PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Oleh Prof. Dr. Tobroni, M.Si
PENDAHULUAN
Istilah nation and charakter building adalah
istilah klasik dan menjadi kosa kata hampir sepanjang sejarah modern Indonesia terutama
sejak peristiwa Sumpah Pemuda 1928. Istilah ini mencuat kembali sejak tahun
2010 ketika pendidikan karakter dijadikan sebagai gerakan nasional pada puncak
acara Hari Pendidikan Nasional 20 Mei 2010. Latar belakang munculnya pendidikan
karakter ini dilatarbelakangi oleh semakin terkikisnya karakter sebagai bangsa
Indonesia, dan sekaligus sebagai upaya pembangunan manusia Indonesia yang
berakhlak budi pekerti yang mulia.
Istilah karakter secara harfiah berasal dari
bahasa Latin “charakter”, yang antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan,
budi pekerti, kepribadian atau akhlak (Oxford). Sedangkan secara istilah,
karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya dimana manusia mempunyai
banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri. Karakter adalah sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau
sekelompok orang. Definisi dari “The
stamp of individually or group impressed by nature, education or habit.
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan
Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang
terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Karakter dapat
juga diartikan sama dengan akhlak dan budi pekerti, sehingga karakter bangsa
identik dengan akhlak bangsa atau budi pekerti bangsa. Bangsa yang berkarakter
adalah bangsa yang berakhlak dan berbudi pekerti, sebaliknya bangsa yang tidak
berkarakter adalah bangsa yang tidak atau kurang berakhlak atau tidak memiliki
standar norma dan perilaku yang baik.
DASAR PEMBENTUKAN KARAKTER
Dasar pembentukan karakter itu adalah nilai
baik atau buruk. Nilai baik disimbolkan dengan nilai Malaikat dan nilai buruk disimbolkan
dengan nilai Setan. Karakter manusia merupakan hasil tarik-menarik antara
nilai baik dalam bentuk energi positif dan nilai buruk dalam bentuk energi
negatif. Energi positif itu berupa nilai-nilai etis religius yang bersumber
dari keyakinan kepada Tuhan, sedangkan energi negatif itu berupa nilai-nilai
yang a-moral yang bersumber dari taghut (Setan). Nilai-nilai etis moral itu
berfungsi sebagai sarana pemurnian, pensucian dan pembangkitan nilai-nilai
kemanusiaan yang sejati (hati nurani). Energi positif itu berupa: Pertama, kekuatan
spiritual. Kekuatan spiritrual itu berupa îmân, islâm, ihsân dan taqwa, yang
berfungsi membimbing dan memberikan kekuatan kepada manusia untuk menggapai
keagungan dan kemuliaan (ahsani taqwîm); Kedua, kekuatan potensi manusia
positif, berupa âqlus salîm (akal yang sehat), qalbun salîm (hati yang sehat),
qalbun munîb (hati yang kembali, bersih, suci dari dosa) dan nafsul mutmainnah
(jiwa yang tenang), yang kesemuanya itu merupakan modal insani atau sumber daya
manusia yang memiliki kekuatan luar biasa. Ketiga, sikap dan perilaku
etis. Sikap dan perilaku etis ini merupakan implementasi dari kekuatan
spiritual dan kekuatan kepribadian manusia yang kemudian melahirkan
konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya etis. Sikap dan perilaku etis
itu meliputi: istiqâmah (integritas), ihlâs, jihâd dan amal saleh.
Energi positif tersebut dalam perspektif
individu akan melahirkan orang yang berkarakter, yaitu orang yang bertaqwa, memiliki
integritas (nafs al-mutmainnah) dan
beramal saleh. Aktualisasi orang yang berkualitas ini dalam hidup dan bekerja akan
melahirkan akhlak budi pekerti yang luhur karena memiliki personality
(integritas, komitmen dan dedikasi), capacity (kecakapan) dan competency yang
bagus pula (professional).
Kebalikan dari energi positif di atas adalah
energi negatif. Energi negatif itu disimbolkan dengan kekuatan materialistik
dan nilai-nilai thâghût (nilai-nilai destruktif). Kalau nilai-nilai etis
berfungsi sebagai sarana pemurnian, pensucian dan pembangkitan nilai-nilai
kemanusiaan yang sejati (hati nurani), nilai-nilai material (thâghût )
justru berfungsi sebaliknya yaitu pembusukan, dan penggelapan nilai-nilai
kemanusiaan. Hampir sama dengan energi positif, energi negatif terdiri dari:
Pertama, kekuatan
thaghut. Kekuatan thâghût itu berupa kufr (kekafiran), munafiq
(kemunafikan), fasiq (kefasikan) dan syirik (kesyirikan) yang kesemuanya itu merupakan kekuatan yang
menjauhkan manusia dari makhluk etis dan kemanusiaannya yang hakiki (ahsani taqwîm) menjadi makhluk yang serba
material (asfala sâfilîn); Kedua, kekuatan kemanusiaan negatif, yaitu pikiran jahiliyah (pikiran
sesat), qalbun marîdl (hati yang sakit, tidak merasa), qalbun mayyit
(hati yang mati, tidak punya nurani) dan
nafsu ‘l-lawwamah (jiwa yang tercela) yang kesemuanya itu akan menjadikan
manusia menghamba pada ilah-ilah selain
Allah berupa harta, sex dan kekuasaan (thâghût). Ketiga, sikap dan
perilaku tidak etis. Sikap dan
perilaku tidak etis ini merupakan implementasi dari kekuatan thâghût dan
kekuatan kemanusiaan negatif yang kemudian
melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya tidak etis (budaya
busuk). Sikap dan perilaku tidak etis
itu meliputi: takabur (congkak), hubb al-dunyâ (materialistik), dlâlim (aniaya) dan amal sayyiât (destruktif).
Energi negatif
tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter
buruk, yaitu orang yang puncak keburukannya
meliputi syirk, nafs lawwamah dan ’amal
al sayyiât (destruktif). Aktualisasi orang yang bermental thâghût ini
dalam hidup dan bekerja akan melahirkan
perilaku tercela, yaitu orang yang memiliki personality tidak bagus (hipokrit,
penghianat dan pengecut) dan orang yang
tidak mampu mendayagunakan kompetensi yang dimiliki.
MENGAPA PENDIDIKAN
KARAKTER PENTING?
1. Memudarnya
Nasionalisme dan Jati Diri Bangsa
Nasionalisme secara
umum berarti cinta tanah air, bangsa dan negara dan rela berjuang dan berkorban
untuk kejayaannya. Dalam
nasionalisme ada heroisme, altruisme dan patriotisme dan mengesampingkan
individualisme, hedonisme dan anti sparatisme.
Dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini, jiwa nasionalisme Indonesia semakin
terkikis atau semakin memudar,
yang ditandai dengan berkembangnya semangat individualisme, hedonisme,
terorisme dan bahkan sparatisme. Tanda-tanda
kerkikisnya nasionalisme ini melanda hampir semua komponen bangsa baik muda
maupun tua, rakyat biasa maupun
pejabat negara termasuk kalangan anggota dewan. Bilan angkatan 45 dianggap
sebagai generasi pejuang, angkatan 66
sebagai generasi pembangun, dan angkatan 98 sampai sekarang adalah generasi
penikmat dan bahkan penghancur.
Untuk berebut menjadi
pejabat publik, anggota dewan, pegawai negeri, polisi dan bahkan TNI dari
tingkat rendah sampai pejabat
tinggi harus membayar dengan sejumlah uang. Setelah tercapai apa yang
diinginkan, lantas dengan berbagai cara agar uang yang telah dikeluarkan segera kembali, dan menggunakan
fasilitas negara, wewenang dan hak-hak istimewanya (privilege) untuk memperkaya
diri, memperkuat posisi dan menciptakan hegemoni. Mereka bukan sebagai abdi Negara
melainkan penghianat negara, bukan
pejuang melainkan pecundang. Disamping itu masih ada fenomena terkikisnya
nasionalisme yang lain yaitu munculnya
sparatisme, terorisme, dan berkembangnya ideologi trans-nasional yang
mengingkari paham kebangsaan,
cinta tanah air dan negara. Fenomena lain dari terkikisnye nasionalisme adalah
enggan memakai produksi
dalam negeri, baik dalam bentuk makanan, pakaian, dan teknologi.
2.
Merosotnya Harkat dan Martabat Bangsa
Indonesia sejatinya
adalah bangsa dan negara besar: negara kepulauan terbesar di dunia, jumlah umat
muslim terbesar di dunia, bangsa
multi etnik dan bahasa namun bersatu, memiliki warisan sejarah yang menakjubkan
dan kreatifitas anak negeri seperti
batik, aneka makanan dan kerajinan yang eksotik, kekayaan serta keindahan alam
yang luar biasa. Predikat sebagai bangsa
dan negara yang positip itu seakan sirna karena mendapat predikat baru
yang negatip seperti terkorup, bangsa yang soft nation, malas, sarang teroris, bangsa yang hilang keramah
tamahannya, banyak kerusuhan, banyak bencana dan lain sebagainya.
Fenomena lain dari
merosotnya harkat dan martabat bangsa adalah seperti yang ditakutkan Sukarno,
“menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.” Bahkan, mungkin yang
lebih buruk lagi dari kekuatiran Sukarno, “menjadi bangsa pengemis dan pengemis di antara bangsa-bangsa”.
Bangsa Indonesia barangkali adalah negara pengekspor kuli/babu/tenaga kasar/unskill terbesar di dunia. TKI TKW kita
diperlukan di negara-negara tujuan tetapi sangat tidak dihargai dan sering
diperlakukan sebagai budak dan perlakuan
yang tidak manusiawi lainnya. TKI/TKW memang dapat meningkatkan devisa negara, tetapi sesungguhnya madlorotnya lebih
besar dari pada manfaatnya, termasuk merosotnya harkat dan martabat bangsa.
3.
Mentalitas Bangsa yang Buruk
Indonesia memiliki
modal atau kekuatan yang memadai untuk menjadi bangsa besar dan negara yang
kuat. Modal itu antara lain: luas
wilayah, jumlah penduduk, kekayaan alam, kekayaan budaya, kesatuan bahasa,
ketaatan pada ajaran agama, dan sistem
pemerintahan republik yang demokratis. Akan tetapi modal yang besar itu seakan
tidak banyak berarti apabila mentalitas
bangsa ini belum terbangun atau belum berubah ke arah yang lebih baik.
Mentalitas bangsa Indonesia yang kurang
kondusif atau menjadi penghambat kejayaan bangsa Indonesia menjadi bangsa maju
antara lain: malas, tidak disiplin,
suka melanggar aturan, ngaji pumpung, suka menerabas, dan nepotisme.
Selama mental sebuah
bangsa tersebut tidak berubah, maka bangsa tersebut juga tidak akan mengalami
perubahan dan akan tertinggal
dengan bangsa-bangsa lain, meskipun bangsa tersebut sesungguhnya memiliki
potensi dan modal yang besar.
Allah dalam hal ini secara tegas mengatakan: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah
keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (QS. 13:11).
Media yang paling
ampuh untuk merubah mentalitas bangsa adalah lewat pendidikan dan keyakinan
agama. Pendidikan yang mampu
merubah mentalitas adalah pendidikan yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh
dan sepenuh hati, bukan hanya sekedar
formalitas atau kepura-puraan. Keyakinan agama juga besar pengaruhnya bagi
mentalitas bangsa. Karena itu melalui pendidikan agama yang mampu menanamkan keimanan yang benar, ibadah yang
benar dan akhlakul karimah, niscaya akan menjadikan anak didik sebagai manusia terbaik, yaitu yang bermanfaat
bagi orang alain melalui amal shalehnya.
4.
Krisis nultidimensional
Berbagai permasalahan
menimpa Bangsa Indonesia seperti masih adanya konflik sosial di berbagai
tempat, sering mengedepankan cara
kekerasan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan, praktek korupsi yang
semakin canggih dan massif, sering
terjadi perkelahian antar pelajar, pelanggaran etika dan susila yang semakin
vulgar, munculnya aliran yang dianggap
sesat dan cara-cara penyelesaiannya yang cenderung menggunakan kekerasan,
tindakan kejahatan yang mengancam
ketenteraman dan keamanan, praktek demokrasi liberal yang ekstreem dalam
berbagai aspek kehidupan sehingga
bertabrakan dengan budaya dan nilai-nilai kepatutan sebagai bangsa Timur dan
bangsa yang religius.
Sebagai bangsa Muslim
terbesar di dunia, Indonesia juga masih menghadapi persoalan yang serius dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara,
antara lain masih adanya sebagian umat Islam yang belum at home sebagai Bangsa
Indonesia. Mereka belum sepenuhnya
menerima keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasar Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945
sebagai bentuk negara yang final. Masih adanya sebagian umat yang belum
memiliki kemampuan dan
keterampilan untuk hidup bersama dalam keberbedaan. Impak dari sikap itu antara
lain berupa masih kuatnya
eksklusifitas, maraknya gerakan-gerakan umat yang kontra produktif, seperti
terorisme, garakan-gerakan bawah tanah
yang bertujuan mengganti bentuk negara, berbagai bentuk pembangkangan dan
bahkan perlawanan terhadap Negara dan
pemerintahan yang sah. Akibat dari sikap sebagian umat Islam ini sangat luas,
berangkai dan kontra produktif bagi bangsa
dan negara, dan khususnya bagi umat Islam.
Permasalahan yang
serius juga terjadi di dunia pendidikan. Pelanggaran etika sosial dan susila
serta kekerasan dalam berbagai
bentuknya sering terjadi seperti: perkelaian antar pelajar, seks bebas, tindak
pidana, sikap tidak etis terhadap guru, berbagai bentuk pelanggaran tata tertib sekolah, dan minimnya prestasi
dan kejayaan yang dicapai para pelajar kita.
Permasalahan bangsa
tersebut di atas semakin diperparah dengan tayangan telivisi yang sangat
vulgar, life, tidak mengenal waktu
tayang, dan diulang-ulang oleh hampir semua stasiun TV dan juga surat kabar.
Peristiwa pembunuhan, pemerkosaan, perkelaian,
perampokan, pembakaran, demo yang anarkis, tidakan aparat yang represif,
perceraian, terorisme dan berbagai bentuk tindakan kejahatan justru menjadi
menu utama dan disiarkan dalam berbagai bentuk tayangan (berita, peristiwa,
sinetron, dialog dan lain-lain). Semboyan
wartawan adalah “bad news is good news”. Berita baik apabila ada unsur ‘blood” dan “crowd”. Tindakan
memperolok, memfitnah, menghina, mengadu domba, pembunuhan karakter justru
difasilitasi oleh media.
Fenomena di atas,
apabila kita renungkan akan menimbulkan keprihatinan yang mendalam. Prihatin
terhadap kualitas generasi muda di
masa depan, prihatin terhadap citra dan daya saing bangsa kita yang semakin
rendah dan direndahkan oleh bangsa-bangsa
lain. Kita juga prihatin terhadap stigma terhadap sebagian umat Islam yang
diidentikkan dengan teroris, anti intelektual
dan anti peradaban.
Berbagai permasalahan
tersebut diasumsikan bersumber dari krisis etika dan moral: bisa korupsi
dianggap prestasi, penipuan dianggap
lumrah asalkan tidak keterlaluan, hilangnya budaya malu (marwah), hilangnya
keperawanan tidak lagi disesalkan, politik uang untuk membeli kekuasaan, berbudi bahasa yang santun
dianggap suatu kelemahan, agama tidak lagi dipedomani sebagai akhlak melainkan sebagai alat
kepentingan dan kekuasaan, dan bahasa kekerasan adalah bahasa kekuasaan dan
ketertindasan.
Adanya krisis etika
dan moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bahkan juga
krisis etika dan moral dalam
beragama lantas memunculkan pertanyaan tentang peranan dan sumbangan Pendidikan
Agama Islam (PAI) dalam membentuk
etika dan moral. Walaupun variabel perkembangan permasalahan tersebut sesungguhnya
sangat kompleks, namun seringkali
secara langsung maupun tidak langsung dihubungkan dengan permasalahan
pendidikan agama di sekolah.
Pertanyaan seperti ini
dianggap sah-sah saja karena sumber dari berbagai permasalahan tersebut adalah
akibat adanya krisis etika dan
moral, sedangkan tugas pokok pendidikan agama adalah membentuk anak didik
memiliki moralitas dan akhlak budi pekerti
yang mulia.
Kondisi tersebut tentu
saja sangat memprihatinkan. Kondisi ini menuntut semua pihak untuk mengambil
peran masing-masing guna
menyelamatkan generasi muda dan bangsa. Kaum agamawan sebagai penjaga etika dan
moral masyarakat termasuk di
dalamnya guru agama harus diberdayakan agar dapat mengambil peran secara
signifikan. Demikian juga
pendidikan agama yang memiliki peran strategis harus semakin ditingkatkan mutu
dan relevansinya bagi upaya pembangunan
moral bangsa. Pendidikan agama di sekolah perlu direkonstruksi agar dapat
memerankan tugas dan fungsinya secara
efektif yaitu membangun akhlak (etika dan moral) generasi penerus bangsa.
Rekonstruksi itu meliputi aspek filosofis, substantif dan metodologis.
MENGAPA PENDIDIKAN
KARAKTER DALAM PERSPEKTIF ISLAM PENTING?
1. Umat Muslim
merupakan Mayoritas Penduduk Indonesia
Umat Muslim Indonesia
patut bersyukur karena dapat bersatu dalam jumlah yang besar dan menjadi
mayoritas di negerinya. Indonesia
adalah karya besar umat Muslim dan kemerdekaan Indonesia adalah rahmat
Allah Yang Maha Kuasa kepada
seluruh Bangsa Indonesia utamanya Umat
Muslim. Pembangunan karakter bangsa pada hakekatnya adalah pembangunan karakter umat, dan kalau Bangsa Indonesia
memiliki karakter, berakhlak mulia dan berbudi pekerti yang luhur, sudah barang
tentu umat Muslim yang paling
berkepentingan.
2.
Kesenjangan antara Muslim Cita dan Muslim Fakta
Apabila umat Muslin
Indonesia dapat menjadi Muslim yang baik maka jayalah Indonesia, dan sebaliknya
kondisi bangsa Indonesia yang
banyak mengalami krisis dan keterpurukan mencerminkan muslim Indonesia belum
menjadi sebagaimana diharapkan.
Bahkan dalam perspektif pembangunan bangsa, umat Muslim dapat dikelompokkan
menjadi tiga kelompok: (1) Muslim
berideologi Islam politik, yaitu Muslim yang sadar politik atau mind set-nya
politik dan kekuasaan, menjadikan Islam sebagai ideologi politik, bertujuan mendirikan negara atau khilafah
islamiah, dan biasanya bersifat radikal, tidak merasa menjadi Indonesia, sedikit kontribusinya bagi
pembangunan bangsa dan negara dan bahkan selalu merongrong kedaulatan RI; (2) Muslim mistik, yaitu Muslim yang
disibukkan dengan urusan ritual keagamaan bahkan yang bersifat mistik, tidak
mempersoalkan keindonesiaan tetapi juga
tidak memberikan kontribusi yang berarti dalam pembangunan bangsa dan Negara
dan tidak membahayakan negara; (3) Muslim
moderat, yaitu Muslim yang ideal karena memiliki prinsip keseimbangan
antara urusan dunia dan akhirat, selalu berusaha menjadi ummatan wasathan (umat
moderat), dan dimanapun berada selalu memberikan manfaat bagi lingkungannya. Ciri-ciri Muslim moderat antara
lain: at home di Indonesia, mencintai, berjuang dan rela berkorban untuk bangsa dan
negaranya, dan memberikan kontribusi bagi pembangunan bangsa dan negara.
Sampai sekarang ini,
ketiga kelompok Muslim tersebut masih ada, bahkan Muslim politik semakin
menguat pada er reformasi
atau pasca Orde baru. Muslim mistik juga tetap eksis. Dalam konteks
pembangunan karakter bangsa, pembangunan
karakter harus diarahkan untuk menjadi Muslim moderat atau Muslim ideal.
3.
Mengawinkan antara keislaman, keindonesiaan dan kemodernan.
Gagasan ini pertama
kali dikemukakan oleh Nur Cholis Madjid pada era 70 an, dan sekarang ini
dirasakan pentingnya gagasan
tersebut direaktualisasi dalam konteks pembangunan karakter bangsa.
Muslim Indonesia akan dapat mewujudkan rahmatan lil’alamin (merahmati semua) apabila dapat mengawinkan ketiga
komponen tersebut. Dengan mengawinkan ketiga komponen tersebut seorang muslim akan memiliki tiga kesadaran: kesadaran
ideal (keislaman), kesadaran tempat (keindonesiaan)
dan kesadaran waktu (kemodernan). Dengan memiliki tiga kesadaran ini seorang
Muslim akan memiliki kearifan,
kemuliaan dan kejayaan.
4.
Etika dan Moral dalam Islam
Kehadiran Islam di
muka bumi adalah sebagai pedoman hidup manusia dan untuk memberikan solusi yang
tegas terhadap berbagai persoalan
kemanusiaan. Salah satu persoalan kemanusiaan yang perlu mendapat perhatian
besar dari umat Islam adalah
persoalan etika. Etika dan moralitas adalah puncak nilai keberagamaan seorang
muslim. Hal ini sejalan dengan Hadis Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan
keagungan. Berislam yang tidak membuahkan
akhlak adalah sia-sia.
Menurut Raghib
al-Isfahani, etika Islam berbentuk ethical individual social egoism dalam
motivasi moral. Maksudnya, pengejaran
perilaku moral individu tidak mesti mengorbankan perilaku moral etis sosial.
Etika Islam tidak hendak memasung otoritas
individu untuk sosial sebagaimana paham komutarianisme atau pengorbanan sosial
untuk individu sebagaimana paham
universalisme (Amril M. 200: 2ix). Etika Islam harus berlandaskan pada cita-cita
keadilan dan kebebasan bagi individu untuk melakukan kebaikan sosial. Etika Islam adalah sebuah pandangan
moralitas agama yang mengarahkan manusia untuk berbuat baik antar sesamanya agar tercipta masyarakat yang baik dan
teratur.
DEGRADASI MORAL MERUSAK
KARAKTER BANGSA
1. Degradasi Moral
Perusak Karakter Bangsa
Eksistensi, kemuliaan
dan kejayaan sebuah bangsa tergantung akhlaknya, demikian juga keterpurukan,
kehinaan dan kehancurannya. Awal
dan sumber segala kebaikan adalah akhlak, demikian juga segala keburukan
bersumber dan bermuara kepada
akhlak. Apabila sebuah bangsa mengalami krisis moral dan akhlak, maka bangsa
tersebut akan berbuat dlalim, berbuat
kerusakan terhadap alam maupun kedlaliman terhadap sesamanya. Dampak dari
kedlaliman tersebut adalah timbulnya
berbagai musibah, balak dan bencana, baik yang bersumber dari alam seperti
maupun manusia. Seorang psikolog dan
ahli pendidikan Amerika bernama Thomas Lichona mengidentifikasi adanya 10
tanda-tanda degradasi moral yang dapat merusak karakter bangsa. Degradasi moral itu ialah
(www.cortland.edu/character/aboutus.html):
1. Mmeningkatnya
kekerasan pada remaja
2. Penggunaan
kata-kata yang memburuk
3. Pengaruh peer group
(rekan kelompok) yang kuat dalam tindak kekerasan
4. Meningkatnya
penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas
5. kaburnya batasan
moral baik-buruk
6. Menurunnya etos
kerja
7. Rendahnya rasa
hormat kepada orang tua dan guru
8. Rendahnya rasa
tanggung jawab individu dan warga negara
9. Membudayanya
ketidakjujuran
10. Adanya
saling curiga dan kebencian diantara sesama.
Yang menjadi
permasalahan adalah, apakah ke 10 tanda degradasi moral tersebut ada dan massif
di Indonesia? Atau bahkan lebih
parah lagi?
BANGSA YANG
BERKARAKTER
Setiap orang tentu
memiliki rasa kebangsaan dan memiliki wawasan kebangsaan dalam perasaan atau
pikiran, paling tidak di dalam
hati nuraninya. Dalam realitas, rasa kebangsaan itu seperti sesuatu yang dapat
dirasakan tetapi sulit dipahami. Namun ada getaran atau resonansi dan pikiran ketika rasa kebangsaan tersentuh.
Rasa kebangsaan bisa timbul dan terpendam secara berbeda dari orang per orang dengan naluri kejuangannya
masing-masing, tetapi bisa juga timbul dalam kelompok.
Rasa kebangsanaan
adalah kesadaran berbangsa, yakni rasa yang lahir secara alamiah karena adanya
kebersamaan social yang tumbuh
dari kebudayaan, sejarah, dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta
kebersamaan dalam menghadapi tantangan
sejarah masa kini. Dinamisasi rasa kebangsaan ini dalam mencapai cita-cita
bangsa berkembang menjadi wawasan kebangsaan,
yakni pikiran-pikiran yang bersifat nasional dimana suatu bangsa memiliki
cita-cita kehidupan dan tujuan nasional
yang jelas. Berdasarkan rasa dan paham kebangsaan itu, timbul semangat
kebangsaan atau semangat patriotisme.
Adapun ciri-ciri bangsa
yang karakter menurut Soekarno adalah sebagai berikut (H. Hadi, Basari...,
1987):
- Pertama, Kemandirian (self-reliance), atau menurut istilah Presiden Soekarno adalah “Berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri). Dalam konteks aktual saat ini, kemandirian diharapkan terwujud dalam percaya akan kemampuan manusia dan penyelenggaraan Republik Indonesia dalam mengatasi krisis-krisis yang dihadapinya.
- Kedua, Demokrasi (democracy), atau kedaulatan rakyat sebagai ganti sistem kolonialis. Masyarakat demokratis yang ingin dicapai adalah sebagai pengganti dari masyarakat warisan yang feodalistik. Masyarakat di mana setiap anggota ikut serta dalam proses politik dan pengambilan keputusan yang berkaitan langsung dengan kepentingannya untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran.
- Ketiga, Persatuan Nasional (national unity). Dalam konteks aktual dewasa ini diwujudkan dengan kebutuhan untuk melakukan rekonsiliasi nasional antar berbagai kelompok yang pernah bertikai ataupun terhadap kelompok yang telah mengalami diskriminasi selama ini.
- Keempat, Martabat Internasional (bargaining positions). Indonesia tidak perlu mengorbankan martabat dan kedaulatannya sebagai bangsa yang merdeka untuk mendapatkan prestise, pengakuan dan wibawa di duniainternasional. Sikap menentang hegemoni suatu bangsa atas bangsa lainnya adalah sikap yang mendasari ide dasar “nation and character building.” Bung Karno menentang segala bentuk “penghisapan suatu bangsa terhadap bangsa lain,” serta menentang segala bentuk “neokolonialisme” dan “neoimperialisme.” Indonesia harus berani mengatakan “tidak” terhadap tekanan-tekanan politik yang tidak sesuai dengan “kepentingan nasional” dan “rasa keadilan” sebagai bangsa merdeka.
Hampir sama dengan
gagasan Soekarno, penulis mengemukakan bangsa yang berkarakter memiliki
ciri-ciri sebagai berikut
1. Berpegang teguh
pada nilai budaya dan agamanya serta demokratis dan multikultural
2. Mencintai dan rela
berkorban untuk bangsa dan negaranya
3. Menjunjung tinggi
hukum dan peraturan yang berlaku (tidak soft nation)
4. Memiliki integritas
moral dan intelektual, dedikasi, etos kerja dan altruistik
No comments:
Post a Comment