengajak pembaca untuk melakukan sesuatu, dan seolah-olah pembaca melakukan hal tersebut.

Citraan Penciuman
Menurut Badrun (1983:55) “citraan penciuman adalah citraan yang ditimbulkan oleh penciuman”. Citraan penciuman berhubungan erat dengan kesan atau gambaran yang dihasilkan oleh indera penciuman yang tampak saat kita membaca atau mendengar kata-kata tertentu, kita seperti mencium sesuatu.

Misalnya.
….
Dalam kerling gemintang
Kuatangkap wangi rambutmu
….
Perempuan itu diam; mungkin ia lebih suka
Menembak-nebak saja apakah yang nafasnya sengit
Dan keringatnya anyir itu Arjuna atau Rahwana.
“(Sajak”, Spardi Djoko Damono)

Penggunaan kata wangi dan anyir jelas mengaktifkan indera kita yaitu hidung kita, sehingga  terkesan membangkitkan imajinasi bahwa rambut yang wangi, dan keringat yang anyir, sehingga mengasosiasikan angan pembaca kepada sesuatu yang dicium.

Citra Pencecapan
Menurut Badrun (1983:55) “citraan pencecapan ialah citraan yang ditimbulkan oleh pencecapan”. Menurut Nugroho (dalam Priharmanto, 2012:19) ”Citra pencecapan, yaitu citraan yang timbul oleh pengecapan, pembaca seolah-olah mencicipi sesuatu yang menimbulkan rasa tertentu, pahit, manis, asin, pedas, enak, dan nikmat”.

Misalnya.
Dan kini ia lari kerna bini bau melati
Lezat ludahnya air kelapa
(WS Rendra, Ballada Kasan dan Patima)

        Melalui citraan pada bait ini juga, penyair mencoba menyampaikan kepada pembaca mengenai tragisnya kehidupannya. Kehidupan yang tersiksa tetapi tetap tegar dan akhirnya diapun pergi. Pada bait ini pembaca seakan-akan diajak untuk merasaka lezatnya ludah air kelapa.
         Citraan atau pengimajian adalah gambar-gambar dalam pikiran, atau gambaran angan penyair. Setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji (image). Gambaran pikiran ini adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai gambaran yang dihasilkan oleh penangkapan kita terhadap sebuah objek yang dapat dilihat oleh mata (indera penglihatan). Citraan tidak membuat kesan baru dalam pikiran.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRa_sabO-j3rZGq51lt0qpaOm3JTK_8GL-6CKtR3e68G09_N30WQcA-U_G6Y-Xbb4WkP1FuqZFoPgjlob50990Gi0JLecvPjkm6tCZnuBE3seXdDd3PlRScOngcvSCLCGKwLqHPGKHncCn/s1600/Lilin.jpg
Sarana Retorika dalam Puisi
       Menurut Altenbernd (dalam Pradopo, 2002 :93)  “Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran”. Menurut Pradopo(2002:94) dengan muslihat itu para penyair berusaha menarik perhatian, pikiran, hingga pembaca berkontemplasi atas apa yang dikemukakan penyair. Pada umumnya sarana retorika ini menimbulkan ketegangan puitis karena pembaca harus memikirkan efek apa yang ditimbulkan dan dimaksudkan oleh penyairnya. Sarana retorika itu bermacam-macam, namun setiap periode atau angktan sastra itu mempunyai jenis-jenis sarana retorika yang digemari, bahkan setiap penyair itu mempunyai kekhususan dalam menggunakan dalam menggunakan dan memilih sarana retorika dalam sajak-sajaknya.
          Menurut Badrun (1989:44) sarana retorika merupakan susuna kata-kata yang artistik untuk memperoleh tekanan tertentu dan efek-efek yang tetentu juga. Dengan sarana retorika ini, puisi akan lebih menarik, sehingga penikmat ikut memikirkan efek yang ditimbulkan puisi, lebih jauh lagi akan muncul ketegangan puitis dalam diri penikmat.
         Menurut Pradopo (2002:94) sarana retorika pujangga baru sesuai dengan konsepsi estetikanya yang menghendaki keseimbangan yang simetris dan juga aliran romantik yang penuh curahan perasaan. Maka sarana retorika yang dominan ialah tautologi, pleonasme, keseimbangan, retorik retisense, paralelisme, dan penjumlahan (enumerasi). Pada yang lain ada juga, tetapi tidak banyak dipergunakan. Sarana-sarana retorika yang tidak banyak dipergunakan dalam puisi-puisi pujangga baru, diantaranya: paradoks, hiperbola, pertanyaan retorik, klimaks, kiasmus. Angkatan 45, sesuai dengan aliran realisme dan ekspressionisme, banyak mempergunakan sarana retorika yang bertujuan intensitas dan ekspresivitas. Di antaranya hiperbola, litotes, tautologi, dan penjumlahan. Sajak-sajak yang berisi pemikiran atau filsafat banyak mempergunakan sarana retorika paradoks dan kiamus. Sajak bergaya mantra banyak mempergunakan sarana retorika repetisi atau ulangan, misalnya sajak Sutardji.


Tautologi
Menurut Pradopo (2002:95) tautologi ialah sarana retorika yang menyatakan hal atau keadaan dua kali, maksudnya supaya arti kata keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca atau pendengar. Sering kata yang dipergunakan untuk mengulang itu tidak sama, tetapi artinya sama atau hampir sama.

Misalnya.
DALAM GELOMBANG
….
Kami mengalun di samud’ra-Mu,
Bersorak gembira tinggi membukit,
Sedih mengaduh jatuh ke bawah,
Silih berganti tiada berhenti.

Didalam suka di dalam,
Waktu bah’gia waktu merana,
Masa tertawa masa kecewa,
Kami berbuai dalam nafasmu,
Tiada kuasa tiada berdaya,
Turun naik dalam ‘rama-Mu.
                                    (St. Takdir Alisjahban)
Pada puisi tersebut jelas terlihat sarana retorika tautologi yang menyatakan suatu keadaan dua kali sehingga arti kata keadaan lebih mendalam kepada pembaca yaitu silih berganti tiada berhenti, tiada kuasa tiada berdaya. 

Pleonasme
Menurut Pradopo (2002:95) pleonasme (keterangan berulang) ialah sarana retorika yang sepintas lalu seperti tautology, tetap kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama. Dengan cara demikian, sifat atau hal yang dimaksudkan itu lebih terang bagi pembaca atau pendengar.

Misalnya.
DALAM GELOMBANG
Alun bergulung naik meninggi,
Turun melembah jauh ke bawah,
lidah ombak menyerak buih,
surut kembalidi air gemuruh.

Kami mengalun di samud’ra-Mu,
Bersorak gembira tinggi membukit,
Sedih mengaduh jatuh ke bawah,
Silih berganti tiada berhenti.
                                    (St. Takdir Alisjahban)

      Pada puisi tersebut terdapat sarana retorika pleonasme yaitu naik meninggi, turun melembah jauh kebawah, tinggi membukit, jatuh kebawah. Kata kedua dimaksudkan supaya sifat atau hal tersebut lebih terang bagi pembaca.


Enumerasi
Menurut Slametmuljana (dalam Pradopo, 2002:96) ”enumerasi ialah sarana retorika yang berupa pemecahan suatu hal atau keadaan menjadi beberapa bagian dengan tujuan agar hal atau keadaan itu lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau pendengar”. Menurut  Pradopo (2002:96) “dengan demikian, juga menguatkansuatu pernyataan atau keadaan, memberi intensitas.

Misalnya.
Didalam suka didalam duka
Waktu bahagia waktu merana
Masa tertawa masa kecewa

Kami berbuai dalam nafasmu     
Pada puisi tersebut tampak keadaan seseorang, maksudnya dalam keadaan apa pun orang itu selalu terbuai dalam nafasnya.

Paralelisme
Menurut Slametmuljana (dalam Pradopo, 2002:97) ”paralelisme (persejajaran) ialah mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Kalimat yang hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang mendahului”.

Misalnya.
Segala kulihat segala membayang
Segala kupegang segala mengenang

Pada baris puisi tersebut tampak maksud dan tujuan yang sama, tetapi dalam bentuk kalimat yang berbeda sehingga terbentuk nilai estetis yang menyertainya.  

Retorik retisense
Menurut Pradopo (2002:97) ”sarana ini mempergunakan titik-titik banyak untuk mengganti perasaan yang tak terungkap. Penyair romantik banyak mempergunakan sarana retorika ini, lebih-lebih sajak romantik remaja banyak menggunakannya”.
Misalnya.
Dipadang rumput
Kulihat daun bergerak cepat …..
Kupandang baying melompat-lompat

O, kusuka sebut….

Apalah warta mainan gerak
Dan bisikan angin sayup gelak
Tapi sukma masih ngeram
Dan diam didalam……

Oh, jangan kau paksa
Melahirkan rasa!
Biarlah aku menderita
Menanti ketika….
                        (J.E. Tatengkeng “Kusuka Katakan”, 1974:19)

         Pada puisi tersebut terdapat titik-titik yang merupakan perasaan yang tidak diungkapkan. Oleh karena itu, pembaca dapat mengartikan sendiri perasaan yang seharusnya diungkapkan.

Hiperbola
Menurut Pradopo (2002:98) ”hiperbola yaitu sarana yang melebih-melebihkan-lebihkan suatu hal atau keadaan. Maksudnya di sini menyangatkan, untuk intensitas dan ekspresivitas”.

Misalnya.
KEPADA PEMINTA-MINTA
Baik-baik, aku akan menghadap dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.

Jangan lagi aku bercerita
Sudah tercacar emua di muka
Nanah meleleh dari muka
Sambil berjalan kau usap juga.

Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah.

Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi  keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku
….
        Pada puisi tersebut tampak sarana yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan.  Seperti, jangan tentang lagi aku / nanti darahku jadi beku. Tampak juga dalam bait ke 2, 3, dan 4, di sini hiperbola dikombinasikan dengan penjumlahan, maksudnya untuk lebih mengintensifkan pernyataan. Dengan demikian, lukisan menjadi sangat mengerikan, menakutkan, dan perasaan dosa itu menjadi sangat terasa. Begitu juga ulangan-ulangan bentuk kata kerja itu member intensitas, seperti mengganggu, menghempas, dan mengaum. 

Paradoks
Menurut Pradopo (2002:99) paradoks adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara berlawanan, tetapi sebetulnya tidak bila sungguh-sungguh dipikir dan rasakan.
Misalnya.
PUSAT
Serasa apa hidup yang terbaring mati
Memandang musim yang menandung luka
Serasa apa kisah sebuah dunia terhenti
Padaku, tanpa bicara
….
                                    (Etsa, 1957:7)
            KEPADA ORANG MATI
Kalau aku kau maafkan, karena maaf baik,
Kau tak pernah mengerti dirimu
Kalau kau kumaafkan, karena maaf baik,
Kau tak mengerti dirimu
….
                                    (Etsa, 1957:32)
        Pada puisi tersebut terdapat sarana retorika paradoks, seperti: hidup yang terbaring mati, ini sebuah kiasan yang artinya hidup yang tanpa ada pergerakan, tanpa ada perubahan ke arah yang baik. Paradoks yang mempergunakan penjajaran kata yang berlawanan seperti, hidup-mati disebut oksimoron. Musim yang mengandung luka, ini juga sebuah paradoks, maksudnya musim bersuasana menyenangkan (dalam sajak ini) luka bersuasana menyedihkan. Begitu juga dalam sajak “Kepada Orang Mati” bait pertama berisi pernyataan yang paradoks seperti, kalau dimaafkan menjadi tak tahu diri. 

Kiasmus
Menurut Pradopo (2002:100) kiasmus ialah sarana retorika yang menyatakan sesuatu diulang, dan salah satu bagian kalimatnya dibalik posisinya.
Misalnya.
PUSAT
Serasa apa hidup yang terbaring mati
Memandang musim yang menandung luka
Serasa apa kisah sebuah dunia terhenti
Padaku, tanpa bicara

Diri mengeras dalam kehidupan
Kehidupan mengeras dalam diri
Dataran pandang meluaskan padang senja
Hidupku dalam tiupan usia
….
                                    (Etsa, 1957:7)
KEPADA ORANG MATI
Kalau aku kau maafkan, karena maaf baik,
Kau tak pernah mengerti dirimu
Kalau kau kumaafkan, karena maaf baik,
Kau tak mengerti dirimu
Begitu banyak maaf, buat begitu banyak dosa
Begitu banyak dosa, buat begitu banyak maaf
Hanyakah tersedia buat daerah mati
Tanpa hawa, tanpa kemauan baik?
                                    (Etsa, 1957:32)
         Pada puisi tersebut terdapat sarana retorika kiasmus yaitu, diri mengeras dalam kehidupan, kehidupan mengeras dalam diri. Hal ini untuk membuat pernyataan lebih intensif dan menimbulkan pemikiran. Begitu banyak maaf, buat begitu banyak dosa. Kalimat itu dibalik menjadi, begitu banyak dosa,buat begitu banyak maaf. Jadi, berdasarkan pendapat tersebut bahwa dengan bermacam-macam sarana retorika yang digunakan dalam puisi, maka sarana retorika dapat menambah kepuitisan dalam puisi dan menimbulkan makna yang konkrit.

Daftar Pustaka

Waluyo, Herman.J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zainuddin. 1992. Materi Pokok Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: PT Reneka Cipta.  
Priyatni, Endah Tri. 2012. Membaca Satra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Badrun, Ahmad. 1989. Teori PuisiJakarta: Depdikbud.
Badrun, Ahmad. 1983. Pengantar Ilmu Sastra: Teori Sastra. Surabaya: Usaha Nasional.

No comments:

Post a Comment