Tuesday, May 24, 2016

Unsur Pembangun Puisi

UNSUR FISIK PUISI

Diksi
         Diksi berarti pemilihan kata yang tepat, padat, dan kaya akan nuansa makna dan suasana sehingga mampu mengembangkan dan mempengaruhi daya imajinasi pembaca( Tjahjono, 1988:59). Kata-kata dalam puisi harus singkat, padat, mantap, berat dan sarat akan makna. Diksi atau pilihan kata mempunyai peranan penting dan utama untuk mencapai keefektifan dalam penulisan suatu karya sastra. Jabrohim (2001:35) berpendapat bahwa untuk mencapai diksi yang baik seorang penulis harus memahami secara lebih baik masalah kata dan maknanya, harus tahu memperluas dan mengaktifkan kosa kata, harus mampu memilih kata yang tepat, kata yang sesuai dengan situasi yang dihadapi, dan harus mengenali dengan baik macam corak gaya bahasa sesuai dengan tujuan penulisan.
Perhatikan kutipan puisi “Karangan Bunga” berikut ini !

Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu
 

          Kata-kata pada puisi di atas adalah kata-kata terpilih dan mampu mengungkapkan banyak makna. Kata tiga dalam puisi di atas adalah pilihan kata yang sengaja dipilih untuk melambangkan sesuatu, demikian juga dengan frase anak kecil. Kata  Salemba yang ditulis dengan huruf besar juga memiliki makna khas, melambangkan suatu yang khas, yang harus dipahami oleh pembaca.  Salemba yang ditulis dengan huruf besar jelas bukan kata biasa, ia pasti merujuk pada sesuatu, misalnya nama tempat. Demikian juga denga kata  sore itu, mengapa bukan pagi atau malam. pembaca harus memiliki pemahaman tentang kode budaya untuk bias menafsirkan kata-kata terpilih yang digunakan oleh penyair.


Pencitraan
Pengimajian (citraan) merupakan suatu gambaran mental atau suatu usaha yang dapat dilihat di dalam pikiran atau kesan yang terbentuk dalam ruang imajinasi melalui sebuah kata atau rangkaian kata (Tjahjono, 2011:96). Penyair menggunakan kemampuan melihat, mendengar, dan merasakan secara fantasi (imagi), yakni benda-benda, bunyi-bunyi dan perasaan-perasaan yang diumgkapkan oleh penyair. Sehingga pembaca seperti merasa, mengalami, melihat sendiri dalam angannya apa yang dilukiskan oleh penyairnya.
Tjahjono (2011:96) memaparkan bahwa jika dipandang dari jenisnya, terdapat beberapa citraan dalam puisi sesuai dengan jenis indera atau perasaan yang ingin digugah oleh penyair. Jika berhubungan dengan  indera penglihatan disebut citra visual (visual imagery). Sedangkan yang berhubungan dengan indera pendengaran citra auditif (auditory imagery). Yang membuat sesuatu tampak bergerak disebut citra kinestik (tactile imagery). Yang berhubungan dengan indera penciuman disebut citra penciuman (smell imagery), dan yang berhubungan dengan indera pencecapan disebut citra pencecapan.
Perhatikan puisi berikut.
CATATAN PAGI

Air kecoklatan mengalir ke gubug-gubug karton
Memercikkan air mata ke jendela tanpa daun
Anak kecil bermata kabut memandang langit kelabu
Bangkai kucing mengapung menyerbu jantung
Melalap getir limau

                                       (Tengsoe Tjahjono)

Puisi di atas memakai beberapa citraan. Kata mengalir, memercikkan, dan menyerbu membangun bayangan gerak dalam ruang imajinasi pembaca, sehingga tergolong citraan kinestik. Kata mengalir memberikan kesan gerak air dari tempat tinggi ke rendah, dari hulu ke hilir. Kata memercikkan memberikan gambaran gerak butiran air ke atas. Sedangkan kata menyerbu memberikan gambaran sekelompok sesuatu melakukan gerakan bersama-sama menyerang hal lain.
Kata atau frase air kecoklatan, gubug-gubug karton, air mata, jendela tanpa daun, anak kecil bermata kabut, langit kelabu, bangkai kucing, jantung, dan limau diserap melalui indera penglihatan, termasuk citra visual. Pada frase air kecoklatan pembaca diajak untuk membayangkan air berwarna coklat yang keruh. Sedangkan pada frase daun jendela tanpa daun akan muncul kesan visual mengenai jendela yang terbuka lebar tanpa adanya daun jendela.
Frase bangkai kucing  disamping memiliki citra visual, juga memiliki citra penciuman. Kata bangkai membuat pembaca seolah-olah membau suatu aroma busuk melalui hidungnya. Kata memercikkan di samping mengandung citra kinestik juga mengandung citra auditif. Kata memercikkan berasosiasi dengan suara yang ditimbulkan oleh butir-butir air ketika bersentuhan dengan benda lain tertentu. Sedangkan frase getir limau memberikan sugesti rasa tertentu, memiliki citraan pencecapan. Pembaca seolah-olah merasakan rasa getir pada lidahnya.

Kata Konkret
            Kata konkret adalah kata-kata yang digunakan oleh penyair untuk menggambarkan suatu lukisan keadaan atau suasana batin dengan maksud untuk membangkitkan imaji pembaca (Jabrohim, 2001:41). Kata yang diperkonkret pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang dilukiskan oleh penyair. Sebagai contoh yang dikemukakan Waluyo dalam Jabrohim (2001:41) tentang bagaimana penyair melukiskan seorang gadis yang benar-benar pengemis gembel. Penyair mempergunakan kata-kata: gadis kecil berkaleng kecil. Lukisan tersebut lebih konkret jika dibanding dengan: gadis peminta-minta.

Bahasa Figuratif
Bahasa figuratif ialah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna (Waluyo, 1987:83). Sedangkan menurut Situmorang (1983:19) bahasa figuratif adalah cara yang dipergunakan penyair untuk membagkitkan dan menciptkan imajinasi atau citraan dengan mempergunakan gaya bahasa, gaya perbandingan, gaya kiasan, gaya pelambang sehingga makin jelas makna atau lukisan yang hendak dikemukakannya.
Meurut Tjahjono (2011:42) secara umum majas terdiri dari majas perbandingan, majas penegasan, majas sindiran, dan majas pertentangan. Personifikasi, metafora, asosiasi, metonimia, simbolik, tropen, litotes, eufemisme, hiperbola, sinekdok, alusio, dan periphrasis tergolong majas perbandingan. Sedangkan pleonasme, repetisi, tautologi, paralelisme, simetri, klimaks, antiklimaks, inversi, retoris, dan ekslamasio termasuk majas penegasan. Yang dikategorikan majas sindiran ialah ironi, sinisme, dan sarkasme. Sedangkan yang tergolong majas pertentangan ialah paradox, kontradiksio in terminis, dan antithesis. Berikut kutipan puisi yang di dalamnya terdapat majas personifikasi.

DAN WAKTU ‘KAN SELALU CUMA WAKTU

Ada kalanya waktu berlaku terburu-buru
Tak sempat berbicara panjang
Dengan langkah-langkah panjang
ia cuma sempat berseru:
“Kini aku terburu-buru
Ada sesuatu yang kuburu
dan belum lagi aku tahu
apa atau siapa.”
…………...

                                    (Ayatrohaedi)


Verifikasi 
Versifikasi meliputi ritma, rima, dan metrum. Ritma adalah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa dengan teratur (Jabrohim, 2001:53). Rima adalah pengulangan bunyi di dalam baris atau larik puisi, pada akhir baris puisi atau bahkan juga keseluruhan baris atau bait puisi (Jabrohim, 2001:53-54). Metrum adalah irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu (Jabrohim, 2001:54).
Irama (ritma) sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Irama berupa pemotongan baris-baris puisi secara berulang-ulang setiap empat suku kata pada baris puisi sehingga menimbulkan gelombang yang teratur. Dalam situasi semacam  ini irama disebut periodisited yang berkorespondensi , yakni pemotongan frasa-frasa yang berulang (Waluyo, 1987:94). Sedangkan menurut Pradopo (1997:42) berpendapat bahwa timbulnya irama pada puisi itu karena perulangan bunyi berturut-turut dan bervariasi, misalnya sajak akhir, asonansi, dan aliterasi.
Tiap penyair, aliran, periode, dan angkatan mempunyai perbedaan cara mengulang hal-hal yang dipandang yang dipandang membentuk ritma. Waluyo (1987:94) dalam puisi lama jelas sekali pemotongan baris menjadi dua frasa merupakan teknik pembentuk irama yang padu. Contoh ritma pada puisi lama:
Dari mana/ punai melayang
dari sawah/ turun ke kali
Dari mana/ kasih sayang
dari mata/ turun ke hati.

Ritma yang terdapat pada puisi-puisi angkatan pujangga baru juga halnya seperti pada puisi lama. Ritma dengan pemenggalan baris-baris puisi menjadi dua bagian (dua frasa). Seperti yang terlihat pada contoh puisi berikut:
pagiku hilang/ sudah melayang
hari mudaku/ sudah pergi
kini petang/ sudah pergi
batang usiaku/ sudah pergi

Tjahjono (1988:52-57) menjelaskan bahwa rima atau pengulangan bunyi dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yakni menurut bunyinya, menurut letaknya dalam baris puisi, dan menurut letaknya dalam bait puisi.
a.       Menurut bunyinya rima terdiri atas enam rima, yaitu rima sempurna, rima rak sempurna, asonansi, aliterasi, disonansi, dan rima mutlak.
1)      Rima sempurna, yaitu bila seluruh suku akhir sama bunyinya, misalnya:
Berduri-kemari
Awan-lawan
2)      Rima tak sempurna, yaitu bila sebagian suku akhir sama bunyinya, misalnya:
Rindu-gincu
Panjang-senang
3)      Asonansi, yaitu pengulangan bunyi vocal dalam satu kata, misalnya:
Benam-kelam
Keladi-merapi
4)      Aliterasi, yaitu pengulangan bunyi konsonan dengan setiap kata secara berurutan, misalnya:
bukan beta bijak berperi
Runtuh ripuk tamanmu rampak
Mukanya merah menahan marah
5)      Disonansi (rima rangka), yaitu bila konsonan-konsonan yang membentuk kata itu sama, namun vokalnya berbeda, misalnya:
Giling-gulung
Jinjing-junjung
6)      Rima mutlak, yaitu bila seluruh kata-kata itu sama, misalnya:
Laut biru
Langit biru
Hati biru

b.      Menurut letaknya dalam baris puisi, rima dibagi menjadi lima, yaitu rima depan, rima tengah, rima akhir, rima tegak, dan rima datar.
1)      Rima depan, yaitu bila kata depan pada permulaan baris sama, misalnya:
Sering saya susah sesaat
Sebab madahan tidak nak datang
Sering saya sulit menekat
Sebab terkurung lukisan mamang
                                    (Rustam Effendi)
2)      Rima tengah, yaitu bila kata atau suku kata ditengah baris suatu puisi sama, misalnya:
Kalau padi kata padi
Jangan saya tertampi-tampi
Kalau jadi kata jadi
Jangan saya menanti-nanti

3)      Rima akhir, yaitu bila pengulangan kata terletak pada akhir baris, misalnya:
      KUCARI JAWAB

Di mata air, di dasar kolam
Kucari jawab teka-teki alam
Di kawan awan kian kemari
Di siru juga jawabnya kucari
Di warna bunga yang kembang
Kucari jawab, penghilang bimbang
……………..
                       
                          (J.E Tatengkeng)

4)      Rima tegak, yaitu bila kata pada akhir baris sama dengan kata pada permulaan baris berikutnya, misalnya:
Uri manis tembuni manis
Manis sampai ke muka saying

5)      Rima datar, yaitu bila pengulangan bunyi itu terdapat pada satu baris, misalnya:

Air mengalir menghilir sungai
Mega berlaga dalam tangga senja

c.       Menurut letaknya dalam bait puisi, rima dibagi menjadi lima, yaitu rima silang, rima berpeluk, rima terus atau rima rangkai, rima berpasangan atau rima kembar, dan rima patah.
1)      Rima silang, yairu bila baris pertama berirama dengan baris ketiga, dan baris kedua berirama dengan baris keempat. Rima ini biasa disebut dengan pola rima a-b-a-b, misalnya:
      TANAH JAWI

Habis tanah kami dijual!
Tanah subur, tanah pustaka!
Kami ini amat sial,
Habis kepunyaan belaka!
………………

              (Marius Ramis Dayoh)

2)      Rima berpeluk, yaitu bila baris pertama berirama dengan baris keempat, dan baris kedua berirama dengan baris ketiga. Rima berpeluk biasa disebur dengan pola rima a-b-b-a, misalnya:
        HUJAN BADAI

Bersabung kilat di ujung langit,
gemuruh guruh, berjawab-jawaban,
bertangkai hujan, dicurah awan,
mengabut kabut, sebagai dibangkit,
………………….

                                    (Rustam Effendi)

3)      Rima terus atau rima rangkai, yaitu bila baris terakhir puisi itu keseluruhannya memiliki rima yang sama. Rima rangkai atau biasa dikenal dengan pola rima a-a-a-a, misalnya:
Lagi suatu, wahai saudara
Menyebabkan daku malu berbicara.
Kaumku tidak terpelihara
Lantaran daku merasa sengsara
…………………

                                    (DR. Mandank)
4)      Rima berpasangan atau rima kembar, yaitu bila baris yang berima itu berpasang-pasangan. Pola rima yang dikenal dengan pola rima a-a-b-b. contoh:
            DESAU PIMPING

Pimping, kerap kudengarkan bahana desaumu,
Bila angin lemah berembus kelilingmu,
Puncakmu terkulai laku merendahkan diri,
Engkau tunduk bernyanyikan duka yang menyayat hati,
…………
                                                            (N. Adil)

5)      Rima patah, yaitu bila salah satu baris tidak mengikuti rima baris lainnya dalam satu bait, misalnya:
Sejak senja hendak bernaung,
Ketika syamsyiar dara tertuntung
Samapi gelap bersayap maung
Tidak berbalas desiran alam

(Rifai Ali)


Tata Wajah
Tipografi merupakan pembeda yang paling awal dapat dilihat dalam membedakan puisi dengan prosa fiksi dan drama (Jabrohim, 2001:54). Dalam puisi mutakhir (setelah tahun 1997), banyak ditulis puisi yang mementingkan tata wajah, bahkan penyair berusaha menciptkan puisi seperti gambar. Puisi sejenis itu disebut puisi  konkret karena tata wajahnya membentuk gambar yang mewakili maksud tertentu (Waluyo, 2005:13).

Perhatikan kutipan puisi berikut.
Hamba Buruh

Aku menimbang-nimbang mungkin,
            Kita berdua menjadi satu;
Gaji dihitung-hitung,
            Cukup tidak untuk berdua.

Hati ingin sempurna dengan engkau,
            Sama derita sama gembira;
Kepada pusing menimbang,
            Menghitung-hitung uang bagi kita.

Aku ingin hidup damai tua,
            Mikir anak istri setia;
Kalbu pecah merasa susah,
            Hamba buruh apa dikata.

                                                (Pujangga Baru)





UNSUR BATIN PUISI
Unsur batin atau biasa disebut dengan hal yang diungkapkan penyair adalah medium untuk mengungkapkan makna yang hendak disampaikan penyair. Ada empat unsur batin puisi, yaitu tema, perasaan penyair, nada atau sikap penyair terhadap pembaca, dan amanat (Waluyo, 2005:17).
 
Tema
Tema adalah gagasan pokok yang dikemukakan oleh penyair melalui puisinya (Waluyo, 2005:17). Setiap puisi ditulis dengan maksud tertentu. Tema mengacu pada penyair. Pembaca sedikit banyak harus mengetahui latar belakang penyair agar tidak salah menafsirkan tema puisi tersebut. Karena itu tema bersifat khusus, obyektif, dan lugas.
Tema yang banyak terdapat dalam puisi adalah: (1) tema ketuhanan (religius), (2) tema kemanusiaan, (3) tema patriotisme, (4) tema cinta, (5) tema perjuangan, (6) kegagalan hidup, (7) tema alam, (8) tema keadilan, (9) tema kritik sosial, (10) tema demokrasi, dan (11) tema kesetiakawanan. Berikut dicontohkan puisi yang bertema kemanusiaan. Puisi ini bercerita tentang hidup seorang pengemis yang digambarkan bermartabat lebih tinggi dari Menara Katedral.
Gadis Peminta-minta

Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa

Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang

Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal
……………..
                                                                  (Toto Soedarto Bactiar)
 
 Nada dan Suasana
Nada mengungkapkan sikap penyair terhadap pembaca. Dari sikap itu terciptalah suasana dalam puisi. Ada puisi yang bernada sinis, protes, menggurui, memberontak, main-main, serius (sungguh-sungguh), patriotik, belas kasih (memelas), takut, mencekam, santai, masa bodoh, pesimis, humor (bergurau), mencemooh, kharismatik, filosofis, khusyuk, dan sebagainya (Waluyo, 2005: 37). Perasaan kagum  terhadap suatu hal atau peristiwa yang di ungkapkan oleh yang terdapat dalam kutipan puisi berikut.
Pahlawan Tak Dikenal
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur saying

Wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda

Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil meranglai karangan bunga
Tapi yang Nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya
……………….    


                                                                     (Toto Sudarto Bachtiar)



Perasaan
Perasaan dalam puisi adalah sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya (Aminuddun, 2004:150). Dalam puisi diungkapkan perasaan penyair sejalan dengan keanekaragaman hidup manusia dalam menyikapi realita yang dihadapinya. Perasaan yang menjiwai puisi bias perasaan gembira, sedih, terharu, terasing, tersinggung, patah hati, sombong, tercekam, cemburu, kesepian, takut, dan menyesal (Waluyo, 2005:40). Perasaan terharu terhadap suatu hal atau peristiwa dapat kita lihat dalam puisi berikut ini.
Karangan Bunga

Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu,

Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang di tembak mati
Siang tadi’

                                    (Taufiq Ismail, 1966)


Amanat
Amanat, pesan atau  nasihat merupakan kesan yang ditangkap pembaca setelah membaca puisi (Waluyo, 2005: 40). Amanat dapat dirumuskan sendiri oleh pembaca. Sikap dan pengalaman pembaca sangat berpengaruh pada amanat sebuah puisi. Cara menyimpulkan amanat pada puisi sangat berkaitan dengan cara pandang pembaca terhadap suatu hal. Meskipun ditentukan berdasarkan cara pandang pembaca, amanat tidak dapat lepas dari tema dan isi puisi yang dikemukakan oleh penyair.
Puisi Toto Soedarto Bachtiar berjudul “Pahlawan Tak Dikenal” memiliki tema kepahlawanan dan patriotisme. Puisi tersebut mengungkapkan berbagai amanat, yaitu:
1)      pahlawan sejati adalah pahlawan yang meninggalkan jasa tanpa menonjolkan diri,
2)      perang kemerdekaan 10 November di Surabaya melahirkan pahlawan-pahlawan tak dikenal dalam usia muda yang pantas kita teladani,
3)      para pahlawan muda itu rela mengorbankan jiwa raga demi kemerdekaan, karena itu kita harus mengisi kemerdekaan ini dengan sebaik-baiknya,
4)      hargailah para pahlawan tak dikenal yang mati muda dengan meneruskan perjuangan mereka.



DAFTAR RUJUKAN

Agni, Binar. 2010. Sastra Indonesia Lengkap (Pantun, Puisi, Majas, Peribahasa, Kata Mutiara). Jakarta: Hi-Fest Publishing.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Jabrohim, dkk. 2001. Cara Menulis Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jalil, Dianie Abdul. 2007. Teori dan Periodisasi Puisi Indonesia. Bandung: Angkasa.
Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1997. Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suroto. 1993. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Tjahjono, Tengsoe. 1988. Sastra Indonesia: Pengantar Teori dan Apresiasi. Flores: Nusa Indah
Tjahjono, Tengsoe. 2011. Mendaki Gunung: Ke Arah Kegiatan Apresiasi Puisi. Malang: Bayumedia Publishing.
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Waluyo, Herman J. 2005. Apresiasi Puisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama












No comments:

Post a Comment