Pengertian Stilistika
Stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil (style) secara umum sebagaimana akan
dibicarakan secara lebih luas pada bagian berikut adalah cara-cara yang khas,
bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga tujuan yang
dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal (Ratna, 2013: 3). Dalam hubungannya
dengan kedua istilah di atas perlu disebutkan istilah lain yang seolah-olah
kurang memperoleh perhatian tetapi sesungguhnya dalam proses analisis memegang
peranan besar, yaitu majas. Majas diterjemahkan dari kata trope (Yunani), figure of
speech (Inggris), berarti persamaan atau kiasan. Jenis majas sangat banyak,
seperti: hiperbola, paradoks, sarkasme, inversi, dan sebagainya. Tetapi, pada
umumnya dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu: majas penegasan, perbandingan,
pertentangan, dan majas sindiran. Majas inilah yang paling banyak dikenal, baik
dalam masyarakat pada umumnya maupun dalam bidang pendidikan, sejak Sekolah
Dasar hingga Sekolah Menengah Umum dan Perguruan Tinggi. Dengan penjelasan di
atas, maka majas pada dasarnya berfungsi sebagai penunjang gaya bahasa.
Istilah lain yang mungkin muncul
dalam kaitannya dengan gaya bahasa, di antaranya: seni bahasa, estetika bahasa,
kualitas bahasa, ragam bahasa, gejala bahasa, dan rasa bahasa. Dua istilah
pertama memiliki pengertian yang hampir sama, bahasa dalam kaitannya dengan
ciri-ciri keindahan sehingga identik dengan gaya bahasa itu sendiri. Kualitas
bahasa lebih banyak berkaitan dengan nilai penggunaan bahasa secara umum, termasuk
ilmu pengetahuan. Ragam bahasa adalah jenis, genre, dikategorikan menurut medium (lisan dan tulisan), topik yang
dibicarakan (ilmiah dan ilmiah populer), pembicara (halus dan kasar), semangat
(regional dan nasional).
Gejala bahasa dalam pengertian
sempit menyangkut perubahan (penghilangan, pertukaran) dalam sebuah kata,
seperti: sinkope, apokope, dan metatesis. Pada pengertian luas gejala bahasa
menyangkut berbagai bentuk perubahan bahasa baik lisan maupun tulisan. Gejala
bahasa yang paling khas dengan demikian adalah gaya bahasa itu sendiri,
termasuk majas. Rasa bahasa adalah perasaan yang timbul sesudah menggunakan,
mendengarkan suatu ragam bahasa tertentu. Bahasa tidak semata-mata mewakili
makna harfiah, makna denotatif, tetapi juga sebagai akibat konteks sosial.
Gaya merupakan salah satu cabang
ilmu tertua dalam bidang kritik sastra. Menurut Fowler (dalam Ratna, 2013: 4)
makna-makna yang diberikan sangat kontroversial, relevansinya menimbulkan
banyak perdebatan. Gaya terkandung dalam semua teks, bukan bahasa tertentu,
bukan semata-mata teks sastra. Gaya adalah ciri-ciri, standar bahasa, gaya
adalah cara ekspresi. Meskipun demikian, pada umumnya gaya dianggap sebagai
sebuah istilah khusus, semata-mata dibicarakan dan dengan demikian dimanfaatkan
dalam bidang tertentu, bidang akademis, yaitu bahasa dan sastra. Dengan
pertimbangan bahwa gaya menyangkut masalah penggunaan bahasa secara khusus, maka
sastralah, dalam hubungan ini karya sastranya yang dianggap sebagai sumber data
utamanya. Perkembangan terakhir dalam sastra juga menunjukkan bahwa gaya hanya
dibatasi dalam kaitannya dengan analisis puisi. Alasannya, di antara genre-genre karya sastra, puisilah yang
dianggap sebagai memiliki penggunaan bahasa paling khas.
Menurut Murry (dalam Ratna,
2013: 6) semua gaya dalam hubungan ini gaya karya sastra, khususnya karya
sastra yang berhasil adalah artifisial, diciptakan dengan disengaja. Gaya
dengan demikian adalah kualitas bahasa, merupakan ekspresi langsung pikiran dan
perasaan. Tanpa adanya proses hubungan yang harmonis antara kedua gejala
tersebut, maka gaya bahasa tidak ada. Dalam aktivitas kreatif komunikasi antara
pikiran dan perasaan diproduksi secara terus menerus sejak awal hingga akhir
cerita, sehingga keseluruhan karya dapat dianggap sebagai memiliki gaya bahasa.
Perbedaannya, ciri-ciri perasaan dominan dalam puisi, sebaliknya, pikiran dominan
dalam prosa. Kalimat ‘Kamu ini bodoh’ jelas hanya menampilkan kualitas pikiran,
sebagai kalimat baku dengan ciri denotatif. Dengan adanya peranan perasaan maka
kebodohan diasosiasikan dengan benda lain, dalam hubungan ini binatang,
khususnya kerbau. Seorang anak yang bodoh, secara konotatif pada gilirannya
dinyatakan dengan kalimat ‘Kamu ini kerbau.’
Definisi sangat diperlukan dalam kaitannya
dengan suatu objek tertentu. Setelah pendapat beberapa ahli, Sukada (dalam Ratna,
2013: 12) mendefinisikan gaya bahasa dalam sejumlah butir pernyataan (a) gaya
bahasa adalah bahasa itu sendiri, (b) yang dipilih berdasarkan struktur
tertentu, (c) digunakan dengan cara yang wajar, (d) tetapi tetap memiliki ciri
personal, (e) sehingga tetap memiliki ciri-ciri personal, (f) sebab lahir dari
diri pribadi penulisnya, diungkapkan dengan kejujuran, (g) disusun secara
sengaja agar menimbulkan efek tertentu dalam diri pembaca, dan (h) isinya
adalah persatuan antara keindahan dan kebenaran
Penilaian gaya bahasa perbandingan dalam puisi karya
siswa berdasarkan empat kriteria sebagai berikut.
a. Pleonasme
dan Tautologi
Pleonasme
1) Siswa
dikatakan sangat baik apabila menggunakan kata-kata secara berlebihan dan
apabila kata yang berlebihan itu dihilangkan, maknanya tetap utuh.
2) Siswa
dikatakan baik apabila menggunakan kata-kata secara berlebihan namun apabila
kata yang berlebihan itu dihilangkan, maknanya akan berubah.
3) Siswa
dikatakan cukup baik apabila menggunakan kata-kata secara berlebihan namun kata
yang berlebihan itu tidak dapat dihilangkan.
4) Siswa
dikatakan kurang baik apabila tidak menggunakan kata-kata secara berlebihan atau
tidak menggunakan gaya bahasa pleonasme.
Tautologi
1) Siswa
dikatakan sangat baik apabila menggunakan kata-kata secara berlebihan dan kata
yang berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang
lain.
2) Siswa
dikatakan baik apabila menggunakan kata-kata secara berlebihan namun kata yang
berlebihan itu mengandung perulangan dari sebuah kata yang sama.
3) Siswa
dikatakan cukup baik apabila menggunakan kata-kata secara berlebihan namun kata
yang berlebihan itu tidak mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain.
4) Siswa dikatakan
kurang baik apabila tidak menggunakan kata-kata secara berlebihan atau tidak
menggunakan gaya bahasa tautologi.
b. Perifrasis
1) Siswa
dikatakan sangat baik apabila menggunakan kata-kata secara berlebihan dan kata
berlebihan tersebut dapat diganti dengan satu kata saja.
2) Siswa
dikatakan baik apabila menggunakan kata-kata secara berlebihan namun kata
berlebihan tersebut tidak dapat diganti dengan satu kata saja.
3) Siswa
dikatakan cukup baik apabila menggunakan kata-kata sesuai yang dibutuhkan atau
tidak berlebihan.
4) Siswa
dikatakan kurang baik apabila tidak menggunakan kata-kata secara berlebihan
atau tidak menggunakan gaya bahasa perifrasis.
c. Antisipasi
1) Siswa
dikatakan sangat baik apabila menggunakan satu atau beberapa kata sebelum
gagasan yang sebenarnya terjadi.
2) Siswa
dikatakan baik apabila menggunakan satu atau beberapa kata setelah gagasan yang
sebenarnya terjadi.
3) Siswa
dikatakan cukup baik apabila menggunakan satu atau beberapa kata sebelum dan
setelah gagasan yang sebenarnya terjadi.
4) Siswa
dikatakan kurang baik apabila tidak menggunakan satu atau beberapa kata sebelum
gagasan yang sebenarnya terjadi.
d. Koreksi
atau Epanortosis
1) Siswa
dikatakan sangat baik apabila dapat menegaskan sesuatu, kemudian memeriksa dan
memperbaiki yang salah.
2) Siswa
dikatakan baik apabila dapat menegaskan sesuatu, kemudian memeriksa tetapi
tidak dapat memperbaiki yang salah.
3) Siswa
dikatakan cukup baik apabila dapat menegaskan sesuatu namun tidak memeriksa dan
tidak memperbaiki yang salah.
4) Siswa
dikatakan kurang baik apabila tidak dapat menegaskan sesuatu atau tidak menggunakan
gaya bahasa koreksi.
Penilaian gaya bahasa pertentangan
dalam puisi karya siswa berdasarkan empat kriteria sebagai berikut.
a. Zeugma dan
Silepsis
1) Siswa
dikatakan sangat baik apabila terdapat gabungan gramatikal dua buah kata yang
mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan.
2) Siswa
dikatakan baik apabila terdapat gabungan gramatikal dua buah kata tetapi mengandung
ciri-ciri semantik yang sama.
3) Siswa
dikatakan cukup baik apabila terdapat gabungan gramatikal dua buah kata tetapi
tidak mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan.
4) Siswa
dikatakan kurang baik apabila tidak terdapat gabungan gramatikal dua buah kata
yang mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan.
b. Paradoks
1) Siswa
dikatakan sangat baik apabila menggunakan kata-kata yang mengandung
pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada.
2) Siswa
dikatakan baik apabila menggunakan kata-kata yang mengandung pertentangan yang nyata
tetapi tidak sesuai dengan fakta-fakta yang ada.
3) Siswa
dikatakan cukup baik apabila menggunakan kata-kata yang tidak mengandung
pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada.
4) Siswa
dikatakan kurang baik apabila tidak menggunakan kata-kata yang mengandung
pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada.
c. Anastrof
atau Inversi
1) Siswa
dikatakan sangat baik apabila menggunakan kata-kata dengan perubahan urutan
unsur-unsur konstruksi sintaksis.
2) Siswa
dikatakan baik apabila menggunakan kata-kata sesuai urutan unsur-unsur
konstruksi sintaksis.
3) Siswa
dikatakan cukup baik apabila menggunakan kata-kata tetapi tidak dengan
perubahan urutan unsur-unsur konstruksi sintaksis.
4) Siswa
dikatakan kurang baik apabila tidak menggunakan kata-kata dengan perubahan urutan
unsur-unsur konstruksi sintaksis.
d. Histeron
Proteron
1) Siswa
dikatakan sangat baik apabila menggunakan kata-kata yang merupakan kebalikan
dari sesuatu yang logis.
2) Siswa
dikatakan baik apabila menggunakan kata-kata yang sesuai dengan sesuatu yang
logis.
3) Siswa
dikatakan cukup baik apabila menggunakan kata-kata namun bukan merupakan
kebalikan dari sesuatu yang logis.
4) Siswa
dikatakan kurang baik apabila tidak menggunakan kata-kata yang merupakan
kebalikan dari sesuatu yang logis.
Penilaian gaya bahasa pertautan
dalam puisi karya siswa berdasarkan empat kriteria sebagai berikut.
a. Eponim
1) Siswa
dikatakan sangat baik apabila menggunakan kata-kata yang mengandung nama
seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu.
2) Siswa
dikatakan baik apabila menggunakan kata-kata yang mengandung nama seseorang
tetapi tidak dapat dihubungkan dengan sifat tertentu.
3) Siswa
dikatakan cukup baik apabila menggunakan kata-kata yang tidak mengandung nama seseorang tetapi dapat
dihubungkan dengan sifat tertentu.
4) Siswa
dikatakan kurang baik apabila tidak menggunakan kata-kata yang mengandung nama
seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu.
b. Epitet
1) Siswa
dikatakan sangat baik apabila menggunakan frase deskriptif yang menggantikan
nama suatu benda atau seseorang.
2) Siswa
dikatakan baik apabila menggunakan frase deskriptif tetapi tidak menggantikan
nama suatu benda atau seseorang.
3) Siswa
dikatakan cukup baik apabila menggunakan frase deskriptif untuk menjelaskan
suatu hal.
4) Siswa
dikatakan kurang baik apabila tidak menggunakan frase deskriptif yang
menggantikan nama suatu benda atau seseorang.
c. Antonomasia
1) Siswa
dikatakan sangat baik apabila menggunakan gelar resmi atau jabatan sebagai
pengganti nama diri.
2) Siswa
dikatakan baik apabila menggunakan gelar resmi atau jabatan tetapi bukan
sebagai pengganti nama diri.
3) Siswa
dikatakan cukup baik apabila menggunakan gelar resmi atau jabatan hanya untuk
suatu hal.
4) Siswa
dikatakan kurang baik apabila tidak menggunakan gelar resmi atau jabatan
sebagai pengganti nama diri.
d. Gradasi
1) Siswa
dikatakan sangat baik apabila mengandung suatu rangkaian atau urutan kata yang
secara sintaksis mempunyai ciri semantik yang diulang-ulang.
2) Siswa
dikatakan baik apabila mengandung suatu rangkaian atau urutan kata yang
mempunyai ciri semantik yang diulang-ulang namun bukan secara sintaksis.
3) Siswa
dikatakan cukup baik apabila secara sintaksis mengandung suatu rangkaian atau
urutan kata tetapi bukan berupa ciri semantik yang diulang-ulang.
4) Siswa
dikatakan kurang baik apabila tidak mengandung urutan kata yang secara
sintaksis mempunyai ciri semantik yang diulang-ulang.
Penilaian gaya bahasa perulangan
dalam puisi karya siswa berdasarkan empat kriteria sebagai berikut.
a. Asonansi
1) Siswa
dikatakan sangat baik apabila menggunakan sejenis gaya bahasa repetisi yang
berwujud perulangan vokal yang sama.
2) Siswa
dikatakan baik apabila menggunakan sejenis gaya bahasa repetisi tetapi tidak
berwujud perulangan vokal yang sama.
3) Siswa
dikatakan cukup baik apabila hanya menggunakan sejenis gaya bahasa repetisi
saja.
4) Siswa
dikatakan kurang baik apabila tidak menggunakan sejenis gaya bahasa repetisi
yang berwujud perulangan vokal yang sama.
b. Antanaklasis
1) Siswa
dikatakan sangat baik apabila mengandung perulangan kata yang sama dengan makna
yang berbeda.
2) Siswa
dikatakan baik apabila mengandung perulangan kata yang sama dengan makna yang
sama.
3) Siswa
dikatakan cukup baik apabila mengandung perulangan kata yang berbeda dengan
makna yang berbeda.
4) Siswa
dikatakan kurang baik apabila tidak mengandung perulangan kata yang sama dengan
makna yang berbeda.
c. Epistrofa
1) Siswa
dikatakan sangat baik apabila terdapat perulangan kata atau frase pada akhir
baris atau kalimat berurutan.
2) Siswa
dikatakan baik apabila terdapat perulangan kata atau frase pada akhir baris
atau kalimat tetapi tidak berurutan.
3) Siswa
dikatakan cukup baik apabila terdapat perulangan kata atau frase pada awal
baris atau kalimat berurutan.
4) Siswa
dikatakan kurang baik apabila tidak terdapat perulangan kata atau frase pada
akhir baris atau kalimat berurutan.
d. Epanalepsis
1) Siswa
dikatakan sangat baik apabila menggunakan sejenis gaya bahasa repetisi yang
berupa perulangan kata pertama dari baris, klausa atau kalimat menjadi
terakhir.
2) Siswa
dikatakan baik apabila menggunakan sejenis gaya bahasa repetisi yang berupa
perulangan kata pertama dari baris, klausa atau kalimat tetapi bukan berada di
akhir baris atau kalimat.
3) Siswa
dikatakan cukup baik apabila menggunakan sejenis gaya bahasa repetisi tetapi
bukan berupa perulangan kata pertama dari baris, klausa atau kalimat menjadi
terakhir.
Siswa dikatakan kurang baik
apabila tidak menggunakan sejenis gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan
kata pertama dari baris, klausa atau kalimat menjadi terakhir.Pengertian Gaya Bahasa
Para pembaca dan para penulis yang unggul
benar-benar memanfaatkan gaya bahasa untuk menjelaskan gagasan-gagasan mereka.
Sarana retorik klasik ini telah dipergunakan oleh novelis Romawi Cicero dan
Suetonius yang memakai figura dalam
pengertian ‘bayangan, gambaran, sindiran, kiasan.’
Menurut
Dale (dalam Tarigan, 1985: 5) gaya bahasa adalah bahasa indah yang dipergunakan
untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta memperbandingkan
suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum.
Pendek kata penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan
konotasi tertentu.
Menurut Wariner (dalam Tarigan, 1985:
5) gaya bahasa adalah cara mempergunakan bahasa secara imajinatif, bukan dalam
pengertian yang benar-benar secara kalamiah saja.
Gaya bahasa adalah alat tertentu
yang menggunakan bahasa untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan pengarang
sehingga pembaca atau penikmat dapat tertarik atau terpukau atasnya (Hayati dan
Muslich, Tanpa tahun: 6). Apabila gaya bahasa yang dipakai oleh pengarang telah
menghasilkan “daya” tertentu kepada pembacanya, berarti gaya bahasa yang
digunakan telah mencapai “plastis bahasa”. Karya sastra yang plastis bahasanya
tinggi akan disenangi pembaca, sebab gambaran-gambaran atau lukisan-lukisan
yang terdapat di dalamnya terasa hidup, segar, dan berjiwa.
Gaya
bahasa merupakan bentuk retorik,
yaitu penggunaan kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk meyakinkan atau
mempengaruhi penyimak dan pembaca. Kata retorik
berasal dari bahasa Yunani rhetor yang
berarti orator atau ahli pidato. Pada masa Yunani kuno
retorik memang merupakan bagian penting dari suatu pendidikan dan oleh karena
itu aneka ragam gaya bahasa sangat penting dan harus dikuasai benar-benar oleh
orang-orang Yunani dan Romawi yang telah memberi nama bagi aneka seni persuasi
ini.
Secara
singkat dapat dikatakan bahwa “gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran
melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis
(pemakai bahasa).” Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur
berikut: kejujuran, sopan-santun, dan
menarik (Keraf, 1984: 113).
Gaya bahasa dan kosakata mempunyai hubungan erat,
hubungan timbal balik. Kian kaya kosakata seseorang, kian beragam pulalah gaya
bahasa yang dipakainya. Peningkatan pemakaian gaya bahasa jelas turut
memperkaya kosakata pemakainya. Itulah sebabnya maka dalam pengajaran bahasa,
pengajaran gaya bahasa merupakan teknik penting untuk mengembangkan kosakata
para siswa.
Gaya bahasa dapat dikategorikan dalam berbagai cara.
Lain penulis lain pula klasifikasi yang dibuatnya. Tarigan telah
memperbincangkan jenis-jenis gaya bahasa dengan sangat terperinci yaitu sebagai
berikut.
a. Gaya
bahasa perbandingan
b. Gaya
bahasa pertentangan
c. Gaya
bahasa pertautan
d. Gaya
bahasa perulangan
Daftar Pustaka
Tarigan, Henry Guntur. 1985. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung:
Angkasa.
Wellek, Rene & Warren, Austin. 1977. Teori Kesusastraan. Terjemahan oleh
Melani Budianta. 1989. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Widdowson, H. G. 1975. Stilistika dan Pengajaran Sastra. Terjemahan oleh Sudijah. 1997.
Surabaya: Airlangga University Press.
No comments:
Post a Comment