Tuesday, May 24, 2016

Pemerolehan Bahasa

 
Pengertian Pemeroleh Bahasa
          Pengetian pemerolehan bahasa adalah proses pemahaman dan penghasilan
bahasa pada manusia melalui beberapa tahap, mulai dari meraba sampai kefasihan penuh. Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah suatu proses yang digunakan oleh kanak-kanak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang makin bertambah rumit, ataupun teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang mungkin sekali terjadi, dengan ucapan-ucapan orang tuanya sampai dia memilih, berdasarkan suatu ukuran atau takaran penilaian, tata bahasa yang paling baik serta yang paling sederhana dari bahasa tersebut (Kiparsky 1968: 194). Pemerolehan bahasa merupakan suatu proses yang dilakukan oleh anak-anak dalam menguji hipotesis-hipotesis yang dibuatnya berdasarkan masukan dari lingkungannya mulai dari memahami makna, struktur bahasa, sampai dengan memproduksi bahasa tersebu.
           Ada dua konsep tentang belajar bahasa. (1) anak-anak adalah siswa bahasa kedua yang lebih baik daripada orang dewasa. (2) kepandaian dan bakat tidak lah sama untuk setiap orang.
Dengan adanya dua konsepsi ini maka diasumsikan berdasarkan pengalaman perorangan bahwa perbedaan dalam keberhasilan belajar bahasa kedua sebagian besarnya dapat dijelaskan dengan dasar perbedaan dalam usia dan bakat.
               Pada tahun 1950-an tatkala penelitian ilmiah mengenai ciri-ciri siswa dalam belajar bahasa kedua dimulai, segera menjadi jelas bahwa seperangkat ciri-ciri siswa merupakan penyebab keberhasilan atau kegagalan relatif dari belajar bahasa kedua. (Hamied, 1987:81). Kita akan membatasi pembicaraan pada pertimbangan lain yang telah diselidiki dengan lebih baik dan yang paling relevan. Pembahasan kita hanya membicarakan pertimbangan neurologikal, kognitif, dan afektif. (Brown, 2000:71).

Prosedur Pengajaran Bahasa Kedua
           Berdasarkan Brown (2007:28), ada beberapa pertimbangan dalam mengajarkan bahasa kedua pada siswa yang sebenarnya ada kaitannya dengan bahasa pertama siswa, yaitu
  1. Dalam  pengajaran bahasa kita harus terus-menerus berlatih.
  2. Pembelajaran bahasa adalah masalah peniruan
  3.  Pertama, kita mengenak bunyi, lalu kata-kata dan kemudian kalimat.
  4. Dalam perkembangan seorang anak, pertama ia mendengar, kemudian ia berkata-kata, pemahaman selalu mendahului pembicaraan.
  5. Hal yang dilakukan pembelajar bahasa adalah mendengar dan berbicara, dan membaca, menulis merupakan tahap yang lebih lanjut dari proses penguasaan bahasa.
  6. Kita tidak perlu menggunakan penerjemah saat mempelajari suatu bahasa.
  7. Seorang pembelajar bahasa menggunakan bahasa begitu saja, dalam artian ia tidak belajar tata bahasa baku, tidak perlu mengenal apa itu kata kerja atau kata benda, akan tetapi pembelajar atau siswa bisa berbahasa dengan sempurna.
 Pertimbangan Neurologis
           Untuk mengukur seberapa tinggi pemerolehan bahasa seseorang, maka harus kita kaji adalah masalah kemampuan otak dari para pembelajar bahasa, untuk menemukan jawabannya (Brown, 2007:62). Semakin tua usia manusia, maka semakin matang kemampuan otaknya. Otak dibagi menjadi 2 belahan, sisi kiri dan sisi kanan. Fungsi-fungsi bahasa dan urusan logis ditempatkan pada sisi sebelah kiri dan untuk urusan emisional dan social serta kreativitas terdapat pada urusan sebelah kanan.
Penfield dan Roberts (1959) ahli neurologi yang berargumentasi bahwa kemampuan anak lebih besar untuk belajar bahasa dapat dijelaskan dengan plastisitas yang lebih besar dari otak anak tersebut. Plastisitas otak ditemukan berkurang manakala usia bertambah. (Hamied:82). Menurut Panfield dan Roberts (1959) menampilkan bukti bahwa anak-anak mempunyai kapasitas menonjol untuk mempelajari kembali keterampilan bahasa setelah kecelakaan atau penyakit yang merusak bidang ujaran dalam hemisfer serebral dominan biasanya hemisfer sebelah kiri.
Orang dewasa biasanya tidak mampu memperoleh kembali ujaran normal. Terdapat banyak kasus anak-anak yang karena memperoleh luka dalam bidang ujaran, mengalihkan fungsi bahasanya ke hemisfer sebelahnya lagi. Kasus orang dewasa yang melakukan hal itu jarang terjadi. Diargumentasikan bahwa alasan untuk hal tersebut adalah hilangnya plastisitas otak.
   Dalam kesimpulannya, Penfield dan Roberts menarik rekomendasi untuk pengajaran bahasa asing dari observasi ini, yaitu bahwa waktu untuk memulai apa yang mungkin disebut persekolahan umur dalam bahasa kedua, sesuai dengan tuntutan psikologi otak, adalah antara umur 4 sampai 10 tahun.
         Akan tetapi Hipotesis Periode Kritis (HPK) biasanya dikaitkan dengan Lennberg (1967). Lennberg berargumentasi bahwa belajar alamiah dapat terjadi hanya selama periode kritis, secara kasarnya antara usia 2 tahun sampai masa pubertas. Sebelum usia 2 tahun, belajar bahasa tidak mungkin terjadi karena kekurangdewasaan otak. Sedangkan setelah masa pubertas lateralisasi fungsi hemisfer dominan telah selesai, yang mengakibatkan hilangnya plastisitas serebral yang diperlukan untuk belajar bahasa alamiah. Adalah periode yang secara biologis tertentu inilah yang bertanggungjawab atas kenyataan bahwa setelah masa pubertas, bahasa harus diajarkan dan dipelajari melalui usaha sadar dan keras, dan bahwa aksen asing tidak dapat diatasi dengan mudah setelah masa pubertas.

Pertimbangan Kognitif
       Kognitif manusia berkembangan pesat pada usia 16 tahun pertama dan tidak secepat itu setelahnya. Jean Piaget dalam Brown (2007: 70) merangkum jalannya perkembangan intelektual pada seseorang anak melalui beberapa tahap:
  1. Tahap Sensori Motor (kelahiran sampai umut 2 tahun).
  2. Tahap praoperasional (umur 2 sampai 7 tahun)
  3. Tahap Operasional konkret (umur 7 sampai 11 tahun)
  4. Tahap Operasional Formal (umur 11 sampai 16 tahun
        Dari beberapa tahap tersebut seorang manusia yang berumur 1 sampai 16 tahun mempunyai kemampuan pemerolehan yang cukup pesat dibandingkan dengan orang dewasa. Meskipun anak tidak tidak menyadari pada tahun-tahun tersebut telah mengalami perkembangan kebahasaan. Secara umum pada usia anak-anak memperoleh bahasa dengan cara informal beda dengan orang dewasa yang mampu menguasai bahasa kalau dengan cara formal. Hal ini terkait dengan faktor kemampuan otak. Pada usia tersebut seorang anak pada dasarnya tidak mengetahui kalau dia sedang memperoleh sebuah bahasa. Meskipun tak memahami nilai-niai dan pandangan social yang dilekatkan pada sebuah bahasa atau lainnya.
 
Pertimbangan Afektif
Manusia adalah makhluk social. Jantung semua pikiran, perasaan, dan tindakan adalah emosi. Emosi sangat mempengaruhi seberapa tinggi kepintaran kita. Maka logis kiranya jika kita melihat wilayah afektif untuk menemukan jawaban yang memadai atas masalah perbendaan mendasar atas perbedaan bahasa 1 dan bahasa 2 (Brown, 2007:73).
Dalam perkembangan manusia, egolah yang sangat berperan terutama untuk pemerolehan bahasa, identitas diri dan usaha mengetahui siapa dirinya. Pada masa anak-anak, mereka akan menjadi sadar akan diri mereka, terdapat rasa risau dalam pencarian mereka untuk memahami dan merumuskan identitas diri. Menjelas remaja, akan tumbuh kesadaran untuk serta pembentukan pribadi yang unik dan bediri sendiri.
Pada usia kritis untuk pemeroleha bahasa, ego, emosi, perkembangan fisik dan kognitif berjalan berdampingan. Sehingga sering terjadi konflik afektif yang harus disadari ketika berupaya untuk mempelajari bahasa kedua.  Anak dan orang dewasa tentunya terdapat perbedaan afektif ketika mempelajari bahasa kedua. Alexander Guiora (1972) mengusulkan tentang ego bahasa (Language Ego) untuk menjelaskan identitas seseorang yang mengembangkan bahasa yang digunakan. Untuk orang-orang yang memiliki satu bahasa, ego bahasa meliputi interaksi pada bahasa ibu dan perkembangan ego. Guiora menyatakan bahwa ego bahasa dapat menjelaskan kesulitan pembelajaran  bahasa kedua pada orang dewasa. Pemerolehan sebuah ego bahasa baru adalah sebuah usaha yang besar tidak hanya bagi remaja tapi juga orang dewasa yang telah tumbuh rasa aman dan nyaman pada identitas mereka dan yang memiliki inhibitasi yang bertindak sebagai perlindungan dan perlindungan bagi ego mereka. Membuat langkah pada sebuah identitas baru bukanlah hal yang mudah, hal ini bisa berhasil hanya ketika sebuah pengumpulan ego yang memperkuat untuk mengatasi inhibitasi. Hal ini memungkinkan bahwa seorang pembelajar bahasa yang berhasil adalah seseorang yang mampu menjembatani celah-celah afektif. 
Sikap negatif dapat mempengaruhi keberhasilan dalam mempelajari bahasa. Anak-anak yang kognitifnya tidak dibangun atau dikembangkan dengan baik untuk memiliki sikap, mungkin tidak seberapa berpengaruh daripada orang dewasa. Pada anak-anak usia sekolah mulai memperoleh beberapa sikap terhadap jenis-jenis dan stereotipe orang lain. Sikap ini sebagian besar diajarkan secara sadar atau tidak sadar oleh orang tua, orang-orang dewasa, dan teman sepermainannya. Pembelajaran sikap-sikap negatif terhadap orang-orang yang memakai bahasa kedua atau terhadap bahasa kedua itu sendiri telah ditunjukkan untuk mempengaruhi keberhasilan pembelajaran bahasa pada orang-orang di usia sekolah keatas.
          Tekanan dari kawan sebaya yang dihadapi anak-anak dalam pembelajaran bahasa, berbeda dengan yang dihadapi oleh orang dewasa. Anak-anak biasanya mempunyai paksaan yang kuat untuk menyesuaikan. Mereka diberitahu dalam kata-kata, pemikiran-pemikiran, dan tindakan-tindakan bahwa mereka seharusnya ”seperti anak-anak yang lainnya”. Seperti tekanan dari kawan sebaya terhadap bahasa. Orang dewasa juga mengalami tekanan dari kawan sebaya, namun dalam bentuk yang berbeda, orang-orang dewasa cenderung lebih menoleransi perbedaan linguistik daripada anak-anak, oleh karena itu kesalahan-kesalahan dalam ucapan lebih mudah dimaafkan. Jika orang-orang dewasa mampu memahami seorang penutur bahasa kedua, mereka akan memberikan imbalan balik kognitif dan afektif dengan positif, sebuah tingkatan toleransi yang mungkin mendorong beberapa pembelajar dewasa untuk ”lulus.”

Pertimbangan Linguistik
Ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam pemerolehan bahasa kedua terkait dengan bidang linguist sebagai topic utama dalam SLA.
Bilingualisme
Meskipun kita menyebutnya pemerolehan bahasa pertama dan kedua. Pada dasarnya, pembelajar bahasa akan mempelajari 2 bahasa itu secara bersama-sama. Kunci keberhasilan mempelajari kedua bahasa tersebut adaah kemampuan membedakan konteks masing-masing bahasa (Brown, 2007:77). Kemampuan untuk menguasai bahasa lebih dari satu disebut dengan bilingual/dwibahawan. Kejadian yang sering dialami oleh dwibahasawan adalah campur kode, yaitu tindakan memasukkan kata, frasa atau yang lebih panjang lagi pada sebuah bahasa ke bahasa lain. Hal ini terjadi ketika berkomunikasi dengan sesama bilingual.
Interferensi antara bahasa pertama dan kedua
        Tidak menutup kemungkinan seorang yang menggunakan bahasa kedua, akan sewaktu-waktu menggunakan kata dari bahasa pertama jika apa yang mau dikatakan dengan bahasa kedua tidak dimengerti. Perilaku ini sering terjadi apa anak-anak dan dewasa. bedanya, anak-anak cenderung tidak menyadari dan bahkan tidak menampakkan adanya interferansi bahasa pertama. Sedangkan untuk orang dewasa yang sangat sering terjadi disebabkan karena jarang antara kedua pemerolehan antara bahasa pertama dan bahasa kedua cukup jauh. Dapat ditarik kesimpulan bahwa bahasa pertama bisa dijadikan jembatan untuk proses interferensi dari bahas pertama ke bahasa kedua 




 Daftar Pustaka

Daftar Pustaka

Brown, Douglas. 2008. Prinsip dan Pembelajaran Bahasa. Jakarta: Person Education.
Ellis, Rod. 1994. The Study of Sekond Language Acquistion. New York: Oxfor University Press.
Language Acquisition. (On-line). Available: http://earthrenewal.org/second language.htm
Language Acquisition. (On-line). Available: http://www.ecs.soton.ac.uk/~harnad/ Papers/Py104/pinker.langacq.html
Language acquisition. (On-line). Available: http://en.wikipedia.org/wiki/ Languageacquisition
 



No comments:

Post a Comment