Pengertian Pemeroleh Bahasa
Pengetian
pemerolehan bahasa adalah proses pemahaman dan penghasilan
bahasa
pada manusia melalui beberapa tahap, mulai dari meraba sampai kefasihan penuh.
Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah suatu proses yang digunakan
oleh kanak-kanak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang makin bertambah
rumit, ataupun teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang mungkin
sekali terjadi, dengan ucapan-ucapan orang tuanya sampai dia memilih,
berdasarkan suatu ukuran atau takaran penilaian, tata bahasa yang paling baik
serta yang paling sederhana dari bahasa tersebut (Kiparsky 1968: 194). Pemerolehan
bahasa merupakan suatu proses yang dilakukan oleh anak-anak dalam menguji
hipotesis-hipotesis yang dibuatnya berdasarkan masukan dari lingkungannya mulai
dari memahami makna, struktur bahasa, sampai dengan memproduksi bahasa tersebu.
Ada dua konsep tentang belajar bahasa. (1) anak-anak adalah siswa bahasa kedua yang lebih baik daripada orang
dewasa. (2) kepandaian dan bakat tidak lah sama untuk setiap orang.
Dengan adanya dua konsepsi ini maka diasumsikan berdasarkan pengalaman
perorangan bahwa perbedaan dalam keberhasilan belajar bahasa kedua sebagian
besarnya dapat dijelaskan dengan dasar perbedaan dalam usia dan bakat.
Pada tahun 1950-an tatkala penelitian ilmiah mengenai ciri-ciri siswa
dalam belajar bahasa kedua dimulai, segera menjadi jelas bahwa seperangkat
ciri-ciri siswa merupakan penyebab keberhasilan atau kegagalan relatif dari
belajar bahasa kedua. (Hamied, 1987:81). Kita akan membatasi pembicaraan pada
pertimbangan lain yang telah diselidiki dengan lebih baik dan yang paling
relevan. Pembahasan kita hanya membicarakan pertimbangan neurologikal,
kognitif, dan afektif. (Brown, 2000:71).
Prosedur Pengajaran Bahasa Kedua
Berdasarkan Brown (2007:28), ada beberapa pertimbangan dalam mengajarkan
bahasa kedua pada siswa yang sebenarnya ada kaitannya dengan bahasa pertama
siswa, yaitu
- Dalam pengajaran bahasa kita harus terus-menerus berlatih.
- Pembelajaran bahasa adalah masalah peniruan
- Pertama, kita mengenak bunyi, lalu kata-kata dan kemudian kalimat.
- Dalam perkembangan seorang anak, pertama ia mendengar, kemudian ia berkata-kata, pemahaman selalu mendahului pembicaraan.
- Hal yang dilakukan pembelajar bahasa adalah mendengar dan berbicara, dan membaca, menulis merupakan tahap yang lebih lanjut dari proses penguasaan bahasa.
- Kita tidak perlu menggunakan penerjemah saat mempelajari suatu bahasa.
- Seorang pembelajar bahasa menggunakan bahasa begitu saja, dalam artian ia tidak belajar tata bahasa baku, tidak perlu mengenal apa itu kata kerja atau kata benda, akan tetapi pembelajar atau siswa bisa berbahasa dengan sempurna.
Untuk mengukur seberapa tinggi pemerolehan bahasa seseorang, maka harus
kita kaji adalah masalah kemampuan otak dari para pembelajar bahasa, untuk
menemukan jawabannya (Brown, 2007:62). Semakin tua usia manusia, maka semakin
matang kemampuan otaknya. Otak dibagi menjadi 2 belahan, sisi kiri dan sisi
kanan. Fungsi-fungsi bahasa dan urusan logis ditempatkan pada sisi sebelah kiri
dan untuk urusan emisional dan social serta kreativitas terdapat pada urusan
sebelah kanan.
Penfield dan Roberts (1959) ahli neurologi yang
berargumentasi bahwa kemampuan anak lebih besar untuk belajar bahasa dapat
dijelaskan dengan plastisitas yang lebih besar dari otak anak tersebut.
Plastisitas otak ditemukan berkurang manakala usia bertambah. (Hamied:82).
Menurut Panfield dan Roberts (1959) menampilkan bukti bahwa anak-anak mempunyai
kapasitas menonjol untuk mempelajari kembali keterampilan bahasa setelah
kecelakaan atau penyakit yang merusak bidang ujaran dalam hemisfer serebral
dominan biasanya hemisfer sebelah kiri.
Orang dewasa biasanya tidak mampu memperoleh kembali
ujaran normal. Terdapat banyak kasus anak-anak yang karena memperoleh luka
dalam bidang ujaran, mengalihkan fungsi bahasanya ke hemisfer sebelahnya lagi.
Kasus orang dewasa yang melakukan hal itu jarang terjadi. Diargumentasikan
bahwa alasan untuk hal tersebut adalah hilangnya plastisitas otak.
Dalam kesimpulannya, Penfield dan Roberts menarik
rekomendasi untuk pengajaran bahasa asing dari observasi ini, yaitu bahwa waktu
untuk memulai apa yang mungkin disebut persekolahan umur dalam bahasa kedua,
sesuai dengan tuntutan psikologi otak, adalah antara umur 4 sampai 10 tahun.
Akan
tetapi Hipotesis Periode Kritis (HPK) biasanya dikaitkan dengan Lennberg
(1967). Lennberg berargumentasi bahwa belajar alamiah dapat terjadi hanya
selama periode kritis, secara kasarnya antara usia 2 tahun sampai masa
pubertas. Sebelum usia 2 tahun, belajar bahasa tidak mungkin terjadi karena
kekurangdewasaan otak. Sedangkan setelah masa pubertas lateralisasi fungsi
hemisfer dominan telah selesai, yang mengakibatkan hilangnya plastisitas
serebral yang diperlukan untuk belajar bahasa alamiah. Adalah periode yang
secara biologis tertentu inilah yang bertanggungjawab atas kenyataan bahwa
setelah masa pubertas, bahasa harus diajarkan dan dipelajari melalui usaha
sadar dan keras, dan bahwa aksen asing tidak dapat diatasi dengan mudah setelah
masa pubertas.
Pertimbangan Kognitif
Kognitif manusia berkembangan pesat pada usia 16 tahun pertama dan tidak
secepat itu setelahnya. Jean Piaget dalam Brown (2007: 70) merangkum jalannya
perkembangan intelektual pada seseorang anak melalui beberapa tahap:
- Tahap Sensori Motor (kelahiran sampai umut 2 tahun).
- Tahap praoperasional (umur 2 sampai 7 tahun)
- Tahap Operasional konkret (umur 7 sampai 11 tahun)
- Tahap Operasional Formal (umur 11 sampai 16 tahun
Dari beberapa tahap tersebut seorang manusia yang berumur 1 sampai 16
tahun mempunyai kemampuan pemerolehan yang cukup pesat dibandingkan dengan
orang dewasa. Meskipun anak tidak tidak menyadari pada tahun-tahun tersebut
telah mengalami perkembangan kebahasaan. Secara umum pada usia anak-anak
memperoleh bahasa dengan cara informal beda dengan orang dewasa yang mampu
menguasai bahasa kalau dengan cara formal. Hal ini terkait dengan faktor
kemampuan otak. Pada usia tersebut seorang anak pada dasarnya tidak mengetahui
kalau dia sedang memperoleh sebuah bahasa. Meskipun tak memahami nilai-niai dan
pandangan social yang dilekatkan pada sebuah bahasa atau lainnya.
Pertimbangan Afektif
Manusia adalah makhluk social. Jantung semua
pikiran, perasaan, dan tindakan adalah emosi. Emosi sangat mempengaruhi
seberapa tinggi kepintaran kita. Maka logis kiranya jika kita melihat wilayah
afektif untuk menemukan jawaban yang memadai atas masalah perbendaan mendasar
atas perbedaan bahasa 1 dan bahasa 2 (Brown, 2007:73).
Dalam perkembangan manusia, egolah yang sangat
berperan terutama untuk pemerolehan bahasa, identitas diri dan usaha mengetahui
siapa dirinya. Pada masa anak-anak, mereka akan menjadi sadar akan diri mereka,
terdapat rasa risau dalam pencarian mereka untuk memahami dan merumuskan
identitas diri. Menjelas remaja, akan tumbuh kesadaran untuk serta pembentukan
pribadi yang unik dan bediri sendiri.
Pada usia kritis untuk pemeroleha bahasa, ego,
emosi, perkembangan fisik dan kognitif berjalan berdampingan. Sehingga sering
terjadi konflik afektif yang harus disadari ketika berupaya untuk mempelajari
bahasa kedua. Anak dan orang dewasa
tentunya terdapat perbedaan afektif ketika mempelajari bahasa kedua. Alexander
Guiora (1972) mengusulkan tentang ego bahasa (Language Ego) untuk menjelaskan
identitas seseorang yang mengembangkan bahasa yang digunakan. Untuk orang-orang
yang memiliki satu bahasa, ego bahasa meliputi interaksi pada bahasa ibu dan
perkembangan ego. Guiora menyatakan bahwa ego bahasa dapat menjelaskan
kesulitan pembelajaran bahasa kedua pada
orang dewasa. Pemerolehan sebuah ego bahasa baru adalah sebuah usaha yang besar
tidak hanya bagi remaja tapi juga orang dewasa yang telah tumbuh rasa aman dan
nyaman pada identitas mereka dan yang memiliki inhibitasi yang bertindak
sebagai perlindungan dan perlindungan bagi ego mereka. Membuat langkah pada
sebuah identitas baru bukanlah hal yang mudah, hal ini bisa berhasil hanya
ketika sebuah pengumpulan ego yang memperkuat untuk mengatasi inhibitasi. Hal
ini memungkinkan bahwa seorang pembelajar bahasa yang berhasil adalah seseorang
yang mampu menjembatani celah-celah afektif.
Sikap negatif dapat mempengaruhi keberhasilan dalam
mempelajari bahasa. Anak-anak yang kognitifnya tidak dibangun atau dikembangkan
dengan baik untuk memiliki sikap, mungkin tidak seberapa berpengaruh daripada
orang dewasa. Pada anak-anak usia sekolah mulai memperoleh beberapa sikap
terhadap jenis-jenis dan stereotipe orang lain. Sikap ini sebagian besar
diajarkan secara sadar atau tidak sadar oleh orang tua, orang-orang dewasa, dan
teman sepermainannya. Pembelajaran sikap-sikap negatif terhadap orang-orang
yang memakai bahasa kedua atau terhadap bahasa kedua itu sendiri telah
ditunjukkan untuk mempengaruhi keberhasilan pembelajaran bahasa pada
orang-orang di usia sekolah keatas.
Tekanan
dari kawan sebaya yang dihadapi anak-anak dalam pembelajaran bahasa, berbeda
dengan yang dihadapi oleh orang dewasa. Anak-anak biasanya mempunyai paksaan
yang kuat untuk menyesuaikan. Mereka diberitahu dalam kata-kata,
pemikiran-pemikiran, dan tindakan-tindakan bahwa mereka seharusnya ”seperti
anak-anak yang lainnya”. Seperti tekanan dari kawan sebaya terhadap bahasa.
Orang dewasa juga mengalami tekanan dari kawan sebaya, namun dalam bentuk yang
berbeda, orang-orang dewasa cenderung lebih menoleransi perbedaan linguistik
daripada anak-anak, oleh karena itu kesalahan-kesalahan dalam ucapan lebih
mudah dimaafkan. Jika orang-orang dewasa mampu memahami seorang penutur bahasa
kedua, mereka akan memberikan imbalan balik kognitif dan afektif dengan
positif, sebuah tingkatan toleransi yang mungkin mendorong beberapa pembelajar
dewasa untuk ”lulus.”
Pertimbangan Linguistik
Ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan
dalam pemerolehan bahasa kedua terkait dengan bidang linguist sebagai topic
utama dalam SLA.
Bilingualisme
Meskipun kita
menyebutnya pemerolehan bahasa pertama dan kedua. Pada dasarnya, pembelajar
bahasa akan mempelajari 2 bahasa itu secara bersama-sama. Kunci keberhasilan
mempelajari kedua bahasa tersebut adaah kemampuan membedakan konteks
masing-masing bahasa (Brown, 2007:77). Kemampuan untuk menguasai bahasa lebih
dari satu disebut dengan bilingual/dwibahawan. Kejadian yang sering dialami
oleh dwibahasawan adalah campur kode, yaitu tindakan memasukkan kata, frasa
atau yang lebih panjang lagi pada sebuah bahasa ke bahasa lain. Hal ini terjadi
ketika berkomunikasi dengan sesama bilingual.
Interferensi
antara bahasa pertama dan kedua
Tidak
menutup kemungkinan seorang yang menggunakan bahasa kedua, akan sewaktu-waktu
menggunakan kata dari bahasa pertama jika apa yang mau dikatakan dengan bahasa
kedua tidak dimengerti. Perilaku ini sering terjadi apa anak-anak dan dewasa.
bedanya, anak-anak cenderung tidak menyadari dan bahkan tidak menampakkan
adanya interferansi bahasa pertama. Sedangkan untuk orang dewasa yang sangat
sering terjadi disebabkan karena jarang antara kedua pemerolehan antara bahasa
pertama dan bahasa kedua cukup jauh. Dapat ditarik kesimpulan bahwa bahasa
pertama bisa dijadikan jembatan untuk proses interferensi dari bahas pertama ke
bahasa kedua
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
Brown,
Douglas. 2008. Prinsip dan Pembelajaran
Bahasa. Jakarta: Person Education.
Ellis,
Rod. 1994. The Study of Sekond Language
Acquistion. New York: Oxfor University Press.
Language
Acquisition. (On-line). Available: http://earthrenewal.org/second
language.htm
Language
Acquisition. (On-line). Available: http://www.ecs.soton.ac.uk/~harnad/
Papers/Py104/pinker.langacq.html
Language
acquisition. (On-line). Available: http://en.wikipedia.org/wiki/
Languageacquisition
No comments:
Post a Comment