APRESIASI PROSA
Hakikat Apresiasi Prosa
Untuk mengetahui pengertian apresiasi prosa, terlebih dahulu kita harus
memahami pengertian dari apresiasi itu sendiri. Istilah Apresiasi berasal dari
bahasa Latin apreciato yang berarti
“mengindahkan” atau “menghargai”. Dalam konteks yang lebih luas, istilah
apreasi menurut Gove mengandung makna (1) pengenalan melalui perasaan atau
kepekaan batin dan (2) pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan
yang diungkapkan pengarang. Pada sisi lain, Squire dan Taba berkesimpulan bahwa
sebagai suatu proses, apresiasi melibatkan tiga unsur inti, yakni (1) aspek
kognitif, (2) aspek emotif (3) aspek evaluatif.
Aspek kognitif berkaitan dengan keterlibatan intelek pembaca dalam upaya
memahami unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif. Aspek emotif berkaitan
dengan keterlibatan unsur emosi pembaca dalam upaya menghayati unsur–unsur
keindahan dalam teks sastra yang dibaca, selain itu unsur emosi juga sangat
berperan dalam upaya memahami unsur-unsur yang bersifat subjektif. Aspek evaluatif
berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap suatu karya sastra.
Sejalan dengan rumusan pengertian apresiasi diatas, S. Effendi
mengungkapkan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra
secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan
pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra.
Pengertian Apresiasi sastra menurut Dra. Endang Sriwidayati, M.Pd. dalam gambaran
dasar apresiasi adalah proses (kegiatan) pengindahan, penikmatan, penjiwaan,
dan penghayatan karya sastra secara individual dan momentan, subjektif dan
eksistensial, rohaniah dan budiah, khusyuk dan kafah, dan intensif dan total
supaya memperoleh sesuatu daripadanya sehingga tumbuh, berkembanng dan terpiara
kepedulian, kepekaan, ketajaman, kecintaan,dan keterlibatan terhadap karya
sastra.
Pengertian apresiasi secara umum adalah suatu penghargaan atau penilaian
terhadap suatu karya tertentu. Biasanya apresiasi berupa hal yang positif
tetapi juga bisa yang negatif. Apresiasi dibagi menjadi tiga, yakni kritik,
pujian, dan saran. Sementara itu, orang yang ahli dalam bidang apresiasi secara
umum adalah seorang kolektor atau pencinta suatu seni pada umumnya. Tetapi
dalam memberikan apresiasi, tidak boleh mendasarkan pada suatu ikatan teman
atau pemaksaan. Pemberian apresiasi harus dengan setulus hati dan menurut
penilaian aspek umum.
Apresiasi berasal dari bahasa Inggris “appreciation”
yang berarti penghargaan, penilaian, pengertian, bentuk ituberasal dari kata
kedua “to aprreciate” yang berarti
menghargai, menilai, mengerti. Apresiasi mengandung makna pengenalan melalui
perasaan atau kepekaan batin, dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang
diungkapkan pengarang. (Aminuddin, 1987).
Secara makna leksikal, apresiasi (appreciation)
mengacu pada pengertian pemahaman dan pengenalan yang tepat, pertimbangan,
penilaian, dan pernyataan yang memberikan penilaian (Hornby dalam Sayuti,
1985:2002).
Secara leksikografis,
kata apresiasi berasal dari bahasa Inggris appreciation,
yang berasal dari kata kerja to apreciate,
yang menurut kamus Oxford berarti to
judge value of understand or enjoyfully in the right way; dan menurut kamus
Webstern adalah to estimate the quality
of to estimate rightly to be sensitevely aware of. Jadi secara umum
mengapresiasi adalah mengerti serta menyadari sepenuhnya, sehingga mampu
menilai secara semestinya.
Dalam kaitannya dengan
kesenian, apresiai berarti kegiatan mengartikan dan menyadari sepenuhnya seluk
beluk karya seni serta menjadi sensitif terhadap gejala estetis dan artistik
sehingga mampu menikmati dan manilai karya tersebut secara semestinya. Dalam
mengapresiai, seorang penghayat sedang mencari pengalam estetis. Sehingga
motivasi yang muncul adalah motivasi pengalaman estetis. Pengalaman estetis
menurut Albert R. Candler adalah kepuasan kontemplatif atau kepuasan intuitif.
Istilah prosa sendiri mengandung pengertian kisahan atau cerita yang
diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan
rangkaian cerita tetentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga
menjalin suatu cerita. Prosa sebagai salah satu genre sastra, mengandung unsur
– unsur meliputi (1) pengarang atau narator, (2) isi penciptaan, (3) media
penyampaian isi berupa bahasa, dan (4) elemen-elemen fiksional atau unsur-unsur
intrinsik yang membangun karya fiksi itu sendiri sehingga menjadi suatu wacana.
Pada sisi lain, dalam rangka memaparkan isi tersebut, pengarang akan
memaparkannya lewat (1) penjelasan atau komentar, (2) dialog ataupun monolog,
dan (3) lewat lakuan atau action.
Prosa fiksi lebih lanjut masih dapat dibedakan dalam berbagai macam bentuk,
baik itu roman, novel, atau novelet, maupun cerpen. Perbedaan berbagai macam
betuk dalam prosa fiksi itu pada dasarnya hanya terletak pada kadar panjang
pendeknya isi cerita, kompleksitas isi cerita, serta jumlah pelaku yang
mendukung cerita itu sendiri. Akan tetapi, elemen-elemen yang dikandung oleh
setiap bentuk prosa fiksi maupun cara pengarang memaparkan isi ceritanya
memiliki kesamaan meskipun dalam unsur-unsur tertentu mengandung perbedaan.
Untuk dapat memberi penghargaan terhadap sesuatu, tentunya kita harus
mengenal sesuatu itu dengan baik dan dengan akrab agar kita dapat bertindak
dengan seadil-adilnya terhadap sesuatu itu, sebelum kita dapat memberi
pertimbangan bagaimana penghargaan yang akan diberikan terhadap sesuam itu.
Kalau yang dimaksud dengan sesuatu itu adalah karya sastra, lebih tepat iagi
karya sastra prosa, maka apreciasi
itu berati memberi penghargaan dengan sebaik-baiknya dan seobjektif mungkin
terhadap karya sastra prosa itu. Penghargaan yang seobjektif mungkin, artinya
penghargaan itu dilakukan setelah karya sastra itu kita baca, kita telaah
unsur-unsur pembentuknya, dan kita tafsirkan berdasarkan wawasan dan visi kita
terhadap karya sastra itu.
Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian “Apresiasi
Prosa” adalah proses pengindahan, penikmatan, pemahaman, dan penghargaan secara
menyeluruh dan serta-merta terhadap karya sastra prosa guna mendapatkan
nilai-nilai yang baik yang terkandung dalam karya sastra tersebut.
Tahap-Tahap Apresiasi
Seperti sudah dibicarakan, prosa atau prosa fiksi adalah sebuah bentuk
karya sastra yang disajikan dalam bentuk bahasa yang tidak terikat oleh jumlah
kata dan unsur musikalitas. Bahasa yang tidak terikat itu digunakan untuk
menyampaikan tema atau pokok persoalan dengan sebuah amanat yang ingin
disampaikan berkenaan dengan tema tersebut. Oleh karena itu, dalam apresiasi
dengan tujuan tnembenkan penghargaan terhadap karya prosa itu, kita haruslah
bisa “membongkar” dan menerangjelaskan hal-hal yang berkenaan dengan ukuran
keindahan dan “kelebihan” karya prosa itu. Dengan demikian, penghargaan yang
diberikan dapat diharapkan bersifat tepat dan objcktif. Suatu apresiasi sastra,
menurut Maidar Arsjad dkk dilakukan melalui beberapa tahap kegiatan.
Tahap-tahap itu adalah.
A.
Tahap
penikmatan atau menyenangi. Tindakan operasionalnya pada tahap ini adalah
misalnya membaca karya sastra (puisi maupun novel}, menghadiri acara deklamasi,
dan sebagainya.
B.
Tahap
penghargaan. Tindakan operasionalnya, antara lain, melihat kebaikan, nilai,
atau manfaat suatu karya sastra, dan merasakan pengaruh suatu karya ke dalam
jiwa, dan sebagainya.
C.
Tahap
pemahaman. Tindakan opersionalnya adalah meneliti dan menganalisis unsur
intrinsik dan unsur ektrinsik suatu karya: astra, serta berusaha
menyimpulkannya.
D.
Tahap
penghayatan. Tindakan operasionalnya adalah rnenganalisis lebih lanjut akan
suatu karya, mencari hakikat atau makna suatu karya beserta argumentasinya;
membuat tafsiran dan menyusun pendapat berdasarkan analisis yang telah dibuat.
E.
Tahap
penerapan. Tindakan operasionalnya adalah melahirkan ide baru, mengamalkan
penemuan, atau mendayagunakan hasil operasi dalam mencapai material, moral, dan
struktural untuk kepentingan sosial, politik, dan budaya.
Apresiasi mempunyai
tiga tingkatan, yaitu apresiasi empatik, apresiasi estetis, dan apresiasi
kritis.
A. Apresiasi
empatik adalah apresiasi yang hanya menilai baik dan kurang baik hanya
berdasarkan pengamatan belaka. Apresiasi atau penilaian ini biasanya dilakukan
oleh orang awam yang tidak punya pengetahuan dan pengalaman dalam bidang seni.
B. Apresiasi
estetis adalah apresiasi untuk menilai keindahan suatu karya seni. Apresiasi
pada tingkat ini dilakukan seseorang setelah mengamati dan menghayati karya
seni secara mendalam.
C. Apresiasi
kritis adalah apresiasi yang dilakukan secara ilmiah dan sepenuhnya bersifat
keilmuan dengan menampilkan data secara tepat, dengan analisis, interpretasi,
dan peneilaian yang bertanggung jawab.
Apresiasi ini biasanya
dilakukan oleh para kritikus yang memang secara khusus mendalami bidang
tersebut. Dalam suatu apresiasi akan terjalin komunikasi antara si pembuat
karya seni (seniman) dengan penikmat karya seni (apresiator). Dengan adanya
komunikasi timbal-balik ini, seniman diharap mampu mengembangkan kemampuannya
untuk dapat membuat karya seni yang lebih bermutu.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Nilai Sastra
Setiap orang memiliki tingkat pemahaman terhadap sastra berbeda-beda. Hal
ini dapat diketahui bila ada pameran buku atau kajian sastra. Karya sastra yang
dibuat oleh seorang pengarang memiliki ciri khas tersendiri. Sebagai contoh
buku yang bercerita tentang “Syaikh Siti Jenar”. Ada banyak ragam versi yang
dapat kita temukan. Ada penulis yang berlatar belakang sejarawan, ada yang
memiliki disiplin pendidikan, ada pula seorang filosof.
A.
Lingkungan
Lingkungan keluarga sangat besar peranannya dalam
membentuk pemahaman tentang karya sastra. Keluarga yang telah terkondisi dengan
tradisi membaca, memiliki kontribusi yang besar bagi anggota keluarga itu dalam
memahami sastra. Masyarakat yang selalu menghidupkan karya sastra lewat
permainan anak (dolanan), nyanyian yang dipadukan dengan alat musik
tradisional, peristiwa ritual, juga mendukung seseorang dalam memahami karya
sastra.
B.
Pengetahuan
Sekolah, kuliah, kursus atau sejenisnya adalah ladang
untuk memahami pengetahuan. Pengetahuan merupakan jembatan untuk memahami karya
sastra. Ada sedikit jaminan, bahwa semakin tinggi seseorang memperoleh ilmu,
semakin tinggi pula tingkat pemahaman terhadap karya sastra. Namun tidak semua
orang yang berpengetahuan mencintai karya sastra. Baginya, pengetahuan hanya
diibaratkan sebuah kendaraan untuk mencapai tujuan tertentu.
C.
Pengalaman
Pengalaman adalah guru yang baik. Melihat lebih baik dari
mendengar. Mempraktekkan jauh lebih baik dari pada melihat. Ada rasa keasyikan
tersendiri bila membaca cerpen dari seorang cerpenis kegemarannya. Ada suasana
melayang saat mencoba menyerap kata dalam puisi.
Tapi, membuat cerpen lebih asyik bila hanya sekedar
membaca. Mengungkap perasaan dengan cara menulis puisi jauh lebih mengena.
Membuat cerpen, menulis puisi atau sejenisnya, adalah sebuah pengalaman. Dengan
begitu Ia akan mengetahui seberapa tingkat karya sastra. Dengan pengalaman pula
Ia akan menghargai sebuah karya sastra.
Pendekatan dalam Apresiasi Sastra
A. Pendekatan Parafratis
Pendekatan parafratis adalah strategi pemahaman kandungan makna dalam suatu
cipta sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan
pengarang dengan menggunakan kata-kata maupun kalimat yang berbeda dengan
kata-kata dan kalimat yang digunakan pengarangnya. Tujuan akhir pendekatan ini
adalah untuk menyederhanakan pemakaian kata dan kalimat seorang pengarang
sehingga pembaca lebih mudah memahami kandungan makna yang terdapat dalam suatu
cipta sastra.
Seperti telah diketahui, kata-kata dalam cipta satsra umumnya padat dan
suplimatif. Misalnya, seorang penyair yang ingin menyampaikan gagasan tentang
betapa cepatnya perjalanan kehidupan serta betapa singkat kehidupan manusia itu
sendiri yang sisi lain juga akan segera membahas manusia dari libatan
keduniawian ini, dirinya cukup mengungkapkannya dengan jam mengerdip, tak
terduga betapa lekas siang menepi, melapangkan jalan dunia. Dari contoh itu
dapat diketahui bahwa kalimat atau baris dalam puisi sering mengalami elipsis atau
penghilangan suatu unsur, baik berupa kata maupun berupa kelompok kata. Begitu
juga1 cara penulisannya umumnya tidak sma dengan aturan atau sistem pada
umumnya. Misalnya jika seorang kalimat itu seseorang harus mengawalinya dengan
huruf besar dan menghakhiri dengan titik, maka dalam baris-baris puisi dalam
aturan itu tidak selamnya dilaksanakan.
Prinsip dasar
dari penerapan pendekatan parafratis adalah sebagai berikut:
a.
Gagasan
yang sama dapat disampaikan lewat bentuk yang berbeda.
b.
Simbol-simbol
yang bersifat konotatif dalam suatu cipta sastra dapat diganti dengan lambing
atau bentuk lain yang tidak mengandung ketaksaan makna.
c.
Kalimat-kalimat
atau baris dalam suatu cipta sastra yang mengalami pelesapan dapat dikembalikan
lagi kepada bentuk dasarnya.
d.
Pengubahan
suatu cipta sastra baik dalam hal kata maupun kalimat yang semula simbolis dan
elipsis menjadi suatu bentuk kebahasaan yang tidak lagi konotatif akan
mempermudah upaya seseorang untuk memahami kandungan makna dalam suatu bacaan.
e.
Pengungkapan
kembali suatu gagasan yang sama dengan menggunakan media atau bentuk yang tidak
sama oleh seorang pembaca akan mempertajam pemahaman gagasan yang diperoleh
pembaca itu sendiri.
Dari prinsip pada butir 5 itu dapat disimpulkan juga bahwa penerapan
pendekatan parafrastis untuk mempermudah upaya pemahaman makna suatu bacaan,
juga digunakan untuk mempertajam, memperluas dan memperlengkapi pemahaman makna
yang diperoleh oleh pembaca itu sendiri. Sebab itu, dalam pelaksanaannya nanti,
pendekatan parafrastis ini selain dapat dilaksanakan pada awal dilaksanakan
pada awal kegiatan merapresiasi satra, juga dapat dilaksanakan setelah
kegiatanapresiasi berlangsung.
B.
Pendekatan Emotif
Pendekatan emotif dalam mengapresiasi sastra adalah suatu pendekatan yang
berusaha menemukan unsur-unsur yang mengajuk emosi atau perasaan pembaca.
Ajukan emosi itu dapat berhubungan dengan keindahan penyajian bentuk maupun
ajukan emosi yang berhubungan dengan isi atau gagasan yang lucu dan menarik.
Prinsip dasar yang melatarbelakangi adanya pendekatan emotif adalah bahwa
rutinitas masyarakat yang padat mengakibatkan kejenuhan sehingga memerlukan
media untuk menghibur dirinya, di antaranya menikmati cipta sastra itu sendiri.
Oleh karena itu, diharapkan pembaca dapat menemukan unsur-unsur keindahan
maaupun kelucuan yang terdapat dalam suatu karya sastra.
Selain berhubungan dengan masalah keindahan, juga unsur gaya bahasa dan
pola persajakan juga mempengaruhi suasana hati pembaca. Unsur gaya bahasa
seperti metafora, simile maupun penataanse tting mampu menghasilkan panorama
yang menarik. Masalah pola persajakan juga dapat menghasilkan penikmatan
keindahan terhadap karya sastra karena dapat menghadirkan unsur musikalitas
yang merdu dan menarik. Penyajian keindahan dalam puisi, selain lewat permainan
bunyi sehingga dikenal adanya penyair yang auditif, dapat juga disajikan secara
visual, misalnya dengan membuat panorama yang menarik dan indah sehingga juga
dikenal adanya penyair yang visual.
Penikmatan itu lebih ;lanjut juga dengan berhubungan masalah pola
persajakan dan paduan bunyi yang lebih lanjut dan dapat mengahadiri unsur-unsur
musikalitas yang merdu dan menarik. Hal yang demikian dijumpai terutama pada
karya-karya puisi karena pada abad ke-18 sampai ke-19 ada kecenderungan untuk
menciptakan sair atau karya fiksi seperti halnya alunan musik, misalnya sebuah
puisi berbahasa Jerman dari penyair Tieck berbunyi: liebe denk in suzen Tonen
atau Dennn gedanken steh’n zu fern. Penyajian keindahan dalam puisi dalam
keindahan dalam puisi, selain lewat permainan bunyi sehingga dikenal adanya
penyair yang auditif, dapat juga disajikan secara visual. Salah satu bait
puisi Roestam Effendi dalam percikan
perenungan, misalnya, berbunyi:
Ditengah sunyi menderu rinduku
Seperti topan. Merengggutkan dahan
Mencabutkan akar,
Meranggutkan kembang kalbuku
Untuk menemukan dan menikmati cipta satra yang mengandung kelucuan, anda
tentunya juga harus memilih cipta satra yang termasuk dalam ragam-ragam
tertentu. Ragam itu misalnya ragam humor, satirik, sarkasme, maupun ragam
komedi.
C.
Pendekatan Analitik
Sewaktu berhadapan dengansebuah cipta sastra, pembaca
dapat menampilkan pertanyaan: unsur-unsur apakah yang membangun cipta sastra
yang saya baca ini? Bagaimana peranan setiap unsur itu dan bagaimana hubungan
antara unsur yang satu dengan yang lainya? Dan bagaimakah cara memahaminya?
Jika pembaca berusaha mencari jawaban dari keseluruhan pertanyaan itu, pada
dasarnya pembaca telah melaksanakan atau menerapkan pendekatan analitis.
Pendekatan analitis merupakan suatu pendekatan yang
berusaha memahami gagasan, cara pengarang menampilkan gagasan atau mengimajikan
ide-idenya, sikap pengarang dalam menampilkan gagasan-gagasannya, elemen
intrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen intrinsik itu sehingga
mampu membangun adanya keselarasan dan kesatuan dalam rangka membangun
totalitas bentuk maupun totalitas maknanya.
Prinsip dasar yang melatarbelakangi munculnya pendekatan
analitis adalah sebagai berikut.
a.
Cipta
sastra itu dibentuk oleh elemen-elemen tertentu.
b.
Setiap
elemen dalam cipta sastra memiliki fungsi tertentu dan senantiasa memiliki
hubungan antara yang satu dengan yang lainnya meskipun karakteristik berbeda.
c.
Dari
adanya karakteristik setiap elemen itu, maka antara elemenyang satu dengan
elemen yang lain, pada awalnya dapat dibahasa secara terpisah meskipun pada
akhirnya setiap elemen itu harus disikapi sebagai suatu kesatuan.
Kegiatan mengapresiasi sastra dengan menerapkan
pendekatan analitis dianggap sebagai suatu kerja yang bersifat saintifik karena
dalam menerapkan pendekatan ini, pembaca harus memahami terlebih dahulu
landasan teori tertentu, bersikap objektif dan menunjukkan hasil analisis yang
tepat, sistematis, dan diakui kebenarannya oleh umum. Namun, kegiatan analisis
itu tidak harus meliputi keseluruhan aspek yang terkandung dalam suatu cipta
sastra. Dalam hal ini, pembaca dapat membatasi diri pada analisis struktur,
diksi atau gaya bahasa, atau mungkin analisis kebahasaaan dalam linguistik.
D.
Pendekatan Historis
Pendekatan historis merupakan suatu pendekatan yang menekankan pada
pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang peristiwa kesejarahan yang
melatarbelakangi masa-masa terwujudnya cipta sastra yang dibaca, serta tentang
bagaimana perkembangan kehidupan penciptaan maupun kehidupan sastra itu sendiri
pada umumnya dari zaman ke zaman.
Prinsip dasar yang melatarbelakangi lahirnya pendekatan adalah anggapan
bahwa cipta sastra bagaimana pun juga merupakan bagian dari zamannya. Selain
itu, pemahaman terhadap biografi pengarang juga sangatpenting dalam upaya
memahami kandungan makna dalam suatu cipta sastra. Sebab itulah, telaah makna
suatu teks dalam pendekatan sosio-semantik sangat mengutamakan konteks, baik
konteks sosio-budaya, situasi atau zaman maupun konteks kehidupan pengarangnya
sendiri.
Dalam telaah karya sastra Indonesia lewat pendekatan historis ini, pembaca
dapat memanfaatkan buku kritik dan esay dari H.B. Jassin, Ihtisar sejarah
sastra Indonesia karangan ajib rosidi, serta buku leksikon karangan pemasuk Eneste, dan lain-lainya. Sebagai
informasi kesejarahan , tambahan, pembaca dapat juga melihat pada keterangan
tentang biografi pengarang yang terdapat dibagian belakang maupun esay-esay
tentang kehidupan pengarang yang terdapat dalam buku kumpulan karangan maupun
majalah dan koran.
E.
Pendekatan Sosiopsikologis
Pendekatan sosiopsikologis adalah suatu pendekatan yang berusaha memahami
latar belakang kehidupan sosiobudaya, kehidupan masyarakat, maupun tanggapan
kejiwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungan kehidupannya ataupun zamannya
pada saat cipta sastra itu diwujudkan. Pelaksananya pendekatan ini memang
sering tumpang tindih dengan pendekatan historis. Akan tetapi, selama masalah
yang akan dibahas untuk setiap pendekatan itu dibatasi dengan jelas, maka
ketumpang tindihan itu pasti dapat dihindari.
Dalam pelaksanaannya, pendekatan sosio-psikologis berusaha memahami
bagaimana kehidupan sosial masyarakat pada masa itu, bagaimana sikap pengarang
terhadap lingkungannya, serta bagaimana hubungan antara cipta sastra itu dengan
zamannya. Oleh karena itu, Sapardi Djokodamono mengungkapkan bahwa karya sastra
tidak dapat dipahami selengkap- lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan
atau kebudayaan.
Contoh penerapan pendekatan sosiopsikologi itu misalnyakita membaca puisi
Chairil anwar “ Diponegoro” jika dalam pendekatan historis kita dapat
membahasnya lewat pendekatan tentang biografi pengarang peristiwa kesejahrahan
yang terjadi pada masa itu, bagaimana sikap pengarang terhadap lingkunganya
serta hubungan antara cipta satra iti
dengan zamanya.
Sehubungan dengan penerapan pendekatan sosio psikologis itu, terdapat
anggapan bahwa cipta sastra merupakan kreasi manusia yang terlibat dalam
kehidupan serta mampu menampilkan tanggapan evaluatif terhadapnya. Sebab itulah
dengan mengutip pendapat Grebstein, Spardi djokodamono mengungkapkan bahwa
karya satra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari
lingkungan atau kebudayaan.
F.
Pendekatan Didaktis
Pendekatan didaktis adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan dan
memahami gagasan, tanggapan maupun sikap pengarang terhadap kehidupan,.
Gagasan, tanggapan maupun sikap itu dalam hal ini akanmampu terwujud dalam
suatu pandangan etis, filosofis, maupun agamis sehingga akan mengandung
nilai-nilai yang mampu memperkaya kehidupan rohaniah pembaca.
Pendekatan didaktis ini pada dasarnya juga merupakan suatu pendekatan yang telah beranjak jauh dari pesan tersurat
yang terdapat dalam suatu cipta sastra. Sebab itulah penerapan pendekatan
didaktis dalam apresiasi sastra akan menuntut daya kemampuan intelektual,
kepekaan rasa, maupun sikap yang mampan darri pembacanya.
Bagi pembaca pada umumnya, penerapan pendekatan didaktis dalam tingakatan
pemilihan bahan yang sesuai dengan pengetahuan maupun tingkat kemantangannya
akan terasa lebih banyak mengasikkan, hal itu terjadi karena pembaca umumnya
berusaha mencari petunjuk dan keteladanan lewat teks yang dibaca. Akan tetapi
pada sisi lain pada sikap itu juga
berkontras dengan sikap tidak senangnya jika harus menerima pesan, petuah atau
nasihat dari orang lain yang bernada mengurui . sebab dengan itulah dengan
menemukan nilai-nolai kehidupan lewat yang difikirkan nilai-nilai kehidupan
lewat daya fikir kritisnya sendiri, nilai yang dapat akan lebih mengendap pada
aspek kejiwaanya serta lebih menikmatkan batinnya.
Penggunaan pendekatan didaktis ini
diawali dengan upaya pemahaman
satuan-satuan pokok pikiran yang
terdapat dalam suatu cipta sastra. Satuan pokok pikiran itu pada dasarnya
disarikan dari paparan gagasan pengarang, baik berupa tuturan ekspresif,
komentar, dialog, lakuan maupun deskripsi peristiwa dari pengarang, baik berupa
atau penyairnya. Dalam penerapan pendekatan didaktis ini, sebagai pembimbing
kegiatan berfikirnya, pembaca dapt berangkat dari berpola berfikir, misalnya
jika malin kundang itu akhirnya mati, karena durhaka kepada ibunya, maka dalam
hidupnya manusia itu harus bersikap baik kepda orang tua.
Pelaksanaannya, pendekatan didaktis menuntut daya kemampuan intelektual,
kepekaan rasa, maupun sikap yang mapan dari pembacanya. Bagi pembaca pada
umumnya, penerapan pendekatan didaktis dalam tingkatan pemilihan bahan yang
sesuai dengan pengetahuan maupun tingkat kematangannya akan terasa lebih
mengasyikkan. Hal itu terjadi karena pembaca umumnya berusaha mencari petunjuk
dan keteladanan lewat teks yang dibaca. Penggunaan pendekatan ini diawali
dengaan upaya pemahaman satuan-satuan pokok pikiran yang terdapat dalam suatu
cipta sastra. Satuan pokok pikiran itu pada dasarnya disarikan dari paparan
gagasan pengarang, baik berupa tuturan ekspresif, komentar, dialog, lakuan
maupun deskripsi peristiwa dari pengarang atau penyairnya.
Contoh dari pendekatan didaktis dalam kegiatan mengapresiasikan puisi
misalnya kita membaca puisi Goenawan
Muhammad berjudul “tahunpun turun membuka sayapnya”
Tahunpun turu membuka sayapnya
Keluas jauh benua-benua
Dan laut membias: warna biru langit semesta
Dan zaman menderas: manusia tetap setia
Misalnya, dari puisi diatas kita dapat menentukan satuan-satuan pokok
pikiran yang mmeliputi (1) waktu itu senantiasa berjalan dan terus berganti (2)
kehidupan yang indah ini senantiasa membukakan diri bangi manusia untuk
menhayatinya, dan (3) meskipun zaman terus berjalan dengan cepat, manusia juga
tetap setia mengisi kehidupannya.
Bekal Awal dalam Apresiasi
Karya sastra Prosa memiliki berbagai macam unsur yang sangat kompleks,
antara lain (1) unsur keindahan, (2) unsur kontemplatif yang berhubungan dengan
nilai-nilai atau renungan tentang keagamaan, filsafat, politik, serta berbagai
macam komplesitas permasalahan kehidupan,
(3) media pemaparan, baik berupa media kebahasaan maupun struktur
wacana, serta (4) unsur-unsur intrinsik yang berhubungan dengan ciri
karakteristik karya sastra itu sendiri sebagai suatu teks.
Bekal awal yang harus dimiliki oleh seorang calon apresitor adalah (1)
kepekaan emosi atau perasaan sehingga pembaca mampu memahami dan menikmati
unsu-unsur keindahan yang terdapat dalam karya sastra, (2) pemilikan
pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan masalah kehidupan dan
kemanusiaan, baik lewat penghayatan kehidupan ini secara intensif-kontemplatif
maupun dengan membaca buku-buku yang berhubungan dengan masalah humanitas,
misalnya buku filsafat dan psikologi, (3) pemahaman terhadap aspek kebahasaan,
dan (4) pemahaman terhadap unsur-unsur intrinsik karya sastra yang akan
berhubungan dengan telaah teori sastra.
Pentahapan
dalam Apresiasi Sastra
a.
Tahap
Pertama
Seorang apresiator membiarkan pikirannya, perasaan dan
daya khayalnya mengembara sebebas mungkin mengikuti apa yang dimaui oleh
pengarang karya sastra yang dibacanya. Pada tahap ini apresiator belum
mengambil sikap kritis terhadap karya sastra yang dibacanya.
b.
Tahap
Kedua
Seorang apresiator menghadapi karya sastra secara
intelektual. Ia menanggalkan perasaan dan daya khayalnya, dan berusaha memahami
karya sastra tersebut dengan cara menyelidiki karya sastra dari unsur-unsur
pembentuknya. Ini berarti, apresiator memandang karya sastra sebagai suatu
struktur. Pada tahapan ini, penyelidikan unsur-unsur karya sastra oleh
apresiator dimaksudkan untuk mendekatkan diri pada karya sastra itu.
c.
Tahap
Ketiga
Apresiator memandang karya sastra dalam kerangka historisnya.
Artinya, ia memandang karya sastra sebagai pribadi yang mempunyai ruang dan
waktu. Dalam pandanganya, tidak ada karya sastra yang tidak diciptakan dalam
ruang dan waktu tertentu. Dengan kata lain, pada tahapan ini seorang apresiator
mencoba memahami karya sastra dari unsur sosial budaya, situasi pengarang, dan
segala hal yang melatarbelakangi karya sastra itu diciptakan.
Lalu, bagaimana sikap apresiator yang baik? Apresiator yang baik adalah
apresiator yang dapat menerapkan ketiga tahapan tersebut secara padu, sehingga
nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra itu benar-benar ia pahami dengan
membiarkan perasaannya, mencoba menyelidiki unsur-unsurnya, dan berusaha pula
memahami situasi sosial budaya saat karya sastra tersebut diciptakan.
Manfaat
Apresiasi
Dalam sebuah pertemuan sastra, seorang yang biasa bergelut di bidang
eksak menyatakan bahwa orang yang
membaca karya prosa sedang melakukan pekerjaan yang sia-sia dan tak ada artinya
karena menghabiskan waktu hanya untuk membaca khayalan.
Prosa-fiksi memang merupakan cerita rekaan, khayalan. Ia adalah hasil
imajinasi pengarangnya. Namun, benarkah imajinasi tak ada manfaatnya? Tentu
saja pendapat ini tidak benar sebab jika mau disadari, kehidupan dunia berkembang
karena imajinasi orang-orang jenius. Sebagai contoh, bukankah teori gravitasi
bumi ditemukan ilmuwan Issac Newton karena imajinasinya setelah melihat buah
apel jatuh dari pohonnya? Penemuan-penemuan di bidang teknologi pun pada awalnya
terjadi karena imajinasi. Dari mulai penemuan kapal terbang hingga pesawat ulang
alik, dari televisi hingga program-program komputer paling canggih saat ini, pada
awalnya terjadi karena imajinasi. Juga, bukankah lambang-lambang yang digunakan
dalam bidang matematika, angka-angka misalnya, adalah bentuk-bentuk imajinasi?
Dengan bukti-bukti di atas, tentulah kita tak bisa menganggap remeh
imajinasi. Imajinasi sangat bermanfaat dalam kehidupan, termasuk imajinasi yang
ada dalam cerita rekaan (karya fiksi). Cerita rekaan, karena mengandung
imajinasi, dapat memperkaya imajinasi pembacanya. Kekayaan imajinasi ini akan
membantu manusia lebih cerdas dan kreatif dalam membangun kehidupan. Di samping
itu, sudah menjadi naluri/kebutuhan manusia menyukai cerita. Dalam berbagai
masyarakat tradisional, muncul cerita-cerita mythe, legenda, dan lain-lain.
Orang pun bisa tahan berjam-jam (bahkan semalam suntuk) untuk menonton
pertunjukan wayang. Lalu mengapa, orang bisa tahan membaca novel seharian
sementara membaca buku-buku ilmu pengetahuan cepat merasa jenuh?
Hal itu terjadi karena dari cerita rekaan/prosa-fiksi orang mendapat
hiburan. Tetapi, manfaat cerita prosa lebih dari itu. Ia tidak hanya menghibur,
tetapi juga berguna, atau yang diistilahkan filsuf Horace, dulce et utile.
Cerita prosa bukan hanya berfungsi sebagai sarana hiburan. Cerita prosa
adalah sarana kita untuk bercermin tentang kehidupan. Benar bahwa yang
disajikan dalam cerita prosa adalah hasil imajinasi pengarang. Akan tetapi,
imajinasi tersebut adalah hasil olahan pengarang dari apa yang dihayatinya dari
realitas (kenyataan). Dalam karya prosa, sesungguhnya pengarang menyuguhkan
kembali hasil pengamatan dan pengalamannya kepada pembaca. Pengalaman yang
disuguhkannya itu adalah pengalaman yang sudah melalui proses perenungan dan
pemahaman yang lebih tajam dan dalam. Dengan demikian, tatkala pembaca mambaca
karya prosanya, ia mendapatkan suatu pandangan baru tentang kehidupan yang
memperkaya amatannya terhadap kehidupan yang ia kenal sehari-hari. Dalam kaitan
ini, karya prosa sesungguhnya membantu pembaca untuk lebih memahami kehidupan
dan memperkaya pandangan-pandangan tentang kehidupan.
Memang, hal seperti ini bisa pula didapatkan dari bidang-bidang lain,
filsafat misalnya, tapi, karena karya prosa menyuguhkannya dalam bentuk cerita,
lewat penggambaran peristiwa-peristiwa, lewat penggambaran tokoh-tokohnya yang
bermacam-macam karakter, dan lain-lain, gambaran tentang kehidupan itu akan
terasa lebih hidup dan lebih menyentuh.
Selain itu, tidak semua hal dalam hidup ini bisa kita alami sendiri. Apa
yang tidak bisa dan tidak sempat kita alami itu dapat diperoleh melalui prosa.
Tidak semua orang tahu bagaimana kehidupan kaum gembel atau kehidupan di
perkampungan-perkampungan kumuh. Namun, melalui cerpen-cerpen Gerson Poyk atau
Joni Ariadinata misalnya, pembaca mendapat gambaran tentang kehidupan
masyarakat kelas underdog tersebut.
Atau contoh lainnya, tak semua orang, terutama generasi sekarang, tahu tentang
keadaan masyarakat Indonesia di zaman Jepang. Melalui cerpen-cerpen karya
Idrus, orang mendapat gambaran itu. Benar bahwa hal itu bisa diperoleh melalui
sejarah atau sosiologi. Tetapi, sekali lagi, dari prosa kita akan mendapat
gmbaran itu secara lebih hidup dan lebih menyentuh sebab prosa menyuguhkannya
dalam segala sisinya: perasaan-perasaannya, harapannya, penderitaannya, dan
lain-lain. Adapun sejarah atau sosiologi hanya menyajikannya pada tingkat
formal. Dengan demikian, karya prosa sesungguhnya memperkaya wawasan dan
pengetahuan pembacanya.
Media pengungkapan karya prosa adalah bahasa. Dalam menyajikan cerita dalam
karyanya, pengarang berupaya menyuguhkannya dalam bahasa yang dapat menyentuh
jiwa pembacanya. Untuk mencapai hal itu, para pengarang berupaya mengolah
bahasa dengan sabaik-baiknya dan sedalam-dalamnya agar apa yang disampaikannya
kuat mengena di hati pembaca. Mereka mencari kosakata-kosakata yang tepat yang
dapat mewakili apa yang mereka inginkan, menciptakan ungkapanungkapan baru,
menvariasikan struktur kalimat, memberi penggambaranpenggambaran yang hidup
dengan bahasa, dan seterusnya. Dengan membaca karya yang telah mengandung
bahasa yang terolah tersebut, pembaca diperkaya bahasanya, diperkaya rasa
bahasanya, dan sebagainya. Tentulah masih banyak manfaat-manfaat dari
membaca (mengapresiasi) karya prosa. Intensitas kita membaca karya prosa, pada
gilirannya akan mempertajam kepekaan kita; kepekaan sosial, kepekaan religi,
kepekaan budaya, dan lain-lain.
Daftar Pustaka
Aminuddin. 1987.Pengantar Apresiasi
Karya Sastra.Bandung:Sinar Baru
Dola, Abdullah.2007.Apresiasi Prosa Fiksi dan Drama.Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.
Mahayana, Maman S. 2007. Apresiasi Sastra Indonesia di Sekolah.
Online (http://johnherf.wordpress.com). Diakses 23 Februari 2008.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko.1999.Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1995. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia
Tang, Muhammad Rapi. 2007. Pengantar Teori Sastra Yang Relevan Makassar: PPs UNM
Waluyo, Herman. 1987. Apresiasi
Puisi. Jakarta: Erlangga.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (terjemahan).
Jakarta:
Gramedia
No comments:
Post a Comment