Sunday, May 29, 2016

Artikel Pendidikan Karakter (Oleh Prof. Dr. Tobroni, M.Si )



PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF ISLAM

 http://statis.dakwatuna.com/wp-content/uploads/2013/07/pendidikan-karakter.jpg


Oleh Prof. Dr. Tobroni, M.Si

PENDAHULUAN

        Istilah nation and charakter building adalah istilah klasik dan menjadi kosa kata hampir sepanjang sejarah modern Indonesia terutama sejak peristiwa Sumpah Pemuda 1928. Istilah ini mencuat kembali sejak tahun 2010 ketika pendidikan karakter dijadikan sebagai gerakan nasional pada puncak acara Hari Pendidikan Nasional 20 Mei 2010. Latar belakang munculnya pendidikan karakter ini dilatarbelakangi oleh semakin terkikisnya karakter sebagai bangsa Indonesia, dan sekaligus sebagai upaya pembangunan manusia Indonesia yang berakhlak budi pekerti yang mulia.

            Istilah karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “charakter”, yang antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak (Oxford). Sedangkan secara istilah, karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya dimana manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang. Definisi dari “The stamp of individually or group impressed by nature, education or habit. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Karakter dapat juga diartikan sama dengan akhlak dan budi pekerti, sehingga karakter bangsa identik dengan akhlak bangsa atau budi pekerti bangsa. Bangsa yang berkarakter adalah bangsa yang berakhlak dan berbudi pekerti, sebaliknya bangsa yang tidak berkarakter adalah bangsa yang tidak atau kurang berakhlak atau tidak memiliki standar norma dan perilaku yang baik.


 http://birohmah.unila.ac.id/wp-content/uploads/2013/07/10-muwasafat-tarbiyah.jpg


DASAR PEMBENTUKAN KARAKTER

            Dasar pembentukan karakter itu adalah nilai baik atau buruk. Nilai baik disimbolkan dengan nilai Malaikat dan nilai buruk disimbolkan dengan nilai Setan. Karakter manusia  merupakan hasil tarik-menarik antara nilai baik dalam bentuk energi positif dan nilai buruk dalam bentuk energi negatif. Energi positif itu berupa nilai-nilai etis religius yang bersumber dari keyakinan kepada Tuhan, sedangkan energi negatif itu berupa nilai-nilai yang a-moral yang bersumber dari taghut (Setan). Nilai-nilai etis moral itu berfungsi sebagai sarana pemurnian, pensucian dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani). Energi positif itu berupa: Pertama, kekuatan spiritual. Kekuatan spiritrual itu berupa îmân, islâm, ihsân dan taqwa, yang berfungsi membimbing dan memberikan kekuatan kepada manusia untuk menggapai keagungan dan kemuliaan (ahsani taqwîm); Kedua, kekuatan potensi manusia positif, berupa âqlus salîm (akal yang sehat), qalbun salîm (hati yang sehat), qalbun munîb (hati yang kembali, bersih, suci dari dosa) dan nafsul mutmainnah (jiwa yang tenang), yang kesemuanya itu merupakan modal insani atau sumber daya manusia yang memiliki kekuatan luar biasa. Ketiga,  sikap dan perilaku etis. Sikap dan perilaku etis ini merupakan implementasi dari kekuatan spiritual dan kekuatan kepribadian manusia yang kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya etis. Sikap dan perilaku etis itu meliputi: istiqâmah (integritas), ihlâs, jihâd dan amal saleh.

            Energi positif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter, yaitu orang yang bertaqwa, memiliki integritas (nafs al-mutmainnah) dan beramal saleh. Aktualisasi orang yang berkualitas ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan akhlak budi pekerti yang luhur karena memiliki personality (integritas, komitmen dan dedikasi), capacity (kecakapan) dan competency yang bagus pula (professional).

            Kebalikan dari energi positif di atas adalah energi negatif. Energi negatif itu disimbolkan dengan kekuatan materialistik dan nilai-nilai thâghût (nilai-nilai destruktif). Kalau nilai-nilai etis berfungsi sebagai sarana pemurnian, pensucian dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani), nilai-nilai  material (thâghût ) justru berfungsi sebaliknya yaitu pembusukan, dan penggelapan nilai-nilai kemanusiaan. Hampir sama dengan energi positif, energi negatif terdiri dari:
               Pertama, kekuatan thaghut. Kekuatan thâghût itu  berupa  kufr (kekafiran), munafiq (kemunafikan), fasiq (kefasikan) dan syirik (kesyirikan) yang kesemuanya itu merupakan kekuatan yang menjauhkan manusia dari makhluk etis dan kemanusiaannya yang hakiki (ahsani taqwîm) menjadi makhluk yang serba material (asfala sâfilîn); Kedua, kekuatan kemanusiaan negatif, yaitu  pikiran jahiliyah (pikiran sesat),  qalbun marîdl (hati yang sakit, tidak merasa), qalbun mayyit (hati yang mati, tidak punya nurani) dan nafsu ‘l-lawwamah (jiwa yang tercela) yang kesemuanya itu akan menjadikan manusia menghamba pada ilah-ilah selain Allah berupa harta, sex dan kekuasaan (thâghût). Ketiga,  sikap dan perilaku tidak etis. Sikap dan perilaku tidak etis ini merupakan implementasi dari kekuatan thâghût dan kekuatan kemanusiaan negatif yang kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya tidak etis (budaya busuk). Sikap dan perilaku tidak etis itu meliputi: takabur (congkak), hubb al-dunyâ (materialistik), dlâlim (aniaya) dan amal sayyiât (destruktif).

             Energi negatif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter buruk, yaitu orang yang puncak keburukannya meliputi syirk, nafs lawwamah dan ’amal al sayyiât (destruktif). Aktualisasi orang yang bermental thâghût ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan perilaku tercela, yaitu orang yang memiliki personality tidak bagus (hipokrit, penghianat dan pengecut) dan orang yang tidak mampu mendayagunakan kompetensi yang dimiliki.

 http://sinarharapan.net/wp-content/uploads/2016/05/pendidikan-karakter.jpg


MENGAPA PENDIDIKAN KARAKTER PENTING?

1. Memudarnya Nasionalisme dan Jati Diri Bangsa

Nasionalisme secara umum berarti cinta tanah air, bangsa dan negara dan rela berjuang dan berkorban untuk kejayaannya. Dalam nasionalisme ada heroisme, altruisme dan patriotisme dan mengesampingkan individualisme, hedonisme dan anti sparatisme.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini, jiwa nasionalisme Indonesia semakin terkikis atau semakin memudar, yang ditandai dengan berkembangnya semangat individualisme, hedonisme, terorisme dan bahkan sparatisme. Tanda-tanda kerkikisnya nasionalisme ini melanda hampir semua komponen bangsa baik muda maupun tua, rakyat biasa maupun pejabat negara termasuk kalangan anggota dewan. Bilan angkatan 45 dianggap sebagai generasi pejuang, angkatan 66 sebagai generasi pembangun, dan angkatan 98 sampai sekarang adalah generasi penikmat dan bahkan penghancur.

Untuk berebut menjadi pejabat publik, anggota dewan, pegawai negeri, polisi dan bahkan TNI dari tingkat rendah sampai pejabat tinggi  harus membayar dengan sejumlah uang. Setelah tercapai apa yang diinginkan, lantas dengan berbagai cara agar uang yang telah dikeluarkan segera kembali, dan menggunakan fasilitas negara, wewenang dan hak-hak istimewanya (privilege) untuk memperkaya diri, memperkuat posisi dan menciptakan hegemoni. Mereka bukan sebagai abdi Negara melainkan penghianat negara, bukan pejuang melainkan pecundang. Disamping itu masih ada fenomena terkikisnya nasionalisme yang lain yaitu munculnya sparatisme, terorisme, dan berkembangnya ideologi trans-nasional yang mengingkari paham kebangsaan, cinta tanah air dan negara. Fenomena lain dari terkikisnye nasionalisme adalah enggan  memakai produksi dalam negeri, baik dalam bentuk makanan, pakaian, dan teknologi.

2. Merosotnya Harkat dan Martabat Bangsa

Indonesia sejatinya adalah bangsa dan negara besar: negara kepulauan terbesar di dunia, jumlah umat muslim terbesar di dunia, bangsa multi etnik dan bahasa namun bersatu, memiliki warisan sejarah yang menakjubkan dan kreatifitas anak negeri seperti batik, aneka makanan dan kerajinan yang eksotik, kekayaan serta keindahan alam yang luar biasa. Predikat sebagai bangsa dan negara yang positip itu seakan sirna karena mendapat predikat  baru yang negatip seperti terkorup, bangsa yang soft nation, malas, sarang teroris, bangsa yang hilang keramah tamahannya, banyak kerusuhan, banyak bencana dan lain sebagainya.

Fenomena lain dari merosotnya harkat dan martabat bangsa adalah seperti yang ditakutkan Sukarno, “menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.” Bahkan, mungkin yang lebih buruk lagi dari kekuatiran Sukarno, “menjadi bangsa pengemis dan pengemis di antara bangsa-bangsa”. Bangsa Indonesia barangkali adalah negara pengekspor kuli/babu/tenaga kasar/unskill terbesar di dunia. TKI TKW kita diperlukan di negara-negara tujuan tetapi sangat tidak dihargai dan sering diperlakukan sebagai budak dan perlakuan yang tidak manusiawi lainnya. TKI/TKW memang dapat meningkatkan devisa negara, tetapi sesungguhnya madlorotnya lebih besar dari pada manfaatnya, termasuk merosotnya harkat dan martabat bangsa.

3. Mentalitas Bangsa yang Buruk

Indonesia memiliki modal atau kekuatan yang memadai untuk menjadi bangsa besar dan negara yang kuat. Modal itu antara lain: luas wilayah, jumlah penduduk, kekayaan alam, kekayaan budaya, kesatuan bahasa, ketaatan pada ajaran agama, dan sistem pemerintahan republik yang demokratis. Akan tetapi modal yang besar itu seakan tidak banyak berarti apabila mentalitas bangsa ini belum terbangun atau belum berubah ke arah yang lebih baik. Mentalitas bangsa Indonesia yang kurang kondusif atau menjadi penghambat kejayaan bangsa Indonesia menjadi bangsa maju antara lain: malas, tidak disiplin,  suka melanggar aturan, ngaji pumpung, suka menerabas,  dan nepotisme.

Selama mental sebuah bangsa tersebut tidak berubah, maka bangsa tersebut juga tidak akan mengalami perubahan dan akan tertinggal dengan bangsa-bangsa lain, meskipun bangsa tersebut sesungguhnya memiliki potensi dan modal yang besar. Allah dalam hal ini secara tegas mengatakan: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (QS. 13:11).

Media yang paling ampuh untuk merubah mentalitas bangsa adalah lewat pendidikan dan keyakinan agama. Pendidikan yang mampu merubah mentalitas adalah pendidikan yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati, bukan hanya sekedar formalitas atau kepura-puraan. Keyakinan agama juga besar pengaruhnya bagi mentalitas bangsa. Karena itu melalui pendidikan agama yang mampu menanamkan keimanan yang benar, ibadah yang benar dan akhlakul karimah, niscaya akan menjadikan anak didik sebagai manusia terbaik, yaitu yang bermanfaat bagi orang alain melalui amal shalehnya.

4. Krisis nultidimensional

Berbagai permasalahan menimpa Bangsa Indonesia seperti masih adanya konflik sosial di berbagai tempat, sering mengedepankan cara kekerasan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan, praktek korupsi yang semakin canggih dan massif, sering terjadi perkelahian antar pelajar, pelanggaran etika dan susila yang semakin vulgar, munculnya aliran yang dianggap sesat dan cara-cara penyelesaiannya yang cenderung menggunakan kekerasan, tindakan kejahatan yang mengancam ketenteraman dan keamanan, praktek demokrasi liberal yang ekstreem dalam berbagai aspek kehidupan sehingga bertabrakan dengan budaya dan nilai-nilai kepatutan sebagai bangsa Timur dan bangsa yang religius.

            Sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia, Indonesia juga masih menghadapi persoalan yang serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, antara lain masih adanya sebagian umat Islam yang belum at home sebagai Bangsa Indonesia. Mereka belum sepenuhnya menerima keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai bentuk negara yang final. Masih adanya sebagian umat yang belum memiliki kemampuan dan keterampilan untuk hidup bersama dalam keberbedaan. Impak dari sikap itu antara lain berupa masih kuatnya eksklusifitas, maraknya gerakan-gerakan umat yang kontra produktif, seperti terorisme, garakan-gerakan bawah tanah yang bertujuan mengganti bentuk negara, berbagai bentuk pembangkangan dan bahkan perlawanan terhadap Negara dan pemerintahan yang sah. Akibat dari sikap sebagian umat Islam ini sangat luas, berangkai dan kontra produktif bagi bangsa dan negara, dan khususnya bagi umat Islam.

            Permasalahan yang serius juga terjadi di dunia pendidikan. Pelanggaran etika sosial dan susila serta  kekerasan dalam berbagai bentuknya sering terjadi seperti: perkelaian antar pelajar, seks bebas, tindak pidana,  sikap tidak etis terhadap guru, berbagai bentuk pelanggaran tata tertib sekolah, dan minimnya prestasi dan kejayaan yang dicapai para pelajar kita.

          Permasalahan bangsa tersebut di atas semakin diperparah dengan tayangan telivisi yang sangat vulgar, life, tidak mengenal waktu tayang, dan diulang-ulang oleh hampir semua stasiun TV dan juga surat kabar. Peristiwa pembunuhan, pemerkosaan, perkelaian, perampokan, pembakaran, demo yang anarkis, tidakan aparat yang represif, perceraian, terorisme dan berbagai bentuk tindakan kejahatan justru menjadi menu utama dan disiarkan dalam berbagai bentuk tayangan (berita, peristiwa, sinetron, dialog dan lain-lain). Semboyan wartawan adalah “bad news is good news”. Berita baik apabila ada unsur ‘blood dan “crowd”. Tindakan memperolok, memfitnah, menghina, mengadu domba, pembunuhan karakter justru difasilitasi oleh media.

            Fenomena di atas, apabila kita renungkan akan menimbulkan keprihatinan yang mendalam. Prihatin terhadap kualitas generasi muda di masa depan, prihatin terhadap citra dan daya saing bangsa kita yang semakin rendah dan direndahkan oleh bangsa-bangsa lain. Kita juga prihatin terhadap stigma terhadap sebagian umat Islam yang diidentikkan dengan teroris, anti intelektual dan anti peradaban.

            Berbagai permasalahan tersebut diasumsikan bersumber dari krisis etika dan moral: bisa korupsi dianggap prestasi, penipuan dianggap lumrah asalkan tidak keterlaluan, hilangnya budaya malu (marwah), hilangnya keperawanan tidak lagi disesalkan,  politik uang untuk membeli kekuasaan, berbudi bahasa yang santun dianggap suatu kelemahan, agama tidak lagi dipedomani sebagai akhlak melainkan sebagai alat kepentingan dan kekuasaan, dan bahasa kekerasan adalah bahasa kekuasaan dan ketertindasan.

           Adanya krisis etika dan moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bahkan juga krisis etika dan moral dalam beragama lantas memunculkan pertanyaan tentang peranan dan sumbangan Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam membentuk etika dan moral. Walaupun variabel perkembangan permasalahan tersebut sesungguhnya sangat kompleks, namun seringkali secara langsung maupun tidak langsung dihubungkan dengan permasalahan pendidikan agama di sekolah.
Pertanyaan seperti ini dianggap sah-sah saja karena sumber dari berbagai permasalahan tersebut adalah akibat adanya krisis etika dan moral, sedangkan tugas pokok pendidikan agama adalah membentuk anak didik memiliki moralitas dan akhlak budi pekerti yang mulia.

         Kondisi tersebut tentu saja sangat memprihatinkan. Kondisi ini menuntut semua pihak untuk mengambil peran masing-masing guna menyelamatkan generasi muda dan bangsa. Kaum agamawan sebagai penjaga etika dan moral masyarakat termasuk di dalamnya guru agama harus diberdayakan agar dapat mengambil peran secara signifikan. Demikian juga pendidikan agama yang memiliki peran strategis harus semakin ditingkatkan mutu dan relevansinya bagi upaya pembangunan moral bangsa. Pendidikan agama di sekolah perlu direkonstruksi agar dapat memerankan tugas dan fungsinya secara efektif yaitu membangun akhlak (etika dan moral) generasi penerus bangsa. Rekonstruksi itu meliputi aspek filosofis, substantif dan metodologis.

 https://lenteraawliya.files.wordpress.com/2012/02/character_building_logo1.jpg

MENGAPA PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF ISLAM PENTING?

1. Umat Muslim merupakan Mayoritas Penduduk Indonesia

Umat Muslim Indonesia patut bersyukur karena dapat bersatu dalam jumlah yang besar dan menjadi mayoritas di negerinya. Indonesia adalah karya besar umat Muslim  dan kemerdekaan Indonesia adalah rahmat Allah Yang Maha Kuasa kepada seluruh Bangsa Indonesia utamanya Umat Muslim. Pembangunan karakter bangsa pada hakekatnya adalah pembangunan karakter umat, dan kalau Bangsa Indonesia memiliki karakter, berakhlak mulia dan berbudi pekerti yang luhur, sudah barang tentu umat Muslim yang paling berkepentingan.

2. Kesenjangan antara Muslim Cita dan Muslim Fakta

Apabila umat Muslin Indonesia dapat menjadi Muslim yang baik maka jayalah Indonesia, dan sebaliknya kondisi bangsa Indonesia yang banyak mengalami krisis dan keterpurukan mencerminkan muslim Indonesia belum menjadi sebagaimana diharapkan. Bahkan dalam perspektif pembangunan bangsa, umat Muslim dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok: (1) Muslim berideologi Islam politik, yaitu Muslim yang sadar politik atau mind set-nya politik dan kekuasaan, menjadikan Islam sebagai ideologi politik, bertujuan mendirikan negara atau khilafah islamiah, dan biasanya bersifat radikal, tidak merasa menjadi Indonesia, sedikit kontribusinya bagi pembangunan bangsa dan negara dan bahkan selalu merongrong kedaulatan RI; (2) Muslim mistik, yaitu Muslim yang disibukkan dengan urusan ritual keagamaan bahkan yang bersifat mistik, tidak mempersoalkan keindonesiaan tetapi juga tidak memberikan kontribusi yang berarti dalam pembangunan bangsa dan Negara dan tidak membahayakan negara; (3) Muslim moderat, yaitu Muslim yang ideal karena memiliki prinsip  keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat, selalu berusaha menjadi ummatan wasathan (umat moderat), dan dimanapun berada selalu memberikan manfaat bagi lingkungannya. Ciri-ciri Muslim moderat antara lain: at home di Indonesia, mencintai, berjuang dan rela berkorban untuk bangsa dan  negaranya, dan memberikan kontribusi bagi pembangunan bangsa dan negara.

Sampai sekarang ini, ketiga kelompok Muslim tersebut masih ada, bahkan Muslim politik semakin menguat pada er reformasi  atau pasca Orde baru. Muslim mistik juga tetap eksis. Dalam konteks pembangunan karakter bangsa, pembangunan karakter harus diarahkan untuk menjadi Muslim moderat atau Muslim ideal.

3. Mengawinkan antara keislaman, keindonesiaan dan kemodernan.

Gagasan ini pertama kali dikemukakan oleh Nur Cholis Madjid pada era 70 an, dan sekarang ini dirasakan pentingnya gagasan tersebut direaktualisasi  dalam konteks pembangunan karakter bangsa. Muslim Indonesia akan dapat mewujudkan rahmatan lil’alamin (merahmati semua) apabila dapat mengawinkan ketiga komponen tersebut. Dengan mengawinkan ketiga komponen tersebut seorang muslim akan memiliki tiga kesadaran: kesadaran ideal (keislaman), kesadaran tempat (keindonesiaan) dan kesadaran waktu (kemodernan). Dengan memiliki tiga kesadaran ini seorang Muslim akan memiliki kearifan, kemuliaan dan kejayaan.

4. Etika dan Moral dalam Islam

Kehadiran Islam di muka bumi adalah sebagai pedoman hidup manusia dan untuk memberikan solusi yang tegas terhadap berbagai persoalan kemanusiaan. Salah satu persoalan kemanusiaan yang perlu mendapat perhatian besar dari umat Islam adalah persoalan etika. Etika dan moralitas adalah puncak nilai keberagamaan seorang muslim. Hal ini sejalan dengan Hadis Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan keagungan. Berislam yang tidak membuahkan akhlak adalah sia-sia.

           Menurut Raghib al-Isfahani, etika Islam berbentuk ethical individual social egoism dalam motivasi moral.  Maksudnya, pengejaran perilaku moral individu tidak mesti mengorbankan perilaku moral etis sosial. Etika Islam tidak hendak memasung otoritas individu untuk sosial sebagaimana paham komutarianisme atau pengorbanan sosial untuk individu sebagaimana paham universalisme (Amril M. 200: 2ix). Etika Islam harus berlandaskan pada cita-cita keadilan dan kebebasan bagi individu untuk melakukan kebaikan sosial. Etika Islam adalah sebuah pandangan moralitas agama yang mengarahkan manusia untuk berbuat baik antar sesamanya agar tercipta masyarakat yang baik dan teratur.

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgE_7KXUHPEDAwcdA7Hb4Y9AGyAsmf97uczIpLr8StZzn_Xmoi05r9YUOoIN12tRIES0VrmrKdu7y5Drn6Rc7RrPsye31V6Zg2thvDEl18OZCKW_UqT39rg5cqPomAV0PmEEgRaSJdFVOmB/s1600/bb35219a079923a9353e43348b3e0665.jpg



DEGRADASI MORAL MERUSAK KARAKTER BANGSA

1. Degradasi Moral Perusak Karakter Bangsa

Eksistensi, kemuliaan dan kejayaan sebuah bangsa tergantung akhlaknya, demikian juga keterpurukan, kehinaan dan kehancurannya. Awal dan sumber segala kebaikan adalah akhlak, demikian juga segala keburukan bersumber dan bermuara kepada akhlak. Apabila sebuah bangsa mengalami krisis moral dan akhlak, maka bangsa tersebut akan berbuat dlalim, berbuat kerusakan terhadap alam maupun kedlaliman terhadap sesamanya. Dampak dari kedlaliman tersebut adalah timbulnya berbagai musibah, balak dan bencana, baik yang bersumber dari alam seperti maupun manusia. Seorang psikolog dan ahli pendidikan Amerika bernama Thomas Lichona mengidentifikasi adanya 10 tanda-tanda degradasi moral yang dapat merusak karakter bangsa. Degradasi moral itu ialah (www.cortland.edu/character/aboutus.html):

1. Mmeningkatnya kekerasan pada remaja
2. Penggunaan kata-kata yang memburuk
3. Pengaruh peer group (rekan kelompok) yang kuat dalam tindak kekerasan
4. Meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas
5. kaburnya batasan moral baik-buruk
6. Menurunnya etos kerja
7. Rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru
8. Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara
9. Membudayanya ketidakjujuran
10.  Adanya saling curiga dan kebencian diantara sesama.

Yang menjadi permasalahan adalah, apakah ke 10 tanda degradasi moral tersebut ada dan massif di Indonesia? Atau bahkan lebih parah lagi?
  

https://encrypted-tbn3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSmWLeDjJPC8Wq3-GP84w315AB796gq5Z702V6jcJFYwV6B6CUrHw


BANGSA YANG BERKARAKTER

        Setiap orang tentu memiliki rasa kebangsaan dan memiliki wawasan kebangsaan dalam perasaan atau pikiran, paling tidak di dalam hati nuraninya. Dalam realitas, rasa kebangsaan itu seperti sesuatu yang dapat dirasakan tetapi sulit dipahami. Namun ada getaran atau resonansi dan pikiran ketika rasa kebangsaan tersentuh. Rasa kebangsaan bisa timbul dan terpendam secara berbeda dari orang per orang dengan naluri kejuangannya masing-masing, tetapi bisa juga timbul dalam kelompok.

          Rasa kebangsanaan adalah kesadaran berbangsa, yakni rasa yang lahir secara alamiah karena adanya kebersamaan social yang tumbuh dari kebudayaan, sejarah, dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan dalam menghadapi tantangan sejarah masa kini. Dinamisasi rasa kebangsaan ini dalam mencapai cita-cita bangsa berkembang menjadi wawasan kebangsaan, yakni pikiran-pikiran yang bersifat nasional dimana suatu bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan nasional yang jelas. Berdasarkan rasa dan paham kebangsaan itu, timbul semangat kebangsaan  atau semangat patriotisme.

Adapun ciri-ciri bangsa yang karakter menurut Soekarno adalah sebagai berikut (H. Hadi, Basari..., 1987):

  1. Pertama, Kemandirian (self-reliance), atau menurut istilah Presiden Soekarno adalah “Berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri). Dalam konteks aktual saat ini, kemandirian diharapkan terwujud dalam percaya akan kemampuan manusia dan penyelenggaraan Republik Indonesia dalam mengatasi krisis-krisis yang dihadapinya.
  2. Kedua, Demokrasi (democracy), atau kedaulatan rakyat sebagai ganti sistem kolonialis. Masyarakat demokratis yang ingin dicapai adalah sebagai  pengganti dari masyarakat warisan yang feodalistik. Masyarakat di mana setiap anggota ikut serta dalam proses politik dan pengambilan keputusan yang berkaitan langsung dengan kepentingannya untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran.
  3. Ketiga, Persatuan Nasional (national unity). Dalam konteks aktual dewasa ini diwujudkan dengan kebutuhan untuk melakukan rekonsiliasi nasional antar berbagai kelompok yang pernah bertikai ataupun terhadap kelompok yang telah mengalami diskriminasi selama ini.
  4. Keempat, Martabat Internasional (bargaining positions).  Indonesia tidak perlu mengorbankan martabat dan kedaulatannya sebagai bangsa yang merdeka untuk mendapatkan prestise, pengakuan dan wibawa di duniainternasional. Sikap menentang hegemoni suatu bangsa atas bangsa lainnya adalah sikap yang mendasari ide dasar “nation and character building.” Bung Karno menentang segala bentuk “penghisapan suatu bangsa terhadap bangsa lain,” serta menentang segala bentuk “neokolonialisme” dan “neoimperialisme.” Indonesia harus berani mengatakan “tidak” terhadap tekanan-tekanan politik yang tidak sesuai dengan “kepentingan nasional” dan “rasa keadilan” sebagai bangsa merdeka.


http://www.hidupkatolik.com/foto/bank/images/teropong-ilustrasi-character-edu-hidup-katolik.jpg
        Hampir sama dengan gagasan Soekarno, penulis mengemukakan bangsa yang berkarakter memiliki ciri-ciri sebagai berikut

1. Berpegang teguh pada nilai budaya dan agamanya serta demokratis dan multikultural
2. Mencintai dan rela berkorban untuk bangsa dan negaranya
3. Menjunjung tinggi hukum dan peraturan yang berlaku (tidak soft nation)
4. Memiliki integritas moral dan intelektual, dedikasi, etos kerja dan altruistik



No comments:

Post a Comment