Diksi
Diksi berarti pemilihan kata yang tepat, padat, dan kaya akan nuansa
makna dan suasana sehingga mampu mengembangkan dan mempengaruhi daya imajinasi
pembaca( Tjahjono, 1988:59). Kata-kata dalam puisi harus singkat, padat,
mantap, berat dan sarat akan makna. Diksi atau pilihan kata mempunyai peranan
penting dan utama untuk mencapai keefektifan dalam penulisan suatu karya
sastra. Jabrohim (2001:35) berpendapat bahwa untuk mencapai diksi yang baik
seorang penulis harus memahami secara lebih baik masalah kata dan maknanya,
harus tahu memperluas dan mengaktifkan kosa kata, harus mampu memilih kata yang
tepat, kata yang sesuai dengan situasi yang dihadapi, dan harus mengenali
dengan baik macam corak gaya bahasa sesuai dengan tujuan penulisan.
Perhatikan kutipan puisi “Karangan Bunga” berikut
ini !
Tiga anak
kecil
Dalam langkah
malu-malu
Datang ke
Salemba
Sore itu
…
Kata-kata pada puisi di atas adalah kata-kata terpilih dan mampu
mengungkapkan banyak makna. Kata tiga dalam
puisi di atas adalah pilihan kata yang sengaja dipilih untuk melambangkan
sesuatu, demikian juga dengan frase anak
kecil. Kata Salemba yang ditulis dengan huruf besar
juga memiliki makna khas, melambangkan suatu yang khas, yang harus dipahami
oleh pembaca. Salemba yang ditulis dengan huruf besar
jelas bukan kata biasa, ia pasti merujuk pada sesuatu, misalnya nama tempat.
Demikian juga denga kata sore itu, mengapa bukan pagi atau malam. pembaca harus memiliki pemahaman tentang kode budaya untuk
bias menafsirkan kata-kata terpilih yang digunakan oleh penyair.
Pencitraan
Pengimajian (citraan) merupakan suatu gambaran
mental atau suatu usaha yang dapat dilihat di dalam pikiran atau kesan yang
terbentuk dalam ruang imajinasi melalui sebuah kata atau rangkaian kata (Tjahjono,
2011:96). Penyair menggunakan kemampuan melihat, mendengar, dan merasakan
secara fantasi (imagi), yakni benda-benda, bunyi-bunyi dan perasaan-perasaan
yang diumgkapkan oleh penyair. Sehingga pembaca seperti merasa, mengalami,
melihat sendiri dalam angannya apa yang dilukiskan oleh penyairnya.
Tjahjono (2011:96) memaparkan bahwa jika dipandang
dari jenisnya, terdapat beberapa citraan dalam puisi sesuai dengan jenis indera
atau perasaan yang ingin digugah oleh penyair. Jika berhubungan dengan indera penglihatan disebut citra visual
(visual imagery). Sedangkan yang berhubungan dengan indera pendengaran citra
auditif (auditory imagery). Yang membuat sesuatu tampak bergerak disebut citra
kinestik (tactile imagery). Yang berhubungan dengan indera penciuman disebut
citra penciuman (smell imagery), dan yang berhubungan dengan indera pencecapan
disebut citra pencecapan.
Perhatikan puisi berikut.
CATATAN PAGI
Air kecoklatan
mengalir ke gubug-gubug karton
Memercikkan
air mata ke jendela tanpa daun
Anak kecil
bermata kabut memandang langit kelabu
Bangkai kucing
mengapung menyerbu jantung
Melalap getir
limau
(Tengsoe Tjahjono)
Puisi di atas memakai beberapa citraan. Kata mengalir, memercikkan, dan menyerbu membangun
bayangan gerak dalam ruang imajinasi pembaca, sehingga tergolong citraan
kinestik. Kata mengalir memberikan
kesan gerak air dari tempat tinggi ke rendah, dari hulu ke hilir. Kata memercikkan memberikan gambaran gerak
butiran air ke atas. Sedangkan kata menyerbu
memberikan gambaran sekelompok sesuatu melakukan gerakan bersama-sama
menyerang hal lain.
Kata atau frase air kecoklatan, gubug-gubug karton, air
mata, jendela tanpa daun, anak kecil bermata kabut, langit kelabu, bangkai
kucing, jantung, dan limau diserap
melalui indera penglihatan, termasuk citra visual. Pada frase air kecoklatan pembaca diajak untuk
membayangkan air berwarna coklat yang keruh. Sedangkan pada frase daun jendela tanpa daun akan muncul kesan
visual mengenai jendela yang terbuka lebar tanpa adanya daun jendela.
Frase
bangkai kucing disamping memiliki citra visual, juga memiliki
citra penciuman. Kata bangkai membuat
pembaca seolah-olah membau suatu aroma busuk melalui hidungnya. Kata memercikkan di samping mengandung citra
kinestik juga mengandung citra auditif. Kata memercikkan berasosiasi dengan suara yang ditimbulkan oleh
butir-butir air ketika bersentuhan dengan benda lain tertentu. Sedangkan frase getir limau memberikan sugesti rasa
tertentu, memiliki citraan pencecapan. Pembaca seolah-olah merasakan rasa getir
pada lidahnya.
Kata Konkret
Kata konkret adalah kata-kata yang digunakan oleh penyair
untuk menggambarkan suatu lukisan keadaan atau suasana batin dengan maksud
untuk membangkitkan imaji pembaca (Jabrohim, 2001:41). Kata yang diperkonkret
pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang dilukiskan
oleh penyair. Sebagai contoh yang dikemukakan Waluyo dalam Jabrohim (2001:41)
tentang bagaimana penyair melukiskan seorang gadis yang benar-benar pengemis
gembel. Penyair mempergunakan kata-kata: gadis
kecil berkaleng kecil. Lukisan tersebut lebih konkret jika dibanding
dengan: gadis peminta-minta.
Bahasa Figuratif
Bahasa figuratif ialah bahasa yang digunakan penyair untuk
mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung
mengungkapkan makna (Waluyo, 1987:83). Sedangkan menurut Situmorang (1983:19)
bahasa figuratif adalah cara yang dipergunakan penyair untuk membagkitkan dan
menciptkan imajinasi atau citraan dengan mempergunakan gaya bahasa, gaya
perbandingan, gaya kiasan, gaya pelambang sehingga makin jelas makna atau
lukisan yang hendak dikemukakannya.
Meurut Tjahjono (2011:42) secara umum majas terdiri dari
majas perbandingan, majas penegasan, majas sindiran, dan majas pertentangan.
Personifikasi, metafora, asosiasi, metonimia, simbolik, tropen, litotes,
eufemisme, hiperbola, sinekdok, alusio, dan periphrasis tergolong majas
perbandingan. Sedangkan pleonasme, repetisi, tautologi, paralelisme, simetri,
klimaks, antiklimaks, inversi, retoris, dan ekslamasio termasuk majas
penegasan. Yang dikategorikan majas sindiran ialah ironi, sinisme, dan
sarkasme. Sedangkan yang tergolong majas pertentangan ialah paradox, kontradiksio
in terminis, dan antithesis. Berikut kutipan puisi yang di dalamnya terdapat
majas personifikasi.
DAN WAKTU ‘KAN SELALU CUMA WAKTU
Ada
kalanya waktu berlaku terburu-buru
Tak
sempat berbicara panjang
Dengan
langkah-langkah panjang
ia
cuma sempat berseru:
“Kini
aku terburu-buru
Ada
sesuatu yang kuburu
dan
belum lagi aku tahu
apa
atau siapa.”
…………...
(Ayatrohaedi)
Verifikasi
Versifikasi
meliputi ritma, rima, dan metrum. Ritma adalah
pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa dengan
teratur (Jabrohim, 2001:53). Rima
adalah pengulangan bunyi di dalam baris atau larik puisi, pada akhir baris
puisi atau bahkan juga keseluruhan baris atau bait puisi (Jabrohim, 2001:53-54).
Metrum
adalah
irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu
(Jabrohim, 2001:54).
Irama (ritma)
sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi,
kata, frasa, dan kalimat. Irama berupa pemotongan baris-baris puisi secara
berulang-ulang setiap empat suku kata pada baris puisi sehingga menimbulkan
gelombang yang teratur. Dalam situasi semacam
ini irama disebut periodisited yang berkorespondensi , yakni pemotongan
frasa-frasa yang berulang (Waluyo, 1987:94). Sedangkan menurut Pradopo
(1997:42) berpendapat bahwa timbulnya irama pada puisi itu karena perulangan
bunyi berturut-turut dan bervariasi, misalnya sajak akhir, asonansi, dan
aliterasi.
Tiap penyair,
aliran, periode, dan angkatan mempunyai perbedaan cara mengulang hal-hal yang
dipandang yang dipandang membentuk ritma. Waluyo (1987:94) dalam puisi lama
jelas sekali pemotongan baris menjadi dua frasa merupakan teknik pembentuk
irama yang padu. Contoh ritma pada puisi lama:
Dari mana/ punai melayang
dari sawah/ turun ke kali
Dari mana/ kasih sayang
dari mata/ turun ke hati.
Ritma yang
terdapat pada puisi-puisi angkatan pujangga baru juga halnya seperti pada puisi
lama. Ritma dengan pemenggalan baris-baris puisi menjadi dua bagian (dua
frasa). Seperti yang terlihat pada contoh puisi berikut:
pagiku hilang/ sudah melayang
hari mudaku/ sudah pergi
kini petang/ sudah pergi
batang usiaku/ sudah pergi
Tjahjono (1988:52-57) menjelaskan bahwa rima atau
pengulangan bunyi dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yakni menurut bunyinya,
menurut letaknya dalam baris puisi, dan menurut letaknya dalam bait puisi.
a. Menurut
bunyinya rima terdiri atas enam rima, yaitu rima sempurna, rima rak sempurna,
asonansi, aliterasi, disonansi, dan rima mutlak.
1)
Rima sempurna, yaitu bila seluruh
suku akhir sama bunyinya, misalnya:
Berduri-kemari
Awan-lawan
2)
Rima tak sempurna, yaitu bila
sebagian suku akhir sama bunyinya, misalnya:
Rindu-gincu
Panjang-senang
3)
Asonansi, yaitu pengulangan bunyi
vocal dalam satu kata, misalnya:
Benam-kelam
Keladi-merapi
4)
Aliterasi, yaitu pengulangan bunyi
konsonan dengan setiap kata secara berurutan, misalnya:
bukan
beta bijak berperi
Runtuh ripuk tamanmu rampak
Mukanya merah menahan marah
5)
Disonansi (rima rangka), yaitu bila
konsonan-konsonan yang membentuk kata itu sama, namun vokalnya berbeda,
misalnya:
Giling-gulung
Jinjing-junjung
6)
Rima mutlak, yaitu bila seluruh
kata-kata itu sama, misalnya:
Laut
biru
Langit
biru
Hati
biru
b. Menurut
letaknya dalam baris puisi, rima dibagi menjadi lima, yaitu rima depan, rima
tengah, rima akhir, rima tegak, dan rima datar.
1)
Rima depan, yaitu bila kata depan
pada permulaan baris sama, misalnya:
Sering saya susah sesaat
Sebab madahan tidak nak datang
Sering saya sulit menekat
Sebab
terkurung lukisan mamang
(Rustam Effendi)
2)
Rima tengah, yaitu bila kata atau
suku kata ditengah baris suatu puisi sama, misalnya:
Kalau
padi kata padi
Jangan
saya tertampi-tampi
Kalau
jadi kata jadi
Jangan
saya menanti-nanti
3)
Rima akhir, yaitu bila pengulangan
kata terletak pada akhir baris, misalnya:
KUCARI JAWAB
Di
mata air, di dasar kolam
Kucari
jawab teka-teki alam
Di
kawan awan kian kemari
Di
siru juga jawabnya kucari
Di
warna bunga yang kembang
Kucari
jawab, penghilang bimbang
……………..
(J.E Tatengkeng)
4)
Rima tegak, yaitu bila kata pada
akhir baris sama dengan kata pada permulaan baris berikutnya, misalnya:
Uri
manis tembuni manis
Manis sampai ke muka saying
5) Rima
datar, yaitu bila pengulangan bunyi itu terdapat pada satu baris, misalnya:
Air mengalir menghilir sungai
Mega berlaga dalam tangga senja
c. Menurut
letaknya dalam bait puisi, rima dibagi menjadi lima, yaitu rima silang, rima
berpeluk, rima terus atau rima rangkai, rima berpasangan atau rima kembar, dan
rima patah.
1)
Rima silang, yairu bila baris
pertama berirama dengan baris ketiga, dan baris kedua berirama dengan baris
keempat. Rima ini biasa disebut dengan pola rima a-b-a-b, misalnya:
TANAH JAWI
Habis
tanah kami dijual!
Tanah
subur, tanah pustaka!
Kami
ini amat sial,
Habis
kepunyaan belaka!
………………
(Marius Ramis Dayoh)
2)
Rima berpeluk, yaitu bila baris
pertama berirama dengan baris keempat, dan baris kedua berirama dengan baris
ketiga. Rima berpeluk biasa disebur dengan pola rima a-b-b-a, misalnya:
HUJAN BADAI
Bersabung
kilat di ujung langit,
gemuruh
guruh, berjawab-jawaban,
bertangkai
hujan, dicurah awan,
mengabut
kabut, sebagai dibangkit,
………………….
(Rustam Effendi)
3)
Rima terus atau rima rangkai, yaitu
bila baris terakhir puisi itu keseluruhannya memiliki rima yang sama. Rima
rangkai atau biasa dikenal dengan pola rima a-a-a-a, misalnya:
Lagi
suatu, wahai saudara
Menyebabkan
daku malu berbicara.
Kaumku
tidak terpelihara
Lantaran
daku merasa sengsara…
…………………
(DR. Mandank)
4)
Rima berpasangan atau rima kembar,
yaitu bila baris yang berima itu berpasang-pasangan. Pola rima yang dikenal
dengan pola rima a-a-b-b. contoh:
DESAU
PIMPING
Pimping,
kerap kudengarkan bahana desaumu,
Bila
angin lemah berembus kelilingmu,
Puncakmu
terkulai laku merendahkan diri,
Engkau
tunduk bernyanyikan duka yang menyayat hati,
…………
(N.
Adil)
5)
Rima patah, yaitu bila salah satu
baris tidak mengikuti rima baris lainnya dalam satu bait, misalnya:
Sejak
senja hendak bernaung,
Ketika
syamsyiar dara tertuntung
Samapi
gelap bersayap maung
Tidak
berbalas desiran alam
(Rifai Ali)
Tata Wajah
Tipografi merupakan pembeda yang paling awal dapat dilihat
dalam membedakan puisi dengan prosa fiksi dan drama (Jabrohim, 2001:54). Dalam puisi
mutakhir (setelah tahun 1997), banyak ditulis puisi yang mementingkan tata
wajah, bahkan penyair berusaha menciptkan puisi seperti gambar. Puisi sejenis
itu disebut puisi konkret karena tata
wajahnya membentuk gambar yang mewakili maksud tertentu (Waluyo, 2005:13).
Perhatikan
kutipan puisi berikut.
Hamba
Buruh
Aku menimbang-nimbang
mungkin,
Kita berdua menjadi satu;
Gaji dihitung-hitung,
Cukup tidak untuk berdua.
Hati ingin sempurna dengan
engkau,
Sama derita sama gembira;
Kepada pusing menimbang,
Menghitung-hitung uang bagi kita.
Aku ingin hidup damai tua,
Mikir anak istri setia;
Kalbu pecah merasa susah,
Hamba buruh apa dikata.
UNSUR BATIN PUISI
Unsur batin atau biasa disebut dengan hal yang
diungkapkan penyair adalah medium untuk mengungkapkan makna yang hendak
disampaikan penyair. Ada empat unsur batin puisi, yaitu tema, perasaan penyair,
nada atau sikap penyair terhadap pembaca, dan amanat (Waluyo, 2005:17).
Tema
Tema adalah gagasan pokok yang dikemukakan oleh
penyair melalui puisinya (Waluyo, 2005:17). Setiap puisi ditulis dengan maksud
tertentu. Tema mengacu pada penyair. Pembaca sedikit banyak harus mengetahui
latar belakang penyair agar tidak salah menafsirkan tema puisi tersebut. Karena
itu tema bersifat khusus, obyektif, dan lugas.
Tema yang banyak terdapat dalam puisi adalah: (1)
tema ketuhanan (religius), (2) tema kemanusiaan, (3) tema patriotisme, (4) tema
cinta, (5) tema perjuangan, (6) kegagalan hidup, (7) tema alam, (8) tema
keadilan, (9) tema kritik sosial, (10) tema demokrasi, dan (11) tema
kesetiakawanan. Berikut dicontohkan puisi yang bertema kemanusiaan. Puisi
ini bercerita tentang hidup seorang pengemis yang digambarkan bermartabat lebih
tinggi dari Menara Katedral.
Gadis
Peminta-minta
Setiap kita bertemu, gadis kecil
berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal
duka
Tengadah padaku, pada bulan merah
jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa
Ingin aku ikut, gadis kecil
berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang
melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan
yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang
Duniamu yang lebih tinggi dari
menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor,
tapi yang begitu kau hafal
……………..
(Toto
Soedarto Bactiar)
Nada dan Suasana
Nada mengungkapkan sikap penyair terhadap pembaca.
Dari sikap itu terciptalah suasana dalam puisi. Ada puisi yang bernada sinis,
protes, menggurui, memberontak, main-main, serius (sungguh-sungguh), patriotik,
belas kasih (memelas), takut, mencekam, santai, masa bodoh, pesimis, humor
(bergurau), mencemooh, kharismatik, filosofis, khusyuk, dan sebagainya (Waluyo,
2005: 37). Perasaan kagum terhadap suatu
hal atau peristiwa yang di ungkapkan oleh yang terdapat dalam kutipan puisi
berikut.
Pahlawan Tak Dikenal
Sepuluh tahun
yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan
tidur, sayang
Sebuah lubang
peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya
mau berkata, kita sedang perang
Dia tidak
ingat bilamana dia datang
Kedua
lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu
untuk siapa dia datang
Kemudian dia
terbaring, tapi bukan tidur saying
Wajah sunyi
setengah tengadah
Menangkap sepi
padang senja
Dunia tambah
beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih
sangat muda
Hari itu 10
November, hujan pun mulai turun
Orang-orang
ingin kembali memandangnya
Sambil
meranglai karangan bunga
Tapi yang
Nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya
……………….
(Toto
Sudarto Bachtiar)
Perasaan
Perasaan dalam puisi adalah sikap penyair terhadap
pokok pikiran yang ditampilkannya (Aminuddun, 2004:150). Dalam puisi
diungkapkan perasaan penyair sejalan dengan keanekaragaman hidup manusia dalam
menyikapi realita yang dihadapinya. Perasaan yang menjiwai puisi bias perasaan
gembira, sedih, terharu, terasing, tersinggung, patah hati, sombong, tercekam,
cemburu, kesepian, takut, dan menyesal (Waluyo, 2005:40). Perasaan terharu
terhadap suatu hal atau peristiwa dapat kita lihat dalam puisi berikut ini.
Karangan Bunga
Tiga anak
kecil
Dalam langkah
malu-malu
Datang ke
Salemba
Sore itu,
Ini dari kami
bertiga
Pita hitam
pada karangan bunga
Sebab kami
ikut berduka
Bagi kakak
yang di tembak mati
Siang tadi’
(Taufiq
Ismail, 1966)
Amanat
Amanat, pesan atau nasihat merupakan kesan yang ditangkap pembaca
setelah membaca puisi (Waluyo, 2005: 40). Amanat dapat dirumuskan sendiri oleh
pembaca. Sikap dan pengalaman pembaca sangat berpengaruh pada amanat sebuah
puisi. Cara menyimpulkan amanat pada puisi sangat berkaitan dengan cara pandang
pembaca terhadap suatu hal. Meskipun ditentukan berdasarkan cara pandang
pembaca, amanat tidak dapat lepas dari tema dan isi puisi yang dikemukakan oleh
penyair.
Puisi Toto Soedarto Bachtiar berjudul “Pahlawan Tak
Dikenal” memiliki tema kepahlawanan dan patriotisme. Puisi tersebut
mengungkapkan berbagai amanat, yaitu:
1)
pahlawan sejati adalah pahlawan yang
meninggalkan jasa tanpa menonjolkan diri,
2)
perang kemerdekaan 10 November di Surabaya
melahirkan pahlawan-pahlawan tak dikenal dalam usia muda yang pantas kita
teladani,
3)
para pahlawan muda itu rela mengorbankan jiwa
raga demi kemerdekaan, karena itu kita harus mengisi kemerdekaan ini dengan
sebaik-baiknya,
4)
hargailah para pahlawan tak dikenal yang mati
muda dengan meneruskan perjuangan mereka.
DAFTAR RUJUKAN
Agni, Binar. 2010. Sastra
Indonesia Lengkap (Pantun, Puisi, Majas, Peribahasa, Kata Mutiara).
Jakarta: Hi-Fest Publishing.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur
Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Jabrohim, dkk. 2001. Cara Menulis
Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jalil, Dianie Abdul. 2007. Teori
dan Periodisasi Puisi Indonesia. Bandung: Angkasa.
Moleong,
Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Pradopo,
Rachmat Djoko. 1997. Pengkajian Puisi:
Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Sugiyono.
2010. Metode Penelitian Pendidikan:
Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suroto.
1993. Apresiasi Sastra Indonesia.
Jakarta: Erlangga.
Tjahjono,
Tengsoe. 1988. Sastra Indonesia:
Pengantar Teori dan Apresiasi. Flores: Nusa Indah
Tjahjono,
Tengsoe. 2011. Mendaki Gunung: Ke Arah
Kegiatan Apresiasi Puisi. Malang: Bayumedia Publishing.
Waluyo,
Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi
Puisi. Jakarta: Erlangga.
Waluyo,
Herman J. 2005. Apresiasi Puisi. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama
No comments:
Post a Comment