Saturday, May 28, 2016

Kajian Tindak Tutur dan Kesantunan

JENIS-JENIS TINDAK TUTUR DALAM KAJIAN KESANTUNAN




Tindak Tutur
Tindak tutur (speech act) mencakup tiga macam tindakan, yaitu tindakan lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocotionary act). Ketiga tindakan itu dapat disebut secara singkat lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Lokusi adalah tindakan berbicara, yaitu tindak mengucapkan suatu tuturan yang bermakna, baik makna harafiah atau makna kata per kata maupun makna kalimat. Ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu. Illokusi berkaitan dengan maksud, fungsi, dan daya yang terkandung dalam lokusi. Perlokusi adalah akibat yang ditimbulkan oleh adanya ilokusi di dalam lokusi (Leech, 1993: 25).
Ilokusi dapat digolong-golongkan berdasarkan isi dan fungsinya. Dari segi isi, Searle (1975) mengklasifikasikan illokusi kedalam lima kategori. Pertama, illokusi asertif (assertive), yaitu tindak tutur yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan. Illokusi asertif jiga sering disebut representatif. Contoh illokusi jenis ini, misalnya, menyatakan, mengusulkan, mengeluh, mengemukakan pendapat, melaporkan, dan membual. Umumnya illokusi jenis ini termasuk bekerjasama, karena itu bersifat netral, kecuali membual yang biasanya dianggap tidak santun. Ilokusi bersifat proposional, yaitu maknanya berada dalam proposisi makna tekstual.
Kedua, ilokusi derektif, yaitu tindak tutr yang bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan petutur. Menurut Leech (1993:38), meskipun ilokusi direktif menghasilkan efek “menggiring petutur untuk melakukan suatu tindakan” namun tidak semua direktif bermakna kompetitif sehingga tergolong tindak tutur yang kurang santun. Ada sebagian direktif yang secara intrinsik cukup santun, misalnya mengundang tetapi ada pula sebagian direktif yang secara intrinsik kurang santun, misalnya memerintah. Ilokusi direktif yang mempunyai mengancam muka, oleh Leech, digolongkan sebagai impositif (impositive). Impositif adalah wujud ilokusi kompetitif yang termasuk dalam kategori direktif, yakni ilokusi yang bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan petutur. Yang termasuk dalam jenis ilokusi ini, misalnya, memesan, memerintah, mengkritik, memohon, menuntut, dan memberi nasehat. Ilokusi jenis ini bersifat kompetitif karena itu membutuhkan kesantuan negatif. Dalam beberapa hal, misalnya, dari segi tujuan ilokusi bersaing dengan tujuan sosial atau nersifat kompetitif, istilah ilokusi impositif memiliki kepadanan makna dengan istilah eksertif (exertive) yang dipakai Saville Troike (1982), Bach da harnish (1979) dan Austin (1962). Akan tetapi, penggunaan istilah impositif oleh Leech merujuk pula pada tujuan praktis, yakni agar tidak kacau dengan ilokusi langsung dan tidak langsung (direct dan indirect ilocutions).
Ketiga, ilokusi komisif (commisive), yaitu tindak tutur yang sedikit banyak mengikat penutur dengan suatu tindakan masa depan. Contoh illokusi ini, misalnya, menjanjikan, menawarkan, dan berkaul (mernadar). Ilokusi ini cenderung menyenangkan dari pada bersifat kompetitif karena tidak mengacu pada kepentingan penutur tetapi pada kepentingan penutur.
Keempat, ilokusi ekspresif (expresive), yaitu tindak tutur yang berisi ungkapan sikap psikologis penutur terhadap situasi yang tersirat dalam ilokusi. Contoh ilokusi ini, misalnya, mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, memuji, menuduh, dan mengucapkan bela sungkawa. Sama halnya dengan komisif, ilokusi ekspresif juga cenderung bersifat menyenangkan. Berdasarkan sifatnya itu, secara intrinsik ilokusi ini umumnya termasuk santun, kecuali mengecam dan menuduh.
Kelima ilokusi deklarasi (declaration), yaitu tindak tutur yang memberi akibat tertentu pada petutur berdasarkan kesesuaian antara proposisi dengan realitas. Termasuk ilokusi ini, misalnya, pernyataan memecat, memberi nama, membabtis, pengunduran diri, menjatuhkan hukuman, dan mengangkat pegawai. Ilokusi ini biasanya dihubungkan dengan lembaga dan wewenang atau otoritas yang dimilki penutur. Oleh karena tidak menyangkut individu-individu. Ilokusi ini hampir sama sekali tidak berhubungan dengan kesantunan.
Kelima kategori ilokusi di atas adalah kategori Searle (1975). Leech (1983) mencoba memadankan kelima kategori tersebut dengan kategori ciptaannya sendiri. Menurut Leech, dilihat dari fungsinya ilokusi dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori, yaitu ilokusi bersifat kompetitif (competitive), menyenangkan (convivial), bekerjasama (collaborative), dan menentang (conflicitive). Tujuan ilokusi kompetitif bersaing dengan tujuan sosial, yaitu tujuan untuk memelihara hubungan baik antara penutur dan petutur dan menjaga agar petutur tidak merasa malu, tertekan, terpaksa, dan terancam. Termasuk ilokusi kompetitif, misalnya, memerintah, meminta , mununtut, dan mengemis. Tujuan ilokusi menyenangkan sejalan dengan tujuan sosial. Termasuk ilokusi itu, antara lain, menawarkan, mengundang, menyapa, mengucapkan terimakasih, dan mengucapkan selamat. Tujuan ilokusi yang berfungsi bekerjasama tidak menghiraukan tujuan sosial. Termasuk ilokusi itu, antara lain, mengancam, menuduh, menyumpahi, dan memarahi. Fungsi-fungsi tersebut dihubungkan dengan tujuan-tujuan sosial untuk memelihara perilaku yang santun dan terhormat. Dua dari empat jenis fungsi ilokusi tersebut berkaitan dengan kesantunan, yaitu ilokusi yang berfungsi kompetitif dan menyenangkan (Leech, 1993:162).
            Berdasarkan beberapa jenis ilokusi di atas, berikut ini dipaparkan hasil pemilihan dan pengklasifikasian jenis tuturan yang dikemukakan oleh bebrapa linguis. Linguis pertama adalah Halliday (1985) mendeskripsikan jenis tuturan yang ditemukan dalam peristiwa tutur sehari-hari baik dalam situasi resmi maupun tidak resmi. Hasil deskripsi tersebut diklasifikasikan ke dalam lima belas kelompok tindak tutur. Kelima belas tindak tutur tersebut, adalah (1) tindak tutur menyapa, mengundang, menerima, dan menjamu, (2) tindak tutur memuji, mengucapkan selamat, menyanjung/merayu, menggoda, memesonakan, dan menyombongkan, (3) tindak tutur menginterupsi, menyela, dan memotong pembicaraan, (4) tindak tutur memohon, meminta, dan mengahrapkan, (5) tindak tutur mengelak, membohongi, mengobati kesalahan, dan mengganti subjek, (6) tindak tutur mengkritik, menegur, mencerca, mengomeli, mengejek, menghina, mengancam, dan memperingatkan, (7) tindak tutur mengeluh dan mengadu, (8) tindak tutur mengeluh, menyangkal, dan mengingkari, (9) tindak tutur menyetujui. menolak, dan mendebat atau membantah, (10) tindak tutur meyaicinkan, menuntut, mempengaruhi, atau mensugesti, mengingatkan. menegaskan atau menyatakan, dan menasehati, (11) tindak tutur melaporkan, menilai, dan mengomentari, (12) tindak tutur memerintah, memesan, memrintah. atau menuntut, (13) tindak tutur rnenanyakan, memriksa atau meneliti, (14) tindak tutur menaruh simpati dan menyataka belasungkawa, dan (15) tindak tutur meminta maaf atau memaaflcan.

Kelima belas kelompok tindak tutur di atas kemunculannya dapat secara sendiri-sendiri atau secara simultan dalam suatu peristiwa tutur tertentu (Suyono, 1990). Hal ini dapat dipahami, karena pada hakikatnya peristiwa tutur dibangun oleh sejumlah tuturan dan partisipan komunikasi.
Linguis kedua adalah Padeta dalam (Suyono, 1990) menganalisis dan mengelompokkan tuturan berdasarkan isi suatu tuturan. Hasil analisisnya itu mengungkapkan bahwa tuturan dapat dikiasifikasikanatas lima kelompok. Kelima kelompok tersebut adalah (1) tuturan yang berisi pertanyaan-pertanyaan, (2) tturan yang berisi suruhan/penolakan, (3) tuturan yang berisi permintaan/ persetujuan, (4) tuturan yang berisi pertanyaan/jawaban, dan (5) tuturan yang berisi nasehat.
Klasifikasi jenis tindak tutur lain adalah klasifikasi yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada tahun 1984. kiasifikasi tersebut dimuat dalam Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) math pelajaran bahasa dan Sastra Indonesia, khususnya untuk pokok bahasan pragmatik pada jenjang pendidikan SD, SLTP, dan SMU. Penyusunan itu climaksudkan sebagai dasar sekaligus acuan keberhasilan pembelaj aran pragmatik di sekolah klasifikasi tindak tutur tersebut adalah sebagai berikut (1) tindak tutur melaporka fakta, (2) tindak tutur menanyaka fakta, (3) tindak tutur menyatakan setuju/tidak setuju, (4) tindak tutur menerima dan menolak, (5) tindak tutur menyatakankemungkinan dan kepastian, (6) tindak tutur menyataka kesimpulan, (7) tindak tutur menyatakan suka/tak suka, (8) tindak tutur menyatakan keinginan dan harapan, (9) tindak tutur menyatakan simpati, selamat, ikut prihatin, dan berduka, (10) tindak tutur menyatakan maaf, (11) tindak tutur menyatakan pujian dan penghargaan, (12) tindak tutur meminta, memohon, dan meminjam, (13) tindak tutur menyuruh, memerintah, dan melarang, (14) tindak whir memberi peringatan, dan (15) tindak tutur memberi saran. GBPP yang disusun berdasarkan kurikulum 1984 itu tidak dipakai lagi sekarang dan telah digantikan kurikulum 1994. Namun demikian, substansinya masih tetap mewarnai tujuan institusional pada jenjang-jenjang pendidikan yang disebutkan. Karena itu, deskripsi jenis tindak tutur disusun dalam GBPP 1984 tersebut dipandang cukup relevan untuk memperkaya acuan dalam kajian pragmatik, khususnya tindak tutur di sekolah.

Kesantuan Berbahasa
Kesantunan berabahasa adalah tatacara atau peraturan yang terwujud dalam kegiatan berkomunikasi, di mana merujuk pada cara dan bentuk bahasa yang digunakan oleh seseorang dengan penuh sopan. Kesantunan berbahasa mencakup aspek-aspek seperti pemilihan kata yang digunakan ketika bertegur sapa (bahasa sapaan), nada atau intonasi, serta gerak tubuh yang digunakan pada saat berkomunikasi.
Penilaian tentang kesantunan berbahasa sebenarnya ditentukan secara mutlak oleh pihak yang mndengar atau yang diajak bercakap. Di mana sering kali terjadi apabila pihak petutur menganggap atau menuduh pihak penutur berucap atau berkata-kata kurang sopan padanya, misalnya sipenutur sengaja menuturkan sesuatu yang menyinggung perasaan si pendengar, padahal si penutur tidak pernah berniat untuk berbuat demikian.



Prinsip Sopan Santun
Goffman (1967) mengisyaratkan bahwa kesantunan berbahasa secara khusus ditujukan pada pemeliharaan wajah oleh setiap orang yang terlibat dalam sebuah transaksi komunikasi, sehingga tak ada seorang pun yang merasa wajahnya tercoreng. Gagasan Goffman ini kemudian dikembangkan oleh Brown dan Levinson (1978, 1987) yang menyatakan bahwa untuk melakukan transaksi komunikasi yang santun, setiap orang harus memperhatikan dua jenis keinginan dan dua jenis muka yang dimiliki oleh setiap orang yang terlibat dalam transaksi dimaksud, yaitu keinginan positif dan keinginan negatif, sebagai realisasi dari kepemilikan wajah positif dan wajah negatif. Sementara itu, Grice (1975) mengemukakan bahwa kesantunan bebahasa akan terpenuhi apabila setiap orang mampu menaati sejumlah maksim yang terkandung dalam Prinsip Komunikasi. Maksim-maksim itu adalah maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Sekalipun disadari bahwa dalam setiap transaksi komunikasi pasti akan terjadi pelanggaran terhadap maksim-maksim itu. Bertolak dari semua itu Leech (1983) yang kemudian merinci dan mengembangkan gagasannya sendiri tentang prinsip-prinsip kesantunan dalam berbahasa secara lebih jelas(google 19-07-07).
            Prinsip kesantunan yang sampai dengan saat ini yang dianggap paling lengkap, paling mapan, dan relativ paling komprehensif telah dirumuskan oleh Leech (1983). Tarigan (1990) menerjemahkan maksim-maksim dalam prinsip-prinsip kesantunan yang disampaikan Leech (1983) berturut-turut sebagai berikut.
a.    Maksim kebijaksanaan
Kurangi kerugian orang lain.
Tanbahi keuntungan orang lain.
b.    Maksim kedermawanan
Kurangi keuntungan diri sendiri.
Tambahi pengorbanan diri sendiri.
c.    Maksim penghargaan
Kurangi cacian pada orang lain.
Tambahi pujian pada orang lain.
d.    Maksim kesederhanaan
Kurangi pujian pada diri sendiri.
Tambahi cacian pada diri sendiri.
e.    Maksim permufakatan
Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.
Tingkatan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.
f.     Maksim Simpati
Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain.
Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain

Daftar Pustaka
Alwasilah, Chaedar. 1985. Beberapa Madhab dan Dikotomi Teori Linguistik. Bandung. Angkasa
Kaswanti Purwo, B. 1988. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta. Kanisus.
Kuntarto, E. 1999. Strategi Kesantunan Dwibahasawan Indonesia-Jawa: Kajian Wacana Lisan Indonesia. Disertasi pada Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang.
Leech, G. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terjemahan oleh M. D. D. Oka. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Ohoiwutun, P. 2002. Sosiolinguistik: Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta. Visipro.
Suyono. 1991. Panduan Pengajaran Pragmatik. Malang: YA3.

Rahardi, Kunjana, R. 2006. Pragmatik (Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia). Jakarta: Erlangga.

No comments:

Post a Comment