JENIS-JENIS TINDAK TUTUR DALAM
KAJIAN KESANTUNAN
Tindak Tutur
Tindak tutur (speech act)
mencakup tiga macam tindakan, yaitu tindakan lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocotionary act). Ketiga tindakan itu dapat disebut secara
singkat lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Lokusi adalah tindakan berbicara, yaitu
tindak mengucapkan suatu tuturan yang bermakna, baik makna harafiah atau makna
kata per kata maupun makna kalimat. Ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu.
Illokusi berkaitan dengan maksud, fungsi, dan daya yang terkandung dalam
lokusi. Perlokusi adalah akibat yang ditimbulkan oleh adanya ilokusi di dalam
lokusi (Leech, 1993: 25).
Ilokusi dapat digolong-golongkan berdasarkan isi dan fungsinya. Dari segi
isi, Searle (1975) mengklasifikasikan illokusi kedalam lima kategori. Pertama,
illokusi asertif (assertive), yaitu tindak tutur yang mengikat penutur pada
kebenaran proposisi yang diungkapkan. Illokusi asertif jiga sering disebut
representatif. Contoh illokusi jenis ini, misalnya, menyatakan, mengusulkan,
mengeluh, mengemukakan pendapat, melaporkan, dan membual. Umumnya illokusi
jenis ini termasuk bekerjasama, karena itu bersifat netral, kecuali membual
yang biasanya dianggap tidak santun. Ilokusi bersifat proposional, yaitu
maknanya berada dalam proposisi makna tekstual.
Kedua, ilokusi derektif, yaitu tindak tutr yang bertujuan menghasilkan
suatu efek berupa tindakan yang dilakukan petutur. Menurut Leech (1993:38),
meskipun ilokusi direktif menghasilkan efek “menggiring petutur untuk melakukan
suatu tindakan” namun tidak semua direktif bermakna kompetitif sehingga
tergolong tindak tutur yang kurang santun. Ada sebagian direktif yang secara
intrinsik cukup santun, misalnya mengundang tetapi ada pula sebagian direktif
yang secara intrinsik kurang santun, misalnya memerintah. Ilokusi direktif yang
mempunyai mengancam muka, oleh Leech, digolongkan sebagai impositif (impositive). Impositif adalah wujud
ilokusi kompetitif yang termasuk dalam kategori direktif, yakni ilokusi yang
bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan petutur. Yang
termasuk dalam jenis ilokusi ini, misalnya, memesan, memerintah, mengkritik,
memohon, menuntut, dan memberi nasehat. Ilokusi jenis ini bersifat kompetitif
karena itu membutuhkan kesantuan negatif. Dalam beberapa hal, misalnya, dari
segi tujuan ilokusi bersaing dengan tujuan sosial atau nersifat kompetitif,
istilah ilokusi impositif memiliki kepadanan makna dengan istilah eksertif (exertive) yang dipakai Saville Troike
(1982), Bach da harnish (1979) dan Austin (1962). Akan tetapi, penggunaan
istilah impositif oleh Leech merujuk pula pada tujuan praktis, yakni agar tidak
kacau dengan ilokusi langsung dan tidak langsung (direct dan indirect
ilocutions).
Ketiga, ilokusi komisif (commisive),
yaitu tindak tutur yang sedikit banyak mengikat penutur dengan suatu tindakan
masa depan. Contoh illokusi ini, misalnya, menjanjikan, menawarkan, dan berkaul
(mernadar). Ilokusi ini cenderung menyenangkan dari pada bersifat kompetitif
karena tidak mengacu pada kepentingan penutur tetapi pada kepentingan penutur.
Keempat, ilokusi ekspresif (expresive),
yaitu tindak tutur yang berisi ungkapan sikap psikologis penutur terhadap
situasi yang tersirat dalam ilokusi. Contoh ilokusi ini, misalnya, mengucapkan
terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, memuji, menuduh, dan
mengucapkan bela sungkawa. Sama halnya dengan komisif, ilokusi ekspresif juga
cenderung bersifat menyenangkan. Berdasarkan sifatnya itu, secara intrinsik
ilokusi ini umumnya termasuk santun, kecuali mengecam dan menuduh.
Kelima ilokusi deklarasi (declaration),
yaitu tindak tutur yang memberi akibat tertentu pada petutur berdasarkan
kesesuaian antara proposisi dengan realitas. Termasuk ilokusi ini, misalnya,
pernyataan memecat, memberi nama, membabtis, pengunduran diri, menjatuhkan
hukuman, dan mengangkat pegawai. Ilokusi ini biasanya dihubungkan dengan
lembaga dan wewenang atau otoritas yang dimilki penutur. Oleh karena tidak
menyangkut individu-individu. Ilokusi ini hampir sama sekali tidak berhubungan
dengan kesantunan.
Kelima kategori ilokusi di atas adalah kategori Searle (1975). Leech (1983)
mencoba memadankan kelima kategori tersebut dengan kategori ciptaannya sendiri.
Menurut Leech, dilihat dari fungsinya ilokusi dapat diklasifikasikan ke dalam
empat kategori, yaitu ilokusi bersifat kompetitif (competitive), menyenangkan (convivial),
bekerjasama (collaborative), dan
menentang (conflicitive). Tujuan
ilokusi kompetitif bersaing dengan tujuan sosial, yaitu tujuan untuk memelihara
hubungan baik antara penutur dan petutur dan menjaga agar petutur tidak merasa
malu, tertekan, terpaksa, dan terancam. Termasuk ilokusi kompetitif, misalnya,
memerintah, meminta , mununtut, dan mengemis. Tujuan ilokusi menyenangkan
sejalan dengan tujuan sosial. Termasuk ilokusi itu, antara lain, menawarkan,
mengundang, menyapa, mengucapkan terimakasih, dan mengucapkan selamat. Tujuan
ilokusi yang berfungsi bekerjasama tidak menghiraukan tujuan sosial. Termasuk
ilokusi itu, antara lain, mengancam, menuduh, menyumpahi, dan memarahi.
Fungsi-fungsi tersebut dihubungkan dengan tujuan-tujuan sosial untuk memelihara
perilaku yang santun dan terhormat. Dua dari empat jenis fungsi ilokusi
tersebut berkaitan dengan kesantunan, yaitu ilokusi yang berfungsi kompetitif
dan menyenangkan (Leech, 1993:162).
Berdasarkan beberapa jenis ilokusi di atas, berikut ini
dipaparkan hasil pemilihan dan pengklasifikasian jenis tuturan yang dikemukakan
oleh bebrapa linguis. Linguis pertama adalah Halliday (1985) mendeskripsikan
jenis tuturan yang ditemukan dalam peristiwa tutur sehari-hari baik dalam
situasi resmi maupun tidak resmi. Hasil deskripsi tersebut diklasifikasikan ke
dalam lima belas kelompok tindak tutur. Kelima belas tindak tutur tersebut,
adalah (1) tindak tutur menyapa, mengundang, menerima, dan menjamu, (2) tindak
tutur memuji, mengucapkan selamat, menyanjung/merayu, menggoda, memesonakan,
dan menyombongkan, (3) tindak tutur menginterupsi, menyela, dan memotong
pembicaraan, (4) tindak tutur memohon, meminta, dan mengahrapkan, (5) tindak
tutur mengelak, membohongi, mengobati kesalahan, dan mengganti subjek, (6)
tindak tutur mengkritik, menegur, mencerca, mengomeli, mengejek, menghina,
mengancam, dan memperingatkan, (7) tindak tutur mengeluh dan mengadu, (8)
tindak tutur mengeluh, menyangkal, dan mengingkari, (9) tindak tutur
menyetujui. menolak, dan mendebat atau membantah, (10) tindak tutur
meyaicinkan, menuntut, mempengaruhi, atau mensugesti, mengingatkan. menegaskan
atau menyatakan, dan menasehati, (11) tindak tutur melaporkan, menilai, dan
mengomentari, (12) tindak tutur memerintah, memesan, memrintah. atau menuntut,
(13) tindak tutur rnenanyakan, memriksa atau meneliti, (14) tindak tutur
menaruh simpati dan menyataka belasungkawa, dan (15) tindak tutur meminta maaf
atau memaaflcan.
Kelima belas kelompok tindak tutur di atas kemunculannya dapat secara
sendiri-sendiri atau secara simultan dalam suatu peristiwa tutur tertentu
(Suyono, 1990). Hal ini dapat dipahami, karena pada hakikatnya peristiwa tutur
dibangun oleh sejumlah tuturan dan partisipan komunikasi.
Linguis kedua adalah Padeta dalam (Suyono, 1990) menganalisis dan mengelompokkan
tuturan berdasarkan isi suatu tuturan. Hasil analisisnya itu mengungkapkan
bahwa tuturan dapat dikiasifikasikanatas lima kelompok. Kelima kelompok
tersebut adalah (1) tuturan yang berisi pertanyaan-pertanyaan, (2) tturan yang
berisi suruhan/penolakan, (3) tuturan yang berisi permintaan/ persetujuan, (4)
tuturan yang berisi pertanyaan/jawaban, dan (5) tuturan yang berisi nasehat.
Klasifikasi jenis tindak tutur lain adalah klasifikasi yang disusun oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada tahun 1984.
kiasifikasi tersebut dimuat dalam Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP)
math pelajaran bahasa dan Sastra Indonesia, khususnya untuk pokok bahasan
pragmatik pada jenjang pendidikan SD, SLTP, dan SMU. Penyusunan itu climaksudkan
sebagai dasar sekaligus acuan keberhasilan pembelaj aran pragmatik di sekolah
klasifikasi tindak tutur tersebut adalah sebagai berikut (1) tindak tutur
melaporka fakta, (2) tindak tutur menanyaka fakta, (3) tindak tutur menyatakan
setuju/tidak setuju, (4) tindak tutur menerima dan menolak, (5) tindak tutur
menyatakankemungkinan dan kepastian, (6) tindak tutur menyataka kesimpulan, (7)
tindak tutur menyatakan suka/tak suka, (8) tindak tutur menyatakan keinginan
dan harapan, (9) tindak tutur menyatakan simpati, selamat, ikut prihatin, dan
berduka, (10) tindak tutur menyatakan maaf, (11) tindak tutur menyatakan pujian
dan penghargaan, (12) tindak tutur meminta, memohon, dan meminjam, (13) tindak
tutur menyuruh, memerintah, dan melarang, (14) tindak whir memberi peringatan,
dan (15) tindak tutur memberi saran. GBPP yang disusun berdasarkan kurikulum
1984 itu tidak dipakai lagi sekarang dan telah digantikan kurikulum 1994. Namun
demikian, substansinya masih tetap mewarnai tujuan institusional pada
jenjang-jenjang pendidikan yang disebutkan. Karena itu, deskripsi jenis tindak
tutur disusun dalam GBPP 1984 tersebut dipandang cukup relevan untuk memperkaya
acuan dalam kajian pragmatik, khususnya tindak tutur di sekolah.
Kesantuan Berbahasa
Kesantunan berabahasa adalah tatacara atau peraturan yang terwujud dalam
kegiatan berkomunikasi, di mana merujuk pada cara dan bentuk bahasa yang
digunakan oleh seseorang dengan penuh sopan. Kesantunan berbahasa mencakup
aspek-aspek seperti pemilihan kata yang digunakan ketika bertegur sapa (bahasa
sapaan), nada atau intonasi, serta gerak tubuh yang digunakan pada saat
berkomunikasi.
Penilaian tentang kesantunan berbahasa sebenarnya ditentukan secara mutlak
oleh pihak yang mndengar atau yang diajak bercakap. Di mana sering kali terjadi
apabila pihak petutur menganggap atau menuduh pihak penutur berucap atau
berkata-kata kurang sopan padanya, misalnya sipenutur sengaja menuturkan
sesuatu yang menyinggung perasaan si pendengar, padahal si penutur tidak pernah
berniat untuk berbuat demikian.
Prinsip Sopan Santun
Goffman (1967) mengisyaratkan bahwa kesantunan berbahasa secara khusus
ditujukan pada pemeliharaan wajah oleh setiap orang yang terlibat dalam sebuah
transaksi komunikasi, sehingga tak ada seorang pun yang merasa wajahnya tercoreng.
Gagasan Goffman ini kemudian dikembangkan oleh Brown dan Levinson (1978, 1987)
yang menyatakan bahwa untuk melakukan transaksi komunikasi yang santun, setiap
orang harus memperhatikan dua jenis keinginan dan dua jenis muka yang dimiliki
oleh setiap orang yang terlibat dalam transaksi dimaksud, yaitu keinginan
positif dan keinginan negatif, sebagai realisasi dari kepemilikan wajah positif
dan wajah negatif. Sementara itu, Grice (1975) mengemukakan bahwa kesantunan
bebahasa akan terpenuhi apabila setiap orang mampu menaati sejumlah maksim yang
terkandung dalam Prinsip Komunikasi. Maksim-maksim itu adalah maksim kualitas,
maksim kuantitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Sekalipun disadari bahwa
dalam setiap transaksi komunikasi pasti akan terjadi pelanggaran terhadap
maksim-maksim itu. Bertolak dari semua itu Leech (1983) yang kemudian merinci
dan mengembangkan gagasannya sendiri tentang prinsip-prinsip kesantunan dalam
berbahasa secara lebih jelas(google 19-07-07).
Prinsip kesantunan yang sampai dengan saat ini yang
dianggap paling lengkap, paling mapan, dan relativ paling komprehensif telah
dirumuskan oleh Leech (1983). Tarigan (1990) menerjemahkan maksim-maksim dalam
prinsip-prinsip kesantunan yang disampaikan Leech (1983) berturut-turut sebagai
berikut.
a.
Maksim kebijaksanaan
Kurangi kerugian orang lain.
Tanbahi keuntungan orang lain.
b.
Maksim kedermawanan
Kurangi keuntungan diri sendiri.
Tambahi pengorbanan diri sendiri.
c.
Maksim penghargaan
Kurangi cacian pada orang lain.
Tambahi pujian pada orang lain.
d.
Maksim kesederhanaan
Kurangi pujian pada diri sendiri.
Tambahi cacian pada diri sendiri.
e.
Maksim permufakatan
Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.
Tingkatan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.
f.
Maksim Simpati
Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain.
Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain
Daftar Pustaka
Alwasilah, Chaedar. 1985. Beberapa Madhab
dan Dikotomi Teori Linguistik. Bandung. Angkasa
Kaswanti Purwo, B. 1988. Pragmatik dan
Pengajaran Bahasa. Yogyakarta.
Kanisus.
Kuntarto, E. 1999. Strategi Kesantunan Dwibahasawan Indonesia-Jawa: Kajian Wacana Lisan Indonesia. Disertasi pada
Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang.
Leech, G. 1993. Prinsip-prinsip
Pragmatik. Terjemahan oleh M. D. D. Oka. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Ohoiwutun, P. 2002. Sosiolinguistik:
Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta. Visipro.
Suyono. 1991. Panduan
Pengajaran Pragmatik. Malang: YA3.
Rahardi, Kunjana, R.
2006. Pragmatik (Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia). Jakarta:
Erlangga.
No comments:
Post a Comment