KONSEP NILAI MORAL DAN
HUBUNGANYA DENGAN SASTRA
Manusia mempunyai
banyak kelebihan dibandingkan dengan mahkluk yang lain. Manusia unggul dalam
segi intelektual serta cara berpikir, mempunyai tujuan dan program untuk
mengambil langkah-langkah yang sistematis guna mencapai tujuan. Dengan
keunggulan intelektualnya, manusia dapat membedakan hal-hal yang baik dan yang
buruk. Manusia selalu dituntut untuk berpegang teguh pada norma kehidupan yang
sudah ditetapkan dan berlaku di masyarakat, negara, dan agama. Tuntutan semacam
ini akan mendorong manusia melaksanakan kaidah yang berlaku. Pelanggaran kaidah
atau norma akan mendapatkan sangsi moral yang sesuai dengan kekuatan norma
tersebut.
Salah satu norma yang
berlaku di masyarakat adalah kaidah moral. Kaidah moral ini berhubungan dengan
tingkah laku manusia dalam kehidupan batiniahnya. Berbagai usaha untuk
menanamkan nilai moral di kalangan masyarakat telah banyak dilakukan dengan
berbagai cara, baik melalui pendidikan formal maupun melalui lingkungan
keluarga dan masyarakat. Pendidikan nilai moral dapat diperoleh dari berbagai
bentuk seperti sekolah-sekolah formal dan informal, keluarga serta lingkungan.
Bentuk penyampaiannya ada yang berupa ucapan, tindakan dan tulisan.
Huky (dalam Daroeso,
1989:22) mengatakan untuk memahami moral dengan tiga cara yaitu (1) moral
sebagai tingkah laku hidup manusia yang mendasarkan diri pada kesadaran bahwa
ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan
norma yang berlaku dalam lingkungannya, (2) moral sebagai perangkat ide-ide
tentang tingkah laku hidup dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh
kelompok manusia di dalam lingkungan tertentu, (3) moral adalah ajaran tentang
tingkah laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu. Adapun
baik dan buruknya moral adalah segala perbuatan yang membawa kebahagiaan dan
kenikmatan yang merupakan tujuan hidup manusia. Yang dimaksud dengan
kebahagiaan ialah sesuatu keadaan yang dapat dicapai dengan akal manusia agar
tujuan hidup tercapai maka dalam setiap tingkah laku manusia harus mendasarkan
diri pada norma-norma yang berlaku.
Adapun baik dan
buruknya moral adalah segala perbuatan yang membawa kebahagiaan dan kenikmatan
yang merupakan tujuan hidup manusia. Kebahagiaan ialah sesuatu keadaan yang
dapat dicapai dengan akal manusia. Agar tujuan hidup tercapai maka dalam setiap
tingkah laku manusia harus mendasarkan diri kepada norma-norma yaitu: a) atas
dasar keputusan akal yang tertuju pada kenyataan kebenaran, b) sesuai dengan
pertimbangan rasa yang tertuju pada keindahan kejiwaan, c) didorong oleh
kehendak yang tertuju kepada kebaikan dan memelihara kerja sama akal, rasa dan
kehendak yang tertuju pada kenyataan mutlak yang berpedoman kepada wahyu Tuhan.
Konsep Moral
Daroeso (1986:22)
menyatakan bahwa secara etimologis kata “moral” berasal dari bahasa latin mos
yang berarti tata cara kehidupan, adat istiadat atau kebiasaan yang berlaku di
masyarakat. Nilai tentang bagaimana kita hidup secara baik sebagai manusia.
Sistem nilai yang terkandung dalam ajaran moral yang berbentuk petuah-petuah,
nasehat, wejangan, peraturan, perintah dan semacamnya yang diwariskan secara
turun-temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang bagaimana manusia
harus hidup secara baik agar benar-benar menjadi manusia yang baik. Pengertian
lain tentang moral berasal dari Daroeso (1986:23) yang mengemukakan bahwa moral
adalah ajaran tentang tingkah laku yang baik berdasarkan pandangan hidup atau
agama tertentu.
Dalam kamus Besar
Bahasa Indonesia (1990:665) moral berarti: (1) ajaran tentang baik buruk yang
diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti dan
susila, (2) kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat,
bergairah, berdisiplin, isi hati atau keadaan perasaan bagaimana terungkap
dalam perbuatan, dan (3) ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu
cerita.
Moral sangat memegang
peranan penting dalam kehidupan manusia yang berhubungan dengan baik dan buruk
terhadap tingkah laku manusia. Daroeso (1989:23) mengatakan bahwa tingkah laku
mendasarkan diri pada norma yang berlaku dalam masyarakat. Seseorang dikatakan
bermoral bilamana orang tersebut bertingkah laku sesuai dengan norma-norma yang
terdapat dalam masyarakat baik berupa norma agama, hukum, dan sebagainya.
Berdasarkan semua paparan di atas
dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya moral merupakan kualitas perbuatan
manusia didasarkan pada nilai-nilai luhur yang mengatur tingkah laku manusia
dalam masyarakat untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik dan benar yang
timbul dari hati nurani tanpa paksaan dan disertai tanggung jawab. Manusia
mempunyai hak dan kewajiban masing-masing agar tidak melanggar prinsip
kesusilaan maka moral digunakan sebagai penilaian terhadap tingkah laku
seseorang.
Konsep Nilai Moral
Nilai moral adalah nilai-nilai yang
mengacu pada baik buruknya tindakan manusia sebagai manusia. Hal ini dapat
dilihat dari seluruh aspek kehidupan manusia secara kongkret, yang
teraktualisasi melalui tutur kata dan perbuatan yang dilakukan secara sadar atau
mengerti terlebih dahulu tanpa paksaan atau tekanan dari orang lain.
Nilai moral tidak merupakan suatu
kategori nilai tersendiri disamping kategori-kategori nilai yang lain. Nilai
moral tidak terpisah dari nilai-nilai jenis lainnya, misalnya nilai ekonomis,
dan lain-lain (Berteens, 2002:142). Setiap nilai memperoleh bobot moral bila
diikutsertakan dalam tingkah laku moral kejujuran, misalnya merupakan suatu
nilai moral, tetapi kejujuran itu sendiri “kosong” bila tidak diterapkan pada
nilai lain, misalnya nilai ekonomis. Nilai-nilai itu mendahului tahap moral,
tetapi bisa mendapat bobot moral karena diikutsertakan dengan tingkah laku
moral.
Lebih lanjut Berteen (2002:143)
mengemukakan bahwa walaupun nilai moral biasanya menumpang pada nilai-nilai
lain, namun ia tampak sebagai suatu nilai baru bahkan nilai yang paling tinggi.
Hal ini didasarkan pada ciri-ciri nilai moral seperti berikut ini:
a.
berkaitan dengan tanggung
jawab
Nilai
moral berkaitan dengan pribadi manusia, tetapi hal yang sama dapat dikatakan juga
tentang nilai-nilai lain. Yang khusus menandai nilai moral adalah bahwa nilai
ini berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggungjawab. Nilai-nilai moral
mengakibatkan seseorang bersalah atau tidak bersalah karena ia bertanggung
jawab.
b.
berkaitan dengan hati nurani
Semua
nilai minta untuk diakui dan diwujudkan. Nilai selalu mengandung semacam
undangan atau imbauan. Nilai estetis, misalnya seolah-olah minta supaya
diwujudkan dalam bentuk lukisan, komposisi musik atau yang lain. Kalau jadi,
lukisan ‘minta’ untuk dipamerkan dan musik ‘minta’ untuk didengarkan. Pada
nilai-nilai moral merupakan ‘imbauan’ dari hati nurani. Salah satu ciri khas
nilai moral adalah bahwa hanya nilai ini menimbulkan ‘suara’ dari hati nurani
yang menuduh kita bila meremehkan atau menentang nilai-nilai moral dan memuji
kita bila mewujudkan nilai-nilai moral.
c.
Mewajibkan
Nilai-nilai
mewajibkan kita secara absolute dan tidak bisa ditawar-tawar. Nilai-nilai lain
sepatutnya diwujudkan atau seyogyanya diakui. Orang berpendidikan akan mengakui
serta mengakui serta menikmati nilai estetis yang terwujud dalam sebuah lukisan
yang bermutu tinggi, tetapi orang yang acuh tak acuh terhadap lukisan itu tidak
bisa dipersalahkan. Nilai estetis tidak dengan mutlak harus diterima. Lain
halnya dengan nilai moral, nilai moral harus diakui dan harus direalisasikan.
Tidak bisa diterima jika orang acuh tak acuh terhadap nilai-nilai ini.
Jadi dapat dikatakan
bahwa kewajiban yang melekat pada nilai-nilai moral berasal dari kenyataan,
bahwa nilai-nilai ini menyangkut pribadi manusia sebagai keseluruhan sebagai
totalitas. Karena kewajiban moral tidak datang dari luar, tidak ditentukan oleh
instansi lain tapi berakar dalam diri manusia sendiri.
Jenis dan Wujud Nilai
Moral
Dalam karya sastra biasanya
mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang
nilai-nilai kebenaran dan itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca.
Moral dalam cerita merupakan saran yang berhubungan dengan ajaran moral
tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil dan ditafsirkan lewat cerita
yang bersangkutan oleh pembaca. Ia merupakan petunjuk yang ingin diberikan oleh
pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan,
seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun. Ia bersifat praktis sebab
petunjuk itu dapat ditampilkan atau ditemukan modelnya dalam kehidupan nyata
sebagaimana model yang ditampilkan dalam cerita lewat tokoh-tokohnya.
Melalui cerita,
sikap, dan tingkah laku tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah
dari ajaran-ajaran moral yang disampaikan. Nilai moral dalam karya sastra dapat
dipandang sebagai amanat, pesan atau message. Bahkan unsur amanat itu
sebenarnya merupakan gagasan yang mendasari karya itu. Hal itu didasarkan pada
pertimbangan bahwa nilai moral yang disampaikan lewat cerita tentulah berbeda
efeknya dibandingkan dengan yang lewat tulisan non fiksi. Pada dasarnya setiap
karya sastra, baik sastra tradisional atau sastra daerah maupun sastra modern
mengandung dan menawarkan nilai moral. Misalnya dalam sebuah novel yang relatif
panjang sering terdapat lebih dari satu nilai moral. Hal itu belum lagi
berdasarkan pertimbangan atau penafsiran dari pihak pembaca yang juga dapat
berbeda-beda baik dari segi jumlah maupun jenisnya. Jenis nilai moral yang terdapat
dalam karya sastra akan bergantung pada keyakinan, keinginan, dan interes
pengarang yang bersangkutan.
Jenis ajaran moral
pada prinsipnya mencakup seluruh persoalan hidup dan seluruh persoalan yang
menyangkut harkat dan martabat manusia. Menurut (Nurgiyantoro, 1995:324)
nilai-nilai moral dalam karya sastra tersebut pada prinsipnya meliputi nilai
moral dalam hubungan manusia dengan diri sendiri, nilai moral kehidupan manusia
dalam hubungannya dengan Tuhan dan kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam.
Oleh karena itu, manusia memerlukan ukuran yang berhubungan dengan nilai moral
seperti: (1) nilai moral berhubungan dengan Tuhan, (2) nilai moral berhubungan
dengan kepribadian, dan (3) nilai moral berhubungan dengan sosial.
Wujud Nilai Moral
dalam Kehidupan Manusia dengan Religi
Manusia selain
sebagai makhluk individu, sosial, juga sebagai makhluk yang meyakini adanya
Tuhan. Dengan sadar atau tidak sadar tiap manusia mengakui bahwa dia adalah
salah satu mahkluk ciptaan Tuhan yang hidup di dunia ini. Sebagai makhluk hasil
ciptaan Tuhan, maka di dalam dirinya telah dianugerahi sesuatu oleh
penciptanya. Apapun yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia adalah berupa
pribadi manusia itu sendiri yang dilengkapi dengan potensi-potensi essensinya
sebagai manusia antara lain: pikiran, perasaan, kemauan, anggota badan dan
sebagainya.
Agama bagi manusia
adalah tuntutan dan pedoman hidup. Agama menerangkan kepada kita tentang segala
sesuatu, menjelaskan siapa Tuhan, manusia, dan apa saja fungsi hidup. Agama
pula yang menerangkan kedudukan manusia dihadapan makhluk yang lain. Agama
sebenarnya adalah kebutuhan manusia, dengan begitu kita akan memperoleh
ketenangan dan ketentraman hidup. Atas segala karunia Tuhan yang tidak
ternilai, sudah seyogyanya manusia mensyukurinya. Perwujudan rasa syukur kepada
Tuhan adalah melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Sebenarnya agama
mempunyai hubungan erat dengan moral. Dalam praktek hidup sehari-hari, motivasi
kita yang terpenting dan terkuat bagi perilaku moral adalah agama. Nilai-nilai
moral yang berhubungan dengan Tuhan disebut juga dengan nilai moral ketuhanan.
Nilai moral ketuhanan adalah nilai-nilai moral yang mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan. Percaya kepada Tuhan pada hakikatnya merupakan pengakuan terhadap
adanya Tuhan sebagai pencipta segala mahkluk serta isi dan alam semesta.
Kepercayan kepada
Tuhan diwujudkan dengan pemelukan terhadap salah satu agama yang diyakini.
Setiap agama mengandung suatu ajaran moral yang menjadi pegangan bagi perilaku para penganutnya. Jika kita
membandingkan berbagai agama, ajaran moralnya barangkali sedikit berbeda,
tetapi secara menyeluruh perbedaannya tidak terlalu besar. Dengan adanya Tuhan,
manusia dapat mengendali-kan diri, dapat
memilah-milah perbuatan yang baik dan buruk serta berpegang teguh bahwa kepada
sesuatu itu sudah ada yang mengatur yaitu Tuhan.
Kepercayaan manusia
kepada Tuhan
Percaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1990:669) berarti mengakui bahwa sesuatu yang diakui itu benar atau nyata.
Dengan demikian adanya Tuhan itu
bersifat keyakinan, keberadaan Tuhan tidak sama dengan keberadaan
manusia. Keimanan manusia kepada Tuhan, ditandai oleh adanya getaran pada dada
yang mengakui zat yang transender. Bagi
manusia yang percaya adanya Tuhan, hidup akan jelas arahnya. Hidup dari Tuhan
dan selanjutnya akan kembali kepada Tuhan. Semakin dekat dengan semakin baik
karena manusia selalu membutuhkan Tuhan. Manusia tidak hanya percaya adanya
Tuhan. Dia juga percaya bahwa Tuhanlah penolongnya. Tuhan ada sejak awal hingga
akhir membimbing serta menolong setiap orang yang mempercayakan hidup
kepada-Nya. Pengharapan menemukan maknanya justru pada kehadiran Tuhan yang
senantiasa memperhatikan kebutuhan hidup manusia.
Tuhan lebih tahu apa
yang dibutuhkan manusia daripada manusia itu sendiri. Dengan melihat keberadaan
kehidupan di sekeliling kita, manusia sudah dapat meyakini bahwa sebenarnya itu
ada asal dan penciptanya. Oleh karena itu dipercaya bahwa Tuhan itu ada. Orang
yang percaya pada Tuhan tidak sekedar mengharapkan keselamatan di dunia,
melainkan keselamatan hidup di akhirat. Setiap manusia beragama pasti
mengharapkan kebahagiaan abadi di surga. Penyerahan hidup kepada Tuhan merupakan dasar bagi orang beragama
untuk berharap agar kelak dapat berpartisipasi dalam kehidupan abadi diakhirat.
Eksistensi manusia di dunia bukanlah terjadi dengan sendirinya, melainkan
karena diciptakan oleh Tuhan.
Manusia adalah
mahkluk ciptaan, bukan mahkluk yang mengadakan dirinya sendiri. Karena itu,
makna hakiki hidup manusia pun terletak pada relasinya yang permanen dengan
Tuhan. Dengan kepercayaanlah manusia membangun jembatan penghubung antara
kehidupannya di dunia dengan kehidupan ilahi atau kehidupan abadi. Dengan
percaya akan Tuhan, manusia pun boleh berharap untuk memiliki masa depan yang
damai sejahtera. Oleh karena itu iman
ataupun kepercayaan kepada Tuhan itu haruslah terus-menerus ditingkatkan
kualitasnya. Percaya kepada Tuhan merupakan jalan pemenuhan harapan manusia akan
kebaikan dan kesempurnaan diri.
Kedekatan Hubungan
Manusia dengan Tuhan
Manusia yang beragama
mempunyai naluri untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya sampai pada titik
terdekat. Seorang hamba yang telah sampai pada titik terdekat dengan Tuhannya
akan merasa selalu bersama Tuhan. sebagai mahkluk Tuhan, manusia mempunyai
kemampuan untuk meyakini dan mematuhi ajaran-ajaran agama dalam arti
melaksanakan hal-hal yang baik dan terpuji serta mninggalkan perbuatan yang
dilarang oleh Tuhan. Keimanan dan ketakwaan manusia dapat dimanifestasikan melalui
tingkah laku dan tindakan manusia yang senantiasa ditunjukkan kepada Tuhan
mengharapkan keridhoan-Nya.
Aktualisasi dari
keimanan dan ketakwaan dinyatakan dalam bentuk perilaku yang mencerminkan
nilai-nilai keadilan. Dalam kehidupan, manusia telah diperintahkan oleh Tuhan
untuk mengangkat derajatnya dengan hanya menghamba kepada Tuhan. Segala hidup
serta masa depan, takdirnya sudah ditentukan oleh Tuhan. Apabila kita mengaku
sebagai manusia yang beragama maka ia harus beriman dan bertakwa. Bertakwa berarti
mematuhi ajaran-ajaran agama yang telah ditentukan dan meninggalkan segala
perbuatan yang dilarang. Seseorang yang beriman dan bertakwa juga dapat dilihat
dengan cara menjalani hidupnya. Nilai-nilai moral juga mendasari, menuntun, dan
menjadi tujuan tindakan hidup ketuhanan manusia. Dalam melangsungkan,
mempertahankan dan mengembangkan hidup manusia juga memakai cara-cara yang
benar dan ditujukan pada tujuan-tujuan yang benar pula. Untuk itu, manusia
diharapkan mempunyai hubungan totalitas kepada Tuhan.
Wujud Nilai Moral
yang Berkaitan Dalam Kehidupan Manusia Dengan Diri Sendiri atu individual
Nilai moral individual adalah nilai
moral yang menyangkut hubungan manusia dengan kehidupan diri pribadi atau cara
manusia memperlakukan diri pribadi. Nilai moral tersebut mendasari dan menjadi
panduan hidup manusia yang merupakan arah dan aturan yang perlu dilakukan dalam
kehidupan pribadinya. Nilai kepribadian itu digunakan untuk melangsungkan,
mempertahankan dan mengem-bangkan yang merupakan prinsip pemandu dalam
mengambil kebijaksanaan hidup pribadinya.
Untuk semua hal itu
manusia harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmani, dan rohani dengan cara-cara
yang benar didasari dan dituntun oleh nilai-nilai kebenaran dan ditujukan
kepada tujuan-tujuan yang benar pula, sehingga tidak akan merugikan orang lain.
Nilai moral dalam hubungan manusia dengan diri sendiri pada dasarnya merupakan
nilai kepribadian manusia. Nilai kepribadian yang mendasari dan menjadi panduan
hidup pribadi manusia. Menurut Simongkir (1978:14) nilai kepribadian merupakan
arahan dan aturan yang perlu dilakukan sebagai pribadi manusia. Kepribadian
merupakan sifat jasmaniah dan rohaniah yang terealisasikan dalam bentuk tabiat
dan tingkah laku yang membedakan seseorang
dengan orang lain.
Nilai moral individual diperlukan
oleh setiap manusia. Nilai moral individual akan mendorong manusia untuk
mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup sebagai pribadi melalui pemanfaatan
seluruh potensi, kemampuan, dan keterampilan yang dimilikinya tanpa merugikan orang
lain. Perlunya nilai moral individual itu bagi manusia didasarkan pada
kenyataan bahwa dalam melangsungkan hidup, manusia memerlukan hal yang bersifat
jasmaniah dan rohaniah dengan cara dan tujuan yang benar.
Keberanian Hidup
Mangunsangkoro (1956:42) mengemukakan
bahwa keberanian hidup adalah suatu semangat hidup yang membuat orang sanggup
menanggung resiko untung rugi, hidup mati tetapi dengan pemikiran yang tenang
dan dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan menurut Salam (1997:34) keberanian
hidup adalah berani berbuat, berani bertanggung jawab. Berani dalam arti,
pengambilan keputusan tersebut sesuai dengan norma dan nilai kebenaran yang
berlaku dalam masyarakat.
Berani disini
didorong oleh rasa keikhlasan tidak bersikap ragu dan takut terhadap segala
macam rintangan. Kesanggupan menanggung resiko juga berarti kesanggupan
mewujudkan keinginan hidup walau harus melewati rintangan. Kesanggupan tersebut
direalisasikan dengan kerja keras dan pantang menyerah. Dengan demikian
keberanian hidup bukan hanya berani membela kebenaran tetapi juga mengambil
keputusan tanpa ragu-ragu sehingga tidak menghambat kelangsung-an tindakan yang
sedang dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Salam (2000:188) mengatakan hikmah
dari keberanian hidup antara lain: (1) keberanian mendorong manusia untuk
mencapai kemajuan, sebagaimana telah dibuktikan oleh orang-orang yang berjasa
bagi bangsa, agama, dan kemanusiaan, (2) keberanian menimbulkan ketentraman,
(3) keberanian menghilangkan kesulitan dan kepahitan, perasaan sulit sebenarnya
berakar pada rasa takut (cemas), jika keberanian timbul maka hilanglah rasa
kesulitan dan (4) keberanian membuahkan berbagai kreasi yang produktif atau
daya cipta yang berguna.
Dalam kehidupan
bermasyarakat, keberanian hidup berarti aktifitas manusia yang bertujuan untuk
mempertahankan hidup dari ancaman bahaya yang datang dari mahkluk lain maupun
ancaman dari luar. Selain itu, keberanian hidup merupakan aktivitas manusia
yang bertujuan untuk mengolah dan mengembangkan kehidupan agar tujuan yang
ingin di capai dapat terwujud.
Hidup Realistis
Menurut Sukatman (1992:37) hidup
realistis adalah suatu kondisi yang ada pada manusia berupa kesanggupan untuk
menerima kenyataan hidup yang telah dan sedang dialami oleh manusia. Sikap
realistis pada orang Jawa dikenal dengan istilah Nrimo (mau menerima pada apa
yang didapat) yang berarti dalam keadaan kecewa dan kesulitan sekalipun masih
bereaksi dengan rasional.
Bentuk penghargaan
itu berupa kesanggupan untuk menerima dan menjalani hidup tanpa adanya suatu
penyesalan dan pertentangan terhadap ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan
oleh Tuhan. Sikap realistis ini bukanlah sikap yang negatif atau pasif menunggu
dan menerima kenyataan hidup begitu saja tanpa suatu usaha tetapi sikap
realistis lebih bersifat menstabilkan keadaan jiwa dalam keadaan kecewa dan
kesulitan hidup. Kerealistisan hidup juga berarti menerima apa yang diberikan
Tuhan tanpa menginginkan milik orang lain.
Bertanggung Jawab
Berkaitan dengan
tanggung jawab, Salam (1997:39) berpendapat bahwa tanggung jawab berarti
menghendaki supaya setiap pribadi memiliki keberanian dan keikhlasan dalam
melaksanakan kewajibannya. Berani tidak saja pada saat-saat yang menguntungkan
tetapi juga pada saat kritis dan krisis, tanggung jawab juga mengan-dung arti
adanya pengorbanan. Jadi tanggung jawab itu menuntut supaya setiap orang dapat
menunaikan tugas kewajiban yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya
sebagai pencerminan dari jiwa yang berpribadi.
Kejujuran sebagai
kualitas dasar kepribadian moral dalam kesediaan untuk bertanggung jawab. Hal
ini berarti, pertama, kesediaan untuk melakukan apa yang harus dilakukan dengan
sebaik mungkin. Bertanggung jawab berarti suatu sikap patuh terhadap tugas yang
membebani kita dan tidak merasa terikat untuk menyelesaikannya. Kedua, sikap
bertanggung jawab mengatasi segala etika peraturan. Etika peraturan hanya
mempertanyakan apakah sesuatu boleh atau tidak. Jadi pada dasarnya manusia
hidup pasti memikul tanggung jawab. Ketiga, dengan wawasan orang yang untuk
bertanggung jawab secara prinsipil tidak terbatas. Ia tidak membatasi
perhatiannya pada apa yang menjadi urusan dan kewajibannya, melainkan merasa
bertanggung jawab dimana saja diperlukan. Ia bersedia untuk mengerahkan tenaga
dan kemampuan dimana Ia ditantang untuk menyelamatkan sesuatu. Ia bersikap
positif, kreatif, kritis dan objektif. Keempat, kesediaan untuk bertanggung
jawab termasuk kesediaan untuk diminta dan untuk memberikan pertanggungjawaban
atas tindakan tindakannya. Kalau orang tersebut lalai atau melakukan kesalahan,
orang tersebut bersedia untuk dipersalahkan (Suseno, 1987:145-146).
Pada dasarnya
tanggung jawab hendaknya dicari pada hal yang lain, bukan pada wewenang, juga
bukan pada adanya norma-norma umum yang harus dipatuhi. Dasar tanggung jawab
harus dicari pada hakikat keberadaan manusia sebagai mahkluk yang mau menjadi
baik dan memperoleh kebahagiaan. Menghendaki dan melakukan kebaikan adalah
sikap dasar hidup manusia. Sikap inilah yang mendorong manusia keluar dari
ruang lingkup dirinya sendiri untuk membangun kerja sama dengan sesama demi
kebaikan bersama. Dengan demikian manusia dapat mengatasi keterbatasan segi
jasmaniahnya dan berkembang ke arah manusia seutuhnya.
Untuk itulah setiap
manusia harus bertanggung jawab. Tanggung jawab terhadap masyarakat merupakan
wujud atau aktualisasi manusia sebagai mahkluk sosial, dan merupakan perluasan
wujud tanggung jawab kita terhadap sesama. Tanggung jawab itu dapat dipelajari.
Setiap orang dapat memupuk dan melatih tanggung jawab yang terdapat dalam dirinya
sehingga menjadi terbiasa, orang yang bertanggung jawab berarti tahu akan apa
yang telah diperbuatnya. Setiap manusia harus dapat mempertanggungjawabkan
segala perbuatan yang telah diperbuatnya. Kualitas manusia dapat diukur melalui
kesadarannya untuk bertanggung jawab. Segala perbuatan yang dilakukan manusia
akan memerlukan pertanggungjawabannya dimanapun Ia berada.
Teguh Pendirian
Teguh pendirian
adalah suatu sikap yang ajeg dan tidak berganti-ganti dalam memberikan
pernyataan atau putusan jika hal yang dinyatakan atau diputuskan itu benar.
Kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran yang bisa diterima oleh orang lain dan
bukan benar menurut diri sendiri.
Teguh pendirian ini
merupakan lawan dari sikap yang tidak tegas. Sikap ini berbeda dengan istilah
“keras kepala” keteguhan pendirian didasarkan pada akal sehat, pertimbangan dan
pemikiran yang matang menurut hati nurani yang tetap penuh rasa tanggung jawab,
tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga kepentingan umum. Dengan demikian
ketetapan hati dapat dikatakan merupakan nyawa atau roh yang memberikan isi
kepada sikap keteguhan pendirian.
Wujud Nilai Moral
yang Berkaitan dalam Kehidupan Manusia dengan Lingkup Sosial
Sebagai makhluk sosial manusia tidak
akan lepas dari interaksinya dengan manusia lain. Manusia pasti melakukan
hubungan dengan manusia lain dalam kehidupan sehari-hari baik dalam lingkungan
keluarga, masyarakat, maupun bernegara. Dalam melakukan hubungan itu, manusia
perlu memahami norma-norma yang berlaku agar hubungannya dapat berjalan dengan
lancar atau tidak terjadi kesalahpahaman. Manusia harus mampu membedakan antara
perbuatan yang baik dan yang buruk dalam melakukan hubungan dengan manusia
lain. Hal inilah yang disebut dengan nilai moral. Wujud pesan moral yang
mendasari, menuntun dan menjadi tujuan tindakan atau tingkah laku dalam
kehidupan sosial manusia dalam melangsungkan hidup sosialnya. manusia harus
mampu memenuhi kebutuhan sosialnya dengan jalan yang benar dan ditujukan pada
tujuan yang benar pula.
Magnis-Suseno, (2001:34) berbuat
hormat kepada orang lain merupakan suatu dasar dalam hidup sosial, baik antar
kelompok maupun intra kelompok. Sikap hormat kepada orang lain merupakan suatu
kaidah untuk dapat hidup bersama dalam masyarakat. Selain sebagai mahkluk
pribadi, manusia juga merupakan mahkluk sosial yang selalu berinteraksi dengan
lingkungannya. Manusia dilahirkan ke dunia dalam kondisi lemah tak berdaya.
Manusia tidak bisa hidup sendirian tanpa bantuan orang lain.
Dengan kenyataan ini,
berkehidupan sosial justru menyempurnakan pribadi-nya secara individual. Dalam
hubungannya dengan dengan mahkluk sosial lain sebaiknya tidak membedakan antara
ras, suku bangsa, keturunan, maupun agama. Justru dengan adanya perbedaan itu
mendorong manusia untuk lebih mengenal satu sama lain, sehingga terwujud
kehidupan duniawi dan kerja sama menuju suatu pertumbuhan manusia dalam
mewujudkan persamaan. Maka dari itu diperlukan nilai-nilai moral yang dipegang
oleh manusia untuk hidup bermasyarakat.
Adil Terhadap Manusia
Lain
Keadilan adalah memberikan
sesuatu kepada orang lain yang telah menjadi haknya tanpa terkecuali (Mustopo,
1989:158). Adil pada hakekatnya memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi
haknya dan menganggap bahwa semua orang sama nilainya sebagai manusia, maka
tuntunan keadilan ialah pelakuan yang sama terhadap semua orang sesuai dengan
situasi dan kondisi. Dari segi filasafat, penerapan keadilan dapat dibagi atas
4 golongan:
a.
Adil pada diri sendiri
berarti memperhatikan kebutuhan sendiri tetapi tidak membiarkan diri berbuat tidak
adil sampai merugikan diri sendiri dan orang lain.
b.
Adil pada sesama manusia,
islam mengajarkan bahwa pada harta si kaya terdapat hak si miskin. Hal ini
merupakan tuntunan dan bagi mereka yang “dipinjami” oleh Tuhan berupa kekayaan
dan harta supaya jangan lupa untuk mengeluarkan zakat. Ajaran ini menyuruh kita
berbelas kasih pada sesama manusia.
c.
Adil pada mahkluk lain yang
bernyawa, adil pada binatang peliharaan misalnya menyediakan makanan dan minum.
Terhadap tumbuh-tumbuhan sebaiknya jangan dirusak karena dengan memeliharanya
dan tidak dirusak berarti kita sudah berbuat adil.
d.
Adil pada alam berarti kita
bersikap sabar dan bijaksana terhadap diri sendiri, jadi berbuat baik terhadap
alam merupakan sikap yang adil yaitu
dengan cara me-manfaatkan sikap isi dan taat mengikuti apa yang telah
diperintahkannya (Salam, 1997:119:121).
Keadilan merupakan
tindakan yang berusaha menjaga keselarasan dan kehormatan demi terciptanya
integritas masyarakat yang didasarkan pada akal sehat dan pengendalian diri
untuk meletakkan sesuatu masalah pada proporsinya (Suseno dalam faricha,
2004:41). Adil pada hakikatnya kita memberikan kepada siapa saja apa yang
menjadi haknya. Jadi prinsip keadilan mengungkapkan kewajiban untuk memberikan
perlakuan yang sama terhadap semua orang yang berada dalam situasi yang sama
dan untuk menghormati hak semua pihak yang bersangkutan. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa suatu tindakan adil adalah tindakan yang layak, tidak berat
sebelah dan tidak merugikan pihak-pihak tertentu..
Gotong Royong
Kegotongroyongan
berasal dari kata gotong royong yang berarti bekerja bersama-sama, tolong
menolong, bantu membantu. Sedangkan bergotong royong artinya secara
bersama-sama mengerjakan sesuatu atau cara menyelesaikan suatu karya atau tugas
hidup tertentu secara bersama-sama. Gotong royong merupakan sebuah ciri khas
bahwa manusia dalam hidupnya tidak senang memisahkan dirinya dengan lingkungan
dan golongannya. Salah satu wujud kebersamaan itu adalah gotong royong. Oleh
karena itu dalam bermasyarakat, kita harus mengembangkan sikap gotong royong
demi terwujudnya kesejahteraan bersama dalam kehidupan sehari-hari.
Agar sifat gotong
royong itu terus tertanam sebagai kebiasaan masyarakat, maka kita perlu
menyadari bahwa pada hakikatnya di antara sesama manusia masih saling
memerlukan, saling ketergantungan, sehinggga kenyataan ini menuntut serta untuk
mau dan mampu kerjasama searah yang lebih baik dan harmonis. Selain itu harus
dihindari kebiasaan terlalu mementingkan kepentingan sendiri karena dengan
mementingkan diri sendiri akan merusak sifat gotong royong yang sudah lama
tertanam sebagai sifat dalam hidup
bermasyarakat. Suatu pandangan bahwa penderi-taan orang lain merupakan bagian
dari penderitaan kita serta kebahagiaan orang lain juga adalah kebahagiaan kita,
dengan adanya pandangan ini maka secara sendirinya sifat gotong royong dapat
tertananam dalam diri manusia.
Kerja sama yang baik
akan saling meringankan beban hidup di antara sesama manusia. Oleh karena itu,
pada hakikatnya kekuatan manusia tidak terletak pada kemampuan fisiknya atau
kemampuan jiwanya semata. Kekuatan manusia terletak pada kemampuannya untuk
bekerja sama dengan manusia lainnya. Hal demikian dapat dilihat kecendrungan
manusia pada kemajuan untuk bekerja sama secara bergotong royong terutama dalam
menyelesaikan masalah yang besar.
Musyawarah
Musyawarah adalah
cara pengambilan keputusan yang mendengarkan semua suara dan semua opini.
Semuanya dianggap sama benar dan berguna bagi keputusan yang sedang diusahakan.
Musyawarah merupakan suatu ciri atau tata cara masyarakat untuk menetapkan
suatu keputusan, artinya sebelum suatu keputusan disepakati dan
ditetapkan, pokok masalahnya harus
dimusyawarahkan. Sebagai mahkluk sosial ma-nusia tidak lepas dari lingkungannya,
baik lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Di dalam kehidupan
sehari-hari manusia tidak lepas dari berbagai masalah, dari yang sangat kecil
hingga besar. Semua masalah dengan mudah akan dapat terselesaikan apabila
pemecahannya sangat cepat.
Apabila suatu masalah
yang diselesaikan mengalami jalan buntu, maka penyelesaian dapat ditempuh
dengan jalan suara terbanyak, tetapi sangat diharapkan sebelum mengambil jalan
alternatif, sebaiknya keputusan harus diselesaikan dengan musyawarah, sebab
musyawarah merupakan cara penyelesaian
yang terbaik. Aspirasi masyarakat akan ditampung dan dapat dipastikan bahwa
hasil yang akan dicapai secara mufakat sehingga dapat memenuhi kepentingan
orang banyak. Musyawarah sebenarnya merupakan salah satu jalan untuk mengambil
keputusan secara bersama-sama atau saling menghargai dan menghormati sehingga
setiap pendapat dapat dikemukakan dan merupakan asas demokrasi yang telah
diterapkan di Indonesia.
Jadi dalam masyarakat
tidak boleh saling menyalahkan dan sakit hati atas hasil keputusan. Musyawarah mengandung
resiko yaitu penekanan terhadap ambisi-ambisi individual. Dalam musyawarah
sangat diharapkan kerelaan dan pengorbanan, kepentingan-kepentingan pribadi
atau golongan harus dikesampingkan semua harus mengabdi untuk kepentingan
bersama demi terwujudnya musyawarah. Semangat kekeluargaan, kerukunan, saling
menghargai dan keterbukaan pikiran-pikiran yang jernih adalah unsur untuk
menyelesaikan masalah, sehingga suatu masalah akan mudah terselesaikan dan
tidak mengalami jalan buntu.
Tinjauan Hubungan
Nilai Moral dalam Karya Sastra
Adanya nilai moral
dalam karya sastra sebagai pesan, menunjukkan bahwa karya sastra bernilai
tinggi. Hal itu karena karya sastra diciptakan pengarang tidak semata-mata
mengandalkan bakat dan kemampuan berkreasi, tetapi pengarang melahirkan karya
sastra memiliki visi, inspirasi, itikad baik dan juga perjuangan sehingga karya
sastra yang dihasilkan bernilai tinggi. Karya sastra senantiasa menawarkan
pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan
hak dan martabat manusia (Nurgiyantoro, 1995:322). Sifat-sifat luhur
kemanusiaan tersebut pada hakikatnya bersifat universal. Artinya, sifat-sifat
itu dimiliki dan gaya kini kebenarannya oleh manusia. Moral dalam karya sastra
atau hikmah yang diperoleh pembaca lewat sastra selalu dalam pengertian baik.
Dengan demikian, jika dalam sebuah karya sastra ditampilkan sikap dan tingkah
laku tokoh-tokoh yang yang kurang terpuji, baik sebagai tokoh antagonis maupun
protagonis tidak berarti pengarang menyarankan untuk bertindak kurang terpuji
seperti itu.
Sebagai salah satu
genre sastra, karya fiksi mengandung unsur-unsur meliputi: (1) pengarang atau
narrator, (2) isi penciptaan, (3) media penyampai isi berupa bahasa, dan (4)
elemen-elemen fiksional atau unsur-unsur instrinsik yang membangun karya sastra
itu sendiri sehingga menjadi suatu wacana. Dalam karya sastra termuat pesan
kehidupan yang ingin disampaikan pengarang untuk pembaca. Pesan-pesan ini
biasanya memberi contoh yang baik dan buruk dalam perbuatan. perbuatan ini
dapat dikategorikan dalam nilai moral.
Pengarang menonjolkan nilai moral yang berguna bagi manusia.
Kenny (dalam Nurgiyantoro, 1995:322)
mengatakan moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada
pembaca dan makna terkandung dalam sebuah karya sastra. Moral merupakan unsur
isi bila ditinjau dari segi bentuk isi karya sastra. Moral kadang-kadang
diidentikkan pengertiannya dengan tema meskipun tidak selalu mengarah pada
maksud yang sama. Tema bersifat lebih kompleks dari pada moral disamping tidak
memiliki nilai langsung sebagai saran yang ditujukan kepada para pembaca. Moral
dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam bentuk yang sederhana,
namun tidak semua tema merupakan moral. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan
pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangan tentang nilai-nilai kebenaran dan hal itulah
yang ingin disampaikan oleh pembaca.
Wellek dan Warren (1993:109)
mengatakan bahwa sastra mempunyai fungsi sosial atau manfaat yang tidak sepenuhnya
bersifat pribadi. Studi sastra merupakan masalah sosial yang berisi masalah
tradisi, konvensi, norma, jenis sastra, simbol dan mitos. Sementara Darma
(dalam Nurgiyantoro, 1995:105) menyatakan bahwa sastra identik dengan moral.
Dikatakan identik karena sastra juga mempelajari masalah manusia yang selalu
mengajak pembaca untuk menjujung tinggi norma-norma moral. Sifat-sifat sastra
yang menuntut orang untuk melihat kenyataan, kalau perlu yang tidak sejalan
dengan kepentingan moral, dan bukannya melihat apa yang seharusnya terjadi.
Sementara itu, sastra masih harus melaksanakan tugasnya untuk membentuk jiwa
humanitat (tekad manusia untuk menciptakan nilai-nilai yang baik) jauh dari
segala sesuatu yang tidak sejalan dengan kepentingan moral. Manusia mempunyai
instink untuk memperbaiki dirinya untuk mencapai sifat-sifat luhur kemanusiaan.
Sastra sebagai suatu wacana bukan hanya menyenangkan untuk dibaca, tetapi ada
hubungannya dengan keperluan sehari-hari. Karya sastra dapat memberikan
pengalaman batin, pengetahuan, wawasan hidup, dan sikap moral. Tugas utama
sastra adalah sebagai alat penting untuk menggerakkan pembaca pada kenyataan
dan menolongnya mengambil keputusan bila ia menghadapi masalah. Oleh karena
itu, dapatlah dikatakan bahwa karya sastra mengandung arti yang memberikan
manfaat bagi kehidupan manusia.
Daftar Pustaka
Bertens, K. 2005. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Daroeso,
Bambang.1989. Dasar dan Konsep Pendidikan
Moral Pancasila. Semarang: Aneka Ilmu.
Simongkir,O.P.
1978. Etika Jabatan. Jakarta: Angkasa
Persada Press
Mangunwijaya, YB. 1988. Sastra dan Religiusitas. Yogyakarta: Kanisius
Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Salam, B.
1997. Etika Sosial: Asas Moral dalam Kehidupan
Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
. 2000. Etika Individual: Pola Dasar Filsafat Moral.
Jakarta: Rineka Cipta.
Sukada, Made. 1987. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa
Sukatman.
1992. Nilai-nilai cultural Edukatif dan
Peribahasa Telah didokumen-tasikan. Tesis tidak diterbitkan. Program Pasca
Sarjana: IKIP Malang
Suseno,
Frans Magnis. 1987. Etika Dasar
Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral.
Yogyakarta: Kanisius
Mustopo, M.
Habib. 1983. Ilmu Budaya Dasar: Kumpulan Essay
Manusia dan Budaya. Surabaya: Usaha Nasional
Nurgiyantoro, Burhanudin. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM
No comments:
Post a Comment